Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak masalah

yang

sering

dikeluhkan

oleh

konsumen

jasa

perbankan. Pertama, pengaduan soal produk perbankan, seperti ATM (Automatic


Teller Machine), Kartu Kredit, dan aneka ragam jenis tabungan, termasuk keluhan
produk perbankan terkait dengan janji hadiah dan iklan produk perbankan. Kedua,
pengaduan soal cara kerja petugas yang tidak simpatik dan kurang profesional
khususnya petugas service point, sepertiteller, customer service, dan satpam.1
Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum
bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara
pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.2
Sedangkan dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku
konsumen antara lain adalah dengan diintrodusirnya Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu sebagai badan hukum
yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan,
melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya. Konsumen jasa
perbankan dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam kontek Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
1 Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 19-20.
2 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
1

tentang perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan
nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya
pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam
Peraturan Bank Indonesia ( PBI )
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2. Apa resiko yang timbul dalam hubungan antara bank dan nasabah sebagai
penyimpan dana ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen Ditinjau dari


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu : pertama, nasabah
deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk
giro, tabungan dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau
pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan
sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank
(walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di
luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C).3
UUPK bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di
Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK pada dasarnya telah ada beberapa peraturan
perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal
202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949),
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella
act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan
perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap
konsumen.4
Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan
menjadi urgen, karena secara faktual kedudukan antara para pihak seringkali tidak

3 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, hal 32-33.
4 Erman Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju, hal
vl.
3

seimbang. Perjanjian kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang


seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah
menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining
position) dalam hal ini adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).
Formulir pembukaan rekening yang dibuat standard dan secara sepihak tersebut biasanya
didikenal dengan sebutan perjanjian standar atau klausul baku. Secara sederhana, perjanjian
standar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :5
1. Dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha yang dalam banyak hal posisinya relative
lebih kuat dari konsumen.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan bersifat massal.
4. Konsumen terpaksa menerima karena disorong oleh kebutuhan.
Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada bank
sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah
debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masingmasing.6
Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit/pembiayaan. Dalam memberikan perlindungan
terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisir sehingga
dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Di sisi lain pengadilan yang merupakan
pihak ketiga dalam mengatasi perselisihan antara bank dengan nasabah debitur dapat menilai

5 Sudaryatmo, dkk, 2003, Konsumen Menggugat, Jakarta: Penerbit Piramedia, hal 85.
6 Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
Bermasalah, Bandung: PT. Revika Aditama, hal 47.
4

apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai dengan yang
disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.7
Keberatan-keberatan terhadap perjanjian standar antara lain adalah karena: (1) Isi
dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak, (2) Tidak mengetahui isi dan
syarat-syarat perjanjian standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat
hukumnya, (3) Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat, (4) Ada unsur terpaksa dalam
menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi
efisiensi.8
Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi substansi UUPK untuk memberikan pengaturan
mengenai ketentuan pencantuman klausula baku, yaitu sebagai berikut:9
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

7 Ibid, hal 47
8 H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi, hal 38.
9 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
5

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung,
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang ini.

Dari ketentuan dalam Pasal 18 dimaksud yang sangat terkait erat dan sering terjadi
dalam perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan oleh bank adalah ketentuan pada ayat
(1) huruf g, yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UUPK, akan tetapi
pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan
kepentingan

nasabah. Hal-hal

yang

harus

diperhatikan

oleh

pihak

bank

untuk

menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena
memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain adalah sebagai berikut:10
1) Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya
klausula-klausula penting dalam perjanjian.
2) Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian
kredit/pembiayaan.
3) Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.
4) Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian.
Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam
hal adanya perjanjian standar mengenai kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening
di bank maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah,
sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.

10 Ibid, hal 42.


7

B. Risiko Yang Dapat Timbul Dalam Kegiatan Usaha Bank Terkait Dengan
Penyimpanan Dana Nasabah Sebagai Konsumen
Terminologi konsumen terlanjur dikenal masyarakat sebagai antonim dari
produsen. Istilah konsumen juga dipakai luas sebagai sebutan untuk semua subjek
yang berhadapan dengan pelaku usaha, termasuk pelaku usaha dalam sektor
perbankan. Sejak era Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Indonesia telah memiliki
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kelahiran
undang-undang ini cukup fenomenal karena dibidani oleh DPR melalui hak
inisiatifnya; sesuatu yang sangat langka pada era Orde Baru. Undang-undang hasil
hak inisiatif DPR ini baru diberlakukan satu tahun sejak diundangkan, yakni pada
tanggal 20 April 2000.
Ada yang menarik dari rumusan tentang kata konsumen dari UndangUndang Perlindungan Konsumen tersebut. Dalam undang-undang ini dikatakan
bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan11.
Terkait dengan relevanasinya dalam tulisan ini, timbul pertanyaan: apakah
setiap orang yang menjadi nasabah penyimpan dalam sektor perbankan dapat
dimasukkan dalam kriteria konsu Jika memperhatikan penjelasan pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dapat diketahui bahwa yang
mendasari pembuat Undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari
kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha.
Walaupun demikian. pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan
perbankan secara lebih professional dalam manajemen usaha (memenuhi fungsi
hukum sebagai a tool of social engineering) sehingga lebih mampu bersaing terutama
11 Ahmadi Miru, 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Raja Grafindo Persada hal.18
8

menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi yang dengan sendirinya juga
untuk kepentiugan pemerintah dalam pembangunan secara berencana. Dalam era
globalisasi bank-bank asing akan bersaing dengan bankbank nasional, termasuk
dengan sesamanya untuk merebut pangsa pasar yang menggiurkan di Indonesia.
Bank-bank asing yang berada di Indonesia akan berusaha memberikan jasa atau
pelayanan yang sebaik-baiknya termasuk men.
Jika definisi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diperhatikan
baik-baik, maka sesungguhnya konsumen yang termasuk dalam lingkup yang
dilindungi undang-undang itu hanyalah konsumen akhir (end consumer atau ultimate
consumer). Konsumen adalah pemakai, baik barang maupun jasa, yang tidak
diperdagangkan kembali. Dalam jasa perbankan, tidak semua nasabah penyimpan
memenuhi kriteria sebagai pemakai (konsumen) akhir ini.
Selain itu, perlu pula diingat bahwa Undang-Undang Perlindungan
Konsumen memiliki fungsi unik sebagai undang-undang payung (umbrella act)
sekaligus sebagai undang-undang sektoral. Dalam fungsinya sebagai undang-undang
payung, ia dapat digunakan untuk melingkupi undangundang lain, termasuk UndangUndang Perbankan dan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Dengan
perkataan lain, sebagai undang-undang payung, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dapat memposisikan diri sebagai undang-undang umum (lex generalis)
terhadap undang-undang lain yang lebih khusus (lex specialis). Penafsiran tentang
lex generalis dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen atas undang-undang
sektor perbankan antara lain dapat ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
Dalam ilmu hukum dikenal satu asas penting bahwa undang-undang khusus
dapat mengenyampingkan undang-undang umum (lex specialis derogat legi
generali). Jadi, sebenarnya Undang-Undang Perbankan atau Undang-Undang
Lembaga Penjamin Simpanan dapat saja mencantumkan secara eksplisit aturan yang
9

mengecualikan keberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk jenisjenis simpanan yang tidak terkait dengan kepentingan konsumen akhir. Namun,
tampaknya upaya demikian sangat menguras energi mengingat perubahan atas suatu
undang-undang bukan pekerjaan mudah di negeri ini.
Solusi dan antisipasi yang lebih baik adalah dengan menerbitkan suatu
klausula dalam perjanjian-perjanjian standar di lingkungan perbankan, yang di
dalamnya dinyatakan bahwa nasabah penyimpan adalah konsumen sepanjang yang
bersangkutan merupakan konsumen pemakai akhir jasa perbankan menurut
ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pernyataan dalam klausula ini
tidak dimaksudkan agar bank atau LPS mengelak dari tanggung jawabnya
melindungi nasabah penyimpan, tetapi lebih untuk meluruskan kriteria konsumen
yang terlanjur dipahami secara salah kaprah dalam masyarakat, termasuk di
lingkungan aparat penegak hukum sendiri. Ini berarti, penyedia jasa sektor
perbankan dan LPS harus tetap menghormati hak-hak konsumennya, dan UndangUndang Perlindungan Konsumen pun tetap dapat menyentuh sektor perbankan, tetapi
tidak semua nasabah penyimpan layak menyebut dirinya sebagai konsumen akhir
yang tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Akta Kesepakatan dapat memuat kesepakatan menyeluruh, kesepakatan
sebagian atau tidak tercapainya kesepakatan atas kasus yang disengketakan. Untuk
lebih mengefektifkan program-program perlindungan nasabah di atas diperlukan
suatu upaya yang sifatnya berkelanjutan melalui pelaksanaan edukasi masyarakat
mengenai hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank selain hal penting
lainnya seperti pengenalan produk keuangan dan perbankan. Edukasi masyarakat
yang akan dilakukan Bank Indonesia pada dasarnya akan diarahkan untuk
memberdayakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan (financial

10

literacy) untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu


merencanakan keuangannya secara bijaksana.
Dalam hal ini edukasi masyarakat diharapkan tidak hanya memberikan
peningkatan pemahaman mengenai produk keuangan dan perbankan namun juga
diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan taraf hidup masyarakat
melalui perencanaan keuangan yang tepat. Mengingat faktor keragaman yang ada di
masyarakat, maka pelaksanaan edukasi tidak dapat dilakukan hanya dengan
mendasarkan pada asumsi-asumsi semata tetapi diperlukan perencanaan yang matang
berdasarkan data dan fakta agar programprogram edukasi dapat memenuhi
kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam tersebut. Oleh karena itu,
perolehan informasi dan analisis yang komprehensif mengenai kebutuhan dan
strategi saat ini Bank Indonesia sedang melakukan survey untuk melakukan
pemetaan kebutuhan edukasi berdasarkan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
faktor geografis, dan faktor domisili (desa & kota).
Hasil pemetaan ini nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk penetapan
strategi dan implementasi edukasi jangka pendek, menengah dan panjang serta
dimanfaatkan pula untuk sebagai dasar pembentukan kerangka kerja Forum Edukasi
Masyarakat yang diharapkan dapat dibentuk dalam beberapa waktu kedepan. Forum
Edukasi Masyarakat yang keanggotaannya direncanakan dapat merangkul berbagai
lembaga dan instansi pemerintah diharapkan dapat menjadi forum koordinasi
pelaksanaan edukasi sekaligus penggerak implementasi strategi edukasi di masingmasing bidang yang menjadi kewenangannya.
Perlindungan nasabah merupakan tantangan perbankan yang berpengaruh
secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu menjadi
tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk menciptakan
standar yang jelas dalam memberikan perlindungan kepada nasabah terhadap akibat
yang timbul dari kegiatan usaha bank.

Nasabah merupakan konsumen dari


11

pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu


tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Bank
wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif baik untuk Bank secara
individual maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, yang
paling kurang mencakup 4 (empat) pilar yaitu:
a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi
b. Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit;
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko
serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen ditinjau dari UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terletak pada adanya
kewajiban bagi pihak bank untuk mengindahkan tata cara pembuatan klausula baku
baik

bentuk

maupun

substansinya

dalam

hal

pembuatan

perjanjian

kredit/pembiayaan, serta pembukaan rekening bank oleh nasabah.


Pertanggungjawaban bank apabila nasabah mengalami kerugian adalah dengan
menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, untuk
menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan nasabah dilakukan
dengan standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Risiko yang
terdapat dalam perjanjian kredit bank dapat dilihat dari dua sisi yaitu risiko yang
ditanggung oleh bank sebagai kreditur dan risiko yang ditanggung oleh nasabah
12 Husein Umar, 2001, Manajemen Risiko Bisni, Pendekatan Finansial dan Nonfinancial, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hal 97
12

debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa Credit Risk
Strategic Risk, Regulatory Risk Operating Risk, Commodity Risk, Human Resources
Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur antara
lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari perjanjian kredit bank yang
baku (standar) sehingga debitur tidak dapat ikut meneutukan isi perjanjian tersebut.
Kedudukan yang berbeda antara bank dan nasabah debitur yakni dimana bank
memiliki posisi tawar yang lebih kuat jika dibandingkan dengan nasabah debitur
menyebabkan ketidakseimbangan dalam pembuatan perjanjian kredit bank. Hal ini
disebabkan perjanjian kredit bank tersebut dibuat dalam bentuk yang baku (standar)
oleh pihak bank sehingga isi dari perjanjian kredit baku tersebut lebih
menguntungkan pihak bank sedangkan nasabah hanya dapat menerimanya. Bank
dapat memasukkan klausul-kalusul yang menguntungkannya namun merugikan
pihak nasabah debitur seperti klausul eksonerasi yang membebaskan bank sebagai
kreditur dart kewajibannya.Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan
sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu
langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Keberadaan lembaga tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain
karena Indonesia perlu menjamin dan memberdayakan nasabah perbankan dengan
memberikan perlindungan kepada nasabah. Kehadiran mediasi perbankan sangat
penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat
mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa
bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus
tetap terjaga. Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memberikan
manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
B. Saran

13

1. Pihak perbankan dalam hal ini hendaknya dapat bekerjasama dengan lembaga
konsumen atau badan lain yang dianggap bisa mewakili kepentingan nasabah
sehingga secara bersama-sama dapat merumuskan klausula yang memenuhi
kebutuhan para pihak dan tidak melanggar unsur kepatutan demi kepastian
hukum dan sekaligus juga harus diusahakan kesepakatan penafsiran atas
klausa-klausa yang bersangkutan
2. Bank Indonesia sebagai bank yang memiliki otoritas penuh dalam pembuatan
kebijaksanaan hendaknya dapat mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat mengenai adanya hak nasabah untuk mengajukan segala hal yang
merugikannya.

14

Anda mungkin juga menyukai