FAKULTAS KEDOKTERAN
REFERAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
SEPTEMBER 2014
Oleh :
Abdul Rahim Mohamad Nor C11110871
Dwi Atmaji Norwanto
Andi Yaumil Aliyah T.
C11109797
110210073
Pembimbing :
dr. Lisa Rizki D.
Supervisor :
dr. Ummu Atiah, Sp.S
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama / NIM : Abdul Rahim Mohamad Nor C11110871
Dwi Atmaji Norwanto
C11109797
110210073
Mengetahui,
Supervisor
Pembimbing
DAFTAR ISI
Halaman Judul .
Halaman Pengesahan ..
ii
Daftar Isi .
iii
BAB I PENDAHULUAN ..
BAB II ISI .
A. Definisi .
B. Prevalensi
C. Etiologi
D. Patofisiologi .
E. Manifestasi Klinis
F. Diagnosis .
G. Penatalaksanaan ..
H. Pencegahan .
I. Prognosis .....
BAB III PENUTUP
3
3
4
5
5
10
13
14
18
19
20
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
dengan
patologi
baik
neuropatik
maupun
nosiseptif
dan
pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus
atau juga kombinasi.1,2,3
BAB II
ISI
A. Definisi
Nyeri post herpetikum (Neuralgia Post Herpetik = NPH / Post Herpetic
Neuralgia = PHN) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes
Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang
serabut saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari Herpes Zoster.3
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau
nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai
tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri
yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai
nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989,
hingga 11 kasus per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih. 7 Sebuah
penelitian di Islandia menunjukkan bahwa variasi resiko PNH ini dihubungkan
dengan kelompok umur tertentu. Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak
ada sampel yang berusia dibawah 50 tahun dilaporkan menderita nyeri hebat, dan
pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dilaporkan mengalami nyeri yang lebih
hebat : 6% 1 bulan setelah onset dan sebanyak 4% 3 bulan setelah onset.6
Resiko serangan kedua sama tingginya dengan resiko yang terjadi pada
serangan yang pertama. Angka kejadiannya beberapa kali lebih tinggi pada orang
dewasa penderita infeksi HIV atau pada pasien penderita keganasan dan 50 hingga
100 kali lebih tinggi pada anak-anak dengan Leukemia dibandingkan dengan
orang-orang sehat dengan usia yang sama. Resiko nyeri post herpetik meningkat
sesuai pertambahan umur. Insidens nyeri post herpetik meningkat pada pasienpasien dengan Ophtalmic Zoster dan kemungkinan lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pada pria.7
C. Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zoster. Virus
varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari
sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid.
Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter
sekitar 150-200 nm. Infeksi primernya secara klinis dikenal dengan Varicella
(chicken pox), umumnya terjadi pada anak-anak. Tipe Virus yang bersifat patogen
pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella
zoster virus (VZV).8 Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi
dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion
gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion
genikulatum.6
sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunastunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di
lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan
hubungan antara serabut saraf A yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut
saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus)
dipersepsikan sebagai nyeri.11
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang
menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa
alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari
serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah
glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat
diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan
istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik -amino-3-hidroksi-5metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik
glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium
sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat
glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang
berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran
yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion
magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan
depolarisasi membran makin progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat
terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris
baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun
sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran sel.
Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru.
Tunas-tunas baru ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak
mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan
terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul
transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap
suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan
2.
3.
Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya
berlangsung < 4 minggu
Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4
bulan
Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi
kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik,
yaitu anestesia pada tempat tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan
neuralgia, justru tempat tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan
sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah
dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum
dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum.1,9,12
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala
prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit
sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai
dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian,
setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral
mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi
vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai
berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai
mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit
kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan
durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri
yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai
mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek
maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau
beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan
rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan
terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat
diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal
yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi
rangsang yang berulang.1,9,12
F. Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala
tipikal herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit,
nyeri yang timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal
sebagai nyeri post herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, tertusuk-tusuk, gatal atau tersengat listrik.5,8,13
b. Pemeriksaan Fisik8,13,14,15
1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia
2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar
kutaneus
4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap
sentuhan maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis,
pleuritik, maupun iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang
misdiagnosis sebagai urtikaria
5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu
kemudian)
6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang
muncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu
setelahnya).
7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan
ringan
8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada
area yang terkena nyeri ini.
c. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: 5,8,13
1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan
neurologis lainnya.
2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus
3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus
4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan
DNA VZV 22% kasus.
5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.
pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang
tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik
dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek
toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari.
1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih
baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan
tidur, dan kecacatan.
3. Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi
voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek
inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat
eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi
masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena
bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi,
dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d .
Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan
memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja
menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya
gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan
dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi
influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan
calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.
Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik
pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien
dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula
hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.
4. Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia
paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok
reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat
mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam
persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik
Telah
dikembangkan
vaksin
pencegahan
herpes
zoster
yang
direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi
mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan
ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes
zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek
proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih. 9,11 Selain
itu, The United States Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)
juga telah merekomendasikan lansia diatasumur 60 tahun untuk memperoleh
vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari perawatan kesehatan rutin. 18 Vaksin
Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration
untuk mencegah Varicella.7,16
I. Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn
lambat. Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik
terhadap obat-obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada
sebagian kasus, nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon
terhadap terapi yang diberikan.5
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan
perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika
respon terhadap analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien
dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi
maka diperlukan pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.5
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya
mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena
setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik
seperti biasa.5
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ
masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien
mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.5
BAB III
PENUTUP
Nyeri Post Herpetikum adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di
bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri
merupakan suatu reaktivasi virus Varicella yang berdiam di dalam jaringan saraf.
NPH dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari
setelah timbulnya ruam pada kulit) dan NPH (rasa sakit yang terjadi setidakn
ya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).
NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh
yang rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke atas, atau
dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami
reaktivasi.
NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik
perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer
mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi
untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak
menyebabkan nyeri.
Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang
merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/
tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak
terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit
ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat
sembuh dengan terapi yang teratur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for Pain
Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.
2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London:
The Guilford Press.
3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of
Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:
Elsevier. p654-674.
4. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia.
2004. American Academy of Neurology. p959-965.
5. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert
A. 2012.
6. Kost R, Stephen E. Postherpetic Neuralgia: Pathogenesis, Treatment, and
Prevention. 1996. The New England Journal of Medicine. p32-40.
LAMPIRAN