Anda di halaman 1dari 22

Diagnosis Diabetes melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar,glukosa darah.


Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (Whole Blood), vena ataupun kapiler
tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan
pemantauan

hasil

pengobatan

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. ( Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam,2009)
Cara Mendiagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut
dibawah ini :
Keluhan klasik DM berupa:

Poliuria, polldipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan sebabnya.


Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :


a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka dilakukan pemerik saan
glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM.
b. Dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah
dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga
pemeriksaan dianjurkan untuk diagnosis DM.

c. Dengan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Meskipun TTGO


dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding
dengan dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-utang
dan dalam praktik sangat jarang dilakukan.

Langkah diagnostik DM dan TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) dapat


dilihat pada gambar berikut:

Kriteria diagnosis DM:

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal dan DM, maka di
golongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang diperoleh.
TGT

Diagnosis TGT bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma

GDPT

2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L


Diagnosis GDPT ditegakan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L

Adapun Cara pelaksanaan TTGO (WHO ,1994) yaitu sebagai berikut :


1. 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohirat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaaan
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram ( orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250mL dan diminum dalam waktu 5
menit.

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan


2 jam setelah minum larutan glukasa selesai.
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2(dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap lstirahat dan
tidak merokok.
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mernpunyai risiko DM
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM.. Pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, Maupun GDPT,
sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT
juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju
DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular di kemudian hari.(Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam,2009)
Pemenksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu
faktor risiko DM. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan
kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada
pemeriksaan penyaring ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan
konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa atau dengan TTGO
standard.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak
diikuti dengan rencana tindak. lanjut bagi mereka yang ditemukan adanya
kelainan. Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat
pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Kadar GDS dan GDP sebagal patokan penyaring dapat dilihat pada tabel
berikut :

Bukan DM

Belum pasti DM

DM

Plasma vena

< 100

100 - 200

>200

Darah kapiler

<80

80 - 200

>200

Plasma vena

<110

110 - 126

>126

Darah kapiler

<90

90 110

>110

Kadar GDS

Kadar GDP

Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan


hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa
faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Penatalaksanaan
Tujuan Penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penyandang diabetes.
Tujuan Penatalaksanaan

Jangka pendek : Menghilangkan keluhan dan tanda DM,


mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian

glukosa darah.
Jangka panjang : Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.


Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.(Kasper.et
al,2008)

Langkah-langkah Penatalaksanaan Diabetes


Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama meliputi :
a. Riwayat penyakit
Gejala yang timbul
Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah,

termasuk A1C dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM.


Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya ataupun yang sedang
dijalan secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan
yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta

kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan.


Riwayat komplikasi akut, Riwayat infeksi sebelumnya, Riwayat

penyakit dan pengobatan diluar DM


Faktor risiko ,Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan,status
ekonomi,

Kehidupan

seksual,

penggunaan

kontrasepsi

dan

kehamilan. Faktor terkait lainnya


b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang.
Pengukuran tekanan darah termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi
ortostatik serta angkle brachial index (ABI) untuk mencari

kemungkinan penyakit pembuluh darah tepi.


Pemeriksaan organ lain terkait dengan manifestasi dan komplikasi

diabetes melitus.
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

c. Evaluasi Laboratorium dan Penunjang Lain


Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
A1C
Profil
lipid
pada
keadaan
puasa

(kolesterol

total,

HDL,LDL,trigliserida)
Kreatinin serum, Albuminuria, Keton, sedimen dan protein dalam
urin

Elektrokardiogram dan Foto sinar-x dada

d. Tindakan Rujukan
Sistem rujukan perlu dilakukan pada seluruh pusat pelayanan
kesehatan

yang

memungkinkan

dilakukan

rujukan.

Rujukan

meliputi :
Ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut.
Rujukan untuk terapi gizi medis sesuai indikasi.
Rujukan untuk edukasi kepada edukator diabetes
Rujukan kepada perawat khusus kaki (poodiatrist), spesialis
perilaku (psikolog) atau speslalis lain sebagai bagian dari
pelayanan dasar dan sesuai kebutuhan
Evaluasi medls secara berkala :

Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam

sesudah makan atau pada waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan.


Pemeriksaan AlC dilakukan setiap (3-6) bulan.
Secara berkala dilakukan pemeriksaan jasmani dan lab terkait.

Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan
disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu).
Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran
metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obatobat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi
Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri,tanda dangan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri setelah mendapat pelatihan khusus, yiatu melalui(American
Diabetes Association,2000) :
1. Edukasi

DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang
pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemi serta
cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantaun kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri setelah mendapat pelatihan
khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterilbatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
dan pasien itu sendiri).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan. Untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
2. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani


yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti:
jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat
dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
3. Intervensl Farmakologls
Intetvensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukoia darah
belum tercapal dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani.
a.

Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :

Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.


Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion.
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Penghambat absorpsl glukosa : penghambat glukosidase alfa
DPP-IV Inhibitor

Kegagalan pengendalian hiperglikemi pada DM setelah melakukan


perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat
mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit menghambatnya.
Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang umumnya
mempuyai latar belakang kelainan yang diawali dengan resistensi insulin.
Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan kelainan DM secara
klinis. Pada saat tersebut sel beta pancreas masih dapat mengkompensasi
keadaan ini dan terjadi hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau
baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta

pancreas, baru akan terjadi DM secara klinis, ditandai dengan peningkatan


kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria DM.
Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam mengelola
DM tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung
pada fase mana diagnosis DM ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan yang
terjadi pada saat tersebut seperti:

Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati


Kenaikan produksi glukosa oleh hati
Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas

Macam-macam obat anti hiperglikemik oral


1. Golongan insulin sensitizing
Biguanid
Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin terdapat
dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak dometabolisme, tapi
secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut,
maka metformin diberikan 2-3x/hari kecuali dalam bentuk extended
release. Pengobatan dengan dosis maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%.
Efek samping yang terjadi adalah asidosis laktat, dan sebaiknya tidak
digunkaan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (creatinin >1,3
mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan
fungsi hati dan gagal jantung, serta harus diberikan dengan hati-hati pada
lansia.
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
juga diduga menghambat absorbsi glukosa di usus seusai makan. Setelah
diberikan peroral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah
setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh.
Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak
menyebabkan hipoglikemi, sehingga tidak dinyatakan sebagai obat

hipoglikemik, tapi sebagai obat anti hiperglikemik. Pada keadaan tunggal


metformin dapat menurunkan kadar

glukosa darah sampai 20% dan

konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak
menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada penggunaan sulfonilurea.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan
sejak awal pengelolaan diabetes dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang
kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau
sulfonilurea sampai dosis maksimal.
Efek samping gastrointestinal sering ditemukan pada pemakaian awal
metformin dan bisa dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan
dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan.
Efektivitas insulin menurunkan kadar glukosa pada orang gemuk
sebanding dengan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi
insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid,
maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan DM pada
orang gemuk dengan dislipidemi dan resistensi insulin berat merupakan
pilihan pertama.
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat
yang juga memiliki efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas
insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral, kimiawi maupun fungsional
tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon
dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl
dan A1c 1,4-2,6% dibanding dengan plasebo.
Mekanisme kerja. Glitazon merupakan

agonist

peroxisome

proliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan


poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di dalam jaringan target kerja
insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada
organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit
dan kerja insulin.

Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat


memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia (GLUT-1,
GLUT-4, dll) selain itu dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan
mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin, dll.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi
setelah 1-2 jam dan makanan tidak tidak mempengaruhi farmakokinetik
obat ini.
Penggunaan dalam klinik.. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat
digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan metformin dan
sekretagok insulin.

2. Golongan sekretagok insulin


Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi
sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan DM dimulai. Terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
sudah terjadi gangguan sekresi insulin.
Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Bila sulfonilurea terikat pada reseptor channel tersebut, maka akan terjadi
penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan
permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan
membuka channel Ca tergantung voltase, dan penyebabkan peningkatan
Ca intrasel, ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan
eksositosis granul yang mengandung insulin.

Golongan ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk


melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu hanya bermanfaat pada
pasien yang masih dapat mengeluarkan insulin.
Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih obat
yang masa kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja
panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua,
hipoglikemi juga sering terjadi pada pasien gagal ginjal, gangguan fungsi
hati berat dan pasien dengan asupan makanan yang kurang dan jika
digunakan bersama obat sulfa.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar (36%)
daripada glukosa setelah makan (21%).Penggunaan dalam klinik. Pada
pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk menghindari kemungkinan hipoglikemi.Dosis permulaan tergantung
pada beratnya hiperglikemi. Bila konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dl
sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi bertahap setelah 1-2
minggu sehingga tercapai kadar GDP 90-130 mg/dl. Bila GDP >200 mg/dl
bisa diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
jam sebelum makan karena diserap dengan baik. Pada obat yang diberikan
satu kali setiap hari sebaiknya diberikan saat makan pagi atau saat makan
porsi besar.Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada
insulin sendiri dan dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah.
Glinid
Kerjanya melalui reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan struktur
dengan sulfonilurea namun berbeda efeknya. Repaglinid dan nateglinid
keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati hingga diberikan 2-3 x/hari.
Repaglinid bisa menurunkan kadar glukosa darah puasa mesk masa
paruhnya singkat karena menempel pada reseptor sulfonilurea. Nateglinid
mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan tidak menurunkan kadar

glukosa darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok yang khusus


menurunkan kadar glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang
minimal. Kekuatan untuk menurunkan kadar A1c tidak begitu kuat.
3. Penghambat alfa glukosida
Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna
sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurukan
hiperglikemi postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak
menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang
terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus
halus. Sebagai monoterapi tidak dapat merangsang sekresi insuli dan tidak
menyebabkan hipoglikemi. Efek samping pada GI tract seperti
meteorismus, flatulence dan diare.
Penggunaan dalam klinik bisa digunakan sebagai monoterapi atau
kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Untuk
efek maksimal, obat harus diberikan segera saat makan utama. Monoterapi
dengan acarbose menurunkan rata-rata glukosa postprandial 40-60 mg/dl
dan GDP10-20 mg/dl, A1c sebesar 0,5-1%. Dengan terapi kombinasi
dengan sulfonilurea, metformin atau insulin, acarbose bisa menurunkan
lebih banyak A1c sebesar

0,3-0,5% dan rata-rata glukosa post prandial

20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.


4. DPP-IV Inhibitor
Glucagon like-peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon
peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini di
sekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam
saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan
insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptydil peptidase-

4 (DPP-4) menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.


Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2 sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasional. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 atau
memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1
agonis).

Ringkasan penggunaan OHO yaitu :

No.

Golongan

Mekanisme kerja

Dosis dan sediaan

ES-KI

1.

Sulfonil urea-

Insulin secretagous

S:2,5-5mg/tab

ES:hipoglikemi

Glibenclamid

: ATP-sensitive K

DH:2,5-15mg

KI:pasien hepar&

channel

LK:12-24jam

ginjal

F:1-2x/hari AC
2.

Meglitinid-

SD no.1, t 1 jam

Repaglinid

S:1mg/tab

SD no.1, ES: ggn GI

DH:1,5-6mg
LK:F:3x/hariAC

3.

Biguanid-

Prod glukosa

Metformin

hepar dan sens.

S:500-850mg

ES: gjala GI

Jar otot& adiposa


thdp insulin

DH:250-3000
LK:6-8jam

KI: hamil, pasien


hepar, c, ginjal, ph.

F:1-3x/hari
PC/bersama mkn
No.

Golongan

Mekanisme kerja

Dosis dan sediaan

ES-KI

4.

Tiazolidinedion

Mengaktifkan

S:15-30mg/tab

ES: BB, edema

- pioglitazone

PPAR-g, terbentuk

DH:15-45mg

KI:ggal jtg 3-4

GLUT baru

LK:24 jam
F:1x sehari
5.

Penghambat -

Mengurangi

glikosidase

absorbsi glukosa di

(acarbose)

usus halus

S:50-100mg

ES: kembung, flatulens

DH:100-300mg
LK:F:3x bersama
suapan I

6.

DPP-IV

Menghambat kerja

Inhibitor

DPP-IV- GLP

(vildagliptin)

meningkat

S:50 mg/tab

DH:50-100mg

Obat mahal

LK:12-24 jam
F:1-2x
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
optimal.
b. Suntikan

1. Insulin
Pemberian Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat.


Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
Ketoasidosis diabetic, Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik dan

Hiperglikemia dengan asidosis laktat.


Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal.
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke).
Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan.


Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat atau Kontra indikasi dan
atau alergi terhadap OHO.

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis, yaitu:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).


Insulin kerja pendek (short acting insulin.)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin).
Insulin kerja panjang (long acting Insulin).
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin, sebagai berikut :

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.


Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin
yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Memulai alur pemberian insulin

Pada pasien DM tipe 1 terapi insulin dapat diberikan segera setelah


diagnosis ditegakkan. Pada pasien ini terapi yang dianjurkan adalah injeksi
harian multipel untuk mencapai kendali kadar glukosayang baik. Selain itu

pemberian bisa juga dilakukan dengan pompa insulin.


Menurut PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006,
sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik
(A1c>6,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah

ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan
insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin, yaitu:

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi


prandial. terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi

insulin yang fisiologis.


Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiens insulin basal menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi

insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.


Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi. Terapi insulin dapat diberikan
secara tunggal (satu macam) berupa : Insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (Short acting), kerja menegah (intermediate
acting), kerja panjang (long acting) atau insulin campuran

tetap(premixed insulin).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu terhadap insulin, yang

dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.


Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4
unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.

Cara penyuntikan Insulin sebagai berikut :

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan dibawah kulit


(subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan
permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular

atau intravena secara bolus atau drip.


Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin
kerja pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis

tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut


atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik
lengkapnya pencampuran dan lainnya dapat dilihat dalam buku
panduan tentang insulin.

Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan
dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek lainnya adalah menghambat penglepasan
glukagon. Pada binatang percobaan,obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel beta pankreas. Efek sampingnya antara lain rasa sebah dan

muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin

kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti diatas kadar glukosa darah sepanjang hari
masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan
diberikan insulin saja.
Penilalan Hasil terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah yaitu :

Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai.


Untuk melakukan penyesualan dosis obat, bila belum tercapai

sasaran terapi.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam postprandial secara
berkala sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal
terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2
jam post prandial.

b. Pemeriksaan

A1C

(Tes

hemoglobin

terglikosilasi

gllkohemoglobin / hemoglobin glikosilasi)


A1C merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat

digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.


Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam
setahun.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah
kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa
darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah
dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai
alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan
dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara
standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan
reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi paslen dengan pengobatan insulin atau
pemicu sekresi insulin.
d. Pemeriksaan glukosa urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak
langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau
tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa
renal rata-rata sakitar 180 mg/dL, dapat bervariasl pada beberapa
paslen, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama.
Hasil pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak
dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
4. Penentuan benda keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali
buruk (kadar glukosa darah > 300mg/dL). Pemeriksaan benda
keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang
hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,

sementara benda keton yang penting adalah asam beta


hidroksibutirat. Kadar asam beta hidroksibutirat darah < 0,6
mmol/L dianggap normal, diatas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD (Keto Asidosis
Diabetik). Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton
secara mandiri dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes,
khususnya KAD.

American Diabetes Association. Medical Management of type 2 Diabetes.ADA


Clinical Series. American Diabetes Association.1998
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Kasper, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine 1th edition. McGrawHill Medical Publishing Division. 2008
Farmakologi dan terapi FKUI. Edisi 5. 2009
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes
Mellitus di Indonesia, PB. PeRKENI. Jakarta 2010
Perkumpulan endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes
Mellitus tipe 2. PB.PERKENI Jakarta. Editor : S. Soegondo, P.Soewondo,
I.Subekti dkk.PB.PERKENI.Jakarta 2002

Anda mungkin juga menyukai