BLOK TRAUMATOLOGI
SKENARIO 2
NYERI PINGGANG TIDAK BISA KENCING
KELOMPOK XII
Masyola Gusta A.
G0012128
Alexander Adi A. U.
G0012010
Nopriyan Pujokusuma
G0012152
G0012060
Muhammad Mardhiya A.
G0012138
G0012146
Dessy Rachmawati
G0012056
Meda Mitasari
G0012130
G0012006
Reinita Vany I
G0012176
G0012026
Soraya Sahidha
G0012214
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
1
BAB I
SKENARIO
Skenario 2
Nyeri Pinggang dan Tidak Bisa Kencing
Dokter IGD menerima pasien rujukan dari puskesmas, pasien seorang laki-laki
berusia 35 tahun. Sekitar 6 jam sebelumnya pasien mengendarai sepeda motor sambil
bertelepon. Saat ada becak yang menyebrang jalan, karena kaget saat berkecepatan tinggi,
pasien menabrak pohon karena bermaksud menghindari becak. Pasien terbentur setang motor
pada pinggang kanan, lalu jatuh ke tanah dengan panggul membentur batu besar. Pasien
sadar, tampak pucat, mengeluh nyeri pada pinggang dan perut bagian bawah dan tidak bisa
kencing. Namun dokter tetap tidak bisa melakukan kateterisasi.
Dari pemeriksaan dokter IGD didapatkan kesadaran GCS 15, pupil isokhor, reflek
cahaya (+/+), lateralisasi (-). Jalan nafas bebas. Didapatkan vital sign : nadi 120 x/menit,
tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36oC, akral dingin dan lembab RR 24x/menit.
Terdapat jejas pada regio lumbal dextra, nyeri ketok costovertebral (+), keluar darah
dari orificium urethra externum, serta terdapat hematom pada regio perineum. Dari
pemeriksaan rectal toucher didapatkan prostat melayang. Dalam pemeriksaan stabilitas
pelvis, tes kompresi (+), tes distraksi (+).
Dokter melengkapi pemeriksaan penunjang kemudian mengkonsulkan pasien pada
dokter spesialis yang berkaitan untuk menangani kasus ini.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jump
1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
a. tes distraksi : dilakukan dengan cara menekan pelvis pada bagian depan dengan posisi
pasien keadaan melintang.
b. tes kompresi : dilakukan dari bagian anterior atau posterior yang digerakan, jika positif
berarti ada trauma pada articulationya
c. pupil isokhor : ukuran antara dua pupil sama
d. prostat melayang : pada saat rectal toucher teraba melayang karena tidak terfiksasi
dengan diagfragma urogenitalis
e. lateralisasi : digunakan untuk menilai ada tidaknya keseimbangan neurologis kanan dan
kiri
f. perineum : anatomi :regio dibawah diafragma pelvis yang dibagi dua oleh garis khayal
tuber ischiadikum kanan dan kiri
2. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan
Permasalahan pada skenario ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
c. Hypochondrium sinister
d. Lumbalis dekster
e. Umbilikalis
f. Lumbalis sinister
g. Iliaca dekster
h. Hypogastrium
i. Iliaca sinister
Proyeksi Pada Organ Intra Abdominal
a. Lien : pada latero-posterior costae 9 10
b. Hepar : pada anterior dinding abdomen dekstra, mulai dari costae 6 kanan
sampai ke arcus costae terakhir
c. Gaster (Stomach) : mulai dari regio epigastrium sampai ke regio umbilikalis
Vascularisasi Gastrointestinal
a. A. Coeliaca ( truncus coeliacus) A. gastrica sinistra, A. Hepatica, A. Lienalis
b. A. Mesenterica Superior a. colica media, a. colica dextra, a. ileocolica, a.
pancreaticoduodenalis inferior, aa. Jejunales dan ilei
c. A. Mesenterica Inferior a. colica sinistra, a. sigmoidea, a. hemorrhoidalis
superior
Anatomi Pelvis
Pelvis adalah daerah batang tubuh yang berada di sebelah dorsokaudal
terhadap abdomen dan merupakan daerah peralihan dari batang tubuh ke
extremitas inferior. Pelvis bersendi dengan vertebra lumbalis ke-5 di bagian atas
dan dengan caput femoris kanan dan kiri pada acetabulum yang sesuai. Pelvis
dibatasi oleh dinding yang dibentuk oleh ulang, ligamentum, dan otot. Cavitas
pelvis yang berbentuk seperti corong, memberi tempat kepada vesicaurinaria, alat
kelamin pelvic, rectum, pembuluh darah dan limfe, dan saraf.
Kerangka pelvis terdiri dari:
a. Os inominatum (tulang panggul)
Tulang ini terdiri dari tiga bagian komponen, yaitu: ilium, iskium, dan pubis.
Saat dewasa tulang-tulang ini telah menyatu selurunya pada asetabulum.
Ilium:batas atas tulang ini adalah Krista iliaka. Krista iliaka
berjalan ke belakang dari spina iliaka anterior superior
menuju spina iliaka posterior superior.
Iskium : terdiri dari spina di bagian posterior yang
membatasi insisura iskiadika mayor (atas) dan minor
(bawah. Tuberositas iskia adalah penebalan bagian bawah
korpus iskium yang menyangga berat badan saat duduk.
Ramus iskium menonjol kedepan dari tuberositas ini dan
bertemu serta menyatu dengan ramus pubis inferior.
4
pubikum
dan
tuberkulum
pubikum.
Foramen
4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
Pupil ishokor menunjukkan tidak ada fraktur basis cranii. Refleks cahaya
diperiksa untuk melihat fungsi nervus opticus. Hasil (+/+) menunjukkan refleks
cahaya normal pada mata kanan dan kiri.
6
Nilai
Nilai Normal
Intepretasi
Tekanan Darah
90/80 mmHg
110-120/80-90 mmHg
Hipotensi
Nadi
120 x / menit
60 100 x / menit
Takikardia
RR
24 x
12 -20 x / menit
Takipnea
Suhu
36 C
36,5 - 37,5 C
Hipotermia
Ekstremitas
Dingin
Hangat
Hipoperfusi
jantung koroner, maka angina dapat terjadi. Tahapan ini muncul ketika tubuh
kehilangan 20 hingga 25 % sirkulasi darah efektif.
c. Tahap 3 : Pada tahapan ini, disfungsi organ mulai terlihat. Terjadi penurunan
cardiac output, produksi urin menurun atau berhenti, dan mulai terjadi perubahan
status mental dari diam menjadi agitasi dan diikuti somnolen hingga koma.
Tekanan arteri dibawah 70 80 mmHg berdampak pada tidak adekuatnya
aliran darah ke arteri koroner dan dapat terjadi penurunan oksigenasi miokardium.
Penurunan dibawah 60 mmHg berdampak pada tidak adekuatnya aliran darah ke
cerebrum (cerebral blood flow). Hipotensi yang parah, meskipun hanya terjadi dalam
waktu singkat dapat menyebabkan trauma pembuluh darah paru sehingga dapat
menyebabkan sindroma gawat nafas (respiratory distress syndrome). Hipoperfusi
yang parah juga dapat menyebabkan hepar kehilangan fungsi detoksifikasi sehingga
sampah metabolisme terakumulasi didalam darah.selain itu, kondisi hipoperfusi atau
hipovolemia yang berlangsung selama beberapa jam dapat menyebabkan nekrosis
tubuler.
Tabel 1. Tanda tanda syok
I. Signs of shock (organ hypoperfusion)
A. Metabolic acidosis
B. Systolic blood pressure <90 mm Hg
C. Urine output <20 ml/hr
D. Cold, clammy skin
E. Mental confusion
II. Signs of preshock or low-flow state: Any of the following unexplained
findings in a patient clinically suspected of being at risk for developing shock:
A. Fall in urine output
B. Rise in heart rate
C. Fall in systolic blood pressure
D. Fall in skin temperature
4. Bagaimana patofisiologi yang didapat dari pemeriksaan fisik pada pasien di
skenario ?
a. Nyeri ketok costovertebral
Mengacu pada kejadian pinggang kanan terbentur stang, hal ini akan
menimbulkan sensasi nyeri di segmen dermatom thoracica 10-12. Nyeri yang
8
dirasakan pun tak hanya ada di pinggang kanan, melainkan akan menjalar ke
daerah lain yang masih dipersarafi oleh segmen nervi thoracica 10-12, termasuk di
region costovertebral (daerah pertemuan costae dengan os vertebrae thoracica) di
tubuh bagian posterior. Hal ini akan menimbulkan manifestasi klinis berupa nyeri
ketok costovertebral ketika dilakukan pemeriksaan fisik di regio costovertebral.
b. Patofisiologi hematom di perineum dan keluar darah dari orificium urethra
externum
Bermula dari kejadian pinggang kanan terbentur stang dan panggul
membentur batu besar, panggul atau dengan nama lain pelvis ,mempunyai banyak
organ yang ada di dalamr uangan yang dibentuknya (cavum pelvicum), antara lain
vesicaurinaria, glandula prostate, urethra, dan lain sebagainya. Terkait dengan
keluarnya darah dari orificium urethrae externum (OUE), hal tersebut dikarenakan
benturan di panggul tadi mengakibatkan rupture pada urethra pars anterior (setelah
melewati diaphragma urogenitale) dan urethra pars posterior (sebelum melewati
diaphragma urogenitale), sehingga akan terjadi keluarnya darah dari OUE (blood
discharge).
Daerah panggul dan pinggang kanan termasuk ke dalam daerah abdomen.
Daerah abdomen sendiri terdiri dari beberapa lapisan, antara lain:
1.
Cutis
2.
3.
4.
Fascia extraperitoneal
5.
Peritoneum
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah fascia superficialis, terutama fascia
Scarpa. Fascia Scarpa ketika ke perineum akan melanjutkan diri menjadi fascia
Colles, yang berbentuk seperti kupu-kupu. Fascia Colles ini yang nantinya akan
menampung darah bilaterjadi rupture pada urethra pars anterior sehingga akan
tampak hematoma perineum (butterfly shaped hematoma, karena bentuknya seperti
kupu-kupu).
c. Patofisiologi prostat melayang
Terkait prostat melayang, hal ini disebabkan karena ruptur urethra posterior.
Dikarenakan urethra pars posterior terletak di atas diaphragma urogenitale, maka
diaphragma urogenitale tadi menampung darah hasil ruptur sehingga tidak keluar
menuju ke fascia Colles. Hal ini menyebabkan darah yang tertampung semakin
banyak dan prostat yang ada di atasnya menjadi tergenang oleh darah dan
kemudian melayang karena prostat menerima gaya ke atas dari darah yang
menggenanginya.
Keadaan umum
GCS 15
Pemeriksaan
penunjang
Tatalaksana
10
Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis yang muncul pada pasien di skenario ?
Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh dokter?
Bagaimana patofisiologi syok pada skenario ?
Bagaimana komplikasi yang bisa terjadi berdasarkan skenario?
Bagaimana tatalaksana yang dapat dilakukan pada skenario?
organ-organ vital seperti otak, jantung dan ginjal sebagai prioritas aliran. Sedangkan
vaskularisasi ke ekstremitas salah satunya dikurangi agar vaskularisasi ke organ-organ
vital tetap terjaga. Hal ini pulalah yang mendasari terjadinya akral dingin pada pasien.
Mengenai nyeri pinggang dan nyeri pada perut bawah pasien, meski pada
skenario tertulis pasien terbentur setang pada pinggang dan panggul membentur batu
besar. Hal ini terjadi karena baik pinggang, panggul maupun perut bagian bawah
memiliki regio yang sama sehingga nyeri dijalarkan ke bagian-bagian tersebut.
2. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh dokter?
Tabel 1. Perbandingan DPL, USG, dan CT Scan
a. DPL
Diagnostic peritoneal lavage (DPL) adalah tes invasif, cepat, dan sangat
akurat untuk mengevaluasi perdarahan intraperitoneal atau viskus berongga yang
pecah. DPL berperan dalam trauma tumpul abdomen ataupun trauma tembus
abdomen. Pertama kali dijelaskan pada tahun 1965, DPL menggantikan abdomen
tap pada empat kuadran, dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dalam
mengidentifikasi cedera intraabdominal. Sekarang, DPL dilakukan lebih jarang,
12
karena telah diganti dengan focus abdominal sonography trauma (FAST) dan
computed tomography scan (CT Scan). Namun, masing-masing modalitas
diagnostik memiliki kelebihan yang unik dan kekurangan (Whitehouse dan
Weigelt, 2009).
DPL adalah satu-satunya tes invasif dari tiga pilihan diagnostik tersebut,
tapi DPL maerupakan tes yang paling sensitif untuk luka mesenterika dan luka
viskus berongga. Modalitas lainnya yaitu FAST. FAST dapat dilakukan dengan
cepat, non-invasif, dan dapat diulang beberapa kali selama periode resusitasi.
Namun, baik FAST dan DPL tidak efektif untuk mengevaluasi retroperitoneal dan
cedera diafragma dan buruk untuk mengidentifikasi cedera organ padat. CT scan
abdominopelvis masih membutuhkan hemodinamik pasien normal, mahal, dan
membawa risiko kecil tapi signifikan yaitu keganasan (Hall, 2008). Namun, CT
scan handal dalam diagnosa cedera organ padat dan mengevaluasi retroperitoneum,
tetapi sensitivitas dan spesifisitas untuk usus tumpul dan cedera mesenterika tidak
unggul dibanding DPL. Sebagai hasil dari perbedaan ini, semua tiga tes terus
memainkan peran penting ketika mengevaluasi pasien trauma cedera perut
(Whitehouse dan Weigelt, 2009).
DPL diindikasikan baik untuk trauma tumpul dan trauma tembus abdomen.
Pada cedera tumpul, DPL memiliki sejumlah indikasi tetapi tergantung pada
kondisi pasien dan ketersediaan CT scan dan FAST. DPL berguna untuk pasien
yang syok dan ketika pemeriksaan FAST tidak tersedia. Pasien hipotensi tidak
dievaluasi dengan CT scan. Dengan tidak adanya CT scan, DPL juga berguna pada
pasien dengan pemeriksaan abdomen yang tidak dapat diandalkan karena
perubahan status mental atau cedera tulang belakang. Indikasi lain, ketika CT scan
tidak tersedia, termasuk temuan ketika pemeriksaan lain hasilnya meragukan,
adanya tanda lap-belt, cedera struktur yang berdekatan seperti tulang rusuk yang
lebih rendah, tulang belakang lumbal, atau panggul, antisipasi kontak dengan
pasien yang lama (yaitu prosedur extra abdominal), atau kecurigaan klinis yang
tinggi adanya cedera intraabdominal. Peran DPL di trauma penetrasi difokuskan
pada pasien luka tusukan perut depan yang asimtomatik. Pasien dengan luka tusuk
anterior ke perut yang hemodinamik normal dan tidak memiliki tanda-tanda
peritonitis dievaluasi dengan eksplorasi luka lokal dan jika positif, dilakukan DPL.
Pasien dengan luka flank anterior juga bisa dilakukan DPL jika eksplorasi luka
lokal positif (Whitehouse dan Weigelt, 2009).
13
10 cc / darah
16
Suplaidarahotakmenurun
pusing
Penurunanvolume &tekanandarah
Osmolalitas plasma darahmeningkat
haus
ResponJangkaPanjang
ResponJangkaPendek
Hormonal:
ADH
Angiotensin II
Aldosteron
EPO
Hormonal:
ADH
Angiotensin II
Stimulasibaroreseptor&kemoreseptor
SSP
Urinpekat, oliguria
Perangsangansistemkardiovaskuler
RR meningkat
Denyut jantung meningkat
Aktivasisarafsimpatis
Nadi lemah
Bibir kering
Hormonal:
Adrenalin & noradrenalin
17
Jantung
Jaringan
Otak
Disorientasi
penurunan kesadaran
18
19
melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang
terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu asca
ruptura dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari. Sebagian ahli lain melakukan
reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa
jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan rekonstruksi
membuahkan hasil yang lebih baik.
Cedera dari luar yang sering menimbulkan kerusakan uretra anterior adalah
straddle injury (cedera selangkangan), yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan
benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa: kontusio dinding uretra,
ruptur parsial, atau ruptur total dinding uretra.
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan
fasia Colles. Jika terdapat ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin
keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat
hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi
urin dan darah hanya dibatasi oelh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga
skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran
seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau
hematuria. Jika terdapat robekan pada orpus spongiosum, terlihat adanya hematoma
pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat
miksi. Pemeriksaan uretrografi retrogard ada kontusio uretra tidak menunjukkan
adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya
ekstravasasi kontras ada pars bulbosa.
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapat menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4-6 bulan
perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial dengan
ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistotomi untuk mengalihka aliran urin. Kateter
sistotomi dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui
pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul
striktura uretra. Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau
sache.
c. Trauma Ureter
Cedera uretra sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera
traktus urogenitalia. Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma
tumpul maupun tajam, atau trauma iatrogenik. Cedera yang terjadi pada ureter akibat
22
tindakan operasi terbuka dapat berupa: ureter terikat, crushing karena terjepit oleh
klem, putus (robek), atau devaskularisasi karena terlalu banyak jaringan vaskuler
yang dibersihkan.
Kecurigaan adanya cedera ureter terutama pada trauma dari luar adalah adanya
hematuria pasca trauma, sedangkan kecurigaan adanya cedera ureter iatrogenik bisa
diketemukan pada saat operasi atau setelah pembedahan. Jika diduga terdapat
kebosocoran urin melalui pipa drainase pasca beah, pemberian zat warna yang
diekskresikan lewat urin, memberikan warna pada cairan di dalam pipa drainase atau
pada luka operasi. Selain itu pemeriksaan kreatinin atau ureum cairan yang diambil
dari pipa drainase kadarnya sama dengan yang berada di dalam urin.
Pada pemeriksaan IVU tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di
daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma. Pada
cedera yang lama mungkin didapatkan hidro-ureteronefrosis sampai pada daerah
sumbatan. Cedera ureter dari luar seringkali diketemukan pada saat melakukan
eksplorasi laparatomi dari suatu cedera organ intraabdominal.
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Ureter saling disambung (anastomosis end to end). Teknik ini dipilih jika kedua
ujung distal dan proksimal dapat didekatkan tanpa tegangan (tension).
2. Implantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap Boari,
atau Psoas hitch). Cedera ureter distal yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
anastomosis end to end, atau implantasi ureter ke buli-buli disebabkan tidak
cukup bagian ureter distal. Bagian ureter distal dapat diganti dengan bagian bulibuli yang dibentuk suatu tabung mirip ureter.
3. Uretero-kutaneostomi adalah menghubungkan ujung akhir ureter dengan dunia
luar, melalui lubang di kulit (stoma)
4. Transuretero-ureterotomi
(menyambung
ureter
dengan
ureter
pada
sisi
kontralateral). Jika terlalu banyak segmen ureter distal yang rusak teknik ini dapat
dipilih.
5. Nefrostomi sebagai tindakan diversi
6. Nefrektomi yaitu pengangkatan ginjal.
d. Fraktur Pelvis
23
24
25
pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan
pemeriksaan radiologi.
Hasil pemeriksaan yang dapat mendukung diagnosis syok, diantaranya:
penurunan HCT, penurunan Hb, penurunan RBC dan jumlah platelet, peningkatan
serum potassium, sodium, lactate dehydrogenase, creatinin, dan BUN, peningkatan
berat jenis urin (> 1.020) dan osmolalitas urin; sodium urin < 50 mEq/L, penurunan
creatinin urin, penurunan pH, dan peningkatan PaCO2.
Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah:
a. Memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga
tidak mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat
b. Meredistribusi volume cairan
c. Memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.
Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk
menghentikan perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan
atau mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.
Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk membuat
akses intravena guna pemberian cairan. Terapi cairan dan komponen darah jika
diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin
dan dekstran 6 %).
Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan
tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, truncus horizontal dan kepala agak
dinaikan. Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya
gravitasi.
Medikasi akan diresepkan untuk mengatasi dehidarasi jika penyebab yang
mendasari adalah dehidrasi. Contohnya, insulin akan diberikan pada pasien dengan
dehidrasi sekunder terhadap hiperglikemia, desmopresin (DDVP) untuk diabetes
insipidus, preparat anti diare untuk diare dan anti emetic untuk muntah-muntah.
Jika pasien masih gelisah, merasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas teraba
dingin, tekanan darah masih kurang dari 90 mmHg pada pasien normotensi atau
tekanan darah turun hingga sebanyak 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan
masih perlunya transfusi cairan. Selain itu nadi juga harus jelas teraba kuat. Produksi
urin harus dipertahankan minimal ml/kg/jam.
Tatalaksana keseluruhan
26
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pada skenario ini pasien mengalami trauma pada Abdomen karena benda tumpul
serta fraktur pelvis yang mengakibatkan syok hipovolemik. Pada skenario tidak
dilakukan katerisasi karena dicurigai pasien mengami ruptur urethra posterior.
2. Tindkan yang harus dilakukan pad pertolongan kasus trauma berprinsip pada
rangkaian primary survey, adjunct primary survey, dan secondary survey.
27
B. Saran
Pelaksanaan tutorial berjalan cukup baik. Namun diharapkan peran serta mahasiswa
lebih aktif lagi sehingga semua Learning Objective dapat diselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support . United States of America:
First Impression.
Price, Sylvia, 1992. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Mosby
Philadelphia.
RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS
Bandung.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta.
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
28
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3.
EGC : Jakarta
Campbell, Brendan. 2007. Abdominal exploration. http://www.TauMed.com
Gordon, Julian. 2006. Trauma Urogenital. http://www.emedicine.com
Khan, Nawas Ali. 2207. Liver Trauma. Chairman of Medical Imaging, Professor of
Radiology, NGHA, King Fahad Hospital, King Abdul Aziz Medical City Riyadh,
Saudi Arabia. http://www.emedicine.com
Molmenti,
Hebe,
2004.
Peritonitis.
Medical
Encyclopedia.
Medline
Plus
http://medlineplus.gov/
Odle, Teresa. 2007. Blunt Abdominal Trauma. http://www.emedicine.com
Purnomo, Basuki. 2003. Dasar-dasar Urologi. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Malang.
Salomone, Joseph. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency Medicine,
Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City School of Medicine.
http://www.emedicine.com.
Snell, Richard. 1997. Anatomi Klinik Bagian 1. EGC. Jakarta.
SudoyoA.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiadi S. (eds). Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid II edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Syamsu H.R. dan Jong, Wim De (1995). Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.
Taylor, Calor et al. (1997). Fundamentals of Nursing ; The Art and Science of Nursing Care.
Lipincott, Philadelphia.
Udeani, John. 2005. Abdominal Trauma Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles
Drew University / UCLA School of Medicine. http://www.emedicine.com
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
29