Anda di halaman 1dari 35

WRAP UP SKENARIO 3

BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH


RONA MERAH DI PIPI

Kelompok

: B17

Ketua

: Siti Alya Zafira

(1102014251)

Sekretaris

: Nora Saputri

(1102014197)

Anggota

: Mutammima Rizqiyani

(1102014173)

Nabil Dhiya Ulhak

(1102014177)

Rani Dwi Ningtias

(1102014220)

Tegar Maulana

(1102014261)

Vrischika Alessandra Benedi

(1102014276)

Wahidin Nawawi

(1102014277)

Muhammad Badar Wujud Ahmad

(1102009181)

Mohammad Syarif Hidayatullah

(1102010170)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574

DAFTAR ISI
Skenario .......................................................................................................................3
Kata Sulit ....................................................................................................................4
Pertanyaan ...................................................................................................................5
Jawaban .......................................................................................................................6
Hipotesa ......................................................................................................................7
Sasaran Belajar (Learning Object)...............................................................................8
Daftar Pustaka.............................................................................................................35

SKENARIO
Rona merah di pipi
Seorang perempuan berusia 30 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam
yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluahan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut
sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar
matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subferis, konjungtiva pucat, terdapat sariawan
di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan.
Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.
Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker
autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan
dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam
menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.
Cat : ds-DNA = double-stranded DNA

KATA-KATA SULIT
1. Malar rash

: Eritema bartanda tegas, datar atau berevolusi pada


wilayah pipi dan sekitar hidung

2. Suhu subfebris

: Keadaan tubuh dimana suhu lebih dari normal


(37.2C-38C)

3. Marker autoimun

: Kompleks antibodi yang dihasilkan akibat adenin


inflamasi atau sebagai tanda adanya autoantibodi

4. Konjungtiva

: Membran tipis bening yang melapisi permukaan bagian


bagian dalam, kelopak mata dan menutup bagian depan
sklera(bagian putih mata).

5. Sistemic Lupus Eritematosus : Penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ


dengan manifestasi klinis lainnya.
6. Ds-DNA

: Rantai ganda DNA

PERTANYAAN
1. Mengapa bisa muncul malar rash?
2. Mengapa bisa ditemukan konjungtiva pucat?
3. Mengapa penyakit tersebut ditandai dengan keluhan rambut rontok dan nyeri
persendian?
4. Mengapa butuh penanganan seumur hidup?
5. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan urin?
6. Mengapa dokter menyarankan untuk dirawat dan di follow up?
7. Apa yang menyebabkan Sistemic Lupus Eritematosus?
8. Bagaimana pandangan Islam dalam menghadapi sabar?
9. Apa saja jenis-jenis pemeriksaan penunjang Sistemic Lupus Eritematosus?
10. Mengapa Sistemic Lupus Eritematosus banyak menyerang wanita?
11. Mengapa terjadi demam subfebris?
12. Apakah Sistemic Lupus Eritematosus dapat menyebabkan komplikasi?
13. Mengapa muncul sariawan?
14. Apa resiko jika pengobatan tidak selesai?
15. Bagaimana membedakan autoimun nonself dan autoimun self?

JAWABAN
1. Karena sinar matahari memicu apoptosis di pipi (terdapat banyak jaringan longgar).
2. Karena pada hasil pemeriksaan hematologi ditemukan anemia yang menyebabkan
hemoglobin menurun.
3. Karena diduga ada faktor genetik pada MHCII. Pada saat itu kompleks imun
meningkat, dan jika mengendap di kulit kepala maka akan menyebabkan rambut rontok.
Dan jika mengendap di persendian akan menyebabkan nyeri persendian.
4. Untuk mengurangi resiko munculnya gejala yang lain dan mencegah memburuknya
penyakit.
5. Untuk mengetahui adanya nefritis lupus.
6. Karena pasien tersebut butuh penanganan seumur hidup.
7. Lingkungan, genetik, hormonal.
8. QS Al-Baqarah 155-157
9. Pemeriksaan urin, pemeriksaan
pemeriksaan serologi(ANA).

marker

autoimun,

pemeriksaan

hematologi,

10. Karena pada wanita banyak terdapat estrogen. Pada saat melahirkan, prolaktin
meningkat.
11. Karena penyakit ini bukan dari infeksi bakteri.
12. Bisa.
13. Karena terjadi inflamasi di mukosa mulut.
14. Bisa terjadi komplikasi lainnya.
15. Dilihat dari gagalnya sel tolerans sel B sel T.

HIPOTESIS
Sistemic Lupus Eritematosus merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh
gagalnya sel toleranselBselT, dengan faktor resiko seperti lingkungan, genetik,
humonal(estrogen dan prolaktin pada wanita), gejala seperti malar rash, nyeri sendi, chest pain
yang disertai bercak-bercak merah, dan demam subfebris, gold standar diagnosis Sistemic
Lupus Eritematosus adalah tes serologi ANA dan anti ds-DNA, pengobatan Sistemic Lupus
Eritematosusbersifat simtomatik dan seumur hidup, maka dari itu penderita harus baersabar
dalam menghadapi penyakit Sistemic Lupus Eritematosus.

SASARAN BELAJAR
LO 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG AUTOIMUN
LI.1.1 Definisi autoimun
LI.1.2 Klasifikasi autoimun
LI.1.3 Mekanisme autoimun
LO 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG SISTEMIC LUPUS
ERITEMATOSUS
LI.2.1 Definisi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.2 Epidemiologi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.3 Etiologi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.4 Klasifikasi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.5 Patofisiologi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.6 Manifestasi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.7 Diagnosis dan Diagnosis banding Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.8 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.9 Tata laksana Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.10 Komplikasi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.11 Prognosis Sistemic Lupus Eritematosus
LO3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG PANDANGAN
TENTANG SABAR, RIDHO DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

ISLAM

SASARAN BELAJAR
LO 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG AUTOIMUN
LI.1.1 Definisi autoimun
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan selftolerence sel B, sel T atau keduanya.
Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis
yang ditimbulkan oleh respon autoimun. Penyakit-penyakit autoimun secara khas
mencirikan peradangan dari beragam jaringan-jaringan tubuh. Dapat disertai penyakit
atau penyakit yg ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi). Penyakit autoimun ini
berkaitan dengan sistem antibodi yang berlebihan dalam tubuh, dimana jaringan tubuh
dianggap sebagai Benda Asing.
LI.1.2 Klasifikasi autoimun
Jenis Penyakit Autoimun Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun yang


terjadi melalui antibodi

Menurut Mekanisme

Menurut Sistem Organ

Penyakit autoimun yang


terjadi melalui antibodi
dan sel T
Penyakit autoimun yang
terjadi melalui komleks
Ag-Ab
Penyakit autoimun yang
terjadi melalui
komplemen
Penyakit autoimun
hematologi
Penyakit saluran cerna
Penyakit autoimun
jantung
Penyakit autoimun ginjal
Penyakit autoimun
susunan saraf
Penyakit autoimun

Nama Penyakit Autoimun


- Anemia hemolitik
autoimun
- Limfopeni
- Sindrom goodpasture
- Penyakit grave
- Granulomatosis Wegener
- Miastenia gravis
Sistemik
- Artritis reumatoid
- LES
Organ atau jaringanspesifik
- Sindrom Sjogren
- Sklerosis multiple
- Sindrom guillain-bare
Diabetes tipe I
LES

Anemia pernisiosa
Gastritis antral difus
Hepatitis autoimun
Miokarditis
Kardiomiopati
Glomerulonefritis
Sindrom goodpasture
Sindrom guillane bare
Vaskulitis saraf perifer
Penyakit grave
9

endokrin
Penyakit autoimun otot
Penyakit autoimun
reproduksi
Penyakit autoimun
telinga dan tenggorokan

Tiroiditis primer
Miastenia gravis
Polimiositisdermatomiositis
Granulomatosa Wegener
Sarkoidosis
-

Menurut Nonorgan
Spesifik / Sistemik

Lupus eritematosus
sistemik
Skleroderma
Sindrom sjogre
Artritis rheumatoid
Sistitis anterstisial
Sindrom antibody
antifosfolipid
Vaskulitis

LI.1.3 Mekanisme autoimun

Gambaran utama mekanisme autoimunitas (Kindt, et. al., 2007)


A. Pelepasan Antigen Terasingkan (Sequestered Antigen)
Sebetulnya sel T mampu untuk mengenali antigen self, karena pada masa
pematangannya, sel T yang belum matang telah terpajan kepada banyak antigen
self. Sel T yang tidak bisa mengenali self (T-cell self-reactive) akan dibuang, yaitu
pada proses clonal deletion. Antigen dari jaringan yang berada diluar dari sirkulasi
darah dan tidak diperkenalkan kepada sel T, tidak dapat menimbulkan selftolerance. Pajanan antigen tersebut kepada sel T yang sudah matang, nantinya,
dapat mengaktivasi respon imun.

10

Salah satu contohnya adalah pada Myelin Basic Protein (MBP), yaitu antigen
yang terletak di luar sistem imun; MBP tidak terjangkau oleh sistem imun karena
dihalang oleh blood-brain barrier. Pada percobaan, seekor hewan diinjeksi dengan
MBP + adjuvant, yaitu untuk memaksimalisasi respon imun. Pada kasus tersebut,
sistem imun hewan percobaan terpajan oleh antigen self yang asing, namun dalam
keadaan nonfisiologis (dalam keadaan percobaan). Pada eksperimen yang sama,
ternyata kasus tersebut dapat dicegah apabila MBP diinjeksi langsung ke timus,
sehingga sel T dapat terpajan oleh antigen terkait pada saat pematangannya.
(Kindt, et. al., 2007)
B. Mimikri Molekuler
Oleh karena berbagai hal, mikroba dan virus dapat menyebabkan terjadinya
autoimunitas. Perlu disadari bahwa manusia terserang penyakit di mana penyakit
tersebut endemik di wilayah tertentu. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, mobilitas manusia meningkat, dan menariknya, tingkat kejadian
autoimunitas juga meningkat. Hal ini diduga karena beberapa mikroba atau virus
tertentu memiliki determinan antigen yang mirip dengan antigen sel yang dimiliki
host. Hal ini dinamakan mimikri. Pada satu studi, sebanyak 600 antibodi
monoklonal yang spesifik terhadap 11 virus dites reaktivitasnya terhadap sel tubuh
host. Sebanyak 3% dari antibodi spesifik virus tersebut ternyata juga berikatan
dengan sel tubuh normal, sehingga disimpulkan bahwa mimikri molekuler bisa
menjadi fenomena yang sering terjadi. (Kindt, et. al., 2007)
C. Ekspresi MHC kelas II yang Tidak Sesuai
Pada penderita insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), sel beta
pankreasnya mengekspresi molekul MHC kelas I dan II dalam kadar yang tinggi.
Sel beta yang normal seharusnya memproduksi MHC kelas I yang rendah, dan
sama sekali tidak mengekspresi MHC kelas II. Ekspresi yang tidak tepat ini, yang
seharusnya hanya diekspresi oleh Antigen Presenting Cell (APC), menyebabkan
sensitasi sel T-Helper kepada peptida sel beta, yang kemudian dapat mengaktivasi
sel B atau sel Tc dan menyerang antigen self. (Kindt, et. al., 2007)
LO 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG SISTEMIC LUPUS
ERITEMATOSUS
LI.2.1 Definisi Sistemic Lupus Eritematosus
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalah penyakit
autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri,
mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan. Lupus dapat mempengaruhi
setiap bagian tubuh, tetapi paling umum mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung
dan pembuluh darah. Perjalanan penyakit ini tidak dapat diprediksi, dengan periode
suar (flare) dan remisi. Lupus dapat terjadi pada semua usia dan lebih umum pada
perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan dapat hadir dengan lesi
terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap matahari. Nama kondisi
ini berasal dari fakta bahwa ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah menyerupai
serigala.

11

LI.2.2 Epidemiologi Sistemic Lupus Eritematosus


Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di
seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus.
Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak
dibanding pria yaitu 9:1 karena wanita punya respon antibodi yang lebih cepat, ,
umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun,
walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun. Seelain itu, wanita yang
mengonsumsi estrogen oral / hormon pengganti estrogen punya risiko 1,2-2 kali lebih
tinggi untuk terkena SLE
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis.
Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi
putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika.
Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis
selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1
sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar
15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang
remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga
meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan
penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit
putih.
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia,
Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi
melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang
per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras
Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika.
LI.2.3 Etiologi Sistemic Lupus Eritematosus
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus.
Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya,
sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan
menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan
tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.
Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan
hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC
(Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik
adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga
memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody.
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus
12

bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor


lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa
molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen
penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari
kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun
saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan
bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh
pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun
10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.
Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian
pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :
1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari
gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi
autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA).
Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang
berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit,
kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri.
Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (antiDNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh
aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal.
2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan
dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
a. Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada
pria dewasa
b. Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
c. Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam
keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi
resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced
Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :

13

Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa,


hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat: dilantin, penisilamin, dan
kuinidin
Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit
ini kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memilikikecendrungan akan penyakit ini.
LI.2.4 Klasifikasi Sistemic Lupus Eritematosus
Lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu:
1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE)
Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe :
a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi:
1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus
2) Oral Discoid lupus Erythematosus
3) Lupus Erythematosus panniculitis
b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)
2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE)
Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE)
3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)
Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus
diklasifikasikan menjadi:
1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
3. Bullous form
4. Neonatal form (NLE)
5. Acute Cutaneous form (ACLE)
6. Subacute Cutaneous form (SCLE)
7. Chronic Cutaneous form (CCLE)
8. Childhood onset (CSLE)
9. Drug Induced (DILE)

14

LI.2.5 Patofisiologi Sistemic Lupus Eritematosus


Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu :
faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko
yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain
mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4,
atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2
dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel,
kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan
sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal
membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan
respon imun.
2.

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang
toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV
menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan
terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran
bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.

3.

Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B


menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa
autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (doublestranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian
merusak jaringan.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling
sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi
terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya
titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan
mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai
reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan
karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya
antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi
antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
berperan sebagai penyebab vaskulitis.

15

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun


bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari
seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus
ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada
adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal,
tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks
imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk
aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering
terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat
terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa
bantuan autoantibodi.
4.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan
bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES,
yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar
untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai
kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan
prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan
kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan
trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan
menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi
prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.
LI.2.6 Manifestasi Sistemic Lupus Eritematosus
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat
juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala
terkenanya sistem imun.
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.
Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit
dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar
matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi)
dan masa kekambuhan (eksaserbasi).
Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian
hari akan melibatkan organ lainnya.
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling sering
adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan
irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.

16

B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah
sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada
beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat
menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis
umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid
dan vaskulopati.
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak
proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis
menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA
polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan
mekanisme arthritis pada SLE.

C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1. Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung
dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan
hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga
penebalan scaly patches.
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah
terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal
dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.

17

2. Lesi Kulit Sub Akut


Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3. Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun.
Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga
perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan
adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang
tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga,
dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan
diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap,
yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih
sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus
erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.

4. Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit
dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar.
Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
5. UrtikariaBiasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis.
18

D. Kelainan pada Ginjal


Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.
Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya
LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah :
(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
(3) Kelas III: focal lupus nephritis
(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
(5) Kelas V: membranous lupus nephritis
(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu
nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus
merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,
gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis
menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering
unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak
dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen,
muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala
menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang
adekuat.
H. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal.
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa
limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar
pada 60% kasus SLE.
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara.
K. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan
kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa
lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial
reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan
perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik
dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan
19

gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala


delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang
mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal,
hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea,
defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya.
Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktorfaktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di
pleksus koroideus.
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombspositif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia.
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.
Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan
aktivasi komplemen lokal.
LI.2.7 Diagnosis dan Diagnosis banding Sistemic Lupus Eritematosus
NO KRITERIA
BATASAN
1
Butterfly rash/
Eritema datar atau enimbul yang menetap di
bercak malar
daerah pipi dan cenderung menyebar ke lipatan
nasolabial
2
Bercak discoid
Bercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi
lama dapat terjadi parut atrofi
3
Fotosensitif
Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar
matahari
4
Ulkus mulut
Biasanya tidak nyeri
5
Artritis
Ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6
Serositif
a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terengar pleural
friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar
pericardial friction rub atau terdapat efusi
perikardial pada pemeriksaan fisik
7
Gangguan ginjal
a. Proteinuria persisten > 0,5g/hari atau pada
pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif
tidak dapat dilakukan
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular
atau campuran
8
Gangguang saraf
Kejang tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
Atau
Psikosis tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
20

Gangguan darah

10

Gangguan
imunologi

11

Antibodi antinuklear

Leukopenia <4000/mm
Limfopenia <1500
Trombositopenia <100.000
a. Terdapat salah satu kelainan
b. Anti ds-DNA diatas titer normal
c. Anti-Sm(Smith) (+)
d. Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar
serum IgG atau IgM antikardiolipin yang
abnormal
e. Antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan
tes standar
f. tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya
Treponema palidum atau antibodi
treponemaAnti dsDNA diatas titer normal
Tes ANA +
Titer abnormal dari antibody anti-nuklear
berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalanan penyakit tanpe keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dg sindroma lupus yang
diinduksi obat.

Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi bersamaan atau dengan tenggang waktu
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitisitas 85%
dan spesitifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negative, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
Diagnosis Banding
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis
banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai
gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis
sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.
Ciri-ciri
Gangguan ginjal
Nyeri sendi
Rambut rontok
Sariawan
Demam ringan
Butterfly rash

LES

Arthritis
reumatoid

Poliomielitis

Skleroderma

21

Edema

LI.2.8 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium Sistemic Lupus Eritematosus


A. FISIK
1. Anamnesis
Tanyakan kepada pasien apakah terjadi atau terdapat:
a. Timbul bercak di seluruh tubuh
b. Sariawan (oral ucers)
c. Terjadi kejang atau tidak
d. Sakit atau nyeri pada sendi
e. Terdapat darah dalam urin atau tidak
f. Sesak atau sakit ketika bernapasa
g. Terdapat bercak ketika terpajan matahari
2. Pemeriksaan Fisik
a. Hitung frekuensi napas, >20 kali/menit
b. Bengkak pada sendi
c. Sariawan (oral ulcers)
d. Terdapat bercak pada seluruh tubuh dan muka
B. LABORATORIUM
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin
Hasil Pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukan adanya anemia
hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation
rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs Test mungkin Positif, level
IgG mungkin tinggi, rasio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin
meningkat. Selain itu hasil pemeriksaan urin pendertia LES menunjukan adanya
proteinuria, hematuria, peningkakatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai
proses imunlogik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya LES,
arthritis rheumatoid, sindrom Sjogren dan sebagainya. Adanya antibody termasuk
autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis
maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Umumnya,
autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh karenanya lebih
baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada
sebagai agen patologik. Kadarnya dapat naik dan turun, berkaitan dengan
aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi penyakit. Kompleks autoantigen
dan autoantibodi inii lah yang akan memulai rangkaian penyakit autoimun.
2.1Antibody Antinuclear
ANA merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam
nukleat dan nucleoprotein. ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode
imunofluoresensi. 99% penderita LES menunjukan pemeriksaan ANA (+)

22

Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel sering


muncul di dalam darah.Tes ANA merupakan tes serologi yang harus dilakukan
pada penyakit LES. Tes ANA juga merupakan diagnosis utama yang dapat
ditegakkan pada penyakit LES apabila titer ANA > 1/160 units.
Terdapat 4 pola ANA yaitu branosa (anular, periferal), homogen, berbintik,
dan nuclear.
Yang spersifik untuk SLE adalah yang membranosa terutama jika titernya
tinggi > dari 1/160.Pola berbintik juga umumnya juga da di SLE.Tes ANA
memiliki sensitifitas tinggi tapi spesifisitasnya rendah.
Kalo ANA (+) dan gejala klinis khas maka tidak perlu diberi pemeriksaan
tambahan.
ANA (+) dan gejala tidak khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan
tambahan (anti ds-DNA dan anti Sm)
ANA (-) dan gejalanya khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan
tambahan (anti ds-DNA dan anti Sm)
2.2Antibody Terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi
yang reaktif terhadap DNA natif (Double stranded DNA). Anti ds-DNA positif
dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE. Peningkatan kadar anti dsDNA menunjukan peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES, anti ds-DNA
mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit.
Pemeriksaan dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA, dan C.luciliae
immunofluorosens.
Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Antibody
Prevalensi Antigen yang Dikenali Clinical Utility
(%)
Antinuclear
98
Multiple nuclear
Pemeriksaan skrining
antibodies
terbaik; hasil negative
(ANA)
berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA
70
DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi
spesifik untuk SLE dan
pada beberapa pasien
berhubungan
dengan
aktivitas
penyakit,
nephritis, dan vasculitis.
Anti-Sm
25
Kompleks protein pada Spesifik untuk SLE;
6 jenis U1 RNA
tidak
ada
korelasi
klinis;
kebanyakan
pasien juga memiliki
RNP;
umum
pada
African American dan
Asia
dibanding
Kaukasia.
23

Anti-RNP

40

Kompleks protein pada Tidak spesifik untuk


U1 RNA
SLE; jumlah besar
berkaitan dengan gejala
yang overlap dengan
gejala rematik termasuk
SLE.
Kompleks Protein pada Tidak spesifik SLE;
hY RNA, terutama 60 berkaitan
dengan
kDa dan 52 kDa
sindrom
Sicca,
subcutaneous
lupus
subakut, dan lupus
neonatus disertai blok
jantung
congenital;
berkaitan
dengan
penurunan
resiko
nephritis.
47-kDa protein pada hY Biasanya terkait dengan
RNA
anti-Ro;
berkaitan
dengan
menurunnya
resiko nephritis
Histones terkait dengan Lebih sering pada lupus
DNA
(pada akibat obat daripada
nucleosome, chromatin) SLE.
Phospholipids,2
Tiga tes tersedia
glycoprotein 1 cofactor, ELISA
untuk
prothrombin
cardiolipin dan 2G1,
sensitive prothrombin
time
(DRVVT);
merupakan predisposisi
pembekuan, kematian
janin,
dan
trombositopenia.

Anti-Ro (SS-A)

30

Anti-La (SS-B)

10

Antihistone

70

Antiphospholipi
d

50

Antierythrocyte

60

Membran eritrosit

Antiplatelet

30

Permukaan
perubahan
sitoplasmik
platelet.

dan
antigen
pada

Antineuronal
(termasuk antiglutamate
receptor)

60

Neuronal
permukaan
limfosit

dan
antigen

Diukur sebagai tes


Coombs
langsung;
terbentuk
pada
hemolysis.
Terkait
dengan
trombositopenia namun
sensitivitas
dan
spesifitas kurang baik;
secara
klinis
tidak
terlalu berarti untuk
SLE
Pada beberapa hasil
positif terkait dengan
lupus CNS aktif.

24

Antiribosomal P

20

Protein pada ribosome

Pada beberapa hasil


positif terkait dengan
depresi atau psikosis
akibat lupus CNS
Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute
Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.
3. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lainnya akan menghasuilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari kurang lebih 20 protein
plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade
penkuan darah dan fibrinolysis.
Pada LES kadar C1, C4, C2, dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus
kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat
beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal.
LI.2.9 Tata laksana Sistemic Lupus Eritematosus
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit
yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa
cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan
pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat
penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko
kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
2. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer
group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi
pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia
di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan
masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan
bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
5. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan
dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian
25

penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat


pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok,
obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1
gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan
sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal.
Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan
sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai
2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3.
Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan
dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat
ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dosedependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan
penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus
terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan
kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin
releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.
2. Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase,
yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah
proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara
efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita
SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang
terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan
Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison
yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan
dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat
disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati
lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai
steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis
yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu
dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3
mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000.
Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi
menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid,
26

yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan


gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas
dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase.
Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan.
Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati
dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan
imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan
dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang
disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah
melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena
ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari
untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan
terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang
biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal,
infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria,
sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya
harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi,
hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin
terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik
yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus
dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati
lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Agen Biologis
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B
dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin
spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun
dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan
reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.
2. Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang
refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi
lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi
flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds27

DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan
suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang
terikat pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulator
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis
factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod
monoklonal terhadap BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan
meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang
percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada
penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin,
dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit,
musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis
dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin
(200400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent
memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit
menjadi kekuningan.
Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas.
Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang
perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila
digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi
saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap
6 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan
kongenital pada janin. Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga
pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa
menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE.
Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan
sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari
bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia
hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasienpasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai
kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu
terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis
SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular
digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan
sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison
(metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati
keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid
diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk
28

mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan


organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik,
umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid
parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa,
dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain
habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler,
akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma,
diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas,
insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis
kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan
dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000
mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan
pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam
mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat,
didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik
selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi.
Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf
pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria
yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE
atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala,
psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel.
Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh
inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya
pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan
kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya
adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP
(Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme
kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak
seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya
infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan
pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter
immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan
artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita
SLE dengan defisiensi IgA.

LI.2.10 Komplikasi Sistemic Lupus Eritematosus


29

1. Serangan pada Ginjal


Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal
dapat terjadi akibat deposit kompleks antibody-antigen pada glomerulus disertai
pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh
reaksi hipersensitivitas tipe III.
a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a. Pleuritis
b. Pericarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung).
c. Efusi pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung atau Miocarditis
f. Gagal jantung
g. Perdarahan paru (batuk darah)
3. Serangan Sistem Saraf
a. Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia.
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang
sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem
saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
a. Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi discoid
b. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an
i. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif
terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau
lesi tidak berparut berbentuk koin.
ii. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup
area yang luas di bagian tubuh
iii. Lesi non spesifik
Rambut rontok (alopecia)
Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku
dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang
dapat menjadi borok.
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan
kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
30

a. Radang sendi pada lupus


b. Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
a. Anemia
b. Trombositopenia
c. Gangguan pembekuan
d. Limfositopenia
8. Serangan pada Hati
Komplikasi LES pada anak meliputi:
a. Hipertensi (41%)
b. Gangguan pertumbuhan (38%)
c. Gangguan paru-paru kronik (31%)
d. Abnormalitas mata (31%)
e. Kerusakan ginjal permanen (25%)
f. Gejala neuropsikiatri (22%)
g. Kerusakan muskuloskeleta (9%)
h. Gangguan fungsi gonad (3%).
LI.2.11 Prognosis Sistemic Lupus Eritematosus
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik,
banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus
yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak
ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat
dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang
paling buruk pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan
ginjal yang berat.
Angka harapan hidup :
a. 5 tahun : 85-88%
b. 10 tahun : 76-87%
Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :
a. Infeksi penyakit
b. Nefritis lupus
c. Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
d. Penyakit kardiovaskular
e. Lupus sistem saraf pusat
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator
prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA
positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan
prognosis yang lebih buruk.

31

LO3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG PANDANGAN ISLAM


TENTANG SABAR, RIDHO DALAM MENGHADAPI MUSIBAH
1. SABAR
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah
berfirman:

Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di
pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.
Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya (Ar-Rad:
22).
Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:
1. sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2. sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah
3. sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.
Ayat-Ayat Al-Quran
Al-Baqarah 152-156
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya.

32

155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, wahai sekalian orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap
siaga (QS.Ali imran : 200)
Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami
musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan
kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT. Tentang ayat
ini, Sahl bin Saad meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW bahwa, Satu
hari berjihad di jalan Allah itu lebih baik ketimbang dunia dengan segala isinya (HR.
Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).
2. IKHLAS
Definisi ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur
dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik
menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat
dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang
mendefenisikan bahwa ikhlas adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah
tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu
engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.
Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan dari
komentar manusia, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu
maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk
mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu.
Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya
engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang
diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya
kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar
manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia,
karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia
tidak meridhoimu).
Ayat ayat Al-Quran tentang ikhlas:
"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. AzZumar: 2-3).

33

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 23).
3. RIDHO
Definisi ridho
) berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha
Ridho (
dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa
apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut
Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan
berdampak baik pula bagi hamba-Nya.
Macam macam ridho:
Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah
terbagi menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam
dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah
mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada
perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk
kepentingan kita sebagai umat-Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama
mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan
namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang
hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa
saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar
agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang
Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas
qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk
dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan
kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.
Ayat al-quran tentang ridho


Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam. (QS Ali Imran ayat 19)



Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih wa sallam itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab
ayat 21)

34

DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan terjemahan
Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar. Ed. 11. FKUI:Jakarta.
Dorland, W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Goodman & Gilman. 2006. The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGraw
Hill, New York.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI
Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, vol
III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.
Kumar. Cotran. Robbins . 2007. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

35

Anda mungkin juga menyukai