PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap
lingkungan yang berada di sekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang
indah. Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan
manusia dengan keindahan bahasa. Menurut Hudson (dalam Tarigan 2009:10),
sastra merupakan pengungkapan baku dari peristiwa yang telah disaksikan orang
dalam kehidupan, yang telah direnungkan, dan dirasakan orang mengenai segisegi kehidupan yang menarik minat secara langsung dan kuat dari seorang
pengarang atau penyair. Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap
fenomena yang ada. Sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang
memiliki budi, imajinasi, dan emosi. Akan tetapi, sastra telah dianggap sebagai
suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping
konsumsi emosi.
Menurut Sherlley (dalam Pradopo 2010:6), puisi merupakan rekaman
detik-detik yang paling indah dalam hidup. Puisi adalah sintesis dari berbagai
peristiwa bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan berbagai proses jiwa
yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi
dalam salah satu bentuk. Menurut Shahnon Ahmad (dalam Pradopo 2010: 6),
menyimpulkan unsur puisi yang paling pokok adalah (1) pemikiran, ide, dan
emosi, (2) bentuknya, dan (3) kesan yang dibiaskan oleh ide dalam puisi. Menurut
Pradopo (2010: 8), puisi merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Unsurunsur seni kesusastraan mengental dalam puisi. Berbeda dengan karya sastra
lainnya, prosa dan drama, karya sastra berbentuk puisi bersifat konsentrif dan
intensif. Pengarang tidak mengungkapkan secara terperinci maksud yang hendak
disampaikan kepada pembaca. Pengarang menyampaikan yang menurut perasaan
atau pendapatnya merupakan bagian pokok atau penting saja. Oleh karena itu,
puisi memilki bentuk yang padat (intensif). Padat yang dimaksud adalah
penghematan unsur-unsur bahasanya. Kata-kata yang tidak mendukung makna
akan dihilangkan.
Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai media untuk
mengungkapkan makna. Dalam hal ini pengamatan atau pengkajian terhadap puisi
1
Dalam Retorika, gaya bahasa dikenal dengan istilah style. Kata style
diturunkan dari latin stilus yang berarti semacam alat untuk menulis lempengan
lilin. Keahlian dalam menggunakan alat ini akan tampak dari tulisan yang terjadi
pada lempengan tersebut. Pengertian style ini kemudian berkembang dengan
penekanan pada keahlian menulis indah atau mempergunakan kata-kata secara
indah.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000:276) gaya bahasa adalah cara
pengucapan
bahasa
dalam
prosa,
atau
bagaimana
seorang
pengarang
mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Hal ini ditandai oleh ciri-ciri
formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa
figuratif, pengguna kohesi dan lain-lain.
Sejalan dengan itu, Zainuddin (1992:51) menyatakan gaya bahasa adalah
pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan
pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu.
Adapun ragam pemakaian bahasa ini dibedakan gaya bahasa perbandingan dan
gaya bahasa sindiran.
Dari beberapa pendapat di atas, gaya bahasa merupakan bentuk
pengungkapan untuk menggambarkan sesuatu, pikiran atau perasaan dengan
mempergunakan bentuk-bentuk ungkapan tertentu yang ditandai ciri kebahasaan
sehingga yang diungkapkan itu menarik dan menimbulkan efek-efek tertentu.
2.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang. Ahmadi
(1990:177-191) membedakan gaya bahasa menjadi 2 golongan besar yaitu gaya
bahasa perasosiasian pikiran dan gaya bahasa penekanan atau penegasan masingmasing dengan macamnya.
1) Gaya Perasosiasian
a. Metafora adalah gaya perasosiasian atau kiasan untuk menyatakan sesuatu
dengan menggunakan perbandingan secara langsung.
3
digayakan.
Epiteton adalah gaya untuk menegaskan sesuatu dengan perbandingan
yang berlebih-lebihan.
i. Antonomasia adalah gaya melukiskan benda atau orang dengan
menggunakan simbol sebagai pengganti nama yang sebenarnya.
j. Eksklamasi adalah gaya untuk melukiskan perasaan atau suasana dengan
menyisipkan kata-kata seru atau tiruan bunyi (enomatoposia) denga tujuan
mempertegas ekspresi
k. Enumerasia adalah gaya untuk mengemukakan perasaan atau peristiwa
secara terperinci dalam beberapa bagian yang disebutkan satu persatu agar
masing-masing bagian / unsur lebih terang dan diperhatikan.
l. Klimaks adalah gaya untuk menyatakan beberapa peristiwa atau keadaan
berturut-turut mulai dari yang fungsinya kurang penting meningkat ke
yang lebih penting atau tinggi.
m. Antiklimaks adalah gaya untuk melukiskan beberapa peristiwa atau hal
secara berturut-turut mulai dari yang penting menurun pada yang
kepentingannya yang lebih kecil.
n. Paradoks adalah suatu pernyataan yang memunculkan kontradiksi atau
pertentangan.
o. Antitese adalah gaya untuk melukiskan sesuatu dengan paduan kata-kata
yang maknanya saling bertentangan.
p. Inversi adalah mementingkan bagiantertentu suatu pernyataan dengan
mengembalikan urutan unsur kalimatnya.
q. Elipsi adalah menghilangkan unsur tertentu dari kalimatnya.
5
sesuatu
dengan
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Tinjauan Gaya Bahasa Pada Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi
Djoko Damono
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000:276) gaya bahasa adalah cara
pengucapan
bahasa
dalam
prosa,
atau
bagaimana
seorang
pengarang
mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Hal ini ditandai oleh ciriciriformal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa
figuratif, pengguna kohesi dan lain-lain.
Puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono banyak menggunakan majas atau
gaya bahasa. Penggunaan majas tersebut membuat puisi-puisi karya Sapardi
Djoko Damono terlihat lebih menarik untuk dibaca dan menimbulkan efek-efek
tertentu. Salah satunya adalah puisi Hujan Bulan Juni, dalam puisi tersebut
banyak mengandung majas atau gaya bahasa.
Berikut akan dijelaskan gaya bahasa yang terdapat pada puisi Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono :
1) Majas personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya kiasan yang melukiskan benda-benda
sebagai orang yang berperilaku. Majas ini disebut juga majas yang memanusiakan
benda mati. Benda-benda mati tersebut digambarkan seolah-olah dapat melakukan
aktifitas manusia.
Bukti :
Tak ada yang lebih tabah
Majas Personifikasi
Majas Personifikasi
Majas Personifikasi
Majas Metonimia
Pada larik tersebut, hujan bulan Juni memiliki pengertian yang lebih luas
dari arti lazimnya. Arti lazimnya yaitu, hujan yang datang pada bulan Juni,
sedangkan arti luas yang dimaksudkan penyair adalah rasa rindu dan cinta yang
tidak sempat diucapkan oleh penyair. Selain itu, juga terdapat larik pohon yang
berbunga itu yang memiliki arti lazim sebuah pohon yang memiliki bunga, akan
tetapi arti luas yang dimaksudkan penyair adalah tambatan hati penyair.
3) Majas Pararelisme
Perarelisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan
mengulang isi ungkapan atau kalimat sebelumnya tetapi dalam bentuk
pengungkapan yang berbeda.
Bukti :
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Pada larik tersebut terdapat larik yang mengalami perulangan yaitu tak
ada yang lebih. Larik tersebut terulang pada setiap bait yang terdapat pada puisi
Hujan Bulan Juni. Selain itu, terdapat larik dari hujan bulan Juni yang juga
terulang pada setiap bait yang terdapat pada puisi hujan bulan Juni. Pengulangan
tersebut memiliki arti, penyair ingin menegaskan kepada pembaca bahwa tidak
ada satu pun di dunia ini yang memiliki sifat tabah, bijak dan arif selain hujan
pada bulan juni tersebut.
Dalam puisi Hujan Bulan Juni terdapat majas personifikasi, metonimia,
dan pararelisme. Penyair menggunakan majas-majas tersebut bertujuan untuk
mengungkapkan gambaran sesuatu, pikiran yang ada dalam benak penyair
sehingga gambaran serta pikiran tersebut tersampaikan kepada pembaca.
Gambaran pikiran tersebut dikemas dengan menggunakan majas yang cocok serta
padu sehingga menarik perhatian pembaca untuk membaca puisi Hujan Bulan
Juni karya Sapardi Djoko Damono ini.
Puisi Hujan Bulan Juni yang telah dipaparkan diatas terdiri dari 12 baris, 3
bait. Puisi Hujan Bulan Juni ini memiliki ide tertentu, seperti ketabahan,
kerinduhan, dan penantian. Sapardi Djoko Damono tidak hanya mengartikan
hujan sebagai bulir air yang jatuh ke permukaan bumi tetapi juga diberi jiwa
yang memiliki sifat seperti manusia. Dalam puisi ini, banyak ditemukan majas
terutama majas personifikasi yang sangat dominan. Pada bait pertama, hujan
dilukiskan memiliki sifat yang tabah dalam menyimpan rintik rindunya. Secara
sederhana, bait pertama ini ditafsirkan sebagai kerinduan yang sengaja
dirahasiakan atau sengaja tidak diucapkan. Bait kedua menggambarkan kebijakan
hujan untuk menyerah membiarkan rintik rindunya tak terucapkan. Jika
dikaitkan dengan judul puisi Hujan Bulan Juni, mustahil jika hujan terjadi pada
bulan juni karena bulan Juni termasuk dalam orde musim kemarau yang jarang
terjadi hujan. Jadi dapat disimpulkan,puisi Hujan Bulan Juni merupakan sebuah
kiasan penantian.
Hujan dalam puisi Hujan Bulan Juni seolah menjelma menjadi tokoh yang
begitu dekat dengan pembaca, bahkan dapat mewakili diri pembaca sendiri,
karena mungkin pembaca memiliki rasa yang sama dengan apa yang dirasakan
oleh hujan bulan Juni dalam puisi tersebut, yaitu hujan bulan Juni yang tabah,
yang menahan dirinya (cintanya) untuk tidak turun ke bumi karena belum
waktunya. Hal ini bisa diartikan sebagai seseorang yang menahan perasaannya
(rindu atau cintanya) kepada seseorang karena belum waktunya untuk
disampaikan, hujan bulan Juni yang bijaksana, karena mampu menahan diri dan
rindunya untuk bertemu dengan bunga-bunga (yang dicintainya), hujan bulan Juni
yang arif, karena dibiarkannnya (cintanya) yang tak terucapkan diserap akar
pohon bunga.
Puisi tersebut juga menggambarkan seseorang yang memiliki rasa rindu
atau cinta kepada orang lain, tetapi karena suatu hal seseorang tersebut menjadi
ragu-ragu atau merasa tidak mungkin untuk menyampaikannya, dan mencoba
untuk menghilangkan atau menghapuskan rasa yang dimilikinya itu dan
membiarkannya untuk tetap tak tersampaikan.
Bila dikaitkan dengan kenyataan sehari-hari, dari judul puisi tersebut
merupakan sesuatu yang hampir tidak mungkin, karena bulan Juni termasuk
dalam musim kemarau, hujan tidak mungkin turun. Apabila dilihat dari tahun
10
tercipta puisinya yaitu tahun 1989, yang pada saat itu musim kemarau dan musim
hujan masih berjalan secara teratur, tidak seperti saat ini. Oleh karena itulah hujan
harus menahan diri untuk tidak turun ke bumi. Jadi, dapat ditafsirkan bahwa hujan
bulan Juni merupakan gambaran atau pengistilahan dari perasaan rindu atau cinta
sang penyair kepada seseorang yang ditahan, yang tak mungkin untuk
disampaikan, dan membiarkannya untuk tetap tak tersampaikan.
Jika dilihat dari sisi penyairnya, si penyair ingin menyampaikan sesuatu
kepada seseorang, tetapi tidak dapat disampaikan karena ada suatu hal yang
menghalanginya untuk menyampaikan sesuatu itu, si penyair juga berusaha untuk
menghapuskan jejak-jejak perasaannya yang ragu-ragu untuk disampaikan, dan si
penyair hanya bisa menyampaikannya lewat sebuah puisi.
Disini penyair menyampaikan sebuah pesan kepada pembaca atau
masyrakat yaitu beberapa etika agar pembaca atau masyrakat diharapkan memiliki
sifat-sifat yang di ibaratkan pada puisi Hujan Bulan Juni, yaitu sifat tabah, bijak,
dan arif dalam menghadapi segala sesuatu atau dalam mengambil suatu
keputusan.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
11
Pada puisi Hujan Bulan Juni terdapat majas personifikasi, metonimia, dan
pararelisme. Dalam majas personifikasi, hujan seolah-olah mempunyai sifat
seperti manusia, yaitu tabah, bijaksana dan arif. Majas metonimia, hujan bulan
Juni memiliki pengertian yang lebih luas dari arti lazimnya. Hujan bulan Juni
dalam puisi tersebut memiliki arti rasa rindu dan cinta yang tidak sempat
terucapkan. Sedangkan dalam majas pararelisme, terdapat larik-larik yang diulang
kembali pada larik selanjutnya, hal itu bertujuan untuk mempertegas makna yang
terdapat pada larik-larik tersebut. Dengan adanya majas-majas tersebut, peneliti
dapat mengetahui seperti apakah hujan bulan Juni yang dimaksudkan oleh penyair
dalam puisi tersebut.
DAFAR PUSTAKA
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Satra. Bandung : Sinar Baru
Algensindo
Damono, Sapardi Djoko. 1989. Puisi Hujan Bulan Juni.
12
Lampiran
Hujan Bulan Juni
Karya : Sapardi Djoko Damono
13
14