Bende Edisi 59
September 2008
SENI RUPA
DALAM
METODE PENCIPTAAN
Oleh: Totok Priyoleksono, M. Sn.
Menyoal tentang seni rupa dalam kontek ke depan. Saya berusaha mengurai
persoalan tersebut yang paling krusial adalah manajemen seni dalam seni rupa.
Untuk melakukan hal itu, tidak saja merumuskan manajemen itu sendiri, akan
tetapi diperlukan pembahasan bagaimana perupa sebagi pemeran utama dalam
kesenian untuk menciptakan karya seni, kuratorial yang meliputi saranaprasarananya, dan sampai pada pemaknaan dalam wacana seni, serta
menciptakan pasar. Lingkaran besar inilah saya berusaha merajut poin-poin yang
ada kaitannya dengan konteks manajemen seni. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang bagaimana memajajerial diri sendiri (seniman/kreator), dari ide konsep
eksekusi penciptaan karya seni.
Seni adalah sebuah manefestasi kretif yang belum ada menjadi ada, dan seni
merupakan ekspresi perasaan dari pikiran untuk menyalurkan gejolak perasan. Dalam
situasi perasan tersebut orang dapat mengekspresikan perasaannya dalam karya
seni, karena karya seni baru lahir setelah perasaan mengekspresikan ke dalam karya
seni yang diperoleh dari pengalaman, atau sebaliknya. Dalam seni, perasaan harus
dikuasai terlebih dahulu, harus dijadikan obyek dan harus diatur, dikelola, dan
diwujudkan atau diekspresikan dalam karya seni. Demikian juga dalam karya seni
rupa, diciptakan dalam suasana tertentu. Jadi, ekspresi dalam seni adalah
mencurahkan perasaan tertentu (Jakop Smardjo, 2000: 73-74). Karya seni rupa,
keindahan tidak saja hanya dilihat dari tampilan semata. Tetapi karya seni rupa
mempunyai susunan, yaitu struktur harmoni dan struktur ritme dalam unsur-unsur
rupanya.
Seni rupa bukan sekedar fenomena estetik, melainkan semiotok. Artinya,
obyek-obyek visual seni rupa memberikan pengalaman visual yang sekaligus
memberikan stimulan bagi aktifitas indra pengelihatan manusia. Sebagai obyek
visual seni rupa juga sebagai rangkaian tanda-tanda manusia yang menyimpan,
mengolah, sekaligus memperoleh informasi maknawi, baik yang berupa gambaran
mengenai keadaan obyektif, pandangan sikap dan perasaan manusia terhadap obyek
(Totok Priyoleksono, 2005: 22).
dimaknai
dengan
daya
persepsi
atau
apresiasi
penanda/
penikmat
(apresiator), dan penonton tersebut dalam memberikan tanda dalam bentuk tersbut
pada masing-masing apresiasi penanda/penikmat (apresiator) dapat berbeda.
Metode Penciptaan Karya Seni
Menurut terminologi kata metode dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan sebagai cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di dalamnya
terdapat metode/cara dalam mencapainya, karena untuk mencapai suatu kebenaran
yang obyektif dalam mengungkapkan obyek ilmu, tidak dapat dikerjakan secara
acak, melainkan dikerjakan secara terstruktur. Untuk itu diperlukan cara tertentu
yang tepat, salah satu cara yang tepat adalah dengan metode/cara sesuai dengan
jenis keilmuannya. Cara itu harus memberi jaminan bagi tercapainya persesuaian
antara yang diketahui atau yang diungkapkan dengan kenyataan dalam obyeknya.
Metode keilmuan harus mampu mengungkapkan bukti-bukti atau tanda kebenaran
dari pengalaman yang direspon manusia. Dengan kata lain metode yang
dipergunakan merupakan cara kerja yang tepat, terarah atau teratur dan benar.
Metode dari berbagai disiplin ilmu mempunyai kesamaan, hanya saja yang
membedakan adalah jenis obyek keilmuannya saja. Metode/cara yang digunakan
dalam penciptaan seni juga tidak jauh beda dengan ikmu lain, karena dalam
penciptaan seni terdapat tahapan-tahapan yang terstruktur, tertata melalui
perencanaan yang matang.
Berdasarkan obyek penelitiannya, ilmu dapat dibedakan menjadi dua
kelompok besar sebagai berikut :
1. Ilmu yang obyeknya benda alam dengan hukum-hukumnya yang relatif bersifat
pasti dan berlaku umum disebut Ilmu Alam. Obyeknya adalah fakta-fakta alam
yang tidak dipengaruhi oleh manusia. Di samping itu karena hasilnya
dirumuskan sebagai kepastian, maka disebut juga Ilmu Pasti atau Ilmu
Eksakta.
2. Ilmu yang obyeknya dipengaruhi oleh manusia termasuk juga manusia itu
sendiri, sehingga hukum-hukumnya tidak sama dengan hukum-hukum alam
karena bersifat secara relatif kurang pasti disebut Ilmu Sosial. Bukti
kebenaran
ilmu
ini
tidak
dapat
diulang-ulang
karena
dalam
setiap
karya
seni
rupa
diperlukan
metode
(cara),
atau
sebuah
deep structur
Wujud/Konteks
Wacana
Improfisasi
Eksplorasi
Konsep
Eksekusi
Evaluasi/
Apresiasi
Eksperimen
Dari bagan di atas dapat dipahami bahwa; Metode atau cara penciptaan
memuat uraian yang rinci tentang cara-cara penciptaan karya seni berikut antisipasi
terhadap apa yang mungkin terjadi dalam sepanjang proses dan bagaimana
mengatasinya. Tahapan-tahapan yang perlu dilakukan adalah: Eksplorasi-Konsep
yang dipengaruhi dari faktor intern dan eksteren dan perlu melakukan Improfisasi
dan eksperimen-Eksekusi-Karya Seni rupa-dan Apresiasi/ evaluasi.
Eksplorasi
Seorang seniman perlu untuk melakukan eksplorasi, karena dalam proses
eksplorasi terdapat penggalian sumber penciptaan melalui studi pustaka dan
pengamatan langsung di lapangan untuk memperoleh ide-ide secara empirik
(pengalaman). Data yang diperoleh ditransformasikan ke dalam konsep kekaryaan,
yang diteruskan improfisasi dan eksperimentasi.
Eksplorasi yang dilakukan menghasilkan sebuah tema dalam sebuah atau
beberapa karya, dan dapat juga digunakan untuk dijadikan ke dalam sebuah judul
pameran tunggal. Eksplorasi sangat beralasan untuk dilakukan seorang seniman
karena dapat diukur tingkat penguasaan latar belakang dan konsep yang telah
dicanangkan. Dengan demikian akan memudahkan kuratorial ataupun pewacanaan.
Untuk Menentukan judul/tema/topik ciptaan, bergantung pada peristiwa atau
bahasa visual yang ada pada karya tersebut. Cerita atau peristiwa yang
melatarbelakangi sebuah karya adalah bagian eksplorasi dari ide dan konsep yang
sudah ada dalam benak pikiran maupun perasaan sang kreator. Hal ini sang kreator
dapat pula Berpikir, berimajinasi, merasakan, menanggapi dan menafsirkan tema
yang dipilih.
Eksplorasi ini dipengaruhi oleh sebagai berikut:
a. Dorongan Intrnal
Dorongan
b. Dorongan Eksternal
Penciptaan karya seni selalu dipengaruhi oleh keadaan di mana seniman
berada, seperti yang dikatakan Soedarso Sp. Bahwa suatu hasil selain merefleksikan
diri seniman penciptanya juga merefleksikan lingkungannya (bahkan dari si-seniman
itupun terkena pengaruh lingkungan pula). Lingkungan itu bisa berwujud alam sekitar
maupun masyarakat sekitar (Soedarso Sp., 1988: 56). Pengaruh dari fenomina yang
ada di lingkungan apa saja dapatlah digunakan sebesar-besarnya ke dalam penciptaan
karya seni.
Improvisasi
dapat
dilakukan
dengan
percobaan-percobaan,
memilih,
atau
yang
terobosan-teobosan
berupa
teks
maupun
baik
deep
ditinjau
structur
dari
yang
pemikiran/surface
tercipta
dalam
Konsep adalah sebuah pemikiran global kreator yang dituangkan dalam teks
secara sestimatis dan praktis. Konsep diperoleh dari eksplorasi/pengamatan kongkrit
dan pengalaman secara empirik sehingga keperpihakannya jelas. Menurut Mike
Susanto dalam bukunya Diksi Rupa dikatakan bahwa; konsep adalah pokok pertama
yang mendasari keseluruhan pemikiran. Konsep biasanya hanya ada dalam pikiran
atau kadang-kadang tertulis secara singkat. Dalam penyusunan ilmu pengetahuan
diperlukan kemampuan menyusun konsep-konsep dasar yang dapat diuraikan terusmenerus,
kemampuan
abstrak
tersebut
dinamakan
pemikiran
konseptual.
Pembentukan konsep merupakan konkritisasi indra, suatu proses pelik yang mencakup
penerapan metode, pengenalan seperti perbandingan, analisis, abstraksi, idialis, dan
bentuk-bentuk deduksi yang pelik. Keberhasilan konsep tergantung pada ketepatan
pemantulan realitas obyektif di dalamnya. Konsep sangat berarti dalam berkarya
seni. Ia dapat lahir sebelum, bersamaan, maupun setelah pengerjaan sebuah karya
seni. Konsep dapat menjadi pembatas berfikir kreator maupun penikmat dalam
melihat dan mengapresiasi dalam karya seni. Sehingga kreator dan penikmat dapat
memiliki persepsi dan kerangka berfikir yang sejajar (Mike Susanto, 2002;65).
Konsep
yang
memuat
eksplorasi-eksplorasi
stetemen
seniman
tersebut
akan
memudahkan
tidak
sambungnya
komunikasi
antara
karya
maupun
konsep
masyarakat seni, pengamat seni, pecinta seni, dan masyarakat secara umum apabila
tidak diinformasikan melaui iven pameran, maka karya yang telah diciptakan tersebut
tidak akan dikenali pula. Di era digital ini memang pameran tidahlah mutlak untuk
dijadikan sarana promosi si-perupa/kreator, masih ada cara lain yaitu melalui media
masa dan internet. Pada kenyataan perupa/kreator tidaklah mampu untuk melakukan
sendiri, ada komponen-komponen lain yang tidak bisa dikerjakan sendiri, diperlukan
tim kerja yang dapat melaksanakan tugas selaras dengan tujuan awal.
Perupa/kreator tidak dituntut untuk bisa semuanya, namun perupa/kreator
dapat secara cerdas melihat dan mengetahui fenomena dan perkembangan yang ada
di luar kita. Iven pameran hingga saat ini masih dapat digunakan sebagai rujuan untuk
tidak saja sebagai ajang mengenalkan/memperlihatkan karya seni, melainkan dapat
digunakan sebagai media komunikasi antara perupa/kreator dengan apresian, karena
di dalamnya terdapat konsep dan pemaknaan sebuah implementasi dari wacana. Dari
kegiatan tersebut dengan mudah untuk dicatat sebagai peristiwa sejarah seni rupa
yang berguna bagi generasi penerus kita.
Perlu untuk disadari bahwa pameran yang digelar tidak saja dibarengi dengan
wacana yang bagus, tetapi kata serius sangat diperlukan sekali. Kendati demikian,
tidaklah itu saja yang perlu, melainkan masih perlu dipenuhi antara lain infrastuktur
lain yang seperti; gedung pameran yang repesentatif, media, dan masyarakat. Di
Indonesia gedung pameran yang representatif masih dapat dihitung dengan jari.
Bahkan di Jawa Timur dapat dikatakan tidak ada gedung pameran yang memenuhi
persyaratan untuk sebuah pameran seni rupa. Gedung-gedung pameran yang ada di
Surabaya saja masih menggunakan gedung-gedung lama yang disulap menjadi gedung
untuk memajang karya-karya dibeberapa iven pameran sekalipun gawe besar yang
bernama festival.
Sering kali kita kebingungan dalam mengawali penciptan karya seni, karena
kurangnya data atau respon terhadap fenomena yang terjadi pada diri kita dan
lingkungan. Untuk menciptakan karya seni diperlukan metode/cara yang tepat, guna
memberikan kenyamanan dalam proses, karena dalam proses tersebut dirancang
dengan cermat dan syarat-syarat yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Dengan
demikian berarti metode penciptaan tidak saja bertujuan untuk memberikan peluang
sebesar-besarnya terhadap terciptanya karya seni, tetapi juga tidak lepas dari nilainilai visual yang mengandung makna.
Wacana dan Pasar
Persoalan tentang kurator, kuratorial, dan kurasi bukan saja terjadi pada saat
ini tetapi pada awal tahun 1990an ketika Derektorat Pendidikan Nasional mengadakan
kegiatan Pelatihan Tenaga Kurator bagi Taman Budaya seluruh daerah di Indonesia.
Taman Budaya Jawa Timur mengirimkan beberapa kali tenaga calon kurator. Sejak
tahun-tahun 90an tersebut mulailah mengenal dan memahami segala persoalanpersoalan manajemen pameran dan peran kurator sehingga terjadi diskusi panjang.
Yang menjadi persoalan pada waktu itu adalah bagaimana menjadikan seorang
kurator menjadi sebuah profesi yang perlu untuk ditekuni di Indonesia. Kurator yang
diharapkan adalah kurator yang independen, dimana profesi kurator tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mengangkat seorang seniman mulai dari bawah. Artinya seorang
kurator diuji oleh kwalitasnya dari karya yang betul-betul bagus ditinjau dari konsep,
proses, kepribadian serang seniman. Di sinilah seorang kurator dituntut akan
kepekaan terhadap fenomena yang berkembang, fenomena perupa secara personal,
sehingga
memperoleh
data
dan
pemaknaan
yang
akurat,
dan
selanjudnya
menciptakan sebuah pasar. Kurator independen, pasar tidaklah tujuan utama, namun
pasar sebagai efek dari pencitraan, pemaknaan, ataupun pewacanaan yang
digulirkan.
Dalam kuratorial tidak luput dengan proses kurasi. Kurasi dari bahasa Inggris
Curation, dari kata ini berkembang kata curate, curator dan kuratorial yang
kemudian di bahasa Indonesia dikenal dengan kurasi, kurator, dan kuratorial . Dalam
Webster New 20th Century Dictionnary, curation berasal dari bahasa latin cura,
curatum (to take care of) berarti menjaga, merawat, atau seorang yang menjaga,
memelihara, memperhatikan dan mengawasi segala sesuatu seperti kepustakaan
umum, museum, koleksi seni rupa atau sejenisnya (Mike Susanti, 2002: 68). Profesi
kurator dalam seni rupa tidaklah mudah karena dituntut konsentrasi dalam menjaga,
memelihara, dan memperhatikan untuk ditampilkan secara baik. Dalam mengkurasi
diperlukan curatorial knowledge berupa pengetahuan, atau pemahaman akan bendabenda visual. Disisi lain kurator diharapkan dapat bekerja sebagai perencana dan
pelaksanaan pameran seni rupa yang sekaligus membangun wacana representasi seni
yang terarah dan tergarap.
Pameran seni rupa pada dasrnya adalah salah satu bagian dari proses
perjalanan karya seni rupa. Kemana arah dan muara perjalanan: itu salah satunya
tergantung dari dan ke mana pameran itu dibawa. Artinya pameran itu akan
mengangkat apa, untuk siapa, dan seterusnya. Inilah yang menjelma sebagai ideologi
pameran, yakni pengendapan gagasan yang dapat berangkat dari manapun, termasuk
termasuk pembacaan penggagasnya terhadap realitas karya seni rupa yang akan
dipamerkan. Ideologi ini menjadi penting karena ia memiliki kekuatan psikologi yang
dapat menempatkan pameran dalam suatu citra tertentu, dan pada akhirnya menjadi
salah satu penentu warna penyajian itu sendiri.
Keadaan pameran akan lain apabila sebuah pameran digagas untuk keperluan
bisnis, sehingga berimbas pada pengemasannya yang berbeda dengan yang sekedar
apresiasi, meski tidak menutup kemungkinan di sini terjadi transaksi jual beli. Suatu
upaya rasional adalah pencitraan terhadap wacana yang diusung dan karya yang
dipamerkan. Tujuannya adalah memasukkan ruh estetika bercitrarasa tertentu
sehingga pameran dan karya tersebut marketable (memiliki nilai jual). Pemanfaatan
tokoh yang marketable untuk memberi pengantar pada katalog, mengkurasi karya,
membuka acara, dan sebagainya adalah sebuah usaha-usaha sistematis tersebut.
Jenis pameran seperti ini sudah dipersiapkan secara matang termasuk label harga
sekalipun.
Hal di atas akan berlainan ketika pameran digagas untuk kepentingan apresiasi
bai tunggal maupun kelompok, bisa saja diciptakan pencitraan yang sistematis
sehingga semangatnya tentu berbeda pula. Kalaupun terjadi transaksi jual-beli itu
semua adalah akibat dari usaha-usaha yang diciptakan, dan bukan tujuan utama.
Dua tipikal pameran tersebut sangat berbeda/kontradiktif ditinjau dari
tujuannya. Namun pertanyaannya adalah: apakah masih ada jenis pameran yang
digagas secara representatif sehingga tidak mengurangi nilai dan tujuan yang telah
dirancang sebelumnya? Sebenarnya sebuah pameran tidaklah sederhana itu, tetapi
sebuah pameran diadakan lebih condong pada beberapa aspek yaitu; bagaimana
produksinya, siapa senimannya, dan bagaimana kesehariannya, serta bagaimana
kecenderungannya (jika kelompok).
Di sisi lain, proses produksi adalah serangkaian aktivitas yang diperlukan untuk
mengolah ataupun mengubah sekumpulan masukan (input) menjadi sejumlah
keluaran (output) yang memiliki nilai tambah (added value), yakni nilai dari keluaran
yang bertambah dalam pengertian fungsional, atau nilai ekonomi, maka proses
produksi pameran seni rupa bukanlah sekedar menata input karya seni rupa diruang
pemer menjadi menjadi sebuah ivent pameran. Produksi pameran (seni rupa) di ruang
pamer adalah produksi teks, inilah yang bisa dijadikan diskusi panjang antara elemen
terlibat, sebab teks inilah yang nantinya memberikan ruh yang menggerakkan
pameran. Konsep pameran yang dibangun penggaas/kurator menjelma menjadi
sebuah teks. Teks inilah yang akan dibaca oleh apresian (pembaca teks) sesuai
kapasitas pembacanya. Inilah ruh yang dapat menggerakkan sebuah pameran ketika
teks terbaca dalam konstruksi pertarungan ideologi penggagas/kurator dan
pembaca yang akan sekaligus melahirkan teks baru. Dengan demikian, produksi
sebuah pameran bukanlah tugas yang mudah. Istilah lain, bahwa kerja pameran
adalah
pekerjaan
manajemen,
dan
persoalan
manajemen
adalah
persoalan
konseptual, teori dan analisis. Dengan kata lain persoalan pameran adalah kerja serta
kinerja semua yang terlibat. Prinsip, konsep, prosedur, job design, sistim kerja, dan
lain-lain dalam upaya penyelenggaraan pameran yang efektif, efisien, produktif, dan
menguntungkan semua pihak, adalah hal yang paling mendasar yang harus dikuasai
oleh penggagas/kurator independen secara profisional.
Beberapa perbedaan pandangan tentang kurator; (1). Peran kurator amat
kecil, dan nyaris tidak berarti, sebab seniman/perupalah yang memegang kendali dan
nasib dari apa yang telah dikreasikan, disajikan diwacanakan. (2). Kurasi menjadi
sistim yang mengintervensi keotonomian seniman maupun karya seni (langsung
maupun tidak langsung), sehingga peran kurator cukup signifikan, karena mampu medekontektualisasi dan mampu merekontekstualisasi karya seni yang dipamerkan
dengan konstruksi ideologi sendiri. (3). Kurasi menjadikan ajang untuk mengorbitkan
seorang/kelompok perupa yang mempunyai kemampuan dan keberpihakan yang jelas,
sehingga pengelompokannya pun akan semakin mudah. Unutk melihat fenomena ini
tidaklah mudah karena kurator dituntut peka terhadap kehebatan teks, konteks dari
perupa itu sendiri.
Dari berbagai persoalal-persoalan dan tawaran jalan keluar tentan bagaimana
mengerjakan sebuah ivent pameran yang tidak lepas dari persoalan manajemen.
Perlunya rancangan teknis dan non teknis dalan sebuah pameran yang dapat
memberikan wacana ataupun ilmu seni yang pada akhirnya dapat berguna bagi insan
seni, pecinta seni, dan pemerhati, serta masyarakat dan pemerintah. Akan lebih baik
dalam rancangan pameran yang sitimatis dibarengi dengan pembangunan infrastuktur
yang baik kaitanya dengan pameran seni rupa. Infrastruktur yang perlu dibangun
adalah; senimannya, pengelola seni, gedung pameran yang representatif, galeri seni,
kolektor, dan masyarakat. Dibangunya dari semua lini infrastruktur tersebut dapat
menjembatani ketimpangan persepsi antara perupa dan apresian tidak telalu jauh
tingkat pemahaman ataupun tingkat arperiasinya selama ini.