KOLESTEATOMA
DISUSUN OLEH :
PRESEPTOR
dr. H. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL
dr. Elananda, Sp.THT-KL
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan
referat dengan judul KOLESTEATOMA yang disusun dalam rangka memenuhi
persyaratan kepaniteraan di bagian THT RSU dr. Slamet Garut.
Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr. H. W. Gunawan Kurnaedi Sp.THT-KL selaku kepala SMF dan konsulen THT
RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada
penyusun.
2. Dr. Elananda Sp.THT-KL selaku Konsulen THT RSU dr. Slamet Garut yang telah
banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penyusun.
3. Dr. Sofyan Sp.THT dosen Ilmu Kedokteran THT FK Universitas YARSI yang telah
memberi bimbingan serta pengajaran kepada penyusun selama ini.
4. Para perawat di poliklinik THT yang telah banyak membantu penyusun dalam
kegiatan klinik sehari-hari.
5. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang,
mendoakan dan memberi dukungan kepada penyusun.
6. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi dan dukungannya.
Penyusun menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan bagi semua pihak.
Wassalamualaikum Wr. Wb
DAFTAR ISI
2
3
4
5
11
11
13
13
17
18
19
21
24
25
26
BAB I
PENDAHULUAN
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena
disangka tumor yang ternyata bukan. Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous
epithelium) pada tubuh berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di
liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di
liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen
tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.
Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis di liang telinga,
sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang dengar. Bila tidak
ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan bagian tulang liang telinga.
Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh penumpukan
debris keratin maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Etiologinya belum diketahui,
sering terjadi pada pasien dengan kelainan paru kronik, seperti bronkiektasis, juga pada
pasien sinusitis. Namun kejadian kolesteatoma sangat jarang terjadi.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA
Telinga merupakan salah satu indera yang dimiliki manusia yang cukup penting,
karena tanpa adanya pendengaran maka seseorang juga akan mengalami kesulitan dalam
berbicara. Telinga merupakan organ yang bersifat sensori yang sangat kompleks jika
dibandingkan dengan organ sensori lainnya.
Secara anatomi, pada dasarnya telinga dibagi menjadi 3 bagian secara garis besar,
yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga dalam sendiri nanti akan terbagi
menjadi dua bagian, yaitu koklea yang berfungsi dalam pendengaran dan juga aparatus
vestibuli yang berperan dalam keseimbangan. Telinga luar dan telinga tengah akan
menyalurkan suara menuju koklea, yang dimana pada koklea suara tersebut akan dipisahkan
berdasarkan frekuensinya sebelum mengalami transduksi oleh sel-sel rambut pada koklea
yang akan mengubah rangsangan suara tersebut menjadi stimulus neural pada saraf yang
bertanggung jawab atas pendengaran yaitu saraf kranial ke VIII yaitu nervus
vestibulocochlear.1
Gambar 2. Auricula
Kanalis telinga dilapisi oleh epitel yang mensekresikan serumen dan disertai oleh
rambut pada permukaannya. Pada epitel yang melapisi kanalis telinga ini tidak terdapat
kelenjar keringat. Oleh karena epitel pada liang telinga ini tidak seperti epitel pada daerah
lainnya yang sering tergosok secara natural, maka epitel didaerah ini dapat membersihkan sel
kulit yang mati dan juga serumen yang berada pada kanalis telinga, kegagalan dalam
pembersihan sendiri dari sel epitel ini merupakan salah satu teori yang berkembang dalam
patofisiologi dari terjadinya kolesteatoma. Terdapat dua sel yang berperan dalam
pembentukan serumen yaitu kelenjar sebaseus dan kelenjar serumen.1,3
Bagian kedua dari telinga adalah telinga bagian tengah yang terdiri dari membran
timpani dan juga 3 tulang yang berperan penting dalam pendengaran yaitu malleus, incus,
dan stapes. Pada telinga tengah juga terdapat dua otot kecil, yaitu otot tensor timpani dan juga
otot stapedius yang akan berperan dalam refleks akustik. Pada telinga tengah juga terdapat
chorda tympani yang merupakan cabang dari nervus fasialis yang melewati telinga tengah
yang dimana chorda tymphani ini akan menginervasi 2/3 depan dari lidah. Pada telinga
tengah juga terdapat tuba Eustaschian yang akan menghubungkan telinga tengah dengan
faring.1,3
Rongga telinga tengah pada dasarnya berbentuk seperti kubus dengan enam sisi yang
dimana dinding posterior dari kubus ini sedikit lebih besar daripada dinding anteriornya.
Berikut ini merupakan batas-batas dari rongga telinga tengah :
Batas luar : Membran timpani
Batas depan : Tuba eustachius
Batas bawah : Vena jugularis
Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
Batas atas : Tegmen timpani (meningen/otak), tegmen timpani ini akan memisahkan
resesus epitimpanic dari fossa kranial bagian tengah.
Batas dalam: Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), promontorium, dan tingkap bundar
(round window)
Salah satu struktur penting yang berada pada telinga tengah adalah membran timpani.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membran propia). Pars flaksida
hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai
satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin
yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibule.3
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap.3
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
8
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membrane vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti.3
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel
rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.3
Dibelakang dari rongga telinga tengah terdapat mastoid antrum yang merupakan
penonjolan dari tulang temporalis, dan rongga mastoid ini berhubungan dengan telinga
tengah melalui aditus ad antrum. Rongga mastoid merupakan sebuah rongga yang berbentuk
seperti segitiga dengan puncaknya mengarah ke kaudal. Mastoid antrum ini memiliki panjang
12-15mm, tinggi 8-10mm, dan lebar antara 6-8mm.
Fisiologi Pendengaran
9
BAB III
10
KOLESTEATOMA
3.1
Definisi
Kolesteatoma telah diakui selama beberapa dekade sebagai lesi destruktif
dasar tengkorak yang dapat mengikis dan menghancurkan struktur penting pada
tulang temporal. Potensinya dalam menyebabkan komplikasi sistem saraf (misalnya
abses otak, meningitis) membuatnya menjadi lesi yang berpotensi fatal.6
Kolesteatoma diartikan sebagai adanya epitel skuamosa pada telinga tengah,
mastoid, atau epitimpanum. Normalnya, celah telinga tengah dilapisi oleh berbagai
jenis epitel di berbagai regio: kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior,
kuboidal di bagian tengah dan pavement-like di bagian attic. Telinga tengah tidak
dilapisi oleh epitel skuamosa berkeratin. Oleh karena itu, adanya epitel skuamosa
pada telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum disebut kolesteatoma. Dengan kata
lain, kolesteatoma adalah kulit di tempat yang salah.6,7,8
Pada dasarnya, kolesteatoma terdiri dari dua bagian, (i) matriks, yang terdiri
dari epitel skuamosa berkeratin yang bertumpu pada stroma jaringan ikat dan (ii)
central white mass, yang terdiri dari debris keratin yang dihasilkan oleh matriks.
Maka, kolesteatoma juga disebut sebagai epidermosis atau keratoma.6
3.2
Epidemiologi
Insidensi dari kolesteatoma beraneka ragam dimana salah satu penyebabnya
adalah praktek medis yang berbeda-beda di setiap Negara, seperti contohnya di Israel
ditemukan adanya penurunan kejadian dari kolesteatoma, ketika pada pasien yang
menderita otitis media kronik dilakukan penanganan dengan grommets ataupun aural
ventilation tube.
Baik laki-laki ataupun perempuan dapat mengalami kolesteatoma, dengan
perbandingan laki-laki berbanding wanita sebesar 3:2. Kolesteatoma yang terjadi pada
anak-anak ditemukan akan lebih sering berdampak pada tuba eustachius, anterior
mesotympanum, sel retrolabirin dan prosesus mastoid jika dibandingkan dengan
orang dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan pemeriksaan histologi diketahui bahwa
kolesteatoma yang terjadi pada anak pada umumnya bersifat lebih agresif. 4
3.3
Klasifikasi
11
a) Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma kongenital terjadi sebagai konsekuensi dari epitel
skuamosa yang terjebak dalam tulang temporal selama embriogenesis. Lokasi
kolesteatoma biasanya di mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid
atau di cerebellopontin angle. Sering diidentifikasi pada anak-anak usia 6
bulan hingga 5 tahun.
Patofisiologi
a) Kolesteatoma Kongenital
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih diperdebatkan hingga saat
ini. Ada beberapa teori yang dipakai untuk menjelaskan patogenesis dari
kolesteatoma kongenital.6
14
3. Teori Metaplasia
15
16
Patofisiologi Kolesteatoma23
Jenis Kuman
Jumlah temuan
Pseudomonas aeruginosa
31,5%
Proteus mirabilis
17
58,5%
Difteroid
3,3%
Streptococcus -hemolyticus
3,3%
Enterobacter sp.
3,3%
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang
diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses
nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis,
meningitis, dan abses otak.
3.6
Manifestasi Klinis
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terusmenerus atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar
infeksi tersebut sulit dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah
(vaskularisasi), maka antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada
kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya dapat diletakkan mengelilingi kolesteatoma
sehingga menekan infeksi dan menembus beberapa milimeter menuju pusatnya, akan
tetapi, pada kolestatoma terinfeksi yang besar biasanya resisten terhadap semua jenis
terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap timbul ataupun berulang meskipun
dengan pengobatan antibiotik yang agresif.
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada
kolesteatoma. Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan
epitel deskuamasi dengan atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan
kerusakan osikular yang akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi
apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak
langsung pada stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena
merupakan pertanda dari perkembangan komplikasi yang lebih serius.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah
drainase dan jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah yang tidak responsif
terhadap terapi antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih
dari 90% kasus. Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena seringkali
18
gendang telinga tetap utuh sampai komponen telinga tengah cukup besar.
Kolesteatoma yang berasal dari implantasi epitel skuamosa kadangkala bermanifestasi
sebelum adanya gangguan pada membran tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus
seperti ini, (kolesteatoma kongenital, kolesteatoma implantasi) pada akhirnya
kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi pada membran tympani.
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah kanalis
akustikus eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi.
Kadangkala menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan
antibiotik sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan. Apabila
terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada membran tympani pada
pars flaksida atau kuadran posterior.
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan salah
satu komplikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi yang
terkait dengan kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan
bermanifestasi sebagai abses di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi
pertama kali dengan tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat,
yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau meningitis.
3.7
DIAGNOSIS
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT
terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemriksaan
sederhana untuk mengetahui gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan
derajat gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometric nada murni,
audiometric tutur (speech audiometric), dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked
response audiometric) bagi pasien anak yang tidak koperatif dengan pemeriksaan
audiometric nada murni.
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh:
penurunan kemampuan mendengar
otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak ena
otalgia
obstruksi nasal
tinnitus, intermiten dan unilateral
vertigo
Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti :
otitis media kronik
perforasi membran timpani
operasi telinga sebelumnya
Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat ditemukan :
perforasi tipe marginal atau atik
terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus lanjut
polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari telinga tengah)
19
Pemeriksaan Penunjang
a) RADIOLOGI
Dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT scan, atau MRI.
CT scan merupakan pilihan radiologi yang dapat mendeteksi gangguan tulang.
Namun CT scan tidak selalu dapat membedakan antara jaringan granulasi dengan
kolesteatoma. Gaurano (2004) telah mendemonstrasikan bahwa ekspansi antrum
mastoid dapat dilihat pada 92% kolesteatoma telinga tengah dan 92%
mendemonstrasikan adanya erosi tulang pendengaran.8
CT scan yang digunakan adalah CT scan tulang temporal (2mm tanpa
kontras dengan potongan axial dan coronal.
Tanda kolesteatoma pada CT scan adalah :
1) Masa jaringan lunak di telinga tengah
terutama di prussaks space
pada kolesteatoma lanjut, terdapat bagian telinga tengah yang terisi
udara yang menunjukan masa dan bukan effusi
2) Erosi tulang
scutum (dinding lateral epitimpanum)
semisirkular kanal lateral
tegmen timpani
incus dan stapes
20
PENATALAKSANAAN
a) Terapi Non Bedah
Tujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah menurunkan derajat
inflamasi dan aktivitas infeksi pada bagian telinga yang terinfeksi. Prinsip
pengobatan medikasi kolesteatoma adalah membuang debris dari liang telinga.
Irigasi harus dilakukan dengan tepat, air harus dikeluarkan seluruhnya dari
telinga untuk mencegah kelanjutan kontaminasi.
Selain irigasi, diperlukan juga antimikroba topikal untuk menekan
infeksi, yang umumnya disebabkan oleh organisme sebagai berikut :
Pseudomonas aeruginosa, Streptococci, Staphylococci, Proteus, dan
Enterobacter. Antimikroba yang umum dipakai adalah ofloxacin atau
neomycin-polymyxin B. Apabila telinga tengah terpapar, dikemukakan bahwa
penggunaan aminoglikosida bersifat ototoksik dan berbahaya. Akan tetapi,
belum ada studi yang adekuat yang mendukung teori tersebut. Namun, untuk
kepentingan pasien, dianjurkan untuk menghindari penggunaan agen ototoksik
dan tetap menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa klinisi juga
menggunakan steroid topikal untuk menurunkan inflamasi, namun studi lebih
lanjut masih diperlukan untuk menilai efektivitas dari penggunaan agen ini.
Pada beberapa kasus, infeksi yang berlangsung tidak sepenuhnya
teratasi. Hal ini biasanya terjadi pada kasus adanya kolesteatoma sac dengan
21
debris keratin yang tidak diobati dengan antimikroba lokal secara efektif.
Namun, setelah tindakan bedah, umumnya keluhan otorrhea akan teratasi.
b) Terapi Pembedahan
Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat atau
menyingkirkan kolesteatoma. Teknik operatif yang umum dilaksanakan antara
lain canal-wall-up (closed) dan canal-wall-down (open). Apabila pasien
memiliki riwayat episode kekambuhan kolesteatoma, dan berharap dapat
menghindari tindakan operatif di kemudian hari, teknik canal-wall-down
merupakan pilihan yang tepat dan lebih aman.
Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan kondisi telinga
yang kering dan aman. Proses-proses yang menyebabkan erosi tulang,
inflamasi kronik, dan infeksi harus ditangani secara tuntas. Oleh karena itu,
seluruh matriks kolesteatoma harus disingkirkan sepenuhnya. Apabila hal ini
gagal dilakukan, kemungkinan yang muncul adalah kekambuhan dari
kolesteatoma. Tabel di bawah ini menunjukaan beberapa teknik pembedahan
disertai keuntungan dan kerugiannya.6
22
meatoplasty yang besar agar ada sirkulasi udara yang adekuat ke cavitas
telinga.6
Karakteristik prosedur canal-wall-up :
Menyingkirkan semua air cell
Functional tuba eustachius
Ruang telinga tengah yang dipertahankan dengan baik
Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang telinga
tengah melalui additus ad antrum.
Eliminasi dari tulang attic dilengkapi dengan cartilage atau
bone graft.
Karakteristik teknik canal-wall-down :
Membersihkan semua air cell termasuk yang dalam
retrofacial, retrolabyrinthine, and subarcuate air cell tracts.
Pembersihan dinding lateral dan posterior dari epitimpanun
sehingga tegmen mastoideum dan tegmen timpani menjadi
lembut.
Biasanya amputasi dari mastoid tip dianjurkan.
Saucerization dari lateral margin kavitas.
Perbesaran meatus
Terapi postoperatif yang diberikan antara lain antimikroba yang sesuai
dan steroid bila diperlukan. Antimikroba yang dipakai adalah antimikroba
topikal, contohnya ialah aminoglycoside and fluoroquinolone topikal. Jenis
antimikroba ini efektif untuk bakteri gram negatif. Selain itu, untuk
menghindari efek ototoksik, dapat juga dipakai ciprofloxacin atau ofloxacin.
Selain antimikroba, agen yang umum diberikan adalah steroid, yaitu steroid
cream. Steroid berfungsi untuk mengontrol perkembangan dari jaringan
granulasi.6
Setelah tindakan bedah dilakukan, pasien dianjurkan untuk kontrol
secara rutin. Pasien yang menajalani prosedur canal-wall-down dianjurkan
untuk kontrol setiap 3 bulan untuk pembersihan liang telinga. Tujuanny aialah
untuk menjaga agar telinga pasien tetap bebas daei deskuamasi epitel dan
serumen. Pada pasien yang menjalani prosedur canal-wall-up umumnya
memerlukan tindakan operatif kedua, setelah 6-9 bulan setelah tindakan
operatif pertama.
3.9
KOMPLIKASI
23
3.10
PROGNOSIS
24
DAFTAR PUSTAKA
25
1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009 (cited August 25,
2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.
2. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama. Jakarta : Penerbit
Hipokrates; 2002
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2008
4. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2007 (cited
August 27, 2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/384879overview
5. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2005
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997
7. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile of
congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad Med [serial online] 1989
[cited 2015 March 19]; 35:93. Available from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?
1989/35/2/93/5702
8. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch
Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited March 19, 2015). Available at
www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-060125.pdf
26