1. Pembentukan bilirubin
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam
sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang
terikat dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan
ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat
nontoksik. (Chowdhurry, 2001)
2. Transportasi bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,
albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer
melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga
dengan protein ikatan sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan
hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan
ikterus fisiologis. (Chowdhurry, 2001)
3. Uptake bilirubin oleh hati
Bilirubin diambil oleh hati untuk kemudian dikonjugasikan membentuk
bilirubin direk atau bilirubin larut lemak. (Chowdhurry, 2001)
4. Konjugasi bilirubin di hati
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi
yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphosphate glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian
diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin
yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya. (Chowdhurry, 2001)
5. Sekresi Bilirubin
Sekresi bilirubin diglukuronida ke dalam empedu melalui transportasi aktif.
Sistem transpor ini juga dapat dipicu oleh obat yang menginduksi konjugasi
intravaskular
(kelainan
autoimun,
mikroangiopati
atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung
normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan sel hati.
Pada keadaan ini peningkatan terjadi pada bilirubin tidak terkonjugasi dalam
plasma. sebagai usaha tubuh untuk mengurangi kadar bilirubin tidak terkonjugasi
ini, penyerapan ke dalam sel hati, begitu pula ekskresi bilirubin oleh sel hati
meningkat. Hal ini mengakibatkan pembentukkan urobilinogen meningkat
sehingga peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa
penyebab ikterus hemolitik : Hemoglobin abnormal (cickle sel anemia
hemoglobin), Kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), Antibodi serum (Rh.
Inkompatibilitas transfusi), Obat-obatan. (Cooper, 1968)
2. Penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya
dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Pada keadaan ini kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma meningkat tetapi tidak terjadi
peningkatan kadar urobilinogen dalam urin. Beberapa kelainan genetik seperti
sindrom Gilbert dan berbagai jenis obat-obatan seperti asam flavaspidat,
novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini. (Cooper, 1968)
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil
transferase. Apabila enzim glukoronil transferase sama sekali tidak terdapat,
maka konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah akan sangat tinggi.
Selanjutnya karena bilirubin terkonjugasi tidak terbentuk, maka tidak terdapat
bilirubin terkonjugasi dalam empedu. Empedu menjadi tidak berwarna, tinja
berwarna pucat, tidak terdapat urobilinogen dalam urin. Terjadi pada: Sindroma
Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II. (Cooper, 1968)
4. Gangguan eksresi bilirubin ke dalam empedu
Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan
ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan
menimbulkan masuknya kembali bilirubin terkonjigasi ke dalam sirkulasi
sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Bilirubin terkonjugasi larut dalam
air dan akan dikeluarkan ke dalam urin sehingga urin akan berwarna gelap.
Sebaliknya tinja berwarna pucat dan kadar urobilinogen dalam urin menurun.
Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan: reaksi obat, hepatitis alkoholik
serta perlemakan hati oleh alkohol. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan
hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, Ikterus pasca bedah.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik
dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik.
Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah: sumbatan batu empedu
pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma
ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi. (Cooper, 1968)
Ditinjau dari sudut terjadinya, ikterus dapat dibagi menjadi 2 golongan besar:
Ikterus patologik yang dapat terjadi pada anak dan dewasa, dan dapat disebabkan
oleh banyak faktor seperti ketidak sesuaian golongan darah, kelainan genetik,
hepatitis, sirosis hati, sumbatan empedu, infeksi atau obat-obatan, dan ikterus
neonatorum. Keadaan ikterus yang secara fisiologis terjadi pada saat bayi baru
dilahirkan. (Cooper, 1968)
DAFTAR PUSTAKA
Chowdhury, N. R., & Chowdhury, J. R. (2001). Disorders of bilirubin
metabolism. The Liver: Biology and Pathobiology, Fifth Edition,
251-256.
Cooper, R. A., & Jandl, J. H. (1968). Bile salts and cholesterol in the
pathogenesis of target cells in obstructive jaundice. Journal of
Clinical Investigation, 47(4), 809.