Anda di halaman 1dari 13

PENDEKATAN KELUARGA PADA PASIEN KAKI DIABETES

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala
yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai
normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin
baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/diabetes
juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II
yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa.(1)
Gejala diabetes antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing
(poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun
dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi
kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan
kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan >4 kg.(1,2)
Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter
atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan
terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil & jumlah
banyak dan berat badan turun.(1,2)
Berdasarkan data riskesdas tahun 2013 Propinsi Nusa Tengga Timur menempati urutan
keempat pasien usia 15 tahun dengan gejala dan diagnosis Diabetes Mellitus (3,3%). Dalam
data riskesdas tahun 2013 ini juga membuktikan bahwa semakin bertambahnya usia maka
prevalensi diabetes mellitus berdasarkan diagnosis dan gejala pun semakin meningkat.
Prevalensi terbanyak yakni pada usia 55-64 tahun yakni 5,5%.(3)
1

Dari uraian yang telah dipaparkan, maka kami merasa perlu dilakukan kegiatan
kunjungan rumah dalam hal menegakkan diagnosis kedokteran komunitas pada keluarga
yang salah satu anggotanya didiagnosa Diabetes Mellitus.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam latar belakang maka pokok persoalan
terumuskan sebagai berikut :
1) Bagaimana profil keluarga yang mendapatkan pendekatan kedokteran komunitas?
2) Bagaimana status kesehatan setiap anggota keluarga?
3) Bagaimana cara menanggulangi masalah kesehatan yang terjadi pada keluarga
tersebut?
1.3. Tujuan
Tujuan dilakukan kegiatan ini ialah :
1) Mengetahui peran anggota keluarga yang lain dalam mendukung salah sorang
anggota keluarga yang sedang sakit.
2) Mengetahui faktor-faktor dalam keluarga yang turut mempengaruhi penyakit
yang dialami salah satu anggota keluarga.
3) Memberi informasi kepada keluarga tentang penyakit yang dialami salah satu
anggota kelurga dan bagaimana peran anggota kelurga lainnya dalam mendukung
pengobatan terhadap anggota keluraga yang sakit dan pencegahan agar penyakit
yang sama tidak terjadi pada anggota keluraga yang lain.

1.4. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kegiatan ini ialah :

1) Bagi Anggota Keluarga yang Sakit


Kiranya melalui kegiatan ini, anggota keluraga yang sakit dapat mengetahui
tentang sakitnya mulai dari gejala sampai cara pengobatannya.
2) Bagi Seluruh anggota Keluarga
Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat memberi banyak informasi pada seluruh
anggota keluarga untuk terus memberi dukungan pada anggota yang sakit demi
kelancaran pengobatan.
3) Bagi Tenaga Kesehatan
Kegiatan ini diharapkan memberi informasi bagi tenaga kesehatan untuk terus
meningkatkan kegiatan home visite dalam rangka meningkatklan prevalensi
kesehatan keluraga.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3

2.1. Defenisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Angka kejadian diabetes
melitus didunia mencapai 171 juta orang pada tahun 2000 dan ini diprediksikan meningkat
menjadi 366 juta oleh 2030. (4)(5)
Diabetes adalah suatu kondisi terutama didefinisikan oleh tingkat hiperglikemia yang
menimbulkan risiko kerusakan mikrovaskuler (retinopati, nefropati, dan neuropati). Hal ini
terkait dengan berkurangnya harapan hidup, morbiditas yang signifikan karena terkait
komplikasi mikrovaskuler, peningkatan risiko Komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung
iskemik, stroke dan penyakit vaskular perifer. American Diabetes Association (ADA)
memperkirakan biaya nasional diabetes di Amerika Serikat tahun 2002 menjadi US $ 132
miliar, meningkat menjadi US $ 192 miliar di 2020. (5)

2.2. Etiologi dan Patofisiologi


2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan
kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin
pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam
virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada
beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell
Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada
penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya.
Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan
4

ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk
sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di
pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat
beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel
memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin.
Namun demikian, nampaknya serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel
. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh
penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi
lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans.
Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun
sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet
Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama
seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa
penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi terhadap enzim glutamat
dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai
positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD
juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi
anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi
lain yang sudah diidentifikas ikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody). IAA ditemukan
pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi
dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi autoimun dari sel-sel pulau
Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi
insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi

tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh
sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi
glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi
walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia.
Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1
mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan
terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap
kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM
Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon
terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat
berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun
defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita
yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk
merespons terapi insulin yang diberikan.
Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu
diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di
dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak
bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti
misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan
glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase
di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian
besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa. (6)

2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini
penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM
Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor
genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2,
antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas
atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit
dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab
terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada
tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak
mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi
Insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi
insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
kerusakan sel-sel Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.
Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat
relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan
terapi pemberian insulin. Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai
dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20

menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan


pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya
penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara
progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
a.
b.

c.

d.

Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal


Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia
(Chemical Diabetes)
Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma
puasa < 140 mg/dl)
Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma
puasa > 140 mg/dl). (5)

2.3. Diagnosis Diabetes Melitus


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya


Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan
melalui tiga cara:

1.

Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200

2.

mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM


Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa

3.

lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus. (5)
Pemeriksaan AIC
Pemeriksaan AIC tidak dianjurkan untuk penegakan diagnosis diabetes melitus.
Namun memiliki beberapa keuntungan untuk mengontrol pemeriksaan gula darah puasa dan
pemeriksaan toleransi glukosa dengan pemberian glukosa murni 75 mg serta memberikan
kenyamanan karena pasien tidak harus puasa. Namun harus diimbangi dengan biaya
pemeriksaan yang cukup besar serta sarana untuk pemeriksaan AIC. Adapun faktor-faktor
yang memepengaruhi pemeriksaan AIC seperti usia, ras, anemia. (5)

Usia
Pemeriksaan AIC hanya direkomendasikan untuk populasi dewasa, belum ada
data yang jelas apakah bisa digunakan untuk pemeriksaan diabetes pada anak-

anak.
Ras
Tingkat AIC berpengaruh pada ras atau etnis. Pada studi epidemiologi
menunjukkan bahwa pada orang amerika maupun afrika memiliki AIC yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih non-hispanik meskipun
sama-sama puasa serta diberikan beban glukosa yang sama.

2.4. Pencegahan Diabetes Melitus

Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum yang meliputi:
pencegahan tingkat dasar (primordial prevention), pencegahan tingkat pertama (primary
prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat
kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosa dini serta pengobatan yang tepat,
pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap terjadinya
cacat dan rehabilitasi.
2.4.1. Pencegahan Tingkat Dasar
Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha mencegah terjadinya
resiko atau mempertahankan keadaan resiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit
secara umum. Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan mempertahankan kebiasaan
atau perilaku hidup yang sudah ada dalam masyarakat yang dapat mencegah resiko terhadap
penyakit dengan melestarikan perilaku atau kebutuhan hidup sehat yang dapat mencegah atau
mengurangi tingkat resiko terhadap suatu penyakit tertentu atau terhadap berbagai penyakit
secara umum. Umpamanya memelihara cara masyarakat pedesaan yang kurang mengonsumsi
lemak hewani dan banyak mengonsumsi sayuran, kebiasaan berolahraga dan kebiasaan
lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat resiko yang rendah terhadap penyakit.
Bentuk lain dari pencegahan ini adalah usaha mencegah timbulnya kebiasaan baru
dalam masyarakat atau mencegah generasi yang sedang bertumbuh untuk tidak meniru atau
melakukan kebiasaan hidup yang dapat menimbulkan resiko terhadap beberapa penyakit.
Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama pada kelompok masyarakat berusia muda dan
remaja dengan tidak mengabaikan orang dewasa dan kelompok manula.

2.4.2. Pencegahan Tingkat Pertama


Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya mencegah agar tidak
timbul penyakit diabetes mellitus. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya diabetes adalah

10

faktor keturunan, faktor kegiatan jasmani yang kurang, faktor kegemukan, faktor nutrisi
berlebih, faktor hormon, dan faktor lain seperti obat-obatan. Faktor keturunan jelas
berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus. Keturunan orang yang mengidap diabetes
(apalagi kalau kedua orangtuanya mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya
untuk mengidap diabetes daripada orang normal).
Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes hampir 100% dapat
dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya (Sidartawan, 2001). Faktor keturunan
merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi faktor lingkungan (kegemukan, kegiatan
jasmani kurang, nutrisi berlebih) merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki. Usaha
pencegahan ini dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi diutamakan dan ditekankan
untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian mengidap
diabetes.
Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mengidap diabetes adalah orangorang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang mengalami perubahan perilaku/gaya
hidup ke arah kegiatan jasmani yang kurang, yang juga mengidap penyakit yang sering
timbul bersamaan dengan diabetes, seperti tekanan darah tinggi dan kegemukan. Tindakan
yang dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan mengenai perlunya
pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan cara memberikan pedoman:
1. Mempertahankan perilaku makan seharihari yang sehat dan seimbang dengan
meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan
karbohidrat sederhana.
2. Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan.
3. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan kemampuan.
2.4.3. Pencegahan Tingkat Kedua
Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan
menderita penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta pemberian pengobatan yang cepat dan

11

tepat.Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adanya penemuan penderita secara aktif
pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala, penyaringan (screening) yakni
pencarian penderita dini untuk penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk
secara umum pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau keterangan sehat.
Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai dengan mendeteksi
dini pengidap diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan, terutama untuk
mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan
demikian, mereka yang memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan
kemudian yang dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar
mereka mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes kemudian
dapat dikelola dengan baik, guna mencegah penyulit lebih lanjut.

2.4.4. Pencegahan Tingkat Ketiga


Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan dengan sasaran
utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya
penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehabilitasi. Tujuan utama adalah
mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti perawatan dan pengobatan khusus pada
penderita diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya
cacat maupun kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas (Noor, 2002).
Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau penyulit sudah
terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes ada beberapa macam, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya.


Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan.
Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan cuci darah.
Pembuluh darah tungkai bawah, dilakukan amputasi tungkai bawah.

12

Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini
penyulit diabetes, agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di samping tentu saja
pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan pemantauan yang diperlukan untuk penyulit ini meliputi beberapa jenis
pemeriksaan, yaitu:
1. Mata, pemeriksaan mata secara berkala setiap 6-12 bulan.
2. Paru, pemeriksaan berkala foto dada setiap 1-2 tahun atau kalau ada keluhan batuk
kronik.
3. Jantung, pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein dalam urin.
4. Kaki, pemeriksaan kaki secara berkala dan penyuluhan mengenai cara perawatan kaki
yang sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan timbulnya kaki diabetik dan
kecacatan yang mungkin ditimbulkannya.

13

Anda mungkin juga menyukai