Oleh :
Tri Wijaya (06602)
Gunawan (06654)
Maharani Pridanti (06740)
Martha Novita Sari (06770)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Satwa liar merupakan sumberdaya alam yang termasuk dalam golongan yang
dapat diperbaharui sehingga memerlukan suatu penangganan yang khusus agar sebagai
renewable resources ia tetap dapat dipertahankan keberadaannya. Penanganan itu
meliputi usaha perlindungan dan pelestariannya, yang tidak cukup hanya dengan
menyelamatkan dan mempertahankan kelangsungan hidup, tetapi juga menjamin
keanekaragaman dari keseimbangan dari keseluruhan ekosistem yang telah dan akan
mengalami gangguan.
Demikian pula untuk satwa panyu yang kondisinya semakin memprihatinkan
karena banyaknya gangguan terhadap penyu, baik terhadap habitat bersarangnya
maupun pada satwanya sendiri karena nilai ekonominya yang tinggi. Padahal penyu
adalah komponen penting dalam ekosistem laut dari wilayah tropis hingga yang
subtropis (Freair et al., 1972; Greer et al.,1973). Saat ini terdapat 8 (delapan) jenis
penyu yang hidup di dunia, 6 (enam) diantaranya terdapat di Indonesia. Empat di
antaranya bahkan bertelur di pantai-pantai di sepanjang perairan Indonesia, yakni penyu
Hijau (Chelonia mydas), penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), penyu Sisik
(Erectmochelys imbricata), penyu Tempayan (Caretta caretta), penyu Pipih (Natator
depressus) dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea).
Penyu dalam Red Data Book yang dikeluarkan oleh IUCN masuk dalam
kategori satwa yang terancam punah (endangered species),kecuali penyu tempayan
(Caretta caretta) sebagai vulnerable species. Jenis-jenis penyu juga terdaftar dalam
Appendix I CITES yang artinya perdaganggan tumbuhan dan satwa yang terancam
punah untuk kepentingan dagang (export/import) tidak diperbolehkan lagi. Sedangkan
pemerintah Indonesia telah menetapkan semua jenis penyu sebagai satwa yang
dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Begitu rentannya kondisi penyu dalam kelestarian
jenisnya sehingga perlu adanya upaya perlindungan terutama terhadap habitat
bersarangnya di pantai.
Hasil penelitian di berbagai negara menunjukkan populasi penyu cenderung
menurun tajam akibat perburuan mulai dari telur sampai induk penyu. Penggunaan
habitat tempat bertelur penyu untuk kepentingan sektor lain telah menambah tekanan
yang semakin berat terhadap daya dukung kehidupan satwa ini (KSDA DIY, 2002).
Disamping itu, pemilihan tempat bertelurnya penyu cenderung pada kondisi pantai
yang masih bersih, pantai yang memiliki pasir pantai yang cukup luas., terdapat
vegetasi/biota pantai, topografi pantai yang landai, dan jauh dari gangguan manusia.
Tingkat gangguan oleh manusia demikian tingginya karena hampir semua jenis
penyu memiliki nilai ekonomi pada bagian-bagian tubuhnya. Belum lagi gangguan dari
predator alaminya, menjadikan penyu semakin tertekan keberadaannya.
Eksploitasi penyu yang berlebihan serta kerusakan habitat pesisir sebagai
tempat peneluran penyu di berbagai pantai di Indonesia dikhawatirkan akan
mengancam kelestarian jenisnya. Tri Ari W. (2001) menyatakan bahwa penurunan
populasi penyu sebenarnya disebabkan oleh banyak faktor dan sangat komplek, namun
ada tiga aktifitas yang berperan sebagai faktor pembatas utama. Pertama, perburuan
penyu dewasa dan muda merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu
Indonesia. Kedua, penangkapan yang tidak sengaja oleh alat penangkap ikan dan yang
ketiga perburuan telur penyu menambah keterbatasan usaha penambahan populasinya.
Habitat peneluran penyu dipengaruhi oleh kondisi vegetasi dan kawasan terbuka
(bare sand). Selain itu juga faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, fase tidal,
cuaca, jenis pasir, arah dan kemiringan pantai serta tekstur pasir berpengaruh terhadap
habitat bertelur penyu (Harless, 1979).
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan salah satu kawasan
pelestarian alam yang memiliki potensi flora, fauna dan ekosistem serta gejala dan
keunikan alam yang dapat dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik wisata alam
(ODTWA). Pantai Sukamade merupakan salah satu kawasan pelestarian satwa terutama
satwa penyu. Pantai Sukamade terletak di zona pemanfaatan resort Sukamade SPTN I
Sarongan TNMB. Pantai ini merupakan salah satu habitat bertelurnya Penyu Hijau
(Chelonia mydas), dan terkadang Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), atau Penyu
Belimbing (Dermochelys coriacea) tetapi sangat jarang. Saat ini memungkinkan juga
terjadinya perubahan perilaku bersarang bagi penyu. Upaya pelestarian penyu yang
dilakukan melalui kegiatan pengamanan pantai, pengumpulan telur, pembuatan tempat
penetasan semi permanen, pemeliharaan telur yang ditetaskan, pemeliharaan tukik yang
baru menetas, pemeliharaan tukik di tempat penampungan, tagging, sexing, pencatatan
data jumlah penyu, pencatatan data jumlah telur, penyuluhan, pelayanan penelitian,
pelepasan tukik ke laut, pendidikan dan pelatihan untuk pelajar dan mahasiswa.
Kondisi-kondisi yang merupakan ancaman bagi kelestarian penyu memerlukan
pemecahan dengan segera dan serius. Faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya
pelestarian tidak cukup hanya dengan tindakan pengamanan, atau perlindungan melalui
Undang-Undang Pemerintah saja tapi juga dengan suatu tindakan yang mampu
meningkatkan kelimpahan populasinya. Oleh sebab itu perlu kiranya dilakukan studi
terhadap bersarangnya penyu, untuk dapat mengetahui kondisi lingkungan yang sesuai
untuk perkembangbiakan penyu tersebut sebagai informasi untuk pengelolaan habitat
lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyu Hijau
Penyu hijau merupakan reptil herbivora yang dapat ditemukan baik diperairan tropis
maupun di daerah subtropis. Penyu dewasa dapat mencapai berat sekitar 250 kg yang
makannya berupa rumput laut (algae) atau lamun (seagrass) yang tumbuh di sepanjang
pantai sampai daerah terumbu karang. Kombinasi dan komposisi makanan dari kedua
tumbuhan ini (algae dan lamun), sangat tergantung pada tingkat kehidupan penyu
(HIRTH 1971; MORTIMER 1981; GARNETT et al. 1985). Penyu hijau muncul untuk
memakan algae hanya pada beberapa habitat yaitu pada daerah terumbu karang,
sedangkan pada daerah pesisir baik di teluk maupun di estuaria makanan penyu hijau
adalah lamun (LIMPUS & REED 1985a, 1985b). Disamping itu, penyu hijau juga
memakan keduanya (algae dan lamun) pada beberapa daerah seperti di Selat Torres dan
daerah karang di Pulau Yorke (GARNETT et al. 1985). penyu hijau menghabiskan
beberapa tahun kehidupannya di habitat laut dalam dan tidak menghuni habitat lamun
sampai mereka dewasa (beberapa dekade). Habitat lamun berfungsi sebagi daerah
makanan utama untuk penyu hijau dewasa. Pada habitat lamun di Delta Sungai
Macarthur, Teluk Shoalwater dan Teluk Moreton, Australia, ditemukan banyak penyu
hijau yang "immatur" dan dewasa. Hal ini berbeda dengan yang ditemukan pada habitat
terumbu karang yang banyak ditemukan penyu hijau ukuran kecil sampai medium dari
tingkat "immatur" (LIMPUS & REED 1985, LIMPUS 1975; PARMENTER 1980). Di
Indonesia, penyebaran penyu hijau cukup merata, karena hal ini berkaitan dengan
tempat-tempat persinggahan penyu hijau tersebut.
hewan
dapat
diklasifikasikan
dalam
golongan-golongan,
yang
sisinya oleh jembatan penghubung. Jika dibandingkan dengan penyu terrapin dan kurakura darat hewan ini berbeda dalam bentuk anggota badannya yang telah berkembang
menjadi sirip pipih. Inilah yang membuatnya menjadi perenang yang baik tetapi
sekaligus membuat gerakannya di darat menjadi canggung. Kepala dan lehernya tidak
dapat seluruhnya ditarik measuk ke dalam perisainya (Anonim, 1988).
pemilihan habitat bertelur penyu. Hal ini diasumsikan karena adanya akar vegetasi
dapat mengikat butir pasir dan menghindari terjadinya keruntuhan sehingga akan
meningkatkan keberhasilan dalam penggalian sarang penyu (Montimer, 1982).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri, yang
terletak di Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Panjang Pantai Sukamade
secara keseluruhan adalah 3km yang sebagian besar kawasan pantainya langsung
berbatasan dengan sungai.
Bahan:
1. Satwa Penyu Hijau yang ada di pantai Sukamade
2. Habitat bersarang Penyu Hijau di Pantai Sukamade
Alat :
1. Meteran roll meter
2. Penggaris
3. Termometer tanah
4. Kamera
5. Klinometer
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pantai Sukamade sebagai habitat bertelurnya Penyu Hijau memiliki keunggulan
yang tidak dimiliki pantai lain, yaitu potensi peneluran Penyu Hijau di pantai ini sangat
tinggi. Setiap hari selalu terjadi peneluran Penyu Hijau di Pantai Sukamade dengan
intensitas paling sedikit 5 peneluran/hari. Kawasan Pantai ini terbagi menjadi 30 sektor.
Pembagian ini dilakukan untuk memudahkan dalam pengamatan dan pengambilan serta
pengukuran data sampel bersifat sistematik mewakili keseluruhan kawasan Pantai
Sukamade. Setiap sektor berjarak 100 meter. Pengambilan data karakteristik lingkungan
dan jumlah penyu yang bertelur dilakukan dimasing-masing sektor. Data jumlah penyu
yang bertelur menggunakan data sekunder dari pengelola yang diperoleh jumlah
peneluran Penyu Hijau sebanyak 302 kali selama 9 hari dari tanggal 5 - 13 Januari 2014
sedangkan data primer karakteristik lingkungan diambil pada tanggal 11 - 12 Januari
2014. Data hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil pengamatan,
jumlah penyu ang bertelur terbanyak terdapat di sektor 23 sebanyak 30 kali peneluran
sedangkan pada sektor 29 hanya terjadi 1 kali peneluran. Daerah di dekat sektor 23
memiliki kecenderungan jumlah peneluran yang cukup banyak, yaitu sektor 18 (14 kali
peneluran), 19 (16 kali peneluran), 20 (14 kali peneluran), 21 (18 kali peneluran), dan
suhu permukaan pantai 28.8 F, suhu dalam sarang 32.6 F, kelembaban 83%, pH 6.3,
intensitas cahaya 1 lux dan persen tutupan vegetasi 0 %. Analisis statistic pada
penelitian ini menggunakan analisis regresi ganda untuk memprediksi nilai pengaruh 9
(Sembilan) variabel karakteristik lingkungan tesebut terhadap variable jumlah peneluran
Penyu Hijau di masing-masing sektor di Pantai Sukamade.
Hasil analisis deskriptif dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Descriptive Statistics
menyajikan rata-rata (mean), dan simpanan baku (standar deviasi) masing-masing
variabel dari 30 sektor yang ada. Hasil analisis deskriptif yang diperoleh dijelaskan
bahwa rata-rata terdapat 10 penyu bertelur dengan simpangan baku 6.368, rata-rata
kelerengan depan sebesar 6.6 % dengan simpangan baku 2.811, rata-rata kelerengan
belakang sebesar 2.1 % dengan simpangan baku 3.231, rata-rata lebar pantai sebesar
69.03 m dengan simpangan baku 20.270, rata-rata suhu permukaan sebesar 29.727
dengan simpangan baku 1.5166 F, rata-rata suhu dalam sarang 29.820 F dengan
simpangan baku 1.3176, rata-rata kelembaban sebesar 82.37 % dengan simpangan baku
2.859, rata-rata pH sebesar 6.63 dengan simpangan baku 0.4991, rata-rata persen
tutupan vegetasi sebesar 13.6 % dengan simpangan baku 17.268 sedangkan intensitas
cahaya di semua sektor nilainya sama, yaitu 1 lux dengan simpangan baku 0 karena
pengukuran dilakukan di malam hari.
Tabel 2.
(Rsquare) adalah sebesar 0.635 (merupakan pengkuadratan dari nilai R 0.7972 = 0.635) hal
ini menunjukan pengertian jumlah peneluran Penyu Hijau dipengaruhi 63.5 % oleh
variabel suhu permukaan, suhu dalam sarang, kelembaban, pH, dan intensitas cahaya,
kelerengan depan dan belakang punggung pantai, persen tutupan vegetasi, dan lebar
pantai, sedangkan sisanya sebesar 36.5 % dijelaskan oleh variabel-variabel lain.
Tabel 3.
Tabel 5 Coefficiests menyajikan nilai Constant (a), nilai B dan nilai t- hitung masingmasing variabel independen (karakteristik lingkungan). Dengan menggunakan nilai
Constant (a), dan nilai B tersebut maka akan diperoleh persamaan regresi ( = a + bx i)
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen jumlah Penyu Hijau
yang bertelur. Persamaan regresi masing-masing variabel independen yaitu kelerengan
depan = 37.3 0.515xi, kelerengan belakang = 37.3 0.148xi, lebar pantai = 37.3
+ 0.068xi, suhu permukaan = 37.3 + 0.041xi, suhu dalam sarang = 37.3 1.174x i,
kelembaban = 37.3 0.3xi, pH = 37.3 + 3.054xi, dan persen tutupan vegetasi =
37.3 +0.19xi. Masing-masing persamaan regresi tersebut dapat diuji dengan pengujian
signifikansi untuk mengetahui apakah valid untuk memprediksi variabel dependen
jumlah Penyu Hijau bertelur di masa mendatang.
Tabel 5.
Pengujian signifikansi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan uji t dan
berdasarkan nilai probabilitas Sig. Uji t dilakukan dengan membandingkan nilai t
hitung
dengan nilai t tabel. t tabel pada penelitian ini adalah sebesar 2.048 (tingkat signifikan =
0.05 untuk uji dua pihak dengan df atau derajat kebebasan dk = jumlah sektor (N) 2
atau 30 2 = 28)
Hipotesis berdasarkan uji t dirumuskan secara statistic sebagai berikut :
Ha : Pyx1 0
Ho : Pyx1 = 0
Hipotesis bentuk kalimat :
Ha : variabel dependen (kelerengan depan, kelerengan belakang, lebar pantai,
suhu permukaan, suhu dalam sarang, kelembaban, atau persen tutupan
vegetasi) berpengaruh signifikan terhadap jumlah Penyu Hijau bertelur.
Ho : variabel dependen (kelerengan depan, kelerengan belakang, lebar pantai,
suhu permukaan, suhu dalam sarang, kelembaban, atau persen tutupan
vegetasi) tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah Penyu Hijau bertelur.
Kaidah keputusan :
- Jika nilai t hitung t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan.
- Jika nilai t hitung t tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak
signifikan.
1. Kelerengan depan t
(- 1.239) < t
tabel
(2.048), maka
tabel
(2.048), maka
hitung
= - 1.239 t
hitung
tabel
hitung
= - 1.302 t
hitung
(-1.302) < t
tabel
(2.048), maka
hitung
(2.994) < t
tabel
(2.048), maka
Sig atau [0.05 Sig], maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya signifikan.
Nilai probabilitas Sig kelerengan depan = 0.229 nilai probabilitas 0.05 <
nilai probabilitas Sig (0.229), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak
2.
signifikan.
Nilai probabilitas Sig kelerengan belakang = 0.775 nilai probabilitas 0.05
< nilai probabilitas Sig (0.775), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya
3.
tidak signifikan.
Nilai probabilitas Sig lebar pantai = 0.322 nilai probabilitas 0.05 < nilai
probabilitas Sig (0.322), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak
signifikan.
4.
Nilai probabilitas Sig suhu permukaan = 0.964 nilai probabilitas 0.05 <
nilai probabilitas Sig (0.964), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak
5.
signifikan.
Nilai probabilitas Sig suhu dalam sarang = 0.207 nilai probabilitas 0.05 <
nilai probabilitas Sig (0.207), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak
6.
signifikan.
Nilai probabilitas Sig kelembaban = 0.58 nilai probabilitas 0.05 < nilai
probabilitas Sig (0.58), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak
7.
signifikan.
Nilai probabilitas Sig pH = 0.2 nilai probabilitas 0.05 < nilai probabilitas
8.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Lokasi yang menjadi kesukaan (preferensi) Penyu Hijau untuk bertelur di Pantai
Sukamade adalah pada sektor 23 dengan karakteristik yaitu kelerengan depan 6 %,
kelerengan belakang 2 %, lebar pantai 107 m, suhu permukaan pantai 31.3F, suhu
dalam sarang 30.8 F, kelembaban 83%, pH 6.6, dan persen tutupan vegetasi 40 %.
2. Variabel lingkungan yang secara signifikan berpengaruh terhadap prilaku preferensi
Penyu Hijau untuk bertelur adalah persen tutupan vegetasi sedangkan suhu
permukaan, suhu dalam sarang, kelembaban, pH, dan intensitas cahaya, kelerengan
depan dan belakang punggung pantai, dan lebar pantai pengaruhnya tidak signifikan.
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1988. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna Amphibia san Reptilia. PT Ichtiar Baru
Van Hoeve. Jakarta
Cobron, John. 1995. The Proper Care of Turtle. TfH Publication Inc. USA
Frair, W., Ackerman, R, G., and Mrosovsky, N. 1972. Body Temperature of Dermochelys
coriacea Warm Turtle from Cold Turtlle. Science. Biology of Sea Turtle. CRC Manine
Science Series. USA
Harless, M., and M. Henry. 1979. Turtles Perspective and Research 2nd ed. John Wiley and
Sons Publ. New York
Hutabarat, Sahala., dan Evans, Stewart, M. 1985. Pengantar Oceanografi. Universitas
Indonesia. Jakarta
KSDA DIY. 2002. Penyu, Potensi dan Permasalahanya Ditinjau dari Aspek Ekowisata dan
Konservasi. Makalah Untuk Diskusi Panel Kelompok Studi Herpetologi Fakultas
Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Lehrer, John, 1993. The World of Turtles and Tortoises. Tetra Press. USA
Limpus, C. J. 1993. Marine turtle Biology. First ASEAN Symposium Workshop on Manine
Turtle Conservation
Miller, Jeffrey, D. 1985. Embriologi of Manine Turtle. Biology of Reptilia vol 14
Development A. A. Willey Interscience Publication. John Wiley and Sons Publ. New
York
Mortimer, J. A. 1982. Factor Influencing Beach Selection by Nesting Sea Turtle In Biology of
Sea Turtle. K. A. Bjorndal (ed). Smithsinoan Institution Press. Washington DC
Nyabakken, James, W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta
Riduwan, A. Rusyana, Enas. 2011. Cara Mudah Belajar SPSS 17.0 dan Aplikasi Statistik
Penelitian. Alfabeta. Bandung. Indonesia.
Spotila, J. R., OConnor. M. P.,Paladino, F. V. 1997. Thermal Biology. The Biology of Sea
Turtle. CRC Marine Science Series. USA
Tri Ari Wuriyoko. 2001. Penyu di Yogyakarta, Warta Konservasi Volume 2 Desember Nomor
3. Unit Konservasi Sumber Daya Alam.Yogyakarta