Anda di halaman 1dari 15

1.

Definisi
Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrhagic Fever) ialah suatu
penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke

dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. (Suriadi, 2001 : 57)
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada
anak dan orang dewasa dengan

gejala utama demam, nyeri otot dan

nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang
tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan
nyamuk aedes aegepty (betina).
2. Klasifikasi DHF menurut WHO
1. Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi
perdarahan ( uji tourniquet positif )
2. Derajat II : Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan
perdarahan lain.
3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun ( 20 mmhg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi )
4. Derajat IV : Nadi tak teraba, tekanan darah tak dapat diukur

Menurut WHO beratnya DBD dikelompokkan :

Derajat (grade) I : demam tanpa gejala khas + tes tourniquet (+)


Derajat (grade) II : derajat I + manifestasi perdarahan spontan
Derajat (grade) III : derajat II + hipotensi (SSD)
Derajat (grade) IV : derajat III + syok (SSD)

3. Etiologi
a. Agent (virus)
Virus dengue adalah anggota genus flavivirus dan famili flavividae. Virus
berukuran 50 nm ini memiliki single standart RNA. Virus dengue
membentuk suatu kompleks yang nyata di dalam genus flavivirus
berdasarkan kepada karakteristik antigenic dan biologisnya. Terdapat
empat serotipe virus yang disebut sebagai DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotype tersebut
diatas, akan menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe
virus yang bersangkutan. Meskipun keempat serotipe ini mempunyai

daya antigenis yang sama namun mereka berbeda di dalam menimbulkan


proteksi silang meskipun baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan
salah satu dari serotipe ini. Serotype DEN-3 merupakan serotipe yang
dominant dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik
yang berat. Semua ke empat serotipe virus ini dapat menyebabkan
kejadian luar biasa dan menyebabkan penyakit menjadi berat dan fatal.
b. Host
Virus dengue menginfeksi manusia. Tubuh manusia merupakan urban
reservoir yang utama bagi virus tersebut.
c. Environment
Aedes aegypti lebih menyukai beristirahat ditempat yang gelap, lembab,
Tempat tersembunyi dalam rumah dan bangunan. perpipaan yang tidak
selalu mengalir karena debet air kecil dan tekanan air rendah sehingga
tidak mampu melayani air keseluruh pipa sehingga harus menampung air
di tempat penampung air seperti drum, ember, dan bak air. Di daerah sulit
air, pengambilan air dari sumber lain juga mengharuskan penduduk
menampung air ditempat penampungan air besar dan kecil dimana
memungkinkan menjadi

tempat perkembangbiakan nyamuk aedes

aegypti.Tempat penampungan air yang dibuat dari tanah liat, keramik,


bak beton, drum, seng, vas bunga, pot tanaman, dan mangkok untuk
menyimpan air minum burung. Tempat penampung air yang tidak baik
dan

terlindung

dari

sinar

matahari

dapat

menjadi

tempat

perkembangbiakan jentik aedes aegypti. Pembuangan sampah yang tidak


memenuhi persyaratan sanitasi memberi kontribusi terbentuknya
perkembangbiakan nyamuk, banyak barang-barang seperti kaleng
bekas,pecahan botol, ember, dan pot-pot yang berserakan, batok kelapa,
ban bekas, pagar bambu, beton yang berlubang yang dapat menampung
air hujan menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk.

4. Faktor Resiko
Faktor Resiko Terjadi Demam Berdarah Dengue
a. Status imunologi seseorang

Seseorang yang memiliki system kekebalan tubuh kurang maka


dengan mudah terserang penyakit termasuk penyakit yang disebabkan
virus khususnya virus dengue.
b. Strain virus/serotype virus yang menginfeksi
Virus dengue juga merupakan factor penyebab resiko timbulnya
demam berdarah dengue namun tidak semua virus memiliki potensi
menimbulkan wabah/KLB.
c. Usia
Meskipun demam berdarah dengue mampu dan terbukti menyerang
tubuh manusia dewasa, namun lebih banyak kasus ditemukan pada
pasien anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Hal ini disebakan
karena system kekebalan tubuh pada anak-anak masih kurang
sehingga rentan terhadap penyakit dan aktivitas anak-anak lebih
banyak diluar rumah pada siang hari, sedangkan nyamuk aedes
aegypti biasanya menggigit pada siang hari.

5. Epidemiologi
Penyakit demam berdarah dengue atau dengue hemorrhagic fever
(DHF) merupakan penyakit akibat infeksi virus Dengue yang masih menjadi
problem kesehatan masyarakat. Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh
belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan subtropik baik sebagai
penyakit endemik maupun epidemik. Hasil study epidemiologik menunjukkan
bahwa DBD terutama menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur
sekitar 15 tahun serta tidak di temukan perbedaan signifikan dalam hal
kerentanan terhadap serangan dengue antar gender.Outbreak (kejadian luar
biasa) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan dengan datangnnya
musim penghujan. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan aktivitas vektor
dengue yang justru terjadi pada musim penghujan. Penularan penyakit DBD
antar manusia terutama berlangsung melalui vektor nyamuk Aedes aegypti.
Sehubungan dengan morbiditas dan mortalitasnya,DBD disebut sebagai the
most mosquito transmitted disease.
a. Distribusi geografis.

Penyakit akibat infeksi virus Dengue di temukan tersebar luas di berbagai


negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 300
Lintang Utara 400 Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat
dan Carribean dengan estimasi kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap
tahunnya. Penyakit yang di laporkan pertama kali oleh Benyamin Rush
pada Tahun 1789 ini muncul dalam literatur Inggris berupa outbreak suatu
penyakit

yang

terjadi

Carribean.Berdasarkan

data

sepanjang
yang

di

tahun
laporkan

1827-1829
ke

Word

di

Health

Organization(WHO) antara Tahun 1991-1995, Indonesia menempati


peringkat ke tiga (110.043 kasus). Dalam hal insidensi infeksi virus
Dengue dengan jumlah kematian menempati peringkat pertama (2.861
kasus) dan angka kematian tersebut menempati peringkat ke empat (2,6%)
di antara negara-negara seperti Vietnam, Thailand,India, Mnyanmar,
Amerika, Kampuchea, Malaysia, Singapore, Philippines, Sri Lanka, Laos,
dan negara-negara di kepulauan Pasifik. Laporan WHO pada tahun 2000
menunjukkan bahwa DBD telah menyerang seluruh negara di Asia
Selatan, Asia Tenggara, Australia, Amerika Utara, Tengah dan Selatan,
Kepulauan Pasifik, Carribean, Cuba, Venuzuela, Brazil dan Afrika.
Meskipun angka kematian akibat DBD di Indonesia menunjukan
kecenderungan menurun selama periode tahun 1968-1988, namun
insidensi DBD menunjukan kecenderunganmeningkat dengan angka
kejadian yang tinggi pada tahun 1998. Pada dekade belakangan ini, infeksi
virus Dengue dilaporkan endemik di 112 negara.
b.

Umur dan jenis kelamin.


Meskipun semua umur termasuk neonatus dapat terserang DBD , pada saat
outbreak DBD pertama di Thailand di temukan bahwa penyakit tersebut
menyerang terutama anak-anak berumur antara 5-9 tahun. Pada tahuntahun awal epidemi DBD di Indonesia, penyakit ini juga menyerang
terutama anak-anak berumur antara 5-9 tahun.Selama tahun 1968-1973
sebesar kurang lebih 95% kasus DBD adalah anak di <15 tahun. Tahun
1993-1998 meskipun sebagian besar kasus DBD adalah anak berumur
antara 5-14 tahun , namun nampak adanya kecenderungan peningkatan

kasus >15 tahun.Tahun 1999-2009 kelompok umur terbesar kasus DBD


cenderung pada kelompok umur > 15 tahun (Depkes, 2010).Anak berumur
lebih dewasa umumnya terhindar dari DBD meskipun di jumpai laporan
adanya DBD pada bayi berumur 2 bulan dan pada orang dewasa. Hal ini
nampaknya berkaitan dengan aktifitas kelompok umur yang relatif
terhindar dari DBD mengingat peluang terinfeksi virus Dengue
berlangsung melalui gigitan nyamuk.Sejauh ini tidak di temukan
perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD di kaitkan dengan
perbedaan jenis kelamin (gender).
c.

Musim
Di negara-negara dengan 4 musim, epidemi DBD berlangsung terutama
pada musim panas meskipun di temukan kasus-kasus DBD sporadis pada
musim dingin. Di negara-negara di Asia Tenggara, epidemi DBD terutama
terjadi pada musim penghujan. Di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan
Philippines epidemi DBD terjadi beberapa minggu setelah datangnya
musim penghujan. Epidemi mencapai angka tertinggi pada sebulan setelah
curah hujan mencapai puncak tertinggi untuk kemudian menurun sejalan
dengan menurunnya curah hujan. Di Malaysia di laporkan peningkatan
insidensi DBD sebesar 120% ketika curah hujan perbulan sekitar 300 mm
atau lebih. Di Indonesia di laporkan bahwa puncak oubreakumumnya
terjadi antara bulan Oktober sampai dengan April, kecuali outbreak pada
tahun 1974 yang justru terjadi pada bulan Juli.Periode epidemi yang
terutama berlangsung selama musim penghujan erat kaitannya dengan
kelembaban tinggi pada musim penghujan yang memberikan lingkungan
optimal bagi masa inkubasi (mempersingkat masa inkubasi) dan
peningkatan aktivitas vektor dalam menggigit. Kedua vektor tersebut
meningkatkan aktifitas vektor dalam mentransmisikan infeksi virus
Dengue. Itulah sebabnya di daerah tropik pola kejadian DBD umumnya
sejalan dengan pola musim penghujan.

6. Patofisiologi DHF (Dengue Hemorhagic Fever)


Arbovirus (melalui nyamuk
aedes aegypti)

Beredar dalam aliran darah

Infeksi virus dengue


(viremia)

PGE2 Hipothalamus

Membentuk & melepaskan


zat C3a, C5a

Mengaktifkan sistem
komplemen

Hipertermi

Peningkatan reabsorbsi
Na+ dan H2O

Permeabilitas membran
meningkat

Merangsang dan
Resiko
perfusiendotel
jaringan
mengaktivasi
faktor
Kerusakan
tidak
efektif
pembekuan
pembuluh
darah
Penekanan
Hipoksia
Hepatomegali
Nyeri
Perdarahan
Hepar
DIC
intraabdomen
jaringan
akut

Ketidakseimbangan
nutrisihipovolemik
kurang daridan
Renjatan
Resiko
Kebocoran
KeMual,muntah
ekstravaskuler
syok
Abdomen
Ascites
hipovolemik
plasma
kebutuhan
tubuh
hipotensi

Ketidakefektifan pola nafas


Resiko
Agregrasi
Asidosis
Resiko
Trombositopeni
syok
perdarahan
(hipovolemik)
metabolik
trombosit
Efusi
Paru-paru
Pleura

Kekurangan volume
cairan

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue pada manusia sangat bervariasi. Gejala
utama DHF dapat dikategorikan menjadi empat yaitu demam tinggi, fenomena
perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Gejala klinis DHF diawali
dengan demam mendadak disertai dengan muka kemerahan dan gejala klinis
lain yang tidak khas seperti anoreksia, muntah, nyeri kepala dan nyeri pada otot

dan sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan yaitu perasaan tidak enak di
daerah epigastrium. Keempat gejala utama DHF adalah sebagai berikut :
a. Demam
Penyakit ini didahului oleh Demam tinggi yang mendadak, tanpa sebab
jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, naik turun tidak mempan
dengan obat antipiretik. Biasanya pada hari ke 3,4,5 demam turun dan ini
merupakan fase kritis yang harus dicermati pada hari ke 6 karena dapat
terjadi syok.
b. Tanda-tanda perdarahan
Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan kulit seperti uji tornikuet
(+), petekie, perdarahan konjungtiva. Perdarahan lain dapat berupa
perdarahan gusi, mimisan, melena, hematemesis, atau hematuria. Hasil uji
tornikuet dikatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie dalam
diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian depan termasuk lipatan siku.
c. Hepatomegali
d. Syok
Syok terjadi setelah demam turun dengan disertai keluarnya keringat,
perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral extremitas teraba
dingin. Perubahan ini memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi sebagai
akibat dari perembesan plasma.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnostik DHF perlu dilakukan berbagai pemeriksaan
penunjang, diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi, (Hadinegoro, 2006: 17).
A. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai :

IgG dengue positif (dengue blood)


Trombositipenia
Hemoglobin meningkat >20%
Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat)
Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinema,

hiponatremia, hipokalemia
SGOT dan SGPT mungkin meningkat
Ureum dan pH darah mungkin meningkat
Waktu perdarahan memanjang

Pada analisa gas darah arteri menunjukkan asidois metabolik

PCO2<35-40 mmHg, HCO3 rendah.


2. Pemeriksaan urine
Pada pemeriksaan urine dijumpai albumin ringan.
3. Pemeriksaan serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang biasa dilakukan pada klien yang
diduga terkena DHF adalah:
Uji hemaglutinasi inhibisi (HI test)
Uji komplemen fiksasi (CF test)
Uji neutralisasi (N test)
IgM Elisa (Mac. Elisa)
IgG Elisa
Melakukan pengukuran antibodi pasien dengan cara HI test (Hemoglobin
Inhibiton test) atau dengan uji pengikatan komplemen (komplemen fixation
test) pada pemeriksaan serologi dibutuhkan dua bahan pemeriksaan yaitu pada
masa akut dan pada masa penyembuhan. Untuk pemeriksaan serologi diambil
darah vena 2-5 ml, (Hadinegoro,2006: 19).
4. Pemeriksaan radiology
a. Foto thorax
Pada foto thorax mungkin dijumpai efusi pleura.
b. Pemeriksaan USG
Pada USG didapatkan hematomegali dan splenomegali.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DHF terbagi menjadi dua medis dan keperawatan
menurut FKUI (2000). Penatalaksanaan medis terbagi menjadi pengobatan pasien
DHF bersifat simtomatis dan suportif.
1.

DHF tanpa renjatan


Rasa haus dan dehidrasi timbul akibat demam demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Penderita perlu diberi minum banyak 1,5 sampai 2 liter dalam 24
jam, berupa air teh dengan gula, sirup atau susu. Pada beberapa penderita
diberikan gastroenteritis oral solution (oralit). Minuman diberikan peroral,
bila perlu satu sendok makan setiap 3-5 menit. Para orang tua penderita diikut
sertakan dalam kegiatan ini. Pemberian minum secara gastronasal tidak

dilakukan. Hiperpireksia (Suhu 40 oC atau lebih) diatasi dengan antipiretik


dan bila perlu surface cooling dengan memberikan kompres es dan alkohol
70 %. Kejang yang mungkin timbul diberantas dengan antikonvulsan. Anak
berumur lebih dari 1 tahun diberikan luminal 75 mg dan dibawah 1 tahun 50
mg secara intramuskulus. Bila dalam waktu 15 menit kejang tidak berhenti
pemberian luminal diulangi dengan dosis 3 mg/kgBB. Anak diatas 1 tahun
diberikan 50 mg dan dibawah 1 tahun 30 mg dengan memperhatikan adanya
depresi fungsi vital (pernafasan, jantung).
Pemberian intravenous fluid drip (IVFD) pada penderita DHF tanpa renjatan
dilaksanakan apabila :
a.

b.

Penderita terus menerus muntah sehingga tidak mun gkin diberikan


makanan peroral, sedangkan muntah-muntah itu mengancam terjadinya
dehidrasi dan asidosis.
Didapatkan nilai hematokrit yang cenderung terus meningkat.

Penatalaksanaan renjatan :

Penggantian volume
Sebagai terapi awal cairan yang dipergunakan ialah Ringer Laktat.
Dalam keadaan renjatan berat, cairan harus diberikan secara diguyur,
artinya secepat-cepatnya dengan penjepit infus dibuka. Kadang kala
vena berada dalam keadaan kolaps sehingga kecepatan tetesan yang
diharapkan tidak dapat dicapai. Dalam keadaan ini cairan perlu
diberikan dengan semprit, dengan paksaan dimasukkan 100-200 ml,
kemudian dilanjutkan dengan tetesan. Dalam keadaan tidak berat,
cairan diberikan dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Mengingat
bahwa kebocoran plasma dapat berlangsung 24-48 jam, maka
pemberian cairan intravena dipertahankan walaupun tanda-tanda vital
telah menunjukan perbaikan nyata. Karena hematokrit merupakan
indeks yang dapat dipercaya dalam menentukan kebocoran plasma,
maka pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan secara periodik.
Kecepatan pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala
klinis vital dan nilai hematokrit. Dalam masa penyembuhan, cairan
dari ruang ekstravaskuler akan direabsorbsi kembali kedalam ruang

vaskuler, dalam keadaan ini hendaknya pemberian cairan dilakukan


secara berhati-hati. Penting sekali untuk diketahui bahwa menurunya
nilai hemaglobin dan hematokrit pada masa ini tidak diartikan sebagai
tanda terjadinya perdarahan gastrointestinal. Evaluasi klinis, nadi
(amplitudo dan frekuensi), tekanan darah, pernafasan, suhu, dan
pengeluaran urin dilakukan lebih sering. Indikasi pemberian transfusi
darah ialah pada penderita dengan perdarahan gastrointestinal hebat :
kadang-kadang perdarahn gastrointestinal berat dapat diduga apabila
nilai hemoglobin dan hematokrit menurun, sedangkan perdarahannya
sendiri tidak kelihatan. Dengan memperhatikan evaluasi klinis yang
telah disebut, dalam keadaan ini pun dianjurkan pemberian darah.

Evaluasi pengobatan renjatan


Untuk memudahkan mengikuti perjalanan klinis penderita dengan
renjatan, dibuat data klinis yang mencantumkan tanggal dan jam
pemeriksaan dan memuat hasil pemeriksaan nilai hemoglobin, nilai
hematokrit, nilai trombosit, tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu,
pengeluran urin, jenis dan kecepatan cairan yang diberikan dan
apabila ada jenis dan jumlah perdarahan gastrointestinal. Penderita
dengan renjatan berulang, renjatan yang tidak memberikan respon
terhadap pemberian cairan dan yang memperlihatkan perdarahan
gastrointestinal hebat bersamaan dengan renjatan atau setelah renjatan
diatasi diusahakan untuk di rawat di Unit Perawatan Khusus.

2.

DHF disertai renjatan (DSS)


Pada penderita DHF disertai renjatan, setelah demam berlangsung selama
beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Hal ini biasanya
terjadi pada saat atu setelah demam menurun yaitu diantara hari ke 3 dan ke 7
sakit. Pada sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran
darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut dan nadi menjadi
cepat dan lembut. Penderita kelihatan lesu, gelisah dan secara cepat masuk
dalam fase krisis renjatan. Penderita sering kali mengeluh nyeri di daerah perut
sesaat sebelum renjatan timbul. Nyeri perut hebat sering kali mendahului

perdarahan gastrointestinal, sedangkan Lim dkk (1966) berpendapat bahwa


nyeri di daerah retrosternal, tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan
petunjuk terdapatnya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Renjatan yang
terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
Disamping kegagalan sirkulasi, renjatan ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil
sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg artau
kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
Penatalaksanaan untuk mengatasi renjatan diperlukan secara layak karena bila
tidak penderita dapat masuk dalam renjatan berat (profound shock), tekanan
darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Penatalaksanaan renjatan
yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asedosis metabolik,
hipoksia,

perdarahan

gastrointestinal

hebat

dengan

prognosis

buruk.

Sebaliknya dengan pengobatan tepat, begitu pula pada kasus renjatan berat,
masa penyembuhan tampak cepat sekali. Penderita menyembuh dalam waktu 2
sampai 3 hari. Selera makan yang bertambah merupakan petunjuk prognosis
baik. Pada pemeriksaan laboratorium sering kali ditemukan trombositopenia
dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit di bawah 100.000 / mm3 ditemukan
diantara hari ke 3 sampai ke 7 sakit. Meningkatnya hematokrit merupakan
bukti adanya kebocoran plasma yang biasanya ditemukan, juga pada kasus
derajat ringan, walaupun tentunya tidak sehebat seperti dalam keadaan
renjatan. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia,
hiponatrenia, peninggian sedikit kadar transaminaseserum dan urea nitrogen
darah. Pada beberapa penderita ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit
bervariasi antara leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan
albuminuria yang bersifat sementara.
10. Pencegahan
Pemberantasan Dengue Haemoragic Fever (DHF) seperti juga penyakit
menular lainnya didasarkan atas pemutusan rantai penularan, terdiri dari virus,
aedes dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif
terdapat virus itu maka pemberantasan ditujukan pada manusia terutama pada
vektornya.

Prinsip tepat dalam pencegahan


1.

Manfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah


dengan melaksanakan pemberantasan pada saat hsedikit terdapatnya
DHF / DSS
Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan

2.

vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan


penderita veremia.
3. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah pengambaran
yaitu sekolah dan RS, termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi

4.

penularan tinggi
Pemberantasan penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) ini yang paling
penting

adalah

upaya

membasmi

jentik

nyamuk

penularan

ditempat

perindukannya dengan melakukan 3M yaitu


1.

Menguras tempat tampet penampungan air secara teratur


sekurang kurangnya sxeminggu sekali atau menaburkan bubuk abate
ke dalamnya
Menutup rapat-rapat tempat penampung air dan
Menguburkan atau menyingkirkan barang kaleng bekas yang dapat

2.
3.

menampung air hujan


11. Komplikasi
Komplikasi DHF menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah perdarahan,
kegagalan sirkulasi, Hepatomegali, dan Efusi pleura.
1.

Perdarahan
Perdarahan pada DHF disebabkan adanya perubahan vaskuler, penurunan
jumlah trombosit (trombositopenia) <100.000 /mm dan koagulopati,
trombositopenia, dihubungkan dengan meningkatnya megakoriosit muda
dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit. Tendensi
perdarahan terlihat pada uji tourniquet positif, peteke, purpura, ekimosis, dan

2.

perdarahan saluran cerna, hematemesis dan melena.


Kegagalan sirkulasi
DSS (Dengue Syok Sindrom) biasanya terjadi sesudah hari ke 27, disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran plasma,

efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum, hipoproteinemia,


hemokonsentrasi dan hipovolemi yang mengakibatkan berkurangnya aliran
balik vena (venous return), prelod, miokardium volume sekuncup dan curah
jantung, sehingga terjadi disfungsi atau kegagalan sirkulasi dan penurunan
sirkulasi

jaringan.

DSS

juga

disertai

dengan

kegagalan

hemostasis

mengakibatkan perfusi miokard dan curah jantung menurun, sirkulasi darah


terganggu dan terjadi iskemia jaringan dan kerusakan fungsi sel secara
progresif dan irreversibel, terjadi kerusakan sel dan organ sehingga pasien akan
3.

meninggal dalam 12-24 jam.


Hepatomegali
Hati umumnya membesar dengan perlemahan yang berhubungan dengan
nekrosis karena perdarahan, yang terjadi pada lobulus hati dan sel sel kapiler.
Terkadang tampak sel netrofil dan limposit yang lebih besar dan lebih banyak
dikarenakan adanya reaksi atau kompleks virus antibody.

4.

Efusi pleura
Efusi pleura karena adanya kebocoran plasma yang mengakibatkan
ekstravasasi aliran intravaskuler sel hal tersebut dapat dibuktikan dengan
adanya cairan dalam rongga pleura bila terjadi efusi pleura akan terjadi
dispnea, sesak napas.

Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Demam Berdarah. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka


Carpenito, Lynda Jual-Moyet.(2008). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi
10. Jakarta :Penerbit Kedokteran EGC.
Gubler DJ. 2006. Dengue/dengue haemorrhagic fever: history and current status.
Novartis Found Symp. 277:3-16.
Kristina, Isminah, Wulandari L. 2004. Demam Berdarah Dengue. Litbang
Depkes. Jakarta
Suriadi, Yuliana R, 2001, Asuhan Keperawatan pada Anak, Edisi I, Penerbit PT.
Fajar Interpratama Jakarta.
World Health Organization. 2009. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
World

Health

Organization.

Diakses

13

september

2014

Anda mungkin juga menyukai