KISTA OVARIUM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda
SMF Obsterik dan Ginekologi RSSA Malang
OLEH:
Endi
Wiwik Novitasari
105070107121002
PEMBIMBING :
dr. LEM
SUPERVISOR :
Dr. Hermawan Wibisono, SpOG(K)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AKI di Indonesia mencapai 228/100.000 kelahiran hidup. Angka ini jauh lebih
tinggi dibandingkan Vietnam (59/100.000), dan Cina (37/100.000). Ini menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara dengan AKI tertinggi asia, tertinggi ke-3 di
kawasan ASEAN dan ke-2 tertinggi di kawasan SEAR. Angka Kematian Ibu masih
sangat tinggi di Indonesia. Sebanyak 228 ibu meninggal dunia pada setiap 100.000
kelahiran hidup. Menurut hasil kajian kinerja IGD Obstetri-Ginekologi dari RSUP Cipto
Mangunkusumo, yang merupakan Rumah Sakit rujukan nasional, lima besar penyebab
kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, eklampsia, sepsis, infeksi dan gagal
paru. (Kementrian Kesehatan RI, 2013) Wanita ras Afrika-Amerika memiliki mortalitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita ras kulit putih. Secara umur mortalitas
dan morbiditas semakin meningkat pada wanita hamil dengan umur <20 tahun dan
nulipara serta wanita hamil dengan umur >35 tahun. Faktor lain yang berisiko adalah
obesitas dan kehamilan ganda. (Chuningham et al. 2013)
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante,
intra, dan post partum, ditandai dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Morbiditas dan mortalitas
dari preeklampsia disebabkan disfungsi dari endotelial sistemik, vasospasme, dan
trombosis pembuluh darah kecil yang akan mengakibatkan iskemi jaringan dan organ.
(Prawirohardjo Sarwono, 2014) Preeklamsia merupakan salah satu masalah yang
sering menimbulkan komplikasi pada ibu hamil maupun pada bayi. Penyakit ini ditandai
dengan munculnya hipertensi dan proteinuria dan seringkali terjadi pada usia
kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum 48 jam pascapersalinan (Young et al.,
2010).
Preeklampsia terbagi menjadi 2 yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat. Preeklampsia ringan ditegakkan atas timbulnya hipertensi dengan tekanan
darah 140/90 mmHg disertai proteinuria 300 mg/24 jam dan/atau edema setelah
kehamilan 20 minggu. Sedangkan preeklampsia berat ditandai dengan tekanan darah
160/110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 g/24 jam. (Prawirohardjo Sarwono,
2014) Preeklampsia disebabkan oleh beberapa faktor yang berperan penting, yakni
implantasi plasenta disertai invasi tropoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus,
maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamator yang terjadi
pada kehamilan normal, toleransi imunologis serta faktor genetik. (Chuningham et al.
2013)
Preeklampsia tidak selalu dapat didiagnosis secara pasti. Penatalaksanaan
preeklamsia selama ini ditujukan kepada terapi simptomatis, seperti agen penurun
tekanan darah, diuretik, obat-obat antikoagulasi, antikonvulsi, dan juga melahirkan
janin jika gejala preeklamsia bertambah berat (Park et al.,2007). Pengontrolan tekanan
darah ibu dengan antihipertensi penting untuk menurunkan insidensi perdarahan
serebral dan mencegah terjadinya stroke maupun komplikasi serebrovaskuler lain
akibat preeklamsia (Sidani dan siddik-sayid, 2011).
1.2 Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk membahas satu pasien dengan
diagnosa preeklampsia berat di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang,
sehingga diketahui:
a
b
c
1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan
pemahaman
dokter
muda
mengenai
preeklamsia
berat
dalam
hal
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
No Reg
: 11226823
Nama
: Ny. SK
Umur
: 32 tahun
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Penjahit
Status
: Menikah 1x
Lama Menikah
: 9 tahun
Suami
: Tn. ZA
Umur
: 40 tahun
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pekerjaan
: Salesman
Alamat
Tanggal MRS
: 11 Maret 2015
2.2 Subjektif
Ny. SK/32 tahun/menikah 1x selama 9 tahun/ G2P1001Ab000/KB -/HPHT: 25 Juni
2014 37-38 minggu/
2.2.1 Keluhan Utama
Kenceng-kenceng pada perut
2.2.2 Perjalanan Penyakit
Pada tanggal 11 Maret 2015 pukul 16.00 pasien mengeluh kencengkenceng pada perut namun pasien tetap di rumah. Pada pukul 18.00 pasien
mengeluh kenceng-kenceng terasa semakin kuat. Pasien kemudian pergi ke
RSUD Lawang dan diperiksakan tekanan darahnya 180/110 mmHg. Karena
dokter SpOG tidak ada maka disarankan dirujuk ke RSSA. Pasien kemudian
berangkat ke RSSA dan tiba di IGD RSSA pukul 20.00.
Riwayat
hipertensi
sebelumnya
dan
selama
kehamilan
disangkal.
Pandangan kabur (-), mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (+) sejak 4 hari
sebelum masuk RS, pusing (-).
25 Juni 2014
Taksiran Persalinan
21 April 2015
Menarche
13 tahun
Siklus Haid
28 hari
Lama Haid
7 hari
3 x di bidan dan 2 x di
dokter SpOG, terakhir
kontrol tanggal 24
ANC
Februari 2015
Tidak ada
Pasien adalah seorang penjahit dan sudah memiliki 1 anak berumur 7 tahun.
2.3 Obyektif
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
BB
: 66,5 kg
TB
: 154 cm
BMI
: 28,04
TD
: 170/100 mmHg
Nadi
: 90 x/menit, reguler
RR
: 20 x/menit
Tax
: 36,60C
Kepala dan leher : anemis - / - , icterus - / Thorax : c/ S1S2 tunggal, murmur (-)
p/ v v
Rh - -
Wh - -
vv
--
--
vv
--
--
(+)
warna
kehijauan,
presentasi
kepala,
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
Hemoglobin
14,70
g/dL
11.4-15.1
Eritrosit
4,93
g/dL
4,0-5,0
Leukosit
16.420
4.700 -11.300
Hematokrit
42,30
38-42
Trombosit
109
103/L
142-424
Hematologi
Faal hemostasis
PPT
8,40
Detik
11,5-11,8
APTT
32,00
Detik
27,4-28,6
AST/SGOT
62
U/L
0-32
ALT/SGPT
27
U/L
0-33
Albumin
2,33
g/dL
3,5 5,5
LDH
1018
U/L
240-480
50,20/1,16
mg/dL
16.6-48.5/ <1.2
83
mg/dL
<200
134/4,33/ 105
mmol/L
Faal Hati
Faal Ginjal
Ureum/Creatinin
Metabolisme
Karbohidrat
Glukosa
Darah
Sewaktu
Elektrolit Serum
Na/K/Cl
Hasil
Satuan
Nilai rujukan
Agak keruh
Kuning
6,0
1,020
Negatif
+3
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Trace
+3
4,5-8,0
1,005-1,030
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
6,9
Negatif
-
LPK
LPK
LPK
LPK
2,5
-
LPB
LPB
LPB
2
Negatif
3
Lekosit
Kristal
Bakteri
Lain-lain
6,1
292,9 x 103
-
LPB
LPB
5
93x103/ml
AC : 307 (35w1d)
FL : 67,8 (34w6d)
EFW : 2598 gr
AFI : 6,7
Akselerasi (+)
Deselerasi (-)
2.5 Assessment
G2P1001Ab000 partus 37-38 minggu T/H.
(+) Preeklampsia berat
(+) Partial HELLP Syndrome
2.6 Planning
PDx :
PTx : - Usul SC Cito
-
+ RD 5%
+ Inj Cefazolin 1 gr IV (skin test)
+ Inj Ranitidine 1 amp
+ Inj Metoclopramide 1 amp
PMo : Observasi vital sign, keluhan, his, kemajuan persalinan, DJJ, tanda-tanda
impending eclampsia
PEd : KIE (Komunikasi, Infomasi, Edukasi) pasien dan keluarga tentang:
-
Kondisi pasien
Prognosis
2.7 Outcome
Bayi lahir dengan jenis kelamin laki-laki pada tanggal 12 Maret 2015, pukul 01.00 WIB
dengan cara SCTP. Berat bayi 2.300 gr, panjang 45 cm, dengan apgar score 7/9.
Kelainan kongenital (-)
2.8 Follow Up
Tanggal/Ja
m
11
Maret
2015/20.00
Kenceng
kenceng
(+)
Mual (+)
Muntah
(-)
Mata
Kuning
(-)
Nyeri ulu
hati (+)
Pusing
(-)
Kaki
bengkak
(+)
KU: baik, CM
TB/BB: 154 cm/66,5
kg
BMI: 28,04
TD: 170/100 mmHg
N: 90x/menit
RR:20x/menit
Tax: 36,6oC
K/L: an (-) ict (-)
Tho:
c/ S1S2 tunggal,
murmur (-)
p/ RH -I- Wh -IAbd: TFU 29 cm,
letak bujur U, BJA
144x/menit
(Doppler),
TBJ: 2635 gr, His
(+) jarang
VT
(setelah
SM):pembukaan
diameter 1cm, eff
50%, H I, ketuban
(+),
presentasi
kepala,
denominatorsutura
sulit dievaluasi, UPD
dbn
USG tampak janin
Intrauterine T/Hletak
bujur
kepala
di
bawah
BPD: 88,7 (34w4d)
AC: 307 (35w1d)
FL: 67,8 (34w6d)
EFW : 2598 gr
AFI : 6,7
Plasenta implantasi
di fundus. Maturasi
Gr III
CTG
G2P1oo1Abooo
Partus
37-38
minggu T/H
+
Preeklamsia berat
+ Partial HELLP
Syndrme
PDx: PTx:
- Usul SC Cito
Resusitasi
Intra
Uterine
+ O2 10 lpm NRBM
+ Posisi ibu miring ke
kiri
- Pasang
Foley
catheter
- Inj SM full dose 20%
4 gr iv
- Inj SM 40% 10 gr IM
Inj
1
amp
PMo:
- Vital Sign
- Keluhan
- His
- Kemajuan persalinan
12
Maret
2015
12
Maret
2015
9:30
Pasien
post
operasi
SC
Keluhan
: (-)
KU : cukup, CM
TD : 171/83,
N : 100
RR : 20
K/L: an (-) ict (-)
Tho:
c/ S1S2 tunggal,
murmur (-)
p/ RH -I- Wh -IAbd:
TFU
2
jari
di
- DJJ
- Tanda-tanda
impending
eclampsia
P2002Ab000PP
PDx: DL post op,
SCTP dengan GA OT/PT,LDH/12jam
hari-0
+PRM
PTx:
+PEB
- Drip oksitosin 20 IU
+Partial HELLP
dlm 500 cc RD5 s/d
syndrome
12 jam PP 20 tpm
+Hipoalbuminemi - Inj SM maintenance
a
40% 5 gr IM s/d 24
+Fetal
jam post op
Compromised
- Inj
Cefazolin 3x1 amp
Ketorolac 3x1 amp
Ranitidin 3x1 amp
Vitamin E 2 x1 amp
-Jika HB post op < 8
g/dl,
transfuse
2lb/24jam s/d Hb> 8
g/dl
-Transfusi
albumin
20%1 lb/?? s/d alb> 3
g/dl
-PO :
Ranitidin 3 x 10 g
Methyldopa 3 x 500
mg
PMo
:Subj,
Vital
Signs, Kontraksi uteri
P2002 Ab000 PP PDx : cek DL post op,
SCTP dengan GA Albumin
post
hari -0
transfuse
+PRM
+PEB
PTx :
+Partial HELLP -Diet lunak
syndrome
-Inj SM maintenance
+Hipoalbuminemi 40% 5 gr s/d 24 jam
a
post op
+Fetal
-Drip oksitosin 20 IU
compromised
dlm 500 cc RD5 s/d
bawahpusat, soefl,
Met (-), BU (-), luka
post
op
tertutup
kassa kering
GE : Lochea (+)
12 jam PP 20 tpm
- Transfusi albumin
20% s/d alb>3
- Balance cairan 0
PMo:
- Vital Sign
- Keluhan
- Objs
- ProduksiUrin
- Balance cairan
- Luka operasi
13
Maret
2015
Keluhan
: (-)
KU : cukup, CM
TD : 144/69,
N : 84
RR : 20
K/L: an (-) ict (-)
Tho:
c/ S1S2 tunggal,
murmur (-)
p/ RH -I- Wh -IAbd: TFU 2 jari di
bawahpusat, soefl,
Met (-), BU (-), luka
post
optertutupkassakerin
g
GE : Lochea (+)
Pro Urin : 75 cc/ jam
P2002 Ab000 PP
SCTP dengan GA
hari -1
+PRM
+PEB
+Partial HELLP
syndrome
+Hipoalbuminemi
a
+Fetal
compromised
14
Maret
2015
Keluhan
(-)
KU : cukup, CM
TD : 130/90,
N : 80
RR : 20
K/L: an (-) ict (-)
Tho:
c/ S1S2 tunggal,
murmur (-)
p/ RH -I- Wh -I-
P2002 Ab000 PP
SCTP dengan GA
hari -2
+PRM
+PEB
+Partial HELLP
syndrome
+Hipoalbuminemi
a
PDx:
DL,OT/PT,LDH/12jam
PTx:
-Pindahraungan
- Diet TKTP
-Inj : Cefazolin 3 x 1
gr IV
PO :
-Asam mefenamat
3x500 mg
-Roboransia 1x1
-Nifidepin 3 x 10g
-Methyldopa
3 x500mg
PMo :
- Vital Sign
- Keluhan
- Objs
- ProduksiUrin
- Balance cairan
- Luka operasi
PDx: cek albumin
post transfuse,
OT/PT, LDH serial/
12jam
PTx :
- Diet TKTP extra
putihtelur
- Mobilisasi
+Fetal
compromised
- Transfusi albumin
20% s/d albumin > 3
g/dl
InjCefazolin
3x
1gr stop
PO :
- Cefadroxil 3
x 500 mg
- Asammefen
amat 3 x
500 mg
- Roborantia 1
x1
- Nifidepin 3 x
10mg
- Methyldopa
2 x 500 mg
PMo :
- Vital Sign
- Keluhan
- Objs
- ProduksiUrin
- Balance cairan
- Luka operasi
BAB 3
PERMASALAHAN
3.1 Diagnosa
Bagaimana penegakan diagnosa pada kasus ini?
3.2 Penatalaksanaan
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?
3.3 Komplikasi
Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini?
3.4 Prognosis
Bagaimana prognosis pada kasus ini?
BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA
1
Definisi
Preeklampsia merupakan suatu sindroma spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg) dan proteinuria (temuan 0,3 g protein pada
pemeriksaan 24 jam) setelah minggu ke-20 usia kehamilan. Pada keadaan tidak ditemukannya
proteinuria, preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi dengan disertai tanda-tanda seperti
trombositopenia, gangguan fungsi hepar, insufisiensi renal, edema paru, gangguan serebral
atau visual (Hendersonet al., 2014).
Preeklampsia didiagnosa melalui pemeriksaan tekanan darah yang dilakukan sebanyak
dua kali dengan selang waktu 4 jam diantaranya pada usia kehamilan minggu ke-20, dan
pemeriksaan kadar protein yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
pemeriksaan dipstick dengan hasil +1 atau dengan pemeriksaan air seni/urin 24 jam
(ACOG, 2013). Preeklampsia dapat berkembang menjadi kondisi eklampsia apabila kondisi
preeklampsia tidak tertangani dengan baik. Hal ini diperlihatkan melalui gejal preeklampsia
yang disertai dengan kejang (Osungbade and Ige, 2011).
2
Epidemiologi
Preeklampsia merupakan kelainan multisistem yang muncul pada 3-8% kehamilan pada
negara barat dan menjadi salah satu penyebab utama morbiditas serta mortalitas di seluruh
dunia. Preeklampsia berkontribusi terhadap 10-15% dari total kematian ibu di seluruh dunia
dengan estimasi sekitar 50.000 wanita meninggal dunia setiap tahunnya akibat komplikasi
terkait preeklampsia (Hezelgrave et al., 2012; Staff et al., 2013). Menurut WHO, angka kejadian
preeklampsia berat berkisar antara 0,51-38,4%. Di negara maju, angka kejadian preeklampsia
berat sekitar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7% (Oktaviansyah, 2012).
Di Indonesia, dimana penulisan data mengenai kejadian preeklampsia dan eklampsia
masih terbatas, diperkirakan insiden preeklampsia di Indonesia mencapai 7-10%. Preeklampsia
di Indonesia menyumbang 39,5% kematian ibu pada tahun 2001 dan 55,56% pada tahun 2002.
Ini merupakan bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu terbanyak kedua
pada kehamilan setelah perdarahan dan infeksi (Buchmann, 2011; Opitasari dan Andayasari,
2014).
Risiko preeklampsia meningkat 2-5 kali lipat lebih tinggi pada wanita hamil dengan riwayat
ibu pernah mengalami preeklampsia. Berdasarkan etnis, insiden preeklampsia berkisar antara
3-7% pada nulipara dan 1-3% pada multipara. Preeklampsia dapat membahayakan nyawa ibu
dan anak. Pada ibu, preeklampsia menyebabkan penyakit kardiovaskuler sepeti hipertensi
kronis, penyakit jantung iskemik, maupun stroke. Sedangkan pada anak, preeklampsia
menyebabkan berat badan lahir rendah, peningkatan resiko stroke, penyakit jantung coroner,
dan sindroma metabolik di kemudian hari (Uzan et al., 2011).
3
Klasifikasi
Preeklampsia dan eklampsia dikelompokkan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan 20 minggu).
Tes dipstick menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000 sel/L pada usia
d
penyakit ini terjadi hanya dengan persalinan. Sampai saat ini, penyebab pasti dari preeklampsia
belum diketahui. Bukti-bukti menunjukkan adanya kecenderungan familial untuk terjadinya
preeklampsia dapat diwariskan baik dari gen resesif atau gen maternal dominan dengan 50%
penetrasi. Bukti lain menunjukkan hubungan antara preeklampsia dan keberadaan variasi gen
angiotensinogen T235 serta peranan mutasi faktor V Leiden pada patofisiologi preeklampsia.
Tidak semua kasus memiliki komponen genetik. Faktor predisposisi lain untuk terjadinya
preeklampsia meliputi kelainan-kelainan yang dikarakterisasi oleh penyakit mikrovaskular
seperti riwayat hipertensi, penyakit kolagen vaskular, peningkatan konsentrasi plasma dari
dimetilarginin asimetris, sindrom antifosfolipid, diabetes melitus, dan juga kondisi-kondisi terkait
dengan plasenta besar seperti kehamilan multipel (gemeli), mola hidatidosa, dan hydropic
plasenta. Sebagai tambahan, telah didapati bahwa pada banyak wanita preeklamtik, aktivitas
simpatis meningkat secara reversibel yang menyebabkan penambahan vasokonstriksi. Semua
mekanisme ini menyebabkan perfusi plasenta yang buruk dan telah disepakati secara umum
bahwa penurunan aliran darah ke plasenta memegang peranan penting dalam patogenesis
preeklampsia (Frishman et al., 2006).
Faktor risiko yang berhubungan dengan preeklampsia yaitu kehamilan pertama, usia
maternal <20 tahun atau >35 tahun, obesitas, kehamilan kembar (gemeli), riwayat keluarga
dengan
preeklampsia
atau
eklampsia,
riwayat
medis
sebelumnya
(hipertensi,
polikista ovarii,
antiphospholipid antibody syndrome, non-immune hydrops, dan penyakit ginjal), ras maternal
Afrika-Amerika, dan kehamilan mola (Alladin and Harrison, 2012; APEC, 2014).
5
Patofisiologi
Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak
ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar, teori-teori yang sekarang banyak
dianut adalah:
1
2
3
4
5
6
7
patofisiologi preeklampsia. Tahap pertama, yaitu penurunan perfusi plasenta dianggap sebagai
"akar penyebab". Hal ini kemudian pada beberapa, namun tidak semua wanita, akan
berkembang ke tahap kedua, yaitu sindrom maternal multisistemik dari preeklampsia (Roberts
and Gammill, 2005).
Pada kehamilan normal, arteri spiralis akan mengalami remodeling pada minggu ke-9-12
usia kehamilan. Vili sitotrofoblas akan masuk ke sepertiga bagian dalam miometriumdan arteri
spiralis akan kehilangan endotelium sehingga membuat diameter lumen pembuluh darah
meningkat 4 kali lipat. Dinding pembuluh darah juga mengalami modifikasi dengan hilangnya
sebagian besar serabut otot polos. Modifikasi struktural tersebut berhubungan dengan
perubahan fungsional sehingga arteri spiralis menjadi pembuluh yang lembek dan memiliki
resistensi rendah sehingga kurang sensitif, atau bahkan tidak sensitif, terhadap zat-zat
vasoaktif. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Respon imun juga memfasilitasi
perkembangan plasental yang normal. Dalam desidua uterus, limfosit dan makrofag ibu akan
membantu trofoblas menginvasi miometrium dan arteri spiralis (Redman and Sargent, 2005;
Prawirohardjo, 2011; Uzan et al., 2011).
Pada preeklampsia, terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis yang mensuplai ruang
intervillous. Remodeling dapat tidak terjadi sama sekali ataupun hanya terbatas pada bagian
superfisial arteri yang terletak di desidua dan tidak mencapai sepertiga bagian dalam
miometrium. Kelainan ini disebabkan karena kegagalan produksi molekul adhesi endotel dari
trofoblas atau kegagalan/lemahnya signaling sistem imun oleh trofoblas mencegah invasi yang
mendalam yang diperlukan untuk remodeling arteri pada keadaan normal.Kelainan ini mungkin
juga berhubungan dengan jalur nitric oxide, yang memberi kontribusi besar terhadap
pengendalian tonus pembuluh darah. Selain itu, hambatan sintesis nitrit oksida maternal
mencegah terjadinya implantasi embrio. Peningkatan resistensi arteriuterina meningkatkan
sensitivitas terhadap vasokonstriksi sehingga menyebabkan iskemia plasenta kronis dan stress
oksidatif. Iskemia plasenta kronis ini menyebabkan komplikasi pada janin, termasuk retardasi
pertumbuhan intrauterine (IUGR) dan kematian intrauterin. Di samping itu, stress oksidatif akan
menginduksi pelepasan zat-zat seperti radikal bebas, lipid teroksidasi, sitokin, dan serum
soluble vascular endothelial growth factor 1 (sVEGF1) ke dalam sirkulasi maternal. Keadaan ini
menyebabkan disfungsi endotel dengan hiperpermeabilitas vaskular, trombofilia, dan hipertensi
sebagai kompensasi penurunan aliran arteri uterina akibat vasokonstriksi perifer (Redman and
Sargent, 2005; Uzanet al., 2011).
vaskular
pada
podosit
menyebabkan
endoteliosis
lebih
mampu
memblok
celahdiafragma pada membrana basalis, menyebabkan penurunan lebih lanjut terhadap filtrasi
glomerulus
dan
menyebabkan
proteinuria.
Pada
akhirnya,
disfungsi
endotel
dapat
menyebabkan sekresi tumor necrosis factor alpha yang menginduksi apoptosis dari
sitotrofoblas ekstravili. Sistem antigen leukosit manusia (HLA) juga tampaknya memainkan
peran dalam invasi yang tidak sempurna dari arteri spiralis, pada wanita dengan preeklampsia
menunjukkan kurangnya tingkat HLA-G dan HLA-E. Selama kehamilan normal, interaksi antara
sel-sel ini dan trofoblas adalah karena sekresi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
placental growth factor(PGF) oleh sel-sel natural killer (NK). Tingginya kadar larut fms-like
tyrosine kinase 1 (sFlt-1), antagonis VEGF dan PGF, telah ditemukan pada wanita dengan
preeklampsia. Faktor-faktor ini akan meningkat 4-8 minggu sebelum onset penyakit. Oleh
karena itu, hal ini mungkin berguna sebagai indikator dari preeklampsia (Uzan et al., 2011).
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa akan ditemukan keluhan antara lain nyeri abdomen,
sakit kepala, muntah, pandangan kabur, kejang, oliguria, dan sesak. Dari pemeriksaan fisik
ditemukan tekanan darah di atas 140/90 mmHg, dapat juga didapatkan nyeri pada right upper
quadran abdomen dan epigastrium. Hal ini terjadi karena edema hati dan hematoma atau
perdarahan subcapsular (Park and Brewster, 2007).
7 Penatalaksanaan
1 Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan
Hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan preeklampsia ringan adalah
keselamatan
ibu
dan
janin
serta
pemilihan
cara
persalinan.
Langkah-langkah
penatalaksanaannya juga tergantung dari hasil evaluasi keadaan ibu dan janin, usia kehamilan,
ada tidaknya pecah ketuban, perdarahan vagina, dan permintaan dari pasien sendiri (ACOG,
2013; Royal College of Physicians of Ireland, 2013).
Tujuan utama dari penatalakasanaan preeklampsia ringan adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, gangguan fungsi organ vital sehingga dapat melahirkan bayi yang
sehat (Prawirohardjo, 2011).
a Penatalaksanaan Antepartum
Pasien dapat dirawat secara rawat jalan. Ketika pasien mulai terdiagnosis sampai pasien
melahirkan, perlu dilakukan monitoring ketat terhadap keluhan terutama yang mengarah
pada tanda-tanda adanya preeklampsia berat (impending eclampsia) seperti ada tidaknya
nyeri kepala hebat, penglihatan kabur, nyeri epigastrik, dan sesak napas. Keluhan
mengenai gerakan janin juga perlu ditanyakan. Pasien diminta melakukan ANC secara
rutin
untuk
mengetahui
status
janin
dan
jika
perlu
USG
untuk
mengetahui
Pasien diberi KIE untuk banyak istirahat dengan tidur miring ke kiri, namun tirah baring
lama
tidak
dianjurkan
karena
dapat
meningkatkan
risiko
tromboemboli.
Obat
antihipertensi juga tidak perlu diberikan dan tidak ada batasan jumlah garam dalam
konsumsi makanan selama fungsi ginjalnya masih bagus. Pasien disarankan banyak
makan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan diberikan
tambahan roboransia pranatal (Prawirohardjo, 2011; ACOG, 2013; Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Pada keadaan tertentu, pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria rawat inap antara lain
bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan kadar proteinuria selama 2 minggu dan
b
berat,
perlu
diperhatikan
mengenai
usia
Diberikan infus 6 gr dalam 500 mL larutan ringer laktat atau ringer asetat/6 jam atau
diberikan 4 atau 5 gr IM selanjutnya diberikan 4 gr IM tiap 4-6 jam.
Syarat-syarat pemberian, yaitu tersedia Ca glukonas sebagai antidotum, refleks patella
(+) kuat, dan RR >16 kali/menit. Dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah 24
jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Bila terjadi refrakter dapat diberikan
salah satu obat berikut yaitu tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin
(Prawirohardjo, 2011).
Pada pasien preeklampsia berat, dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi.
Tujuan terapi pada wanita tanpa penyakit penyerta sebelumnya adalah sistolik antara 130-155
mmHg dan diastolik 80-105 mmHg. Pada wanita dengan penyakit penyerta sebelumnya seperti
diabetes atau gangguan ginjal, maka sistolik antara 130-139 mmHg dan diastolik 80-89 mmHg.
Pemberian obat dilakukan satu jenis terlebih dahulu kemudian ditingkatkan dosisnya hingga
dosis maksimal sampai mencapai tujuan tekanan darah yang diinginkan. Apabila tidak tercapai,
dapat diberikan dua jenis obat secara bersamaan (Prawirohardjo, 2011; Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Rekomendasi obat yang dapat diberikan antara lain:
a Nifedipin dengan dosis awal 10-20 mg diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimal 120
mg/24 jam. Obat ini merupakan antihipertensi poten dan pemberiannya tidak boleh
dilakukan sublingual karena menyebabkan penurunan darah yang cepat sehingga dapat
b
sehingga perlu dilakukan pengelolaan cairan yang tepat dengan memonitoring input dan output
cairan. Cairan yang dapat diberikan RD5 <125 cc/jam atau infus D5 yang setiap 1 liternya
diselingi dengan RL 60-125 cc/jam. Untuk memonitorng output cairan dapat dipasang foley
catheter (Prawirohardjo, 2011). Pasien dengan preeklampsia berisiko tinggi untuk terkena
penyakit tromboemboli. Oleh karena itu, semua pasien seharusnya mendapatkan heparin baik
saat sebelum maupun setelah pasien mobilisasi penuh pasca melahirkan. Apabila terjadi
edema paru atau payah jantung kongestif maupun edema anasarka dapat diberikan diuretik
furosemid. Pemberian glukokortikoid digunakan untuk pematangan paru janin. Glukokortikoid
diberikan pada kehamilan 32-34 minggu (Prawirohardjo, 2011; Royal College of Physicians of
Ireland, 2013).
Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejalagejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi
menjadi:
-
(Prawirohardjo, 2011):
a
Pada ibu
Umur kehamilan 37 minggu
Adanya tanda/gejala impending eclampsia
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif antara lain keadaan klinik dan
laboratorium memburuk
Diduga terjadi solusio plasenta
Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
Pada janin
Tanda-tanda fetal distress
Tanda-tanda IUGR
NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
Oligohidroamnion
Hasil laboratorium
Tanda-tanda sindroma HELLP, khususnya menurunnya trombosit dengan cepat.
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm 37 minggu tanpa disertai
tanda-tanda impending eclampsia dan keadaan janin baik. Pada perawatan ini, pengobatan
yang diberikan sama dengan saat pengelolaan secara aktif. Loading dose SM cukup diberikan
IM saja. Observasi dan evaluasi tetap dilakukan. SMdihentikan bila ibu sudah mencapai tandatanda preeklampsia ringan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak
ada perbaikan, maka dianggap sebagai kegagalan dan harus dilakukan terminasi. Pasien boleh
dipulangkan jika penderita kembali ke gejala atau tanda preeklampsia ringan (Prawirohardjo,
2011).
partum. Eklampsia post partum umumnya hanya terjadi 24 jam pertama setelah persalinan.
Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia. Kejang dimulai dengan kejang tonik selama
15-30 detik kemudian disusul dengan kejang klonik 1 menit. Kontraksi kemudian
berangsur-angsur melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam keadaan
koma (Prawirohardjo, 2011).
Sindroma HELLP
Sindroma HELLP ialah bentuk yang parah dan serius dari preeklampsia, ditandai
dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia. Hemolisis ditandai
dengan kenaikan LDH ( 600 IU/L), kenaikan bilirubin indirek ( 1,2 mg/dL), dan rendahnya
kadar serum haptoglobin (jarang digunakan). Peningkatan enzim hepar ditandai dengan
kenaikan ALT dan/atau AST 70 IU/L. Trombositopenia apabila trombosit 100.000/L
(Prawirohardjo, 2011).
c
d
e
hepar.
Gangguan ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
Gangguan hematologi: DIC, trombositopenia, dan hematoma luka operasi.
Gangguan kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik,
depresi atau arrest pernapasan, henti jantung, dan iskemia miokardium.
Lain-lain:
asites,
edema
laring,
hipertensi
yang
tidak
terkendalikan
Long-Term Sequale
Wanita preeklampsia memiliki peningkatan risiko terjadinya dislipidemia dan resistensi
insulin. Selain itu, hipertensi kronis sensitif garam akibat dari kerusakan ginjal yang terjadi
selama preeklampsia juga dapat terjadi. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa wanita
dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko berkembangnya penyakit kardiovaskular di
kemudian hari. Mortalitas penyakit kardiovaskuler pada wanita dengan riwayat preeklampsia
meningkat, dengan peningkatan terhadap penyakit jantung koroner dan stroke. Di samping itu,
beberapa studicase-control dan kohort menyebutkan bahwa terjadi penurunan insiden jangka
panjang kanker payudara pada wanita dengan preeklampsia. Hal ini mungkin dikarenakan
adanya agen anti-angiogenik yang persisten (Park and Brewster, 2007).
10 Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan maka gejala perbaikan akan
tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir, perubahan
patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah
persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik karena hal ini merupakan gejala
pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian
(Prawirohardjo, 2011).
Penelitian yang dikemukakan Berks et al. (2009) menunjukkan bahwa tingkat keparahan
preeklampsia dan interval waktu antara diagnosis dan terminasi kehamilan berhubungan
dengan waktu resolusi dari hipertensi dan proteinuria yang terjadi. Resolusi dapat
membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Oleh karena itu, menurut penelitian ini diagnosis invasif
lebih lanjut untuk mencari penyakit ginjal sebaiknya ditunda hingga 2 tahun post partum.
Hasil penelitian Cochrane yang membandingkan efek penggunaan rutin dari obat
antihipertensi dengan yang tanpa menggunakan obat antihipertensi menunjukkan bahwa
penggunaan rutin dari furosemid atau nifedipin dianjurkan pada hipertensi post partum yang
berat disertai preeklampsia sebelumnya. Wanita yang telah menggunakan obat antihipertensi
sebelum melahirkan direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatannya (WHO, 2011).
11 Pembahasan Permasalahan
Diagnosis
Diagnosis kasus ini didapat berdasarkananamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis, didapatkan pasien wanita berusia 28 tahun dengan status obstetri
G2P1001Ab000gr 30-32 minggu datang ke RSSA dengan keluhan pusing. Pasien merupakan
rujukan dari RSUD Bangil, saat diperiksa di RSUD Bangil didapatkan tekanan darah pasien
220/110 mmHg. Pasien kemudian dirujuk ke RSSA karena tekanan darahnya tetap tinggi
keesokan harinya. Riwayat tekanan darah tinggi sebelum dan selama kehamilan disangkal.
Riwayat penyakit seperti hipertensi di keluarganya juga disangkal oleh pasien. Pasien menjalani
antenatal care (ANC) sebanyak 4 kali dan didapatkan tensi terakhir normal sekitar 120/...
mmHg. Pasien juga mengeluh keluhan pandangan kabur, mual, muntah, serta kaki bengkak.
Dari pemeriksaan fisik saat pasien datang, didapatkan keadaan umum pasien baik dan
compos mentis. Tekanan darah pasien 170/110 mmHg dengan nadi 90 x/menit, regular, kuat.
Laju pernapasan dan temperatur aksila dalam batas normal. Pada pemeriksaan kepala, leher,
dan toraks tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan tinggi fundus
uteri 23 cm letak janin bujur U, BJA 115-118 x/menit(doppler), TBJ 1550 gram, His (-). Pada
ekstremitas didapatkan edema tungkai.
Pada
pemeriksaan
penunjang,
hasil
laboratorium
darah
didapatkan
anemia,
trombositopenia (57.000/L), peningkatan kadar AST (122 U/L) serta LDH (1968 U/L) yang
menunjukkan tanda hemolisis intravaskuler dan kerusakan sel hepatosit hepar. Dari hasil
urinalisis didapatkan proteinuria sebesar +3 yang menandakan adanya peningkatan
permeabilitas membran basalis glomerulus sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria. Proteinuria merupakan salah satu kriteria preeklampsia selain adanya hipertensi.
Pada pemeriksaan CTG, didapatkan hasil CTG patologis yaitu adanya deselerasi tanpa
akselerasi. CTG merupakan alat diagnostik untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi
plasenta akut atau kronik dan kecurigaan adanya fetal growth restriction.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosa preeklampsia berat karena tekanan darah pasien >160/110 mmHg pada usia
kehamilan > 20 minggu, tanpa disertai riwayat hipertensi sebelumnya dan disertai dengan
proteinuria +2. Pasien ini juga mengalami trombositopenia dan gangguan fungsi hepar yang
dapat menjadi salah satu kriteria diagnosis preeklampsia berat apabila tidak ditemukan
proteinuria. Adanya trombositopenia, peningkatan kadar AST, serta peningkatan LDH pada
pasien ini memenuhi kriteria diagnosis sindroma HELLP sehingga pasien dapat didiagnosa
mengalami sindroma HELLP yang menurut klasifikasi Mississipi termasuk dalam kelas 1
(trombosit 50.000/L). Dari hasil pemeriksaan CTG, didapatkan hasil CTG patologis yang
mengindikasikan adanya fetal compromise.
2
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada preeklampsia berat tergantung pada usia kehamilannya.
dapat diberikan diuretik furosemid. Pemberian glukokortikoid digunakan untuk pematangan paru
janin. Glukokortikoid efektif diberikan pada kehamilan 32-34 minggu (Prawirohardjo, 2011).
Pasien diberikan IVFD RD5 20 tpm atau sekitar 60 cc/jam dan dipasang foley catheter untuk
monitoring produksi urinnya. Pada pasien ini tidak didapatkan adanya edema paru yang
dibuktikan dari pemeriksaan toraks tidak didapatkan adanya ronki sehingga tidak diperlukan
pemberian diuretik. Untuk pematangan paru janin, diberikan dexamethasone 2x16 mg IV
karena usia kehamilan pasien masih 30-32 minggu.
Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari usia kehamilan dan perkembangan gejalagejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dapat aktif
maupun konservatif (Prawirohardjo, 2011). Pada pasien ini sudah terjadi komplikasi berupa
sindroma HELLP dan pada pemeriksaan CTG didapatkan gambaran CTG patologis dengan
deselerasi
sehingga
sikap
terhadap
kehamilannya
bersifat
aktif
dengan
diterminasi
Komplikasi
Pada pasien ini telah dilakukan upaya pencegahan terhadap komplikasi eklampsia
dengan cara pemberian injeksi SM 20% 4 gram IV bolus pelan, dilanjutkan dengan injeksi SM
40% 10 gr IM boka-boki. Untuk maintenance dosenya, diberikan SM40% 5 gr boka-boki tiap 6
jam apabila tidak terdapat kontraindikasi. Pada pasien ini tidak didapatkan kontraindikasi seperti
menghilangnya refleks patella, distres napas, dan oligouria sehingga pemberian dilanjutkan
hingga 24 jam pasca persalinan.
Komplikasi yang terjadi pada pasien ini adalah sindroma HELLP, yang ditandai dengan
hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia. Hasil laboratorium pasien ini
menunjukkan adanya kenaikan LDH ( 600 IU/L; pada pasien 1968 U/L), peningkatan enzim
hepar berupa kenaikan AST 70 IU/L (pada pasien 122 U/L), dan trombositopenia (trombosit
100.000/L; pada pasien trombosit 57.000/L).
Komplikasi yang terjadi pada janin pasien berupa fetal compromise, yang tampak pada
hasil CTG yang menunjukkan gambaran CTG patologis.
4
Prognosis
Prognosis pasien ini masih harus dilihat dari perkembangan tekanan darah dan
proteinuria yang terjadi. Prognosis pasien ini dubia ad bonam karena keadaan umum telah baik
dan stabil. Namun kemungkinan terjadinya preeklampsia pada kehamilan berikutnya masih
dapat terjadi.Prognosis bayi pasien ini dubia ad malam karena bayi lahir kurang bulan dengan
berat 1.440 gram.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
1
Kesimpulan
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien dalam laporan
kasus ini didiagnosis dengan G2P1001Ab000 gr 30-32 minggu, T/H + preeklampsia berat + HELLP
syndrome + fetal compromise.Pasien ini termasuk dalam kehamilan risiko tinggi dengan tinggi
badan 145 cm, terlalu lama hamil lagi (10 tahun), dan mengalami preeklampsia berat. Pasien
harus segera dilakukan terminasi kehamilan dengan SCTP karena pasien mengalami
preeklampsia berat dengan komplikasi sindroma HELLP dan dari hasil CTG diperoleh fetal
compromise.
2
Saran
1 Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya ANC untuk
2
deteksi dini preeklampsia agar perencanaan tatalaksana yang efektif dapat dilakukan.
Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang mengalami
preeklampsia untuk menjalani pengobatan yang tepat termasuk melahirkan bayi dengan
lebih awal secara normal atau SC untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mortalitas
ibu dan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Alabama Perinatal Excellence Collaborative (APEC). 2014. Preeclampsia. Protocol 15, version
2.
Alladin AA and Harrison M. 2012. Preeclampsia Systemic Endothelial Damage leading to
Increased Activation of the Blood Coagulation Cascade.Journal of Biotech Research; 4:
26-43.
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) Committee on Obstetric Practice.
2013. Hypertension in Pregnancy. Obstet Gynecol; 2: 1718.
Berks D, Steegers EA, Molas M, et al. 2009. Resolution of Hypertension and Proteinuria After
Preeclampsia. Obstet Gynecol; 114 (6): 1307-14.
Collino F., et al. 2008. Preeclamptic Sera Induce Nephrin Shedding from Podocytes through
Endothelin-1 Release by Endothelial Glomerular Cells. Am J Physiol Renal Physiol, 294:
F1185-F1194.
Cunningham, FG et al. 2010. Williams Obstetrics: 23rd Edition. New York: McGraw-Hill.
Frishman, WH et al. 2006. Pathophysiology and Medical Management of Systemic
Hypertension in Preeclampsia. Current Hypertension Reports, 8: 502511.
Ghulmiyyah L. and Sibai B. 2012. Maternal Mortality from Preeclampsia/eclampsia. Semin
Perinatol, 36 (1): 56-9.
Haram K., Svendsen Einar, and Abildgaard Ulrich. 2009. The HELLP Syndrome: Clinical Issues
and Management. A Review. BMC Pregnancy and Childbirth, 9: 8.
Henderson, JT et al. 2014. Low-Dose Aspirin Use for Prevention of Morbidity and Mortality from
Preeclampsia: A Systematic Evidence Review for the U.S. Preventive Service Task Force.
Annals of Internal Medicine, 160: 695-703.
Hezelgrave NL, Duffy SP, and Shennan AH. 2012. Preventing the Preventable: Pre-eclampsia
and Global Maternal Mortality. Obstetrics, Gynaecology, and Reproductive Medicine, 22
(6): 170-172.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi 1; 4: 109-117.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Kementrian Kesehatan
RI. Jakarta.
Lam C., Lim KH., Karumanchi SA. 2005. Circulating Angiogenic Factors in the Patogenesis and
Prediction of Preeclampsia. Hypertension, 46: 1077-1085.
Magee LA., Pels A., et al. 2014. Diagnosis, Evaluation, and Management of the Hypertensive
Disorders of Pregnancy: Executive Summary. J Obstet Gynaecol Can; 36 (5): 416-438.
Mutter, WP and Karumanchi SA. 2008. Molecular Mechanism of Preeclamsia. Microvasc Res,
75 (1): 1-8.
Opitasari, C. dan Andayasari, L. 2014. Parity, Education Level and Risk for (Pre-) eclampsia in
Selected Hospitals in Jakarta. Health Science Journal of Indonesia, Volume 5, pp 35-36.
Osungbade KO and Ige, OK. 2011. Public Health Perspectives of Preeclampsia in Developing
Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal of Pregnancy. Hindawi
Publishing Corporation. p: 1-4.
Park M. and Brewster UC. 2007. Management of Preeclampsia. Hospital Physician, pp 25-32.
Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka.
Redman CW and Sargent IL. 2005. Science. Jun 10: 308 (5728): 1592-4.
Roberts, J.M. and Gammill HS. 2005. Preeclamsia. Hypertension, 46: 1243-1249.
Royal College of Physicians of Ireland. 2013. The Diagnosis and Management of Pre-eclampsia
and Eclampsia. Clinical Practice Guideline, version 1.0, guideline no.3.
Staff AC., Benton SJ., et al. 2013. Redefining Preeclampsia Using Placenta-Derived
Biomarkers. Hypertension, 61: 932-942.
Uzan J., Carbonnel M., Piconne O., Asmar R., Ayoubi JM. 2011. Pre-eclampsia:
Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Dove Medical Press, 7: 467-474.
World Health Organization (WHO). 2011. WHO Recommendations for Prevention and
Treatment of Pre-eclampsia and Eclampsia. Geneva.