Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
Qonita Sakinatul Janani
G99122097
Pembimbing :
dr. Suci Widhiati, SpKK, M.Sc
2014STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing
Nama Mahasiswa
NIM
G99122097
DERMATITIS KONTAK ALERGI
A. DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul
bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis
cenderung residif dan menjadi kronis.1, 2
Dermatitis kontak ialah respon dari kulit dalam bentuk peradangan yang
dapat bersifat akut maupun kronik, karena paparan dari bahan iritan/alergen
eksternal yang mengenai kulit1, 2.
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi inflamasi akibat
pemaparan bahan alergen pada dermal yang mampu mengaktivasi sel T dan
kemudian akan bermigrasi pada tempat pemaparan tersebut. Dermatitis kontak
alergi (DKA) terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap
suatu alergen. 1, 2
B. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada semua umur dan pria
maupun wanita memiliki frekuensi yang sama untuk terkena. Bila
dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis
kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan
kulitnya sangat peka (hipersensitif) 1,3.
Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit yang terkait dengan
pekerjaan di Amerika Serikat3. Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan,
spesifik6. Setelah kontak dengan yang telah diproses ini, sel T menuju ke
kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi
membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. 4
Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem
limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif
disebut fase induksi atau fase sensitisasi4,5. Fase ini rata-rata berlangsung
selama 2-3 minggu. Fase sensitasi tidak menimbulkan gejala klinis pada
kebanyakan kasus, tetapi menginduksi DKA primer yang dikarakteristikan
sebagai inflamasi kulit karena hapten spesifik pada 5-15 hari setelah kontak
kulit5. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan
individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi.
Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer
lembah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada
umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan
tersebut, bisa bulanan atau tahunan 1.
Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang
sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi,
umumnya berlangsung antara 24-48 jam pada tikus dan 72 jam pada manusia.
Sel T diaktifkan baik oleh kontak direk melalui ikatan reseptor antigen dengan
antigen-kompleks MHC, keratinosit, dan sel T lain yang menginfiltrasi kulit.
Sel T memproduksi sitokin antara lain IL 4 dan IFN pada dermatitis fase akut
dan sitokin tipe I yang lebih menonjol pada fase kronis. Sitokin dan kemokin
menimbulkan akumulasi sel T efektor 6. Reaksi inflamasi ini akan bertahan
selama beberapa hari setelah itu akan menurun dengan mekanisme down
regulation5.
Subakut
cairan
jernih
vesikel/berair, -
Edema, eritem
Eritem bertambah
Kronis
-
vesikel
dan
bengkak
Edema mengurang
Papul menggantikan
Kemerahan
Lebih
menonjolkan
sisik, hyperkeratosis,
dan likenifikasi di
daerah yang terkena
2. Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam
tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila
umumnya oleh bahan pengharum1.
4. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai
kaca mata, cat rambut, hearing-aids1.
5. Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung
jari), parfum, alergen di udara, zat warna pakaian1.
F. DIAGNOSA
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti1,2,7.
1.
Anamnesis
Perempuan lebih sering mengalami DKA daripada laki-laki, dan ada
peningkatan insiden dengan bertambahnya usia. Riwayat awal pasien terkena
penyakit ini yang pada akhirnya akan dievaluasi sebagai DKA merupakan
standar anamnesa dermatologi. Riwayat dimulai dengan diskusi tentang
penyakit ini dan fokus pada tempat timbulnya masalah dan agen topikal yang
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan
di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebabsebab endogen.4
Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan
durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan makula dan
papula eritema, vesikel, atau bula, tergantung pada intensitas dari respon
alergi. Namun, dalam DKA akut di daerah tertentu dari tubuh, seperti kelopak
mata, penis, dan skrotum, eritema dan edema biasanya mendominasi
dibandingkan vesikel. Batas-batas dermatitis umumnya tidak tegas. DKA pada
wajah dapat mengakibatkan pembengkakan periorbital yang menyerupai
angioedema. Pada fase subakut, vesikel kurang menonjol, dan pengerasan
kulit, skala, dan lichenifikasi dini bisa saja terjadi. Pada DKA kronis hampir
semua kulit muncul scaling, lichenifikasi, dermatitis yang pecah-pecah
(membentuk fisura), dengan atau tanpa papulovesikelisasi yang menyertainya
1,2,7
. DKA tidak selalu tampak eksema, ada varian noneksema yang mencakup
Pemeriksaan Penunjang
Standar emas untuk menegakkan diagnosis DKA, termasuk yang
dicurigai akibat kerja adalah uji tempel7,9,10. Untuk melakukan uji tempel
diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya finn
chamber system kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan Amerika Serikat.
Terdapat juga antigen standar buatan pabrik di Eropa dan negara lain.1,7,10
Adakalanya test dilakukan dengan antigen yang bukan standar, dapat
berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari
rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan
ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau walaupun jarang dapat
memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu bila menggunakan
bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati - hati sekali,
jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui.1
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung di gunakan
apa adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan
air untuk membilasnya misalnya sampoo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih
dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam
vaselin atau minyak mineral, produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya
detergen hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi.1
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab
alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang
direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air dan
ditempelkan dikulit dengan memakai finn chamber, dibiarkan sekurang-
10
kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan
standar perlu kontrol (5-10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan karena
iritasi.1
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang atau sembuh, bila masih dalam keadaan
akut atau berat dapat terjadi angry back atau excited skin, reaksi positif
palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin
memburuk1.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel
dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg perhari atau
dosis ekivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi
negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung dihentikan
sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar
sinar matahari (sunburn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan
juga dapat memberi hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik
tidak mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karena urtikaria kontak1,10.
3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca, pembacaan kedua
dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi1,10.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar (tidak menempel dengan baik) karena memberi hasil
negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48
jam dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji
tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai1.
5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita
yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan atau immediate urtikaria
type karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi
anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur
khusus.1
11
1,7
Morfologi
Interpretasi
Negatif
Hasil meragukan
Eritema,
infiltrasi,
dan
+++
Ir
Nt
Tidak dites
12
13
Iritan
Alergi
Penderita
Banyak orang
Tidak
banyak
yang
menderita
Timbulnya
reaksi Biasanya
dalam
sesudah kontak
jam
Lokasi
Terlokalisasi
Tersebar
Batas tegas
Sering khas
Dapat terjadi
14
setelah
disingkirkan
Terjadinya reaksi
kuat
(menit-
dengan Membaik
pekerjaan
liburan
lama
minggu)
Atopi
Predisposisi
Predisposisi
tidak
diketahui
Morfologi
Vesikel
yang
sulit
Tergantung
pada Relatif
tidak
terkait
konsentrasi
cukup
menyebabkan
Respon
imun
spesifik
H. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penanganan DKA meliputi11:
1. Perlindungan terhadap kulit, seperti penggunaan sarung tangan dan perubahan
gaya hidup, termasuk edukasi adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan.
2. Pengobatan
topical
[emollient,
cream/ointment
corticosteroid,
topical
15
Menghindari Alergen
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul.7,11
Deteksi dan menghindari allergen adalah hal yang penting tetapi
terkadang sulit untuk dilaksanakan7. Setelah kemungkinan penyebab masalah
dermatologi pasien telah ditentukan oleh uji tempel, sangat penting untuk
menyampaikan informasi ini kepada pasien dengan cara yang mudah
dimengerti. Ini melibatkan penjelasan cermat terhadap bahan yang
mengandung alergen7,11. Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat
kerja ini buruk7. Menasihati pekerja dengan DKA untuk meninggalkan posisi
mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik, terutama jika perubahan
pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan buruk7.
Pekerja yang mempunyai riwayat DKA terhadap allergen tertentu harus
tercatat dalam rekam medis dan riwayat tersebut akan selalu diperhatikan
ketika dia menerima pekerjaan baru agar pihak industri juga dapat ikut
menjaga kesehatan kulitnya9. Penggunaan sabun cuci tangan dengan emulsi
dan cream yang dipakai setelah bekerja dilaporkan dapat menurunkan
insidensi dan prevalensi dermatitis kontak7.
16
2.
Hazard
Mikroorganisme
Desinfektan
Bahan farmasi
Bahan material
Bahan terlarut
Oli Mesin
glove
PVC, nitril, NRL, neoprene, 4H glove
Pengobatan Topikal
Kortikosteoroid topical digunakan secara luas untuk pengobatan DKA.
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa kombinasi steroid topical dan
17
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. H
Umur
: 35 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
18
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Penjahit
Alamat
: Jebres, Surakarta
: 01270087
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Gatal pada tangan dan kaki
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
3 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan gatal di
kedua tangan dan kaki kiri. Saat itu pasien merasa tangannya ada merahmerah dan gatal yang kemudian makin lama makin membesar dan juga
kakinya menjadi gatal. Gatal dirasakan sepanjang hari, tidak tercetuskan
oleh makanan. Karena gatal, pasien sering menggaruk tangan dan kakinya.
Pasien sudah berobat ke puskesmas 3 kali. Pertama mendapatkan salep
gentamycin, kedua mendapatkan salep betametasone, dan ketiga juga
mendapat pengobatan salep betamethason dengan obat minum. Ketika
menggunakan obat dari puskesmas, pasien merasa keluhannya berkurang
sedikit, tetapi begitu efek obatnya habis pasien merasa gatal kembali dan
timbulnya bercak-bercak di kulit juga makin lebar sehingga pasien
memeriksakan diri ke poli kulit RSDM.
Pasien tidak menggunakan lotion ataupun salep di luar yang
diberikan puskesmas. Pasien juga tidak menggunakan barang logam,
seperti gelang atau perhiasan untuk kaki dan tangannya akhir-akhir ini. Di
rumahnya juga tidak banyak tanaman ataupun bahan kimia. Pasien adalah
seorang penjahit rumah yang biasanya hanya menerima order jahitan
pribadi. Akan tetapi, kurang lebih sejak 2 minggu sebelum pasien merasa
gatal, pasien menerima order dari perusahaan untuk mengerjakan seragam
19
berbahan drill dengan kain sebanyak satu gulung besar. Pasien belum
pernah menerima order kain drill yang persis sama dengan seragam yang
ia kerjakan sekarang. Pasien tidak mempunyai pekerja sehingga mulai dari
memotong dan menjahit ia kerjakan sendiri. Saat menjahit pasien lebih
senang menggunakan baju dan celana pendek karena gerah. Saat bekerja
pasien merasa terganggu karena gatal dan pasien merasa lebih gatal bila
bekerja. Pasien bekerja tidak tentu karena dilakukan di rumahnya sendiri,
bisa dari pagi sampai malam menjelang tidur atau sampai pasien merasa
lelah. Pasien tidak mencuci tangan dan kakinya sebelum dan setelah
bekerja. Pasien mandi dang anti baju 2 kali sehari. Di keluarga pasien
tidak ada yang kulitnya gatal-gatal. Pasien menyangkal alergi obat atau
makanan, tidak memiliki asma sejak kecil, dan tidak bersin-bersin di pagi
hari.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan serupa
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat HT
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup
Tanda Vital
: Tekanan darah
20
: 120/80 mmHg
Respiration rate
: 20x/menit
Nadi
: 88x/menit
Suhu
: afebril
b. Kepala
c. Mata
d. Hidung
e. Mulut
f. Leher
g. Punggung
h. Dada
i. Abdomen
k. Ekstremitas atas
l. Ekstremitas bawah
2. Status Dermatologis
Regio ekstremitas superior et regio cruris sinistra:
Tampak plak eritem berbatas tegas dengan skuama diatasnya.
F. DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatofitosis
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kerokan kulit dengan KOH 10% (negatif)
H. DIAGNOSIS KERJA
21
Non Medikamentosa
Edukasi pasien:
1.)Menghentikan kontak zat penyebab alergi atau menggunakan
pelindung saat bekerja (pakaian lengan panjang, sarung tangan)
2.)Menjaga kebersihan kulit
3.)Menjaga kelembapan kulit
b.
Medikamentosa
Cetirizine tablet 10 mg 1 x 1
J. Plan
Patch test bila lesi sudah sembuh
K. PROGNOSIS
Ad vitam
: bonam
Ad sanam
: dubia ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad kosmetikam
: dubia ad bonam
Foto pasien
22
23
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Sularsito SA and Djuanda S. Dermatitis; in: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009, pp 148-150.
2. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009. h. 20
33.
3. Statescua L, Branisteanu D, Dobreb C, Solovastru LG, Vasilcab A, Petrescu Z,
Azoicaic D. Contact dermatitis epidemiological study. Maedica A Journal of
Clinical Medicine, Volume 6 No.4; 2011. P 277-281
4. Matthias Peiser. Role of Th17 cells in skin Inflammation of allergic contact
dermatits. Clinical and Developmental Immunology Hindawi 2013, 261037 : p
1-10
5. Vocanson M, Hennino A, Rozi A, Poyet, Nicolas JF. Effector and regulatory
mechanisms in allergic contact dermatitis. John Wiley & Sons A/S Allergy
2009: 64: 16991714
6. Baratawijaya KG, Rengganis I. Alergi Dasar. Edisi 1. 2009. Jakarta: Interna
Publishing, p 299-314
7. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for care of contact dermatitis.
British Journal of Dermatology 2001; 145: 877-885
8. Bonamonte D, Foti C, Vestita M, Angelini G. Noneczematous contact
dermatitis. Allergy Hindawi 2013, p 1-10
9. Adisesh A, Robinson E, Nicholson PJ, Sen D, Wilkinson M. U.K. standards of
care for occupational contact dermatitis and occupational contact urticaria.
British Journal of Dermatology 2013, 168, pp11671175
10. Schnuch A, Aberer W, Agathos M, Becker D, Brasch J, Elsner P, Frosch PJ,
Fuchs T, Geier J, Hillen U, Lffler H, Mahler V, Richter G, Szliska C. Patch
testing with contact allergens. JDDG 92008. P 770-775
25
11. Diepgen TL, Agner T, Aberer W, Jones JB, Cambazard FR, Elsner P,
Mcfadden J, Coenra PJ. Management of chronic hand eczema. Contact
Dermatitis 2007: 57: 203210
26