Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Dengue Haemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)


suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae,dengan
genusnya adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal
dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai
tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue.
(Saroso, 2007). DBD merupakan masalah umum yang semakin membesar di
negara-negara subtropik. Penyakit ini merupakan penyakit yang endemik di
lebih 100 buah negara termasuklah Afrika, Amerika, Mediterranean Timur,
Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. WHO menganggarkan mungkin terdapat 50100 juta kasus penyakit Dengue di seluruh dunia setiap tahun, di mana
250.000-500.000 kasus adalah Demam Berdarah Dengue dengan 24.000
kematian setiap tahun (Yong Y.K. et al., 2006).
Menurut WHO (1998) dalam Setiati T.E. et al. (2006), di Asia
Tenggara, dengan jumlah populasinya kira-kira 1, 5 milyar, dianggarkan kurang
lebih 1,3 milyar penduduknya berisiko untuk terkena penyakit DBD ini.
Sehingga sekarang, DBD merupakan penyebab utama kemasukan ke rumah sakit
dan kematian di kalangan anak-anak di negara-negara di Asia Tenggara.
Di Indonesia, DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 ketika penyakit
sedang menular di Surabaya dan Jakarta. Ketika epidemik DBD berlaku
pada 1998, sejumlah 47.573 kasus dilaporkan dengan 1527 kematian. Kasuskasus ini dicatatkan dari 201 daerah dari total 304 buah daerah di Indonesia.
Vektor utamanya adalah Aedes aegypti dan banyak kejadian yang dilaporkan
penularannya melalui vektor ini (WHO, 2004).

BAB II
LAPORAN KASUS

I.

II.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Ny. K
Usia
: 24 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: KD. Banteng
Tanggal masuk : 3 Mei 2014
Tanggal periksa : 5 Mei 2014
No. CM
:
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Demam
2. Keluhan Tambahan
-

Mual
Nafsu makan menurun
Nyeri ulu hati
Badan lemas

Pusing

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 2 Mei dengan keluhan
demam sejak 4 hari sebelum masuk IGD RSMS. Demam dirasakan oleh
pasien semakin lama semakin meningkat. Sehingga pasien tidak bisa
beraktivitas seperti biasanya. Demam muncul disepanjang hari
terkadang pagi hari, siang hari, sore hari, bahkan malam hari. Tidak ada
keluhan menggigil atau kejang saat demam muncul. Pasien mengaku
saat demam, pasien langsung istirahat dan minum teh hangat agar bisa
meredakan keluhannya. Keluhan lain yang dirasakan oleh pasien adalah
mual, nafsu makan menurun, nyeri ulu hati, badan lemas, dan pusing.
Keluhan mual dirasakan pasien sejak 2 hari yang lalu hingga
menyebabkan nafsu makan menurun. Pasien menyangkal adanya
muntah, tapi pasien mengaku badan terasa lemas dan sulit untuk
beranjak dari tempat tidur. Pusing dirasakan oleh pasien semenjak
demam. Pasien mengaku belum pernah ada keluhan yang sama
sebelumnya. Dan pasien mengaku belum berobat ke dokter atau rumah

sakit sebelumnya. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan sebagai


pereda keluhan, hanya saja pasien suka minum teh hangat saat demam.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa

: disangkal

b. Riwayat mondok

: disangkal

c. Riwayat hipertensi

: disangkal

d. Riwayat kencing manis

: disangkal

e. Riwayat asma

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal
g. Riwayat merokok

disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa

: disangkal

b. Riwayat mondok

: disangkal

c. Riwayat hipertensi

: disangkal

d. Riwayat kencing manis

: disangkal

e. Riwayat asma

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Occupational
Pasien adalah seorang karyawan di suatu perusahaan dan sejak
pasien sakit pasien berhenti bekerja.
b. Personal habit
Pasien mengaku suka makanan pedas. Pasien jarang berolah raga.
Pasien menyangkal pernah minum minuman alkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum
2. Kesadaran
3. Vital sign
a. Tekanan Darah
b. Nadi

: baik
: compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
: 110/80mmHg
: 84x/menit
3

c. RR
d. Suhu
4. Status Generalis

: 20x/menit
: 37,4 oC

a. Kepala
1) Bentuk

: mesochepal, simetris

2) Rambut

: warna hitam, tidak mudah dicabut,


Distribusi merata, tidak rontok

b. Mata
1) Palpebra

: edema (-/-) ptosis (-/-)

2) Konjungtiva

: anemis (+/+)

3) Sclera

: ikterik (-/-)

4) Pupil

: reflek cahaya (+/+),isokor

5) Exopthalmus

: (-/-)

6) Lapang pandang

: tidak dilakukan pemeriksaan

7) Lensa

: keruh (-/-)

8) Gerak mata

: normal

9) Tekanan bola mata : nomal


10) Nistagmus

: (-/-)

c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (-)
3) lidah kotor (-)
f. Leher
1) Trakhea

: deviasi trakhea (-/-)

2) Kelenjar lymphoid

: tidak membesar, nyeri (-)

3) Kelenjar thyroid

: tidak membesar

4) JVP

: Tidak meningkat (5+2 cmH2O)

g. Dada
1) Paru
a)

Inspeksi

: bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-),


retraksi (-), jejas (-)

b)

Palpasi

: vocal fremitus kanan=kiri


ketinggalan gerak (-)

c)

Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru

d)

Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+/+)


Wheezing(-), ronkhi basah halus(-), ronkhi basah
kasar (-)

2) Jantung
a)

Inspeksi

: ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra

b)

Palpasi

: ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,


tidak kuat angkat

c)

Perkusi

: Batas jantung kanan atas

: SIC II LPSD

Batas jantung kiri atas

: SIC II LPSS

Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD


Batas jantung kiri bawah
d)

: SIC V LMCS

Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)

h. Abdomen
1) Inspeksi

: datar

2) Auskultasi

: bising usus (+) normal

3) Perkusi

: pekak,pekak sisi (-), pekak beralih (-)

4) Palpasi

: hepar sulit teraba, dan lien teraba memanjang

sampai di bawah umbilical, nyeri tekan (-)


i. Ekstrimitas
Tabel 1. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan
Edema
Sianosis

Ekstremitas superior
Dextra
Sinistra
-

Ekstremitas inferior
Dextra
Sinistra
-

Ikterik
Akral dingin
Reflek fisiologis

Bicep/tricep

+
D=S
-

+
D=S
-

+
D=S
+

+
D=S
+

Patela
Reflek patologis
Sensoris
Petekie

IV.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
(dilakukan di RSMS Purwokerto)
(3 Mei 2014)
Darah lengkap
Hemoglobin

: 12,4 g/dl

Leukosit

: 5090 uL

Hematokrit

: 37%

Eritrosit

: 4,3 10^6/uL

Trombosit

: 80.000/uL

MCV

: 85,9 fL

MCH

: 29 pg

MCHC

: 33,8%

RDW

: 12,7%

MPV

: 11,6 fL

(L)

(H)

HitungJenis
Basofil

: 0,6%

Eosinofil

: 1,0%

(L)

Batang

: 0,2%

(L)

Segmen

: 38,3%

(L)

Limfosit

: 47,7%

(H)

Monosit

: 12,2%

(H)

Sero Imunologi
DHF ICT
IgG Anti DHF

: Reaktif

IgM Anti DHF

: Reaktif
6

(4 Mei 2014)
Darah lengkap
Hemoglobin

: 12,2 g/dl

Leukosit

: 12210 uL

(H)

Hematokrit

: 35%

(L)

Eritrosit

: 4,2 10^6/uL

Trombosit

: 174.000/uL

MCV

: 85,3 fL

MCH

: 29,4 pg

MCHC

: 34,5%

RDW

: 12,7%

MPV

: 10,5 fL

HitungJenis

V.

Basofil

: 0,2%

Eosinofil

: 0,2%

(L)

Batang

: 0,6%

(L)

Segmen

: 69,9%

Limfosit

: 18,3%

(L)

Monosit

: 10,8%

(H)

RESUME
1. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 2 Mei dengan keluhan
demam sejak 4 hari sebelum masuk IGD RSMS. Demam dirasakan oleh
pasien semakin lama semakin meningkat. Sehingga pasien tidak bisa
beraktivitas seperti biasanya. Demam muncul disepanjang hari
terkadang pagi hari, siang hari, sore hari, bahkan malam hari. Tidak ada
keluhan menggigil atau kejang saat demam muncul. Pasien mengaku
saat demam, pasien langsung istirahat dan minum teh hangat agar bisa
meredakan keluhannya. Keluhan lain yang dirasakan oleh pasien adalah
mual, nafsu makan menurun, nyeri ulu hati, badan lemas, dan pusing.

Keluhan mual dirasakan pasien sejak 2 hari yang lalu hingga


menyebabkan nafsu makan menurun. Pasien menyangkal adanya
muntah, tapi pasien mengaku badan terasa lemas dan sulit untuk
beranjak dari tempat tidur. Pusing dirasakan oleh pasien semenjak
demam. Pasien mengaku belum pernah ada keluhan yang sama
sebelumnya. Dan pasien mengaku belum berobat ke dokter atau rumah
sakit sebelumnya. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan sebagai
pereda keluhan, hanya saja pasien suka minum teh hangat saat demam.
2. Pemeriksaan Fisik
Mata

: conjungtiva anemis (+/+)

Hepar

: sulit teraba

Lien

: sulit teraba

Ekstremitas : Petekie pada kedua eksktremitas inferior


3. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap (dilakukan di RSMS) 3 Mei 2014
Hemoglobin

: 12,4 g/dl

Leukosit

: 5090 uL

Hematokrit

: 37%

Eritrosit

: 4,3 10^6/uL

Trombosit

: 80.000/uL

(L)

Sero Imunologi
DHF ICT

VI.

IgG Anti DHF

: Reaktif

IgM Anti DHF

: Reaktif

DIAGNOSIS KLINIS
-

DHF

VII. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
-

IVFD RL 50 tpm

Inj. Cefotaxim 2x1 gr

Inj. Rantin 2x1 amp

Inj. Dexa 2x2 amp

Drip Adona 1x1 amp

b. Non Farmakologi
-

Edukasi tentang penyakit, faktor risiko, pengobatan dan komplikasi


penyakit.

c. Monitoring
-

Tanda vital

Pemeriksaan Fisik

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Ditjen PPM & PL (2001) dalam Fathi. et al. (2005),
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit akibat infeksi
virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciriciri demam tinggi mendadak yang disertai manifestasi perdarahan dan
mempunyai tendensi untuk menimbulkan renjatan (shock).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) dalam Pratiwi D.S.
(2009), kasus DBD ini cenderung meningkat dan penyebarannya semakin
luas sejak tahun 1968. Keadaan ini sangat berhubungan dengan
mobilitas

penduduk,

juga

disebabkan

hubungan

tranportasi yang

semakin lancar serta virus Dengue dan nyamuk penularnya yang semakin
tersebar luas di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, tempat bagi
nyamuk untuk bersarang semakin bertambah disebabkan produksi sampah
yang meningkat oleh karena kepadatan penduduk.
B. Epidemiologi dan Insidensi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi
klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD),
DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock
syndrome (DSS) ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang
terinfeksi (Supartha, 2008). Host alami DBD adalah manusia, agentnya
adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus
Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4
(Kurane, 2007). Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali
lipat dengan peningkatan

ekspansi geografis

ke negara-negara baru

dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan (WHO, 2009).
Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wila- yah tropis dan

10

subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia


(Kurane, 2007).
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,
terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di
Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.
Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,
setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian
setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi
dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus
dengue melalui gigitan nya- muk setempat (Knowlton, 2009).
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik
dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan
kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun
(Malavinge, 2004). Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di
beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang
lebih (Kusriastuti, 2005). Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus
naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004.
Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan
kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus
tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau
CFR 0,89% (Kusriastuti, 2010).
C. Etiologi
1. Faktor Agent
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit DHF termasuk ke
dalam Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe
yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut
terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara
serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini
berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada
berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel sel mamalia

11

misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun selsel Arthropoda


misalnya sel aedes Albopictus (Lestari, 2007).
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor
yaitu

nyamuk aedes

aegypti,

nyamuk aedes

albopictus,

aedes

polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang


berperan berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Lestari, 2007).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan
vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya
melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di
daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua
nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang
biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejanabejana yang
terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar
rumah di lubanglubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan
daun dan genangan air bersih alami lainnya (Aedes Albopictus).
Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang
hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari. (Lestari, 2007).
2. Faktor Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya
maka akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna,
sehingga masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama
tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever
(DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi
virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua
kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi
virus dengue huntuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas
terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta. (Lestari, 2007).
3. Faktor Port Of Entery and Exit
Permukaan kulit tubuh.
4. Faktor Environment

12

Daerah atau tempat yang sering dijadikan tempat tinggal nyamuk


ini adalah daerah tropis, dengan lingkungan yang kurang pencahayaan
dan sinar matahari, banyak genangan air, vas bunga yang jarang diganti
airnya, kaleng bekas tempat penampungan air, botol dan ban bekas
(Lestari, 2007).
5. Transmisi
Cara Penularan adalah melalui prantara nyamuk Aedes Aegpty dan
Aedes Albopictus yang betina setiap 2 hari sekali menggigit/mengisap
darah manusia untuk memperoleh protein guna mematangkan telurnya
agar dapat membiakkan keturunannya. Waktu menggigit orang yang
darahnya mengandung virus dengue, virus masuk dan berkembang biak
dengan cara membelah diri dalam tubuh nyamuk. Dalam waktu kurang
dari 1 minggu virus sudah berada di kelenjar liur dan siap untuk
dipindahkan bersama air liur nyamuk kepada orang sehat. Dalam waktu
kurang dari 7 hari orang itu dapat menderita penyakit demam berdarah
(Lestari, 2007).
D. Faktor Risiko.
Salah

satu

faktor

risiko

penularan DBD adalah pertumbuhan

penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya


sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya
pengendalian populasi sehing- ga memungkin terjadinya KLB (WilderSmith, 2008). Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan
orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak
dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar
(Knowlton, 2009). Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang
penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian (U.S.D.T.,
2006). Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan
masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk;
sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor
risiko (Roose, 2008).

13

Fa

ktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti

dengue yang merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian


di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan
migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena
DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan (Silva,
2008).
E. Patogenesis
N

yamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap

infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang


rentan pada saat menggigit dan menghisap darah (WHO, 2009). Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran
yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus lim- paticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan
makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan
masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan
membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah
komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini
menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut
tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya (Koraka,
2001).
S

ecara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi

biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent


cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE (Darwis, 1999). Berdasarkan
perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang
memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody
non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS
(Rohani, 2005). Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis
DBD dan DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary
eterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE). Da lam

14

teori

atau

hipotesis

infeksi

sekunder

disebutkan,

bila

seseorang

mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi
proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk
jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi
sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi
yang be- rat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada
infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue
serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung
membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi,
selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL-6, tumor necrosis
factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); aki- batnya
akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha
akan menyebabkan kebocoran dind- ing pembuluh darah, merembesnya
cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel
pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui
dengan jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk
akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan
bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran
plasma (syock hipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang
lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke
anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue
pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing

yang

akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan


IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF (Soegijanto, 2003).
P

ada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap

jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh
virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat
menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik
im- munoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD
dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3 (Soegijanto, 2003).

15

elain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang

pathogenesis

DBD, diantaranya adalah teori virulensi virus yang

mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2,


DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus
fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori
antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD
terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan
kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD,
terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat
menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan
mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada
teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi virus
dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL12, TNF dan lain-lain, yang bersa- ma endotoksin bertanggungjawab pada
ter- jadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler
(Soegijanto, 2003).
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya
dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat
kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menyebabkan kematian karena in- feksi virus; kematian yang terjadi lebih
disebabkan oleh gangguan metabolik (Soegijanto, 2003).
F. Manifestasi Klinis
Ciri-ciri yang terdapat pada penderita penyakit DBD adalah
demam yang muncul secara tiba-tiba, biasanya berlangsung selama 2
hingga 7 hari, dan banyak lagi tanda dan gejala yang tidak spesifik.
Pada fase akut serangan penyakit ini, agak sukar untuk membedakan DBD
dengan demam Dengue yang biasa dan penyakit-penyakit lain yang
terdapat di negara tropikal. Tidak ada tanda patognomonik untuk penyakit
DBD pada fase akut (Pratiwi D.S., 2009).
Penderita DBD biasanya dikenal dengan gejala bintik-bintik atau
ruam merah pada kulit yang apabila diregangkan malah terlihat lebih jelas
bintik-bintiknya. Hal itu memang telah menjadi salah satu tanda bahwa

16

seseorang itu telah digigit nyamuk Aedes aegypti (Departemen Kesehatan


RI, 2005 dalam Pratiwi D.S., 2009). Berikut adalah beberapa gejala DBD
agar kita lebih berwaspada dan berupaya untuk menanganinya:
1. Demam
DBD dimulai dengan demam tinggi secara tiba-tiba yang terusmenerus berlangsung selama 2 hingga 7 hari. Pada hari ke-3, panas
mungkin turun yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7
mendadak turun. Jika suhu tubuh tetap tinggi setelah hari ke-3, tes
darah dianjurkan untuk dilakukan karena jika penderita tidak ditangani
dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 7 hari, penderita dapat
meninggal dunia.
2. Tanda-tanda perdarahan
Perdarahan dapat terjadi disemua organ berupa Uji Torniquet
(Rumple Leede) positif, petekie, purpura, ekimosis, perdarahan
konjungtiva, epistaksis, gusi berdarah, hematemesis, melena, dan
hematuri. Untuk membedakan petekie dengan bekas gigitan nyamuk,
regangkan kulit, jika bintik merah pada kulit tersebut hilang maka
bukan petekie. Petekie sering ditemukan terutama pada hari-hari
pertama demam. Jika terdapat 10 atau lebih petekie pada kulit seluas 1
inci persegi (2,5 cm x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar)
dekat lipat siku (fossa cubiti), maka Uji Torniquet dikatakan positif.
3. Pembesaran hati (hepatomegali)
Selalunya ditemukan pada permulaan penyakit. Pembesaran hati tidak
sejajar dengan tingkat keparahan penyakit dan sering ditemukan nyeri
tekan tanpa disertai ikterus.
4. Renjatan (shock)
Antara tanda-tanda renjatan adalah seperti kulit teraba dingin dan
lembap terutama pada ujung-ujung ekstremitas. Selain itu penderita
menjadi gelisah, sianosis di bibir, nadi cepat, lemah, kecil sampai tidak
teraba dan penurunan tekanan darah, sistolik bisa menurun hingga di
bawah 80 mmHg. Renjatan disebabkan karena perdarahan, atau karena

17

kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang


terganggu.
5. Trombositopeni
Penderita dikatakan mengalami trombositopeni jika jumlah trombosit
3
kurang daripada 100.000/mm dan biasanya ini ditemukan di antara
hari ke-3 hingga 7 sakit. Pemeriksaan ulang perlu dilakukan
sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau
menurun.

Pemeriksaan

dilakukan

pada

saat

pasien

diduga

menderita DBD, bila normal maka diulang tiap hari sampai suhu turun.
6. Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
Pemeriksaan hematokrit secara teratur perlu dilakukan karena penderita
DBD selalunya mengalami peningkatan hematokrit yang merupakan
tanda terjadinya perembesan plasma. Pada umumnya peningkatan
hematokrit didahului oleh penurunan trombosit.
7. Gejala klinis lain
Gejala klinis lain seperti nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah,
sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang. Pada beberapa kasus
terjadi hiperpireksia yang disertai kejang dan penurunan kesadaran
sehingga sering didiagnosis sebagai ensefalitis. Keluhan sakit perut
yang hebat seringkali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal
dan renjatan (Departemen Kesehatan RI, 2005 dalam Pratiwi D.S.,
2009).
G. Penegakan Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO (1997) yang dikutip oleh Chen K. et al.
(2009), diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya
bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung
positif;

petekie,

ekimosis,

atau

purpura;

perdarahan

mukosa;

hematemesis dan melena


3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
18

a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur


dan jenis kelamin.
b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingka n dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
5. Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997 dalam Chen K.
et al., 2009), yaitu:
a. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
b. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
dan perdarahan lain.
c. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab,
tampak gelisah.
d. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
H. Penatalaksanaan
Masih tidak ada pengobatan yang bisa memendekkan jangka
waktu demam Dengue, DBD

ataupun sindrom renjatan Dengue

(Dengue Shock Syndrome). Obat yang diberikan hanyalah simptomatik,


yaitu obat penurun panas (antipiretik) dan obat tahan sakit (analgetik)
untuk nyeri otot dan nyeri kepala. Cairan diberi secara intravena untuk
mengelakkan penderita daripada komplikasi dehidrasi. Transfusi darah
mungkin diperlukan jika berlaku perdarahan yang berat. Oksigen perlu
diberikan kepada penderita yang mengalami renjatan (shock) (Gale
Encyclopedia of Medicine, 2008).
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas
adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan
(Depkes RI, 2001). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan keluarga jika
ada salah satu atau lebih anggota keluarganya diduga DD atau DBD yakni
19

memberi minum sebanyak-banyaknya dengan air yang sudah dimasak


seperti air susu, teh atau oralit. Untuk menurunkan demam, beri
kompres air dingin atau air es dan berikan obat penurun panas
(misalnya parasetamol) dengan dosis untuk anak-anak sebanyak 10-20
mg/kg dalam 1 hari dan untuk dewasa 3x1 tablet tiap hari. Setelah itu
jangan lupa dibawa segera ke dokter atau petugas puskesmas pembantu
atau bidan desa atau perawat atau ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat
(Depkes RI, 1995).
I. Pencegahan
Masyarakat umumnya memilih fogging atau penyemprotan sebagai
cara untuk memberantas penyakit DBD. Padahal untuk melakukan fogging
tersebut diperlukan beberapa prosedur yang sulit yang melibatkan Rumah
Sakit terdekat. Hal ini karena fogging yang terlalu sering tidak baik untuk
kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2005 dalam Pratiwi D.S., 2009).
Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dengan fogging (pengasapan) pada
mulanya dianggap oleh masyarakat sebagai cara yang paling tepat untuk
mengatasi masalah penyakit demam berdarah. Hal tersebut ternyata tidak
selalu benar, karena pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dengan metode
ini hanyalah bertujuan untuk membunuh nyamuk dewasa yang infektif,
yaitu nyamuk yang di dalam tubuhnya telah mengandung virus Dengue
dan siap menularkan pada orang lain. Sedangkan cara mengatasi /
mencegah terjangkitnya penyakit Demam Berdarah Dengue yang paling
penting

adalah

menanamkan pengetahuan terhadap masyarakat, agar

masyarakat berperilaku hidup sehat, yaitu menjaga kebersihan lingkungan


yang dapat menjadi sarang & tempat berkembangbiaknya vektor penyakit
termasuk nyamuk Aedes aegypti. Hal ini dilakukan untuk memutus rantai
penularan penyakit, yaitu memutus mata rantai perkembangbiakan jentik
nyamuk menjadi nyamuk dewasa (Kusumawati Y. et al., 2007).
Gerakan 3M merupakan salah satu cara untuk memberantas nyamuk
Aedes aegypti, yaitu dengan memberantas jentik-jentiknya di tempat
berkembangbiaknya.

Setiap

keluarga

harus

melaksanakan 3M ini

sekurang-kurangnya sekali seminggu secara teratur karena kebanyakan

20

tempat membiaknya adalah di rumah-rumah dan tempat- tempat umum.


Tindakan yang dilakukan antaranya adalah menguras bak mandi
sekurang-kurangnya

seminggu

sekali,

menutup

rapat-rapat

tempat

penampungan air, mengganti air vas bunga atau tanaman air seminggu
sekali, mengganti air tempat minum burung, menimbun barang-barang
bekas yang dapat menampung air, menabur bubuk abete atau altosid pada
tempat-tempat penampungan air yang sulit dikuras atau di
yang

air

bersih

sulit

didapat

sehingga

daerah

perlu penampungan air

hujan, dan memelihara ikan di tempat-tempat penampungan air


(Kusumawati Y. et al., 2007).
Sejak kebelakangan ini, cara terefektif untuk memberantas DBD
selain 3M adalah melalui PSJN (Pemberantasan Sarang Jentik dan
Nyamuk). Upaya dalam menerapkan PSJN ini ditempuh dengan beberapa
cara di antaranya adalah melalui pemberdayaan masyarakat dengan
pembinaan ratusan Kader Wamantik (Siswa Pemantau Jentik) dan
Bumantik (Ibu Pemantau Jentik) yang bertugas memantau 10 rumah di
sekitarnya menyangkut keberadaan jentik di rumah mereka, tidak lupa
juga memberikan penyuluhan. Selain itu ikanisasi, abatesasi (temephos),
dan fogging dengan syarat dan persetujuan dari Rumah Sakit sekitar
(Departemen Kesehatan RI, 2005 dalam Pratiwi D.S., 2009).
J. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit demam berdarah dengue menurut Kristina, dkk
(2004) diantaranya:
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan

dengan

perdarahan.

Ensefalopati

dengue

dapat

menyebabkan kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen,


dapat juga disertai kejang.
2. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal
maka setelah syok diobati dengan mengganti volume intravascular.

21

3. Udem Paru
Udem paru merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat
pemberian cairan yang berlebihan.
K. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya
antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD,
kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan
penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus.
Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal
dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak yang
disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead,
2007).

BAB IV
KESIMPULAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit akibat infeksi virus
Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri-ciri demam
tinggi mendadak yang disertai manifestasi perdarahan dan mempunyai tendensi
untuk menimbulkan renjatan (shock). gejala DBD diantaranya demam, tandatanda

perdarahan,

pembesaran

hati

(hepatomegali),

renjatan

(shock),

trombositopeni, hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), dan gejala klinis


lain seperti nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau
konstipasi, dan kejang. Obat yang diberikan hanyalah simptomatik, yaitu obat
penurun panas (antipiretik) dan obat tahan sakit (analgetik) untuk nyeri otot dan
nyeri kepala. Cairan diberi secara intravena untuk mengelakkan penderita
daripada komplikasi dehidrasi. Komplikasi dari penyakit demam berdarah
dengue diantaranya ensefalopati dengue, kelainan ginjal, dan udem paru.
22

DAFTAR PUSTAKA
Chen K., Pohan H.T., Sinto R., 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam
Berdarah Dengue. Medicinus 22 (1): 3-7.
Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Naskah lengkap,
pelatihan bagi dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam
pada tata laksana kasus DBD. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indone- sia; 1999.
Fathi, Keman S., Wahyuni C.U., 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku
Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal
Kesehatan Lingkungan 2 (1): 1-10.
Gale Encyclopedia of Medicine, 2008. Dengue Fever. The Free Dictionary by
Farlex.
Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue
Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural Resources
Defense Council Issue Paper; 2009.
Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al.
Kinetics of Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and
Subclasses Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbio. 2001;Vol. 39 4332-8.
Kurane

I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on


Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology &
Infectious Disease. 2007; Vol 30:329-40.

Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggu- langan Demam Berdarah Dengue Di


Indo- nesia. Jakarta: Depkes R.I; 2005
Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun
2009 dan Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010
Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah
Dengue. In: Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. . 2004. p. hal
1-9.
Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Indo- nesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No.3: hal . 12-29
Malavinge G, Fernando S, Senevirante S.Dengue
Viral
Postgraduate Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601

Infection.

Pratiwi D.S., 2009. Demam Berdarah Dengue, Cara Mencegah dan


Menanggulanginya. Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Rohani A, Zamree I, Lee HL, I M. Detec- tion of Transovarian Dengue for Field
Caught Aedes aegypti and Aedes albopic- tus Mosquitoes Using C6/36
Cool Line Culture and RT-PCR. Institue for Medical Research press.
Kuala Lumpur; 2005.

Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit


Demam Berdarah Dengue (DBD) di Keca- matan Bukit Raya Kota
Pekanbaru. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
Setiati T.E., Wagenaar J.F.P., Kruif M.D.D., Mairuhu A.T.A., Gorp E.C.M.V.
and Soemantri A., 2006. Changing Epidemiology of Dengue
Haemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Bulletin 30: 1-14.
Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperana MA, Terzian ACB, Nogueira
ML. Risk Factors for Dengue Virus Infec- tion in Rural Amazonia:
Population-based Cross-sectional Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008;
Vol 79 (4): p. 48594.
Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan
Prevalensi di Masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 Tahun
Pendidikan Dokter di FK Unair; Surabaya; 2003
Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah
Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopic- tus (Skuse)
(Diptera:Culicidae). Pertemuan Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis
2008 Universitas Udayana; 3-6 September 2008; Denpasar: Universitas
Udayana Denpasar
U.S.D.T. International Travel and Trans- portation Trends. Washington D. C.:
Bu- reau of Transportation Statistics of U.S. Department of
Transportation; 2006.
Yong Y.K., Chong H.T., Tan C.T., Devi S., 2006. Rapid Detection,
Serotyping and Quantitation of Dengue Viruses By TaqMan RealTime One-Step RT-PCR. Journal of Virological Methods 138: 123-130
World Health Organization, 2004. Indonesia
WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
New Edition. Geneva: World Health Organiza- tion; 2009
Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of
Inter- national Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90

Anda mungkin juga menyukai