PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak masalah
yang
sering
dikeluhkan
oleh
konsumen
jasa
tentang perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan
nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya
pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam
Peraturan Bank Indonesia ( PBI )
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan di atas beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2. Apa resiko yang timbul dalam hubungan antara bank dan nasabah sebagai
penyimpan dana ?
BAB II
PEMBAHASAN
3 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, hal 32-33.
4 Erman Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju, hal
vl.
3
5 Sudaryatmo, dkk, 2003, Konsumen Menggugat, Jakarta: Penerbit Piramedia, hal 85.
6 Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
Bermasalah, Bandung: PT. Revika Aditama, hal 47.
4
apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai dengan yang
disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.7
Keberatan-keberatan terhadap perjanjian standar antara lain adalah karena: (1) Isi
dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak, (2) Tidak mengetahui isi dan
syarat-syarat perjanjian standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat
hukumnya, (3) Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat, (4) Ada unsur terpaksa dalam
menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi
efisiensi.8
Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi substansi UUPK untuk memberikan pengaturan
mengenai ketentuan pencantuman klausula baku, yaitu sebagai berikut:9
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
7 Ibid, hal 47
8 H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi, hal 38.
9 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
5
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung,
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang ini.
Dari ketentuan dalam Pasal 18 dimaksud yang sangat terkait erat dan sering terjadi
dalam perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan oleh bank adalah ketentuan pada ayat
(1) huruf g, yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UUPK, akan tetapi
pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan
kepentingan
nasabah. Hal-hal
yang
harus
diperhatikan
oleh
pihak
bank
untuk
menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena
memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain adalah sebagai berikut:10
1) Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya
klausula-klausula penting dalam perjanjian.
2) Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian
kredit/pembiayaan.
3) Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.
4) Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian.
Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam
hal adanya perjanjian standar mengenai kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening
di bank maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah,
sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.
B. Risiko Yang Dapat Timbul Dalam Kegiatan Usaha Bank Terkait Dengan
Penyimpanan Dana Nasabah Sebagai Konsumen
Terminologi konsumen terlanjur dikenal masyarakat sebagai antonim dari
produsen. Istilah konsumen juga dipakai luas sebagai sebutan untuk semua subjek
yang berhadapan dengan pelaku usaha, termasuk pelaku usaha dalam sektor
perbankan. Sejak era Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Indonesia telah memiliki
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kelahiran
undang-undang ini cukup fenomenal karena dibidani oleh DPR melalui hak
inisiatifnya; sesuatu yang sangat langka pada era Orde Baru. Undang-undang hasil
hak inisiatif DPR ini baru diberlakukan satu tahun sejak diundangkan, yakni pada
tanggal 20 April 2000.
Ada yang menarik dari rumusan tentang kata konsumen dari UndangUndang Perlindungan Konsumen tersebut. Dalam undang-undang ini dikatakan
bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan11.
Terkait dengan relevanasinya dalam tulisan ini, timbul pertanyaan: apakah
setiap orang yang menjadi nasabah penyimpan dalam sektor perbankan dapat
dimasukkan dalam kriteria konsu Jika memperhatikan penjelasan pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dapat diketahui bahwa yang
mendasari pembuat Undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari
kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha.
Walaupun demikian. pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan
perbankan secara lebih professional dalam manajemen usaha (memenuhi fungsi
hukum sebagai a tool of social engineering) sehingga lebih mampu bersaing terutama
11 Ahmadi Miru, 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Raja Grafindo Persada hal.18
8
menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi yang dengan sendirinya juga
untuk kepentiugan pemerintah dalam pembangunan secara berencana. Dalam era
globalisasi bank-bank asing akan bersaing dengan bankbank nasional, termasuk
dengan sesamanya untuk merebut pangsa pasar yang menggiurkan di Indonesia.
Bank-bank asing yang berada di Indonesia akan berusaha memberikan jasa atau
pelayanan yang sebaik-baiknya termasuk men.
Jika definisi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diperhatikan
baik-baik, maka sesungguhnya konsumen yang termasuk dalam lingkup yang
dilindungi undang-undang itu hanyalah konsumen akhir (end consumer atau ultimate
consumer). Konsumen adalah pemakai, baik barang maupun jasa, yang tidak
diperdagangkan kembali. Dalam jasa perbankan, tidak semua nasabah penyimpan
memenuhi kriteria sebagai pemakai (konsumen) akhir ini.
Selain itu, perlu pula diingat bahwa Undang-Undang Perlindungan
Konsumen memiliki fungsi unik sebagai undang-undang payung (umbrella act)
sekaligus sebagai undang-undang sektoral. Dalam fungsinya sebagai undang-undang
payung, ia dapat digunakan untuk melingkupi undangundang lain, termasuk UndangUndang Perbankan dan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Dengan
perkataan lain, sebagai undang-undang payung, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dapat memposisikan diri sebagai undang-undang umum (lex generalis)
terhadap undang-undang lain yang lebih khusus (lex specialis). Penafsiran tentang
lex generalis dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen atas undang-undang
sektor perbankan antara lain dapat ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
Dalam ilmu hukum dikenal satu asas penting bahwa undang-undang khusus
dapat mengenyampingkan undang-undang umum (lex specialis derogat legi
generali). Jadi, sebenarnya Undang-Undang Perbankan atau Undang-Undang
Lembaga Penjamin Simpanan dapat saja mencantumkan secara eksplisit aturan yang
9
mengecualikan keberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk jenisjenis simpanan yang tidak terkait dengan kepentingan konsumen akhir. Namun,
tampaknya upaya demikian sangat menguras energi mengingat perubahan atas suatu
undang-undang bukan pekerjaan mudah di negeri ini.
Solusi dan antisipasi yang lebih baik adalah dengan menerbitkan suatu
klausula dalam perjanjian-perjanjian standar di lingkungan perbankan, yang di
dalamnya dinyatakan bahwa nasabah penyimpan adalah konsumen sepanjang yang
bersangkutan merupakan konsumen pemakai akhir jasa perbankan menurut
ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pernyataan dalam klausula ini
tidak dimaksudkan agar bank atau LPS mengelak dari tanggung jawabnya
melindungi nasabah penyimpan, tetapi lebih untuk meluruskan kriteria konsumen
yang terlanjur dipahami secara salah kaprah dalam masyarakat, termasuk di
lingkungan aparat penegak hukum sendiri. Ini berarti, penyedia jasa sektor
perbankan dan LPS harus tetap menghormati hak-hak konsumennya, dan UndangUndang Perlindungan Konsumen pun tetap dapat menyentuh sektor perbankan, tetapi
tidak semua nasabah penyimpan layak menyebut dirinya sebagai konsumen akhir
yang tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Akta Kesepakatan dapat memuat kesepakatan menyeluruh, kesepakatan
sebagian atau tidak tercapainya kesepakatan atas kasus yang disengketakan. Untuk
lebih mengefektifkan program-program perlindungan nasabah di atas diperlukan
suatu upaya yang sifatnya berkelanjutan melalui pelaksanaan edukasi masyarakat
mengenai hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank selain hal penting
lainnya seperti pengenalan produk keuangan dan perbankan. Edukasi masyarakat
yang akan dilakukan Bank Indonesia pada dasarnya akan diarahkan untuk
memberdayakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan (financial
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen ditinjau dari UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terletak pada adanya
kewajiban bagi pihak bank untuk mengindahkan tata cara pembuatan klausula baku
baik
bentuk
maupun
substansinya
dalam
hal
pembuatan
perjanjian
debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa Credit Risk
Strategic Risk, Regulatory Risk Operating Risk, Commodity Risk, Human Resources
Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur antara
lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari perjanjian kredit bank yang
baku (standar) sehingga debitur tidak dapat ikut meneutukan isi perjanjian tersebut.
Kedudukan yang berbeda antara bank dan nasabah debitur yakni dimana bank
memiliki posisi tawar yang lebih kuat jika dibandingkan dengan nasabah debitur
menyebabkan ketidakseimbangan dalam pembuatan perjanjian kredit bank. Hal ini
disebabkan perjanjian kredit bank tersebut dibuat dalam bentuk yang baku (standar)
oleh pihak bank sehingga isi dari perjanjian kredit baku tersebut lebih
menguntungkan pihak bank sedangkan nasabah hanya dapat menerimanya. Bank
dapat memasukkan klausul-kalusul yang menguntungkannya namun merugikan
pihak nasabah debitur seperti klausul eksonerasi yang membebaskan bank sebagai
kreditur dart kewajibannya.Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan
sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu
langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
Keberadaan lembaga tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain
karena Indonesia perlu menjamin dan memberdayakan nasabah perbankan dengan
memberikan perlindungan kepada nasabah. Kehadiran mediasi perbankan sangat
penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat
mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa
bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus
tetap terjaga. Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memberikan
manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
B. Saran
13
1. Pihak perbankan dalam hal ini hendaknya dapat bekerjasama dengan lembaga
konsumen atau badan lain yang dianggap bisa mewakili kepentingan nasabah
sehingga secara bersama-sama dapat merumuskan klausula yang memenuhi
kebutuhan para pihak dan tidak melanggar unsur kepatutan demi kepastian
hukum dan sekaligus juga harus diusahakan kesepakatan penafsiran atas
klausa-klausa yang bersangkutan
2. Bank Indonesia sebagai bank yang memiliki otoritas penuh dalam pembuatan
kebijaksanaan hendaknya dapat mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat mengenai adanya hak nasabah untuk mengajukan segala hal yang
merugikannya.
14