Anda di halaman 1dari 20

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

PENDAHULUAN
Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan
bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah.1
Infeksi saluran napas akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting morbiditas
dan mortalitas pada anak terutama usia 6-23 bulan. Insidens menurut kelompok umur
Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05
episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta
episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan
(10juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari
semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan
perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3
kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu
penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%30%).2,3
Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam
keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data morbiditas
penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi
balita. Diperkirakan bahwa separuh dari penderita pneumonia didapat pada kelompok
umur 0-6 bulan . Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak
tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA.1

Beberapa faktor dianggap berhubungan dengan ISPA antara lain, jenis kelamin,
usia balita, status gizi, imunisasi, berat lahir balita, suplementasi vitamin A, durasi
pemberian ASI, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, crowding, pajanan rokok, serta
pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu terhadap ISPA.3
DEFINISI
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar,
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran

Pernapasan Akut. Istilah ini

diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian
bawah.1,4
KLASIFIKASI
ISPA dalam 2 golongan yaitu :5
1) ISPA Non-Pneumonia
Merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat dengan istilah batuk dan pilek
(common cold).
2) ISPA Pneumonia
Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai
oleh gejala klinik batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada
bagian bawah.
Klasifikasi Berdasarkan Umur:4
1. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas:
a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu
(jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau

sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38C atau lebih) atau
suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 C), pernafasan cepat 60 kali atau lebih per
menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea,
distensi abdomen dan abdomen tegang.
b. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit
dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
2. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas:
a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan sianosis
sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit
dibangunkan.
b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada, tetapi
tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa penarikan
dinding dada.
d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah
diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan antibiotik yang
sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernafasan yang tinggi,
dan demam ringan.
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi:4
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media,
faringitis.

b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan
alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis,
laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
ETIOLOGI
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan
Rinovirus,

Influenza

virus,

Parainfluenza

virus,

Coronavirus, Coxsacklevirus, Picornavirus, Herpesvirus.4,

Micsovirus,

Adenovirus,

5,6

FAKTOR RISIKO
Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA: 4
a.

Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara

akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan
sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common
cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada
manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.
Berdasarkan hasil penelitian Isbagio, mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus
pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan sebagian besar kematian 4 juta balita
setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan
UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus
kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri
yang

diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk

mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S.
pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.

Berdasarkan hasil penelitian Parhusip, yang meneliti spektrum dari 101


penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan bahwa
semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai tumbuh dua
galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri gram positif
dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%).
Dari

hasil

biakan

terlihat

bahwa

yang

terbanyak

adalah

bakteri

Streptococcusviridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter aerogens


19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur sebesar 15,53%,
Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus aureus 13 galur sebesar
12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%, dan Sreptococcus pneumonie 1 galur
sebesar 0,97%.
b.

Manusia

b.1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun
mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak
yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya
belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit.
Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan, didapatkan bahwa
proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998 sampai
tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%, demikian
juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan, didapatkan bahwa proporsi balita
penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%,
sementara kelompok umur <2 bulan sebesar 17,9%.
b.2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita, menunjukkan bahwa tidak terdapat


perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA lebih sering
didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia
muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan
terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten, didapatkan bahwa
sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar 58,97%, sementara untuk
anak perempuan sebesar 41,03%.
b.3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama
kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang
meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang
kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat
memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil
penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional didapatkan
bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko pneumonia 2,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi baik/normal.
Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh, dengan desai cross sectional,
berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA dengan status gizi anak balita
menunjukkan bahwa anak balita yang menderita penyakit ISPA didapatkan 2,19 kali
mempunyai status gizi tidak baik dibandingkan dengan anak balita yang tidak
menderita penyakit ISPA (p = 0.038).
Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan Pemantauan Status

Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap umur. Status gizi
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara -2 SD s/d +2 SD
3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d - 3 SD
4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.
b.4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500
gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian
lebih tinggi dari pada bayi dengan berat 2500 gram saat lahir selama tahun pertama
kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada
bayi baru lahir.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh, didapatkan bahwa
proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan berat badan lahir <2.500
gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kejadian pneumonia dengan balita BBLR (p <0,05). Nilai OR 2,2
(CI 95%; 1,481-4,751), artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,2
kali lebih besar pada anak balita yang BBLR.
b.5. Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan
faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama
minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal
mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan
sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.

Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan
padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI
Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan
makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu
ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh, didapatkan bahwa
proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif menderita pneumonia sebesar
56,2%, sedang yang tidak menderita pneumonia 38,8%. Hasil uji statistik diperoleh
bahwa anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih besar pada anak
balita yang tidak mendapat ASI eksklusif.
b.6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit
menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya
imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya
terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO
(lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis. Bahkan
imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut.
Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju Sehat
(KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak
1x : 9-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang
lebih dari 1x adalah 4 minggu.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh, didapatkan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan status
imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 4.413), artinya
anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak yang

status imunisasinya tidak lengkap. Berbeda dengan hasil penelitian Afrida di Medan,
hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
status imunisasi bayi dengan kejadian penyakit ISPA (p>0,05).
c.

Lingkungan

c.1. Kelembaban Ruangan


Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan
menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40-70%,
optimum 60%. Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004),
dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh
terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa
faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban
ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA
pada balita sebesar 28 kali.
c.2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-30
0

C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 18 0C atau diatas 30 0C keadaan

rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
c.3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Sirkulasi udara dalam rumah
akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal

10% dari luas lantai.


Berdasarkan hasil penelitian Afrida, didapatkan bahwa prevalens rate ISPA
pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan
sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan sebesar 30,1%.
Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi
ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).
c.4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, 3,9 m 2
/orang, 4-4,9 m2 /orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, 9 m2/orang. Dikatakan
padat jika luas lantai rumah 3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas lantai rumah 4
m2/orang.
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan menemukan proses
kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah
yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat.
Berdasarkan hasil penelitian Chahaya, kepadatan hunian rumah dapat
memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
c.5. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat
menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak
sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme
pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida, didapatkan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).

c.6. Bahan Bakar Untuk Memasak


Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan
kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak
memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya
peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta
kematian.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida, prevalens rate ISPA pada bayi yang
dirumahnya menggunakan bahan bakar untuk memasak adalah minyak tanah sebesar
76,6%, sedangkan gas elpiji sebesar 33,3%. Hasil uji

chi square menunjukkan

bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar memasak
dengan kejadian penyakit ISPA (p < 0,05).
c.7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan
prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau
97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau
31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk.
Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar
69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 1014 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur
muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun
saudaranya yang merokok dalam rumah.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril, dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR =
2,7 (CI 95%; 1.481 4.751) artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya
2,7 kali lebih besar pada anak balita yang terpapar asap rokok dibandingkan dengan
yang tidak terpapar.
c.8. Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu

dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap

penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk
bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan
diterima oleh anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk, didapatkan bahwa bila rasio
pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka
jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak.
Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8
kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu
yang status ekonominya rendah.
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat
ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak
mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang
berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke
pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal
ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit
yang diderita oleh balitanya.
PATOMEKANISME
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit

ISPA ini termasuk golongan

Air Borne Disease. Penularan melalui udara

dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat
pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian
besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur
penyebab atau mikroorganisme penyebab.4
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkus dilapisi oleh membran mukosa
bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat
dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran
mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung
dan ke arah superior menuju faring.5
Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernafasan dapat menyebabkan
pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga
tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar.
Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran
pernafasan dan makrofage di saluran pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan
menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat
dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernafasan.5
DIAGNOSIS
A. Manifestasi klinik
Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala
seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam.
Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut:5

1) Gejala dari ISPA ringan


Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih
gejala-gejala seperti batuk, bersuara parau, pilek, panas atau demam yaitu suhu badan
lebih dari 37C.
2) Gejala dari ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA
ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a. Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur. Untuk kelompok umur kurang
dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih untuk umur 2-<12 bulan
b.
c.
d.
e.
f.

dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - < 5 tahun
Suhu tubuh lebih dari 39C
Tenggorokan berwarna merah
Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

3) Gejala dari ISPA Berat


Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA
ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Bibir atau kulit membiru


Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
Tenggorokan berwarna merah

B. Pemeriksaan penunjang
Kultur swab tenggorok pada faringitis bakterial, bertujuan untuk mendeteksi
adanya bakteri Streptococcus -hemoliticus grup A. Roentgen pada rinosinusitis
menunjukkan adanya perselubungan homogen, penebalan mukosa sedikitnya 4 mm,

atau

adanya air fluid kadar. Pemeriksaan dengan menggunakan CT-scan dapat

memberikan gambaran yang lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan


roentgen, namun bukan pemeriksaan rutin yang harus dilakukan. Pemeriksaan
mikrobiologi dengan bahan secret hidung (yang umumnya dilakukan namun akan
ditemukan pula kuman yang merupakan flora normal hidung disamping kuman
pathogen). Baku emasnya adalah specimen yang didapat dari pungsi atau aspirasi
sinus maksilaris (tidak rutin dilakukan pada anak karena memerlukan anestesi
umum). Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan bakteri > 10 4 U/mL. Pemeriksaan
transluminasi untuk mengetahui adanya cairan di sinus yang sakit (akan terlihat lebih
suram dari yang sehat).6
PENCEGAHAN
Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan
pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di
sarana kesehatan yang terkait.4
1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap sebagai
strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk disini
ialah:4
a.

Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan

dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan
rumah, penyuluhan bahaya rokok.

b.

Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka

kesakitan (insiden) pneumonia.


c.

Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.

d.

Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.

e.

Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah

polusi di dalam maupun di luar rumah.


2.

Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin.


Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu:4
a.

Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi:

a.1. Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami
sianosis sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang hebat),
terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin.
a.2. Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu untuk
menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan bersihkan sumbatan
pada hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi makan.
b.

Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi:

b.1. Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik
dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam. Apabila pada
anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi
kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati dengan
pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali sehari.

b.2. Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan
memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3
hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian terapi
cairan, nilai ulang setiap hari.
b.3. Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol,
ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain intramuskular per hari,
nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai
ulang setelah 2 hari.
b.4. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya
tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu
untuk memberikan perawatan di rumah.
b.5. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi
pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.
3.

Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)


Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak

bertambah parah dan mengakibatkan kematian.4


a.

Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian

kloramfenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan


kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.4
b.

Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin

dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzipenisilin kemudian


periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih
menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari
penyebab pneumonia persistensi.4

c.

Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya

tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan


membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat
penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini
yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak
tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau tanda
lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.4
PENATALAKSANAAN
Sebagian rhinitis disebabkan oleh virus sehingga terapi antibiotic tidak
diberikan. Pemberian antibiotic tidak bermanfaat dan juga tidak terbukti dapat
mencegah infeksi sekunder.6
1. Terapi nonmedikamentosa, seperti elevasi kepala, minum dan istirahat yang
cukup bermanfaat dalam tatalaksana rhinitis.6
2. Terapi medikamentosa:6
a. Pengobatan simtomatis: dekongestan, antihistamin, atau analgetik
b. Pada faringitis umumnya hanya diberikan terapi simtomatis. Apabila curiga
faringitis streptococcal, berikan antibiotic selama 10 hari. Penisilin 15-30
mg/kgBB/hari (3 kali sehari). Ampisilin 50-100 mg/KgBB/hari (4 kali
sehari). Amoksisilin 25-50 mg/KgBB/hari (3 kali sehari). Eritromisin 30-50
mg/KgBB/hari (4 kali sehari).
Pemberian antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II juga dapat
memberikan efek yang sama, namun tidak diberikan karena risiko
resistensinya lebih besar.
c. Pada rinosinusitis dapat diberikan amoksisilin 45 mg/KgBB/hari (2 kali
sehari). Pada anak yang alergi amoksisilin dapat diberikan sefodoksim 10
mg/KgBB/hari dosis tunggal atau sefuroksim 30 mg/KgBB/hari (2 kali
sehari). Pada anak dengan reaksi alergi berat dapat diberikan klaritromisin
15 mg/KgBB/hari (2 kali sehari) atau azitromisin 10 mg/KgBB/hari pada
hari pertama dan dilanjutkan 5 mg/KgBB/hari dosis tunggal selama 3-4

hari. Jika kuman resisten penisilin, dapat diberikan klindamisin 30-40


mg/KgBB/hari (3 kali sehari). Pada anak yang tidak kunjung sembuh
dengan pemberian amoksisilin, diberikan amoksisilin-klavunalat dosis
tinggi (80-90 mg/KgBB/hari komponen amoksisilin dan 6,4 mg/KgBB/hari
komponen klavunalat, dibagi dalam 2 dosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasmaliah. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya.
Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3775/1/fkm-rasmaliah9.pdf

2. http://ispa.pppl.depkes.go.id/unduh/PEDOMAN%20PENGENDALIAN
%20ISPA.pdf
3. Nasution, kholisah. M. Azharry Rully Sjahrullah. Dkk. Infeksi Saluran Napas
Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-4-1.pdf
4. Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16377/4/Chapter%20II.pdf
5. Universitas Negeri Yogyakarta.
http://eprints.uny.ac.id/8336/3/bab%202%20(08308141008).pdf
6. Tanto, chris. Frans Liwang. Sonia Hanifati. Dkk. Kapita Selekta Kedokteran.
2014. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai