PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
berdaulat secara
membuat fungsi Desa menjadi terbatas dan tidak memberikan ruang gerak bagi
Desa untuk mengurus Tata Pemerintahannya sendiri.
Demikian juga dalam hal perencanaan pembangunan. Desa hanya menjadi
bagian dari perencanaan daerah yang secara normatif-metodologis ditempuh secara
partisipatif dan berangkat dari bawah (bottom up). Setiap tahun Desa diwajibkan
untuk menyelenggarakan Musrenbangdes untuk mengusulkan rencana kepada
kabupaten. Praktik
banyak hal pasal-pasal tentang Desa baru bisa dijalankan setelah lahir
2013.Selanjutnya,PresidenSusiloBambangYudhoyonopadatanggal15Januari
2014 telah menandatangani pengesahan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentangDesatersebut(UUDesa).DalamprosespembahasandiDPRRI,perdebatan
terhadapmateriUndangUndangDesaitumemakanwaktubertahuntahun.Undang
UndangDesadibentukberdasarkanbeberapapertimbangan.Pertama,Desamemiliki
hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatsetempatdanberperanmewujudkancitacitakemerdekaanberdasarkan
UndangUndangDasarNegaraRepublikIndonesiaTahun1945(UUDNRI1945).
Kedua, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah
berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan
agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan
landasanyangkuatdalammelaksanakanpemerintahandanpembangunanmenuju
masyarakatyangadil,makmur,dansejahtera.Ketiga,Desadalamsusunandantata
carapenyelenggaraanpemerintahandanpembangunanperludiaturdenganundang
undangtersendiri.SebelumlahirnyaUndangUndangDesa,pengaturanmengenai
desadiaturdalamUndangUndangNo32Tahun2004tentangPemerintahanDaerah
(UndangUndangPemda).SejalandenganberlakunyaUndangUndangDesatersebut
maka ketentuan mengenai desa dalam UndangUndang Pemda dicabut dan
dinyatakantidakberlaku.
UndangUndang Desa disusun dengan semangat penerapan amanat
konstitusi,yaitupengaturanmasyarakathukumadatsesuaidenganketentuanPasal
18B ayat (2) dan Pasal 18 ayat (7) UUD NRI 1945, dengan konstruksi
menggabungkan fungsi self governingcommunity dengan localselfgovernment,
sehingga landasan konstitusional ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi masa
depandesadiIndonesia.Namun,apakahpengaturandesadalamUndangUndang
Desa sudah cukup komprehensif sebagai pondasi bagi pembangunan dan
pemberdayaan desa? UndangUndang Desa terdiri dari 16 Bab dan 122 Pasal,
antaralainmengaturkedudukandanjenisdesa,penataandesa,kewenangandesa,
penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat,
keuangandanasetdesa,pembangunandesadanpembangunankawasanperdesaan,
Badan Usaha Milik Desa, kerjasama desa, serta pembinaan dan pengawasan.
DefinisidesaataudisebutdengannamalaindalamUndangUndangDesaadalah
kesatuanmasyarakathukumyangmemilikibataswilayahyangberwenanguntuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkanprakarsamasyarakat,hakasalusul,dan/atauhaktradisionalyangdiakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desaberkedudukandiwilayahkabupaten/kota.Substansiyangcukuppentingdalam
UndangUndangDesaadalahmengenaiasasdalamkontekspengaturandesa,antara
lainasasrekognisi,yaitupengakuanterhadaphakasalusul.
B. Arah Kebijakan baru Desa Berdasarkan Undang-Undang 6 Tahun 2014 dan
Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2014 tentang Desa
10
upayameningkatkankinerjakelembagaanditingkatdesa,memperkuatkebersamaan,
serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.Pemerintah desa
dan/atauBPDmemfasilitasipenyelenggaraanmusyawarahdesaMusyawarahdesa
atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara BPD,
pemerintah desa dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD untuk
memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa. Salah satu substansi penting yang tertuang
dalamUUDesaadalahpengaturantentangkeuangandesa.UndangUndangDesa
menyatakanbahwadesamempunyaisumberpendapatanyangterdiridari:
a.pendapatanaslidesa
b.alokasianggaranAPBN
c.bagihasilpajakdaerahdanretribusidaerahKabupaten/Kota
d.alokasidanadesayangmerupakanbagiandaridanaperimbangankeuanganpusat
dandaerahyangditerimaolehKabupaten/Kota
e.bantuankeuangandariAPBDProvinsidanAPBDKabupaten/Kota
f.hibahdansumbanganyangtidakmengikatdaripihakketiga,serta
g.lainlainpendapatandesayangsah.Khususpointb,alokasianggaran
yangberasaldariAPBN,bersumberdariBelanjaPusatdenganmengefektifkan
programyangberbasisdesasecarameratadanberkeadilan.DalampenjelasanPasal
dijelaskanbahwabesaranalokasianggaranyangperuntukannyalangsungkedesa
ditentukan10%(sepuluhperseratus)daridandiluardanaTransferDaerah(ontop)
11
12
13
14
15
mengidentifikasi
permasalah
dan
hambatan
kinerja
dalam
usaha
16
dan peraturan
17
18
19
serta pengawasan.Desa yang maju, kokoh, mandiri dan demokratis yang pada
akhirnya menuju kesejahteraan rakyat, azaz rekognisi Desa tidak bisa dipandang
dan ditempatkan dengan asas desentralisasi dan residualitas.Artinya desa bukan
sekadar organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan
kabupaten/kota, atau desa bukan residu (sisanya sisa) kabupaten/kota.
Desa lebih tepat dipandang dengan rekognisi (pengakuan dan penghormatan) dan
subsidiaritas. Artinya negara mengakaui dan menghormati desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum (adat).Rekognisi terhadap eksistensi desa, hak-hak tradisional dan
prakarsa desa definisi dan makna dari implikasi rekognisi Desa adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa
(baik yang adat maupun desa) merupakan kesatuan dan subyek hukum, sehingga
merupakan organisasi pemerintahan berbasis masyarakat, pemerintahan yang
menyatu dengan masyarakat atau pemerintahan milik masyarakat. Atau pemerintahan
paling depan, paling bawah dan paling dekat dengan masyarakat.Mengatur berarti
membuat keputusan untuk mengalokasikan sumberdaya dan menyelesaikan masalah
yang mengikat banyak orang.Mengurus berarti mengelola atau melaksanakan.Urusan
pemerintahan merupakan bidang kegiatan atau hajat hidup orang banyak atau
kepentingan warga yang telah menjadi domain kewenangan pemerintah supradesa,
20
Mekanisme penataan desa antara lain penetapan desa dan desa adat melalui Perda
Kabupaten/kota. Penyesuaian kelurahan, yaitu kelurahan yang sebenarnya berwajah
desa dikembalikan menjadi desa, contohnya kelurahan di ibukota kecamatan.Desa
ada sesuai ketentuan umum ialah kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis,
maupun yang bersifat fungsional.Merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bentuk
Status
Azas
Contoh
Desa administratif
(Local state
government)
Desa administratif,
atau semacam unit
birokrasi sebagai
kepanjangan tangan
negara di tingkat
lokal.
Sebagai satuan
kerja
perangkat
pemerintah daerah.
Delegasi atau tugas
Pembantuan
Kelurahan
21
Desain
institusional
Desa mempunyai
kewenangan asal- usul
Desa mengelola
urusanurusan
masyarakat yang
berskala lokal.
Mempunyai susunan
asli.
Mempunyai institusi
demokrasi
komunitarian
(musyawarah).
Pemerintah
memberikan
bantuan keuangan
Desapraja
Status desa seperti
daerah otonom.
Pemerintah
memberikan
desentralisasi
(penyerahan)
urusanurusan
menjadi
kewenangan desa.
Mempunyai
institusi
politik demokrasi
modern (elektoral
dan
perwakilan)
Pemerintah wajib
mengalokasikan
(alokasi)
anggaran untuk
membiayai
pelaksanaan
kewenangan/urusan.
Desa menjalankan
tugastugas
administratif dan
pelayanan yang
ditugaskan
pemerintah.
Tidak mempunyai
institusi demokrasi
dan tidak ada
otonomi.
Menerima dana
belanja aparatur
dari pemerintah
Tabel 2
Kelebihan dan Kekurangan
Keunggulan
Desa Otonom
Kedudukan dan formatnya
lebih mudah, simpel dan
konkruen dengan
pemerintahan daerah.
Memperjelas pembagian
urusan dari pemerintah
kepada desa.
Memungkinkan terjadinya
penyebaran sumberdaya
pada rakyat di level grass
roots(desa).
Mengakhiri dualisme dan
benturan antaramodernisme
vs tradisionalisme atau
22
antara
desa dinas/administratif dan
desa adat.
Desa menjadi lebih
modern
dan dinamis.
Kelemahan
(termasuk
tantangan, risiko
dan keterbatasan)
Mengalami
kerumitan/kesulitan
dalam merumuskan disain
kelembagaan pengakuan (apa
yang diakui, siapa yang
mengakui,
dan bagaimana mengakui).
Rumit/sulit dalam
merumuskan
format keragaman lokal.
Lokal cenderung
prasmanandalam mengatur
dan mengurusdesa.
Pemerintah sulitmenentukan
standar nasional dalam
pengaturan dan pelayanan
publik
pada masyarakat desa.
Bahkan sulit membangun
kesatuan dalam keragaman.
Yangmenonjol adalah
keragamandalam kesatuan.
Desa terus terjebak dalam
tradisionalismeromantisme
dansulit berkembang secara
dinamis
23
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
A. Cara Pandang Kedudukan Desa
Sejauh ini ada tiga perspektif untuk menempatkan kedudukan desa di Indonesia dan
di banyak negara, sebagaimana terlihat dalam Pilihan kedudukan desa sebaiknya
konsisten pada satu kedudukan agar lebih jelas dan tidak menimbulkan tarikmenarik
kekuasaan dan tanggungjawab. Filipina misalnya, menempatkan desa (barangay)
sebagai desa otonom (local self government).Negaranegara Eropa menempatkan
commune atau Inggris Raya menempatkan parish sebagai organisasi komunitas lokal
atau self governing community. Dalam tabel itu terlihat ada tiga bentuk kedudukan
desa: desa adat atau desa sebagai kesatuan masyarakat (selfgoverning community),
desa otonom (local self government) dan desa administratif (local state government).
Dalam konteks Indonesia, perdebatan yang menonjol sebenarnya antara pandangan
desa adat atau otonomi asli dengan desa otonom atau daerah otonom tingkat III.
Bentuk desa administratif merupakan tambahan yang mulai diperkenalkan sejak
Orde Baru hingga sekarang.juga menunjukkan kelebihan dan kekurangan antara
otonomi asli desa dengan desa otonom. Kalau ditimbangtimbang kedudukan
24
desa otonom merupakan pilihan yang lebih tepat untuk memperkuat desa, tetapi
pilihan akan kedudukan ini mengandung tantangan yang besar.
Pengalaman Sebelumnya
Pembicaraan tentang kedudukan daerah dan desa selalu mengacu pada Pasal 18
UUD 1945. Pada bab IV Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan
Daerah, disebutkan:
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undangundang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara, dan hakhak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat
istimewa.
Dalam bagian penjelasan dinyatakan:
Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen
dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.Daerahdaerah itu mempunyai
susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa.
Selanjutnya dinyatakan juga:
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebutdan segala peraturan negara yang mengenai daerah daerah itu akan
mengingati hak-hak asalusul daerah tersebut.
Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Zelfbesturende berjumlah
sekitar 250 yang tersebar di seluruh Indonesia.Zelfbesturende Landschappen adalah
daerah swapraja, yaitu wilayah yang dikuasai oleh raja yang mengakui kekuasaan
dan kedaulatan Pemerintah jajahan Belanda melalui perjanjian politik.Secara
teoretis, Zelfbesturende Landschappen itu disebut dengan daerah otonom (local self
25
government)
yang
dibentuk
dengan
azas
desentralisasi,
26
27
berbuat apaapa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonanntie itu
diikat pada adatadat, yang sebetulnya di desa itu sudah tidak hidup lagi.
Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya, adat
yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya karena
kepentingan penjajah menghendaki itu.Desa tetap tinggal terbekalang, negara tidak
berdaya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah.Tetapi Pemerintahan
Republik kita mempunyai tujuan sebaliknya.Untuk memenuhi pasal 33 UUD,
negara dengan rakyat Indonesia harus makmur.Untuk mendapatkan kemakmuran
itu harus dimulai dari bawah, dari desa.Oleh karena itu, desa harus dibikin di dalam
keadaan senantiasa bergerak maju (dinamis). Maka untuk kepentingan itu
pemerintahan desa dimasukkan di dalam lingkungan pemerintahan yang diatur
dengan sempurna (modern), malah tidak sebegitu saja, tetapi juga akan diusulkan
supaya bimbingan terhadap daerahdaerah yang mendapat pemerintahan menurut
Undangundang pokok ini lebih diutamakan diadakan di desa. Tetapi UU No.
22/1948, terutama dalam hal desa, tidak berjalan karena munculnya Konstitusi RIS
dan Undangundang Dasar Sementara 1950.Di bawah UUDS 1950 itu lahirlah UU
No. 1/1957.UU yang lahir di era demokrasi parlementerliberal inimemandang desa
secara berbeda dengan pandangan UU No. 22/1948.Meskipun UU No. 1/1957
membagi daerah menjadi tiga tingkatan, tetapi tidak cukup jelasmenyebut desa
sebagai daerah otonom tingkat III.
Bahkan penjelasan politik UU ini tentang desa berbeda secara kontras dengan
pandangan UU No. 22/1948: Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempattempat
28
yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam
pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya
memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada kabupaten di bawah Propinsi,
atau menciptakan dengan cara bikinbikinan wilayah administratief dalam
kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi.
Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara
bikinbikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuankesatuan masyarakat hukum
yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan
otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang
sungguh mempunyai faktorfaktor pengikut kesatuannya. Sebab itulah maka
hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3)
tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan hal
hal adanya atau tidak adanya kesatuankesatuan masyarakat hukumadat sebagai
dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi
bahwa urusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukumadat, sehingga
manakala sesuatu kesatuanmasyarakat hukumadat dijadikan menjadi satu daerah
otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah
berarti, bahwa tugastugas kepalakepala adat dengan sendirinya telah terhapus.
Yang mungkin terhapus hanya segisegi hukumadat yang bercorak ketatanegaraan,
manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukumadat itu dijadikan daerah
otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan kekuasaan ketata
negaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu.
29
30
Republik
Indonesia
yang
mencakup
segala
pokokpokok
31
32
33
lebih
dahulu
mengingat
besar
kecilnya
desaprajayang
34
35
Tetapi
sayangnya
posisi
desa
ditempatkan
dalam
subsistem
Hukum
tatanegara
dan
teori
desentralisasi
36
4. Secara empirik otonomi desa dalam otonomi daerah itu tidak berjalan.Secara
hukum desa menjadi insider kabupaten/kota, tetapi secara politikempirikdesa
sebenarnya dianggap outsider oleh pejabat daerah.UU No.32/2004 dan PP No.
72/2005 beserta aturan pelaksanaannya tidak berjalansecara optimal karena
sebagian besar pemerintah kabupaten/kota engganberbagi sumberdaya kepada
kepada desa.Bahkan kebanyakan bupatimelakukan politisi terhadap desa untuk
kepentingan jangka pendek. Masalah-masalahyang terkait desa tidak bisa selesai
di level kabupaten tetapi selaludibawa naik ke pusat, termasuk melempar aksi
kolektif orang desa darikabupaten ke provinsi dan dari provinsi ke pusat.
Kesulitan Pilihan
Selama ini pemilihan secara tegas dan konsisten pada salah satu kedudukan
desamengalami
kesulitan
yang
serius.Mengapa?Pertama,
ada
kesulitan
37
sebaiknya
melakukan
desentralisasi
teritorial,
yang
membagi
yangmengharuskan
negara
memberikan
desentralisasi
kepada
38
3. Tafsir pragmatis: Tafsir yang berdasar pada Pasal 18 UUD 1945 amanden kedua.
Hampir sama dengan tafsir kedua, tafsir ini mengatakan bahwa NKRI hanya
dibagimenjadi wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Desentralisasi hanya berhentipada kabupaten/kota, tidak sampai ke desa.Tetapi tafsir ini
berbeda dengan tafsirkedua karena tidak menempatkan kedudukan desa sebagai desa
adat (selfgoverning community), melainkan menempatkan desa sebagai unit
pemerintahandi bawah dan di dalam subsistem pemerintah kabupaten.UU No.
22/1999 dan UUNo. 32/2004, dengan alasan praktis (meninjam istilah Prof. Sadu
Wasistiono),mengikuti tafsir ini.Padahal UUD 1945 tidak secara eksplisit
mengamanatkanpenempatan
kedudukan
desa
dalam
subsistem
pemerintah
39
di
Jawa,
sebagian
Sumatera,
sebagian
Kalimantan,
40
BAB IV
LANDASAN HISTORIS FILOSOFIS,SOSIOLOGIS,YURIDIS, PSIKOPOLITIK
1. Argumen historis
Pertama, Desa-Desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu
merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai
otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal
dan sumberdaya ekonomi pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas
lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan
mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut
dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya
mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan
hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi.
Di Sumatera Barat,
41
Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang peradilan dan
terkadang memainkan peran sebagai badan pertimbangan bagi eksekutif
(Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).
Kedua, secara historis, semua masyarakat lokal di Indonesia mempunyai
kearifan lokal secara kuat yang mengandung roh kecukupan, keseimbangan dan
keberlanjutan, terutama dalam mengelola sumberdaya alam dan penduduk.
Diantara kearifan-kearifan lokal tersebut, ada beberapa aturan hukum adat yang
mengatur masalah pemerintahan, pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan
seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangandan keberlanjutanhubungan antar manusia dan hubungan antara
manusia dengan alam dan Tuhan.
2. Argumen filosofis-konseptual
Pertama, Secara filosofis jelas bahwa sebelum tata pemerintahan di
atasnya ada, Desa itu lebih dulu ada. Oleh karena itu sebaiknya Desa harus
menjadi landasan dan bagian dari tata pengaturan pemerintahan sesudahnya.
Desa yang memiliki tata pemerintahan yang lebih tua, seharusnya juga menjadi
ujung
tombak
dalam
setiap
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
42
(Sutardjo, 1984: 39). Artinya bahwa bangsa dan negara sebenarnya terletak di
Desa, maka pengaturan Desa dalam Undang-Undang adalah sangat mendesak
karena jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan ini akan menentukan
luasnya jangkauan pengaturan mengenai Desa. Artinya pengaturan dalam
Undang-Undang ini akan menentukan pula maju mundurnya Desa yang
berimplikasi pada pemerintahan yang ada di atasnya.
Otonomi dan demokrasi Desa yang akan dibingkai dengan undangundang tentang Desa bukan sekadar perkara kelembagaan semata, melainkan
mempunyai dasar filosofis yang dalam. Kita membutuhkan bangsa yang
mandiri-bermartabat, butuh negara (pemerintah) yang kuat (berkapasitas dan
bertenaga) dan demokratis. Upaya penguatan otonomi daerah dan otonomi
Desa menjadi bagian dari cita-cita itu, sekaligus hendak membangun imajinasi
Indonesia yang kuat dan sempurna, yang melampui (beyond) sentralisme dan
lokalisme. NKRI akan menjadi lebih kuat bila ditopang oleh kedaulatan rakyat
serta kemandirian lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang menghargai lokal
dan lokal yang menghormati pusat. Kemandirian Desa akan menjadi fondasi
dan kekuatan NKRI dan imajinasi Indonesia itu. Jika Desa selamanya marginal
dan tergantung, maka justru akan menjadi beban berat pemerintah dan
melumpuhkan fondasi NKRI. Kedepan kita membutuhkan Desa sebagai entitas
lokal yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara
ekonomi dan bermartabat secara budaya.
43
Ketiga,
Undang-Undang
tentang
pemerintahan
Desa merupakan
instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri,
demokratis dan sejahtera apa maknanya? Pertama, kemandirian Desa bukanlah
kesendirian Desa dalam menghidupi dirinya sendiri. Kemandirian Desa tentu
tidak berdiri di ruang yang hampa politik, tetapi juga terkait dengan dimensi
keadilan yang berada dalam konteks relasi antara Desa (sebagai entitas lokal)
dengan kekuatan supraDesa (pusat dan daerah) yang lebih besar. Secara lokalinternal, kemandirian Desa berarti kapasitas dan inisiatif lokal yang kuat.
Inisiatif lokal adalah gagasan, kehendak dan kemauan entitas Desa yang berbasis
pada kearifan lokal, komunalisme dan modal sosial (kepemimpinan, jaringan
dan solidaritas sosial). Dengan demikian, inisiatif lokal yang kuat merupakan
fondasi lokal bagi kemandirian Desa.Tetapi inisiatif lokal ini tidak bakal tumbuh
dengan baik jika tidak ada ruang yang memungkinkan (enabling) untuk tumbuh.
Regulasi yang mengandung banyak instruksi dan intervensi tentu akan
menumpulkan inisiatif lokal. Karena itu kemandirian Desa membutuhkan
kombinasi dua hal:
Pertama inisiatif lokal dari bawah dan respons kebijakan dari atas
dibutuhkan pengakuan (rekognisi) negara terhadap keberadaan entitas Desa dan
termasuk organisasi masyarakat adat, yang kemudian dilanjutkan dengan
penetapan hak, kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada
Desa. Kewenangan memungkinkan Desa mempunyai kesempatan dan
tanggungjawab mengatur rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat
44
setempat, yang sekaligus akan menjadi bingkai bagi Desa untuk membuat
perencanaan lokal. Perencanaan Desa akan memberikan keleluasaan dan
kesempatan bagi Desa untuk menggali inisiatif lokal (gagasan, kehendak dan
kemauan lokal), yang kemudian dilembagakan menjadi kebijakan, program dan
kegiatan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan Desa.
Kemandirian itu sama dengan otonomi Desa. Gagasan otonomi Desa
sebenarnya mempunyai relevansi (tujuan dan manfaat) sebagai berikut:
45
Kedua, demokrasi adalah nilai dan sistem yang memberi bingkai tata
pemerintahan Desa. Secara konseptual demokrasi mengandung sejumlah prinsip
dasar: representasi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi,
yang semua prinsip ini menjadi fondasi dasar bagi pengelolaan kebijakan,
perencanaan Desa, pengelolaan keuangan Desa dan pelayanan publik. Kalau
prinsip-prinsip dasar ini tidak ada di Desa, maka akan muncul penguasa
tunggal yang otokratis, serta kebijakan dan keuangan Desa akan berjalan apa
adanya secara rutin, atau bisa terjadi kasus-kasus bermasalah yang merugikan
rakyat Desa. Demokrasi Desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk
menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah Desa. Aspirasi adalah fondasi
kedaulatan rakyat yang sudah lama diamanatkan dalam konstitusi,
Demokrasi juga menjadi arena untuk mendidik mental dan kepribadian
rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militan dan mempunyai kesadaran
tentang pengelolaan barang-barang publik yang mempengaruhi hidup mereka.
Pendidikan dan pembelajaran ini penting, mengingat masyarakat cenderung
pragmatis secara ekonomi dan konservatif secara politik, akibat dari
perkembangan zaman yang mengutamakan orientasi material.
Ketiga, isu kesejahteraan mencakup dua komponen besar, yakni
penyediaan layanan dasar (pangan, papan, pendidikan dan kesehatan) dan
pengembangan ekonomi Desa yang berbasis pada potensi lokal. Kemandirian
46
dan demokrasi Desa merupakan alat dan peta jalan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat Desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya
kepada Desa, dan demokrasi memungkinkan pengelolaan sumberdaya Desa
berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa untuk mengelola sumberdaya alam,
misalnya, merupakan modal yang sangat berharga bagi ekonomi rakyat Desa.
Demikian juga dengan alokasi dana Desa yang lebih besar akan sangat
bermanfaat untuk menopang fungsi Desa dalam penyediaan layanan dasar warga
Desa. Namun, kesejahteraan rakyat Desa yang lebih optimal tentu tidak mungkin
mampu dicakup oleh pemerintah Desa semata, karena itu dibutuhkan juga
kebijakan pemerintah yang responsif dan partisipatif, yang berorientasi pada
perbaikan pelayanan dasar dan pengembangan ekonomi lokal.
3. Argumen yuridis
Pertama, Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan dalam Pasal 18b
adanya kesatuan masyarakat hukum adat. Kemudian dalam penjelasan umum
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan ...., maka otonomi Desa akan
diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
dari Desa itu sendiri... Hal ini berarti bahwa Desa sebagai susunan
pemerintahan terendah di Indonesia mempunyai identitas dan entitas yang
berbeda dan perlu di atur tersendiri dalam bentuk Undang-Undang. Selain itu,
usulan mengenai pentingnya Undang-undang mengenai Desa ini dikemukakan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif.
47
Desa dalam
48
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Juga pasal 18B ayat 2
menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
49
50
51
dalam skala global. Dampak globalisasi dan ekploitasi oleh kapitalis global tidak
mungkin dihadapi oleh lokalitas, meskipun dengan otonomi yang memadai.
Tantangan ini memerlukan institusi yang lebih kuat (dalam hal ini negara) untuk
menghadapinya. Oleh karena diperlukan pembagian tugas dan kewenangan
secara rasional di negara dan masyarakat agar dapat masing-masing bisa
menjalankan fungsinya.
pembagian tugas dan kewenangan tersebut adalah Daerah dan Desa dapat
dibayangkan sebagai kompartemen-kompartemen fleksibel dalam entitas negara.
Berikutnya,
ketiganya
memiliki
misi
yang
sama
yaitu
mewujudkan
52
5. Argumen Psikopolitik
Pertama, sejak kemerdekaan sebenarnya Indonesia telah berupaya untuk
menentukan posisi dan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks
keragaman lokalPerdebatan terus berlangsung mengawali penyusunan UndangUndang, tetapi sulit membangun kesepakatan politik. Undang-Undang 19/1965
tentang Desa Praja sebenarnya merupakan puncak komitmen dan kesepakatan
politik yang mendudukkan Desa sebagai daerah otonom tingkat III. Tetapi
karena perubahan paradigma politik dari Orde Lama ke Orde Baru, UU tersebut
tidak berlaku. Selama puluhan tahun pencarian tentang posisi dan format Desa
betul-betul mengalami kesulitan yang serius. Mendiang Prof. Selo Soemardjan
(1992) selalu menyoroti betapa sulitnya menempatkan posisi dan format Desa.
Demikian tuturnya:
Mengenai pembentukan daerah-daerah administratif pada umumnya
tidak dijumpai masalah-masalah yang berarti, baik secara hukum
maupun politis. Sebaliknya menghadapi Desa, negeri, marga dan
sebagainya yang diakui sebagai daerah istimewa tampaknya ada
berbagai pendapat yang berbeda-beda yang sampai sekarang belum
dapat disatukan dengan tuntas. Perbedan pendapat itu mengakibatkan
keragu-raguan pemerintah untuk memilih antara sistem desentralisasi
dua tingkat, yaitu dengan daerah otonomi tingkat I dan tingkat II saja
dan sistem tiga tingkat dimana di bawah tingkat II ditambah tingkat III.
Kedua, secara psikopolitik, Desa tetap akan marginal dan menjadi isu
yang diremehkan ketika pengaturannya ditempatkan pada posisi subordinat dan
subsistem pengaturan pemerintahan daerah. Desa mempunyai konteks sejarah,
sosiologis, politik dan hukum yang berbeda dengan daerah. Karena itu
penyusunan UU Desa tersendiri sebenarnya hendak mengeluarkan Desa dari
53
BAB V
54
55
warga masyarakat sangat terbatas, mengingat sebagian besar warga Desa mengalami
kesulitan untuk membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan, pendidikan
dan kesehatan) bagi keluarganya masing-masing.
Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada Desa kurang mendorong
pemberdayaan. Dulu ada dana pembangunan Desa (Inpres Bandes) selama 30 tahun
yang dibagi secara merata ke seluruh Desa sebesar Rp 10 juta (terakhir tahun 1999),
yang sudah ditentukan dan dikontrol dari atas, sehingga Desa tidak bisa secara
leluasa dan berdaya menggunakan anggaran. Lagipula alokasi dana yang samamerata kepada seluruh Desa hanya berfungsi sebagai stimulan, yang tidak
mencerminkan aspek keragaman (kondisi geografis dan sosial ekonomi Desa) dan
keadilan. Baik Desa miskin maupun Desa kaya akan memperoleh alokasi yang
sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti itu sudah
mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah atas Desa, yang justru
tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian Desa.
Selain Bandes yang sudah melegenda, masih ada banyak skema bantuan
proyek masuk Desa, mulai dari IDT, P3DT, KUT, PDMDKE, PPK, P2KP, BLT dan
lain-lain. Proyek-proyek (yang silih berganti) yang bersifat bagi-bagi uang selalu
menimbulkan masalah, sehingga dana menjadi sia-sia. Selain itu, skema bantuan
proyek selalu mempunyai birokrasi dan mekanisme tersendiri, yang lepas dari
konteks perencanaan lokal (Desa dan daerah) dan kebutuhan lokal.
56
Sedangkan
mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk prasarana fisik, yang tidak
berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan. Dari komposisi kasar
APBD itu memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap Desa dan
orang miskin di Desa sangat lemah
Keterbatasan keuangan Desa tersebut menjadi sebuah masalah serius, yang
menjadi perhatian yang seksama baik dari kalangan pemerintah Desa, pemerintah
pusat dan kabupaten maupun kalangan sektor ketiga (akademisi dan NGOs) yang
menaruh perhatian tentang Desa. Pemerintah ternyata memberikan respons yang
positif. Pada masa Undang-undang lama maupun UU No. 22/1999, kita hanya
mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah untuk mendukung keuangan Desa,
meski dalam hal keuangan daerah sudah dikenal dengan perimbangan keuangan
57
pusat dan daerah. Konsep bantuan ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada
kebaikan hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa Desa tidak mempunyai
hak atas uang negara.
Meski UU 22/1999 belum memberikan amanat tentang perimbangan atau
alokasi dana kepada Desa secara jelas, tetapi sejak 2001 sejumlah pemerintah
kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan kebijakan alokasi dana Desa (ADD)
secara proporsional dengan jumlah yang lebih besar daripada bantuan keuangan
sebelumnya. Pengalaman-pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi
dengan baik oleh UU 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang
terkandung dalam UU 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep bantuan menjadi
bagian, yang berarti bahwa Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi
sebagian dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota.
Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut semakin dipertegas dalam PP No.
72/2005, yang menyatakan bahwa salah satu sumber keuangan Desa adalah bagian
dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah
dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara
proporsional yang merupakan alokasi dana Desa. Klausul regulasi inilah yang
dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).
58
59
Tentu pelaksanaan ADD tidak luput dari banyak masalah salah satu masalah
yang muncul adalah keterpisahan antara perencanaan daerah dengan kebutuhan
lokal dan perencanaan Desa. Ketika ide ADD mulai digulirkan umumnya birokrasi
kabupaten/Kota terutama dinas-dinas teknis yang mengendalikan kebijakan dan
anggaran pembangunan sektoral, melakukan resistensi yang keras, bukan karena visi
jangka panjang, tetapi karena mereka merasakan bakal kehilangan sebagian kapling.
Keenganan secara psikologis dinas-dinas teknis ini tampaknya masih berlanjut
ketika ADD dilancarkan. Dengan berlindung pada ADD, atau karena Desa telah
memiliki dana tersendiri, dinas-dinas teknis justru menjauh dan kurang responsif
pada kebutuhan Desa. Di sisi lain, masalah juga muncul di Desa, terutama masalah
lemahnya akuntabilitas pemerintah Desa dalam mengelola ADD.
Karena itu
beberapa kabupaten yang sudah berpengalaman menjalankan ADD atau yang baru
saja mengeluarkan kebijakan ADD sangat peka (baca: khawatir) terhadap
akuntabilitas keuangan Desa, sehingga memaksa mereka membuat rambu-rambu
yang lebih ketat dalam pengelolaan ADD, meski langkah ini tidak sesuai dengan
prinsip keleluasaan Desa dalam mengelola block grant.
Meskipun banyak masalah dan distorsi yang muncul, ADD di banyak
kabupaten tetap memberikan banyak pelajaran berharga yang kedepan mengarah
pada penguatan kemandirian Desa. Pertama, pengalaman ADD telah mendorong
rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah supraDesa ke
Desa. Kedua, ADD telah mendorong efisiensi penyelenggaraan layanan publik,
kesesuaian program dengan kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan
60
kepemilikan lokal.
dan
kemiskinan
masyarakat
Desa,
sehingga
berdasarkan
perhitungan nominal ADD ibarat hanya menggarami air laut. Dana sebesar 100
juta hingga 200 juta jelas dangat tidak cukup untuk mengatasi masalah kemiskinan
dan kekurangan pelayanan dasar. ADD tentu tidak serta-merta menciptakan
kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
B. Arah Jangkauan PengaturanKeuangan dan Aset Desa Menurut Undang-Undang
61
62
63
(1) Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan,
tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan
milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
(2) Aset lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. Kekayaan Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
b. kekayaan Desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c. kekayaan Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan
lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. hasil kerja sama Desa; dan
e. kekayaan Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(3) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di
Desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada Desa.
(4) Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
(5) Kekayaan milik Desa yang telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah digunakan untuk
fasilitas umum.
64
(6) Bangunan milik Desa harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan
ditatausahakan secara tertib. Pasal 77
(1) Pengelolaan kekayaan milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan
umum,
fungsional,
kepastian
hukum,
keterbukaan,
efisiensi,
efektivitas,
65
d. ADD yang berjumlah lebih dari Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah)
digunakan maksimal 30% (tiga puluh perseratus).
Pengalokasian batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
mempertimbangkan efisiensi, jumlah perangkat, kompleksitas tugas pemerintahan,
dan letak geografis.
(4) Bupati/walikota menetapkan besaran penghasilan tetap:
a. kepala Desa;
b. sekretaris Desa paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari penghasilan tetap
kepala Desa per bulan; dan
c. perangkat Desa selain sekretaris Desa paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari
penghasilan tetap kepala Desa per bulan.
(5)Besaran penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota. Pasal 82 Selain menerima
penghasilan tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, kepala Desa dan perangkat
Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah Tunjangan . . . Tunjangan
dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber
dari APB Desa dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Besaran
tunjangan dan penerimaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
66
BUMDes
dilandasi
oleh
Undang-Undang
Nomor
tahun
2014
perundang-undangan.Pendirian
BUM
Desa
disepakati
melalui
67
68
emansipatif,
transparansi,
akuntable,dan
sustainable,
dengan
demikian,
tidak
menutup
kemungkinan
BUMDes
69
masyarakat
desayang
dalam
mencukupi
kebutuhan
hidupnya
berupa
70
sebagianpenghasilannya
untuk
modal
pengembangan
usaha
selanjutnya;
(c)masyarakat desa yang dalam hal tidak dapat mencukupikebutuhan hidupnya sendiri,
sehingga banyak jatuh ke tanganpengusaha yang memiliki modal lebih kuat; dan
yang terpenting
(d) masyarakat desa yang dalam kegiatan usahanyacenderung diperburuk oleh sistem
pemasaran yang memberikankesempatan kepada pemilik modal untuk dapat
menekan harga,sehingga mereka cenderung memeras dan menikmati sebagianbesar
dari hasil kerja masyarakat desa. Atas dasar prediksitersebut, maka karakter
BUMDes sesuai dengan ciri-ciri utamanya,prinsip yang mendasari, mekanisme dan
sistem pengelolaanya.
Secara umum pendirian BUMDes dimaksudkan untuk:
a Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (standarpelayanan minimal), agar
berkembang usaha masyarakatdi desa.
bMemberdayakan desa sebagai wilayah yang otonomberkenaan dengan usaha-usaha
produktif
bagi
upayapengentasan
kemiskinan,
pengangguran
dan
peningkatanPADesa.
c Meningkatkan kemandirian dan kapasitas desa sertamasyarakat dalam melakukan
penguatan ekonomi di desa.
71
pengelolaan
BUMDes
penting
untuk
dielaborasi
72
Hal ini disebabkan adanya penopang yakni dana anggaran desa yang semakin besar.
Sehingga memungkinkan ketersediaan permodalanyang cukup untuk pendirian
BUMDes. Jika ini berlaku sejalan, maka akanterjadi peningkatan PADesa yang
selanjutnya dapat digunakan untukkegiatan pembangunan desa.Hal utama yang
penting dalam upaya penguatan ekonomi desaadalah memperkuat kerjasama
(cooperatif),
membangun
kebersamaan/menjalin
kerekatan
disemua
lapisan
73
Demokrasi Justru merupakan cara untuk mengatasi kekerasan, tetapi saya ingin
menegaskan bahwa wacana demokrasi selama ini tidak sesuai dengan kultur lokal
desa. Demokrasi adalah cara atau seni pergaulan hidup untuk mencapai kebaikan
bersama, banyak orang memahami bahwa prinsip dasar demokrasi adalah
kebebasan individu justru saya memahami demokarasi adalah mendegarkan dan
mengharagai orang lain, jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat
maka pemerintah harus banyak mendegarkan
74
75
demokrasi yang paling gampang dan sahih, orang tidak pernah berpikir secara
jernih mendalam dan penuh kebijakan bahwa demokrasi bukan sekdar pemilihan,
orang desa hampir tidak pernah berkaca dan menyelesaikan persoalan, mengapa
setiap pemilihan langsung menimbulkan teror, perpecahan, konflik,KKN dan
sebaginya orang mestinya berpikir bahwa demokrasi secara subtantif adalah metode
politik yang dialogis dan partisipatif untuk mengatasi persoalaan bersama dan
mencapai tujuan bersama Pemilihan kepala desa sangat menarik untuk di
cermati,apalagi di pandeglang Pilkades dianggap sebagai arene demokrasi dan
sekaligus arena pergolakan politik paling seru di desa karena melibatkan kompetisi
aktor-aktor politik dan mobilisasi besar-besaran, kemenangan seorang kandidat
kepala Desa atau kompetitor sangat di tentukan oleh dukungan suara individu
dalam proses pemilihan, tetapi dukungan ini tidak lepas dari basis komunal, baik
yang terikait dengan kekerabatan teman dan tetangga,kekerabatan akan tampak
solid anggotanya tampil menjadi calon kepala desa energi dan loyalitas akan
mereka berikan untuk dukungan tersebut. Probelem pilkades yang rumit diatas
semakin di perumit dengan problem partisipasi masyarakat sebagia elemen penting
demokratisasi desa selama ini ada tiga kecenderungan umum
partisapasi
masyarakat
Pertama: para elite desa terutama kepala desa memahami partisipasi sebagai bentuk
dukungan masyarakat terhadap kebijakan ini artinya partisipasi sebagai bentuk
dukungan masyarakat terhadap kebijakan, dan artinya partisipasi bukan pengertian
keterlibatan warga secara otonom, melainkan mobilisasi peran serta masyarakat
dalam implementasi kebijakan
76
kedua : partisipasi dalam proses pembuatan keputusan merupakan domain elite desa
yang duduk dalam perwakilan secara empirik ini merumuskan kebijakan desa
sendiri, kurang berbasis pada kebutuhan komonitas dan dari segi proses di dukung
oleh dialog atau konsultasi publik
ketiga : awarnes warga desa terhadap persoalaan partisipasi sangat lemah,umumnya
mereka menyerahkan dan mempercayakan urusan partisipasi kepada pemuka
masyarakat. Penelitian ini adalah hasil dari pantuan hasil pemilihan kepala desa di
beberapa desa di kabupaten pandeglang yang kemudian di rekomendasikan untuk
bahan penelitian selanjutnya
atau
konsensus
untuk
mencapai
tujuan
yang
dirumuskan
77
78
bersama,
sewaktu
mengadakan
kegiatan
ekonomi.Ia
juga
menambahkan, struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus
berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa.
Perkembangan jaman menunjukkan desa-desa di Jawa mengalami perubahan yang
diakibatkan oleh kemampuan adaptasi desa terhadap tekanan eksternal, misalnya
migrasi penduduk, atau terhadap bentuk proyek kebijakan ekonomi dan politik
lainnya
Saat ini, demokrasi (lokal) dan desentralisasi, merupakan dua isu utama dalam
statecraft Indonesia pasca Orde Baru. Desentralisasi secara umum dikategorikan ke
79
administrasi.Perspektif
desentralisasi
politik
menerjemahkan
perspektif
desentralisasi
administrasi
diartikan
sebagai
80
tingkat desa menekankan pada aspek kelembagaan desa, pembagian peran serta
berfungsi atau tidaknya kelembagaan desa.
Kelembagaan Politik Desa
Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat,
namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat
atasnya,hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis
penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik
rakyat lokal. Peran penting desa ini disadari oleh pemerintah Hindia Belanda pada
masa politik kolonial, melalui penerbitan Indlandsche Gemeente Ordonanntie
(IGO) Stbl. 1906 No. 83, yaitu aturan hukum yang memberikan ruang bagi desa
untuk menjalankan pemerintahan sendiri (self governing community) dalam bentuk
pengakuan hak-hak budaya desa, sistem pemilihan kepala desa, desentralisasi
pemerintahan pada tingkat desa, parlemen desa dan sebagainyaPada masa ini
penduduk pribumi diperintah secara langsung oleh penguasa pribumi, dan secara
tidak langsung oleh penguasa Belanda.
Sistem pemerintahan berdasarkan ras ini berlangsung hingga 1942, dengan penguasa
pribumi memegang jabatan mulai dari karesidenan, kawedanan hingga tingkat
kecamatan, dan membawahi kepala desa. Hal ini sesuai dengan skema dimana
pemerintah kolonial melakukan penguasaan sumberdaya dengan memegang elite
politik lokal, meskipun demikian secara tradisional struktur pemerintahan ini bersifat
otonom. Strategi indirect rule melalui elite lokal ini juga berlangsung di luar Jawa,
81
desa
dalam
wawasan
pemerintah
pusat.
Bagaimana
hal
82
Untuk menjaga loyalitas dari kalangan masyarakat desa, pesta demokrasi, yang
dikomandoi oleh para klien negara di desa, diselenggarakan secara periodik
diadakan lima tahun sekali. Desa menjadi sumber untuk mobilisasi dukungan
terhadap partai-partai politik. Secara perlahan, dengan praktek ekonomi dan politik
seperti di atas, otonomi asli dan masyarakat hukum yang otonom semakin
menghilang.Pada masa reformasi, dalam kerangka desentralisasi politik dan
demokratisasi maka ketentuan tentang pemerintahan desa disesuaikan dengan
keanekaan kekhasan sosial, budaya dan ekonomi desa. Ruang politik yang semakin
terbuka juga ditandai oleh munculnya asosiasi-asosiasi kemasyarakatan desa serta
83
84
dengan keberadaan BPD, serta adanya pemberdayaan peran dan fungsi parlemen
daerah,untuk tujuan meningkatkan demokratisasi lokal melalui perluasan ruang
partisipasi politik rakyatPemerintahan desa dalam UU No. 22/1979 diatur dalam
pasal-pasal 93 hingga 111. Dalam pasal 95, pemerintah desa- atau disebut dengan
nama lain- terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Pasal 104 mencantumkan
keberadaan BPD (Badan Perwakilan Desa) yang befungsi sebagai pengayom adat
istiadat, pembuat peraturan desa (perdes), penampung dan penyalur aspirasi
masyarakat, serta pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini
menandakan perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa,
dimana kepala desa harus bersama-sama BPD menjalankan fungsi administrasi,
anggaran dan pembuatan keputusan desa. Dari aspek keanggotaan, Pasal 105
mengatur bahwa anggota BPD sebagai wakil rakyat desa dipilih dari dan oleh
masyarakat desa. Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD, dan
dalam Pasal 102 diatur bahwa kepala desa melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada
bupati.
Namun demikian, tidak semudah itu menerapkan konsep-konsep ideal demokrasi
sesuai dengan UU No. 22/1979. Seperti disampaikan di muka, keberagaman latar
belakang sosial, budaya dan ekonomi di daerah-daerah di Indonesia menjadikan
corak kelembagaan pemerintah desa pun menjadi beragam. UU No. 22/1999, yang
substansinya mendukung keanekaragaman dalam masyarakat desa, ironisnya, tetap
menyeragamkan
struktur
pemerintahan
desaDalam
prakteknya,
konsep
pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU ini dipertemukan dengan sisa-sisa pola
85
patron-klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa Orde Baru.
Belum lagi faktor-faktor keanekaragaman pola budaya yang terus berubah. Secara
khusus, idealnya para pembuat keputusan mengenai pemerintahan desa harus
mempertimbangkan pengaruh dari apa yang oleh kalangan pengamat politik
pedesaan disebut sebagai fenomena khas, yaitu bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat transisi yang permanen karena tidak lagi tradisional sepenuhnya, namun
juga belum bergerak ke arah masyarakat modern (dalam pengertian modernisme
Barat yang menekankan pada asas rasionalitas dan individualisme).Sehingga, jika
alasan tersebut di atas dapat dipahami oleh para pembuat keputusan, maka solusi
terhadap praktek demokrasi yang hanya terjadi di tingkat prosedural artinya
demokrasi hanya sebatas aspek prosedur, namun tidak diikuti oleh proses politik
yang mencerminkan perilaku atau budaya demokratis tidak hanya sebatas dengan
keluarnya peraturan baru yang dampaknya tambal sulam.
Para pengambil keputusan seharusnya memahami latar belakang sosial, budaya dan
ekonomi di pedesaan, dan kemudian menjadikan faktor-faktor tersebut sebagai
variabel penentu dalam penataan pemerintah desa, baik dari aspek kelembagaan
maupun pranata desa, yang sesuai dengan asas demokrasi.Sebagai contoh, terdapat
kasus di beberapa daerah dimana anggota BPD, yang terpilih secara demokratis,
menggunakan akses komunikasi politik langsung ke Bupati untuk menjatuhkan
kepala desa, yang tidak lagi memainkan peran sentral dalam perpolitikan desa. Ada
kalanya, untuk memuluskan pencapaian tujuan kepentingan politik atau ekonomi,
kades juga dapat berkolaborasi dengan BPD (kolusi) sehingga tidak lagi
86
mengawasinya.Pemilihan kepala desa dan BPD juga seringkali diwarnai oleh isu
politik uang atau intrik politik lainnya, yang diikuti pula dengan kecenderungan
anarkisme dari massa pendukung yang tidak puas. Hal ini berarti bahwa suatu sistem
demokrasi tidak bisa berlangsung tanpa adanya jaminan penegakan hukum oleh
Negara di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat dan elite politik ) di
pihak lain Perbedaan budaya di antara warga juga seringkali disikapi dengan
kekerasan sebagaimana jaman penjajahan atas dalih rust en orde, dan malangnya,
ini dilakukan oleh sesama warga Negara.Meskipun terdapat fenomena negatif dalam
praktek politik seperti di atas, upaya demokratisasi di desa-desa memang
memerlukan proses yang panjang, sebab terjadi transformasi besar-besaran pada dua
aras yaitu pertama, pola berpikir dan praktek politik para elite desa, dan kedua, pada
internal masyarakat desa sendiri, dalam konteks transisi politik sejak 1998.BPD saja
baru terbentuk kurang dari 5 tahun (terhitung sejak 2004), sudah tentu memerlukan
waktu untuk sepenuhnya menjalankan fungsi sebagai Badan Perwakilan Desa.
Masyarakat desa memerlukan perenungan atau penyesuaian terhadap mekanisme
pemilihan langsung wakil-wakilnya, setelah sekian lama terbiasa dalam proses
politik yang serba ditentukan dari atas. Sesungguhnya kurun waktu antara 1999
hingga 2004 inilah periode penting untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi (baik
asli maupun demokrasi Barat) dalam praktek politik desa yang peluangnya ada di
tangan organisasi non pemerintah, masyarakat desa, serta berbagai pemangku
kepentingan di desa.Maka, upaya untuk mengintrodusir demokrasi di tingkat desa,
dengan memperkuat kapasitas masyarakat akar rumput di desa menjadi percuma
87
tanpa
memiliki
daya
tawar
terhadap
berbagai
kebijakan
88
kepala desa dan perangkat desa. BPD dikurangi kedudukan dan perannya dari fungsi
badan legislatif menjadi badan permusyawaratan; di samping itu keanggotaan BPD
yang awalnya dalam UU No. 22/1999 dipilih secara demokratis, kini dalam UU No.
32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan
wilayah Kecenderungan pemusatan kembali ke atas dalam pertanggungjawaban
kepala desa sangat tampak dalam pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 yang
menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban untuk memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati atau walikota; sedangkan
tanggung jawab kepala desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan
keterangan pertanggungjawaban, dan mereka hanya menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada rakyat.
A. Tentu saja ini berarti tidak ada lagi fungsi check and balances sebagai prinsip
demokrasi dalam pola hubungan antara BPD dan kepala desa; serta hubungan
BPD dengan lembaga supra desa. Bahkan, terdapat kontradiksi antara pasal 15
ayat (2) PP yang mengatur bahwa BPD memiliki salah satu wewenang untuk
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan
kepala desa, dengan pasal 35 (b) PP tentang desa. Meskipun pada pasal 35(c)
PP tentang desa disebutkan bahwa BPD diberikan kewenangan untuk
mengusulkan
pengangkatan
dan
pemberhentian
kepala
desa
kepada
bupati/walikota, namun jika mengacu pada pasal 15 (2) PP Desa di atas, terlihat
ambivalensi pengaturan kewenangan pengawasan BPD. Selain sentralisasi
politik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, perencanaan pembangunan
89
Kerja ke Depan
Untuk konteks negara Indonesia yang tengah melakukan eksperimen politik sejak
kemerdekaannya tahun 1945, desa masih dipandang setengah mata sebagai wilayah
yang memiliki demokrasi asli dan otonomi sendiri, meskipun beberapa di antaranya
sebelum masa kolonial sudah memiliki otonomi asli. Penerapan otonomi daerah
ala UU No. 32/2004) yang menekankan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan
kecamatan, dengan demikian mengesampingkan posisi desa sebagai unit terkecil
dalam struktur pemerintahan negara. Padahal dalam kerangka UU No. 22/1999,
demokrasi pada tingkat desa sedang mulai tumbuh, dan dapat memperkuat kehidupan
demokrasi di kabupaten/kota, provinsi dan akhirnya negara. Keluarnya UU ini
90
dirancang)
demokrasi.Mencermati
untuk
narasi
berjalan
di
atas
sesuai
tampaklah
dengan
bahwa
prinsip-prinsip
kecenderungan
91
desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteran masyarakat dengan
kegiatan dan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sasaran yang akan diwujudkan dalam Pemerintahan Desa
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam konsideran UU tersebut
diisampaikan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam
mengatur
dan
mengurus
kepentingan
masyarakat
setempat
dan
berperan
92
dahulu apa yang dimaksud dengan desa, apabila memperhatikan secara cermat teks
hukum UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 1 angka 1 memberikan batasan
tentang desa berikut ini Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 1, terjawablah, bahwa desa memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati.Jadi yang dimaksud penyelenggaraan
urusan pemerintahan adalah untuk mengatur, untuk mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat.Dasar yang digunakan adalah
berdasarkan
(1) prakarsa masyarakat,
(2) berdasarkan hak asal usul atau hak tradisional. Pertanyaan siapa yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat ? Pertanyaan ini dijawab dalam rumusan pada Pasal 1 angka 3 yang
menyatakan, bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Desa Jadi yang berwenang adalah pemerintah desa, yakni
93
D. Pemerintahan Desa
Arah dan Jangkaun Pengaturan Pemerintahan Desa Berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014
Kata kuncinya adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Pertanyaannya
adalah karena kedua lembaga Kepala desa dan BPD sama-sama melaksanakan
fungsi pemerintahan, yakni pemerintahan desa, maka perlu diajukan siapakah yang
dimaksud Penyelenggaran Pemerintahan Desa berdasarkan UU No 6 Tahun
2014,Pasal 23 UU No 6 Tahun 2014 memberikan penegasan, yakni Pemerintahan
Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
94
Jelas terjawab siapakah yang dimaksud pemerintah desa, maka dikembalikan pada
pasal 1 angka 3 UU No 6 Tahun 2014, yakni Pemerintah Desa adalah Kepala Desa
atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa. Jika demikian BPD kedudukannya adalah
hanya lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis . Hal ini ditegaskan juga pada Pemerintah DesaPasal
25 bahwa Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala
Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa
atau yang disebut dengan nama lainBerdasarkan konstruksi hukum yang demikian,
jelas Kepala Desa memiliki kedudukan yang strategis sebagai Penyelenggaran
Pemerintahan Desa Namun ketika melaksanakan kewenangan desa dua lembaga
tersebut mempunyai kedudukan yang sama, yakni Kepala Desa dan BPD.Untuk
memahami, perlu dipahami konstruksi hukum terhadap Kewenanagan Desa
sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU no 6 Tahun 2014, Kewenangan Desa meliputi
kewenangan
di
bidang penyelenggaraan
Pemerintahan
Desa,
pelaksanaan
95
Pemerintah
Daerah
Provinsi,
atau
Pemerintah
Daerah
oleh
Desa.Pada
teks
hukum
Pasal
19
perlu
dipahami
konstruksi hukumnya, bahwa ada kewenangan yang diurus oleh desa dan ada
kewenangan yang berasal dari penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintahan kabupaten/ kota.Pertanyaannya kewenangan yang
berasal dari penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintahan kabupaten/ kota meliputi apa saja ? Jika kita mengacu pada UU
No 6 Tahun 2014, hal tersebut ditegaskan pada pasal Pasal 22 yang
menyatakan:
(1) Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
96
kesejahteraan
masyarakat
dengan
meningkatkan
pengetahuan,
sikap,
97
98
n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh kepala desa, maka secara hukum
memiliki tanggung jawab yang besar, oleh karena itu untuk efektif harus ada
pendelegasian kewenangan kepada para pembantunya atau memberikan mandat.
Oleh karena itu dalam melaksanakan kewenangan Kepala Desa diberikan
sebagaimana ditegaskan pada pasal 26 ayat (3) UU No 6 Tahun 2014, yaitu : Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang
sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat
Desa.
Patut disadari, bahwa disamping kewenangan dan hak yang dimiliki Kepala Desa
memiliki kewajiban yang ditegaskan dalam UU No 6 Tahun 2014 pada pasal 26 ayat
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
berkewajiban:
99
100
Kewenangan, hak, Kewajiban Kepala Desa masih dibebani sebuah kewajiban kepada
pemerintahan Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 27 Dalam
melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun
anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa
jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis
kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d. memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan
secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.Pasal 28
(1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan
dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan
dengan pemberhentian.
Agar Kepala Desa tidak terjebak pada pelanggaran hukum maka Kepala Desa
diberikan larangan sebagaimana ditegaskan, Pasal 29 UU no 6 Tahun 2014. Kepala
Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum;
101
102
(1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan
dengan pemberhentian.Berdasarkan kewenangan, hak dan kewajiban serta
larangan, maka perlu dipahamidan dilaksanakan asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan desa yang ditegaskan oleh UU No 6 Tahun 2014 pada Pasal
24 Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a. kepastian hukum;
b. tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c. tertib kepentingan umum;
d. keterbukaan;
e. proporsionalitas;
f. profesionalitas;
g. akuntabilitas;
h. efektivitas dan efisiensi;
i. kearifan lokal;
j. keberagaman; dan
k. partisipatif.
Agar penyelenggaran Pemerintahan desa terlaksana secara demokratis di desa
trerdapat forum yang kemudian dinamakan musyawarah desa. Didalam UU No 6
Tahun 2014 diberikan batasan yang tegas apa yang dimaksud musyawarah desa,
103
yakni pada Pasal 1 angka 5 yang menayatkan, bahwa Musyawarah Desa atau yang
disebut dengan nama lain adalah musyawarahantara Badan Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis Yang
berperanan strategis pada musyawarah desa adalah BPD, karena musyawarah desa
diselenggarakan oleh BPD. Oleh karena itu perlu pula dipahami apa tugas BPD
berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 pada Pasal 55 Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai fungsi:
a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b.
c.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut BPD diberikan hak pada pasal 61 Badan
Permusyawaratan Desa berhak:
a mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa
kepada Pemerintah Desa;
b. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa; dan
c. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.Sedangkan anggota diberikan hak dan kewajiban
dan larangan sebagai berikut:Pasal 62 Anggota Badan Permusyawaratan Desa
berhak:
104
105
b. melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa
dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
c. menyalahgunakan wewenang;
d. melanggar sumpah/janji jabatan;
e. merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa;
f. merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain
yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
g. sebagai pelaksana proyek Desa;
h. menjadi pengurus partai politik; dan/atau
i. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.
Hal yang penting adalah berkaitan dengan keuangan desa ada pertanyaan yang penting
adalah dari mana penghasilan desa berdasarkan UU No 6 Tahun 2014 ?
Pasal 66:
(1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
(2) Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
106
(3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan
perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.
(4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan
perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh
penerimaan lainnya yang sah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa,
dan peraturan Kepala Desa. Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala
Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa,
pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi
107
berlaku
dengan
sendirinya
Rancangan
Peraturan
Desa
wajib
Kepala
Desa
menetapkan
Peraturan
Kepala
Desa
sebagai
aturan
108
(3) Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan kondisisosial budaya masyarakat desa setempat.(4) Peraturan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.Pasal
56
Peraturan
pembentukanperaturan
Desa
dibentuk
perundang-undangan.Pasal
berdasarkan
57
pada
Masyarakat
asas
berhak
memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan Rancangan Peraturan Desa.Pasal 58 Peraturan Desa disampaikan
oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat sebagai bahan
pengawasan dan pembinaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.Pasal
59 (1) Untuk melaksanakan Peraturan Desa, Kepala Desa menetapkan Peraturan
Kepala Desa dan/atau Keputusan Kepala Desa. (2) Peraturan . . . - 26 -(2)
Peraturan Kepala Desa dan/atau Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, dan peraturan
perundangundanganyang lebih tinggi. Pasal 60
(1) Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa dimuat dalam Berita Daerah.
(2) Pemuatan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa sebagaimana dimaksud
ayat (1) dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
(3) Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa sebagaimana dimaksud ayat (1)
disebarluaskan oleh Pemerintah Desa. Pasal 61 Rancangan Peraturan Desa tentang
APB Desa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa
109
Sasaran Yang di Wujudkan dalam Peraturan desa berdasarkan PP.72 Tahun 2005
110
Sebagai konsekuensi atas penetapan kewenangan yang melekat pada Desa, maka Desa
mempunyai kewenangan (mengatur, mengurus danbertanggungjawab) untuk menyusun
peraturan Desa.Peraturan Desadisusun oleh Kepala Desa dan BPD sebagai kerangka
kebijakan
dan
hukumbagi
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
perdes)
dan
berbentuk
represif
(membatalkan
perdes
BPD,
maka
tahap
berikutnya
adalah
pelaksanaan
perdes
yang
111
112
(2) Pemuatan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa sebagaimana dimaksud
ayat (1) dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
(3) Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa sebagaimana dimaksud ayat (1)
disebarluaskan oleh Pemerintah Desa. Pasal 61 Rancangan Peraturan Desa tentang
APB Desa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh Kepala Desa
paling lama 3 (tiga) hari disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota
untuk dievaluasi. (2) Hasil evaluasi Bupati/Walikota terhadap Rancangan Peraturan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 20 (dua puluh)
hari kepada Kepala Desa. (3) Apabila hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) melampaui batas waktu dimaksud, Kepala Desa dapat menetapkan
Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa menjadi Peraturan Desa. Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Pembentukan dan mekanisme
penyusunan Peraturan Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dengan berpedoman pada Peraturan Mente
Undang-Undang 6 tahun 2014
Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa,
dan peraturan Kepala Desa. Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala
Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa,
113
pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi
dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
Hasil
evaluasi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4)
diserahkan
oleh
Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.) Dalam hal Bupati/Walikota
telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala
Desa wajib memperbaikinya.Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh)
hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi Dalam hal
Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya
Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa
Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan
Desa. Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Berita Desa
dan Lembaran Desa oleh sekretaris Desa. (12) Dalam pelaksanaan Peraturan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala
Desa sebagai aturan pelaksanaannya. Pasal 70 (1) Peraturan bersama Kepala Desa
merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau
lebih yang melakukan kerja sama antar-Desa. (2) Peraturan bersama Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan kepentingan Desa
masing-masing dalam kerja sama antar-Desa.
114
BAB V
PENUTUP
1. Keputusan Pemerintah dan Komisi II DPR untuk melakukan revisi terhadap UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta mendesain
kembali menjadi 3 Undang-Undang yang baru, yakni Undang Undang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan Undang-Undang Desa
adalah suatu gagasan yangsangat baik dan perlu didukung oleh semua pihak dalam
rangkamewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
115
116
117
118