Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
OTONOMI DAERAH

Disusun oleh:
Deni Aditya C hristianto

148114053

Maria Clara

148114056

Debby Permatasari Liwang

148114057

Robertus Abraham

148114069

Chritio Rafelix

1481140

Rabulas Tri Nugroho

148114081

Claudia Darantika Pradita

148114085

UNIVERSITAS SANATA DHARMA


YOGYAKARTA
2015

BENARKAH OTONOMI DAERAH MILIK DAERAH?


A. LatarBelakang
Negara Indonesia adalahnegara yang besar. Ribuan pulau berjaja rdari Sabang
sampai Merauke. Tentuakan membutuhkan pemerintahan yang hebat dan tangguh. Bukan
hanya membutuhkan orang-orang yang cerdas, tetapi juga pasti membutuhkan orang yang
tidak sedikit mengingat wawasan Nusantara yang begitu luas. Hal itu kemudian membuat
pemerintah mencentuskan ide membuat program system otonomidaerah.
Sistemotonomidaerahadalahsistemdimanapemerintahpusatmemberikankesempatankepada
daerahuntukmengembangkanpotensidaerahnya.Otonomi daerah di Indonesia lahir di
tengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun 1999.Gejolak sosial tersebut
didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia di sekitar tahun 1997. Gejolak
sosial yang melanda Negara Indonesia di sekitar tahun 1997 kemudian melahirkan
gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang
telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di Indonesia.
Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, mencuat sejumlah
permasalahan terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah yang
selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang
dimilikinya.Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk
menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang
dan perlu diganti.Inilah yang menjadi latar belakang otonomidaerah di Indonesia.
Di balik itu semua ternyata ada banyak faktor yang menjadi latar belakang otonomi
daerah di Indonesia.Latar belakang otonomi daerah tersebut dapat dilihat secara internal
daneksternal.Latar belakang otonomi daerah di Indonesia berdasarkan beberapa referensi
dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu aspek internal yakni kondisi yang terdapat dalam negara
Indonesia yang mendorong penerapan otonomi daerah di Indonesia dan aspek eksternal
yakni faktor dari luar negara Indonesia yang mendorong dan mempercepat implementasi
otonomi daerah di Indonesia.

Latar belakang otonomi daerah secara internal, timbul sebagai tuntutan atas
buruknya pelaksanaan mesin pemerintahan yang dilaksanakan secara sentralistik.Terdapat
kesenjangan dan ketimpangan yang cukup besar antara pembangunan yang terjadi di
daerah dengan pembangunan yang dilaksanakan di kota-kota besar, khususnya Ibukota
Jakarta. Kesenjangan ini pada gilirannya meningkatkan arus urbanisasi yang di kemudian
hari justru telah melahirkan sejumlah masalah termasuk tingginya angka kriminalitas dan
sulitnya penataan kota di daerah Ibukota.
Ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan yang sentralistik juga didorong oleh
massifnya eksploitasi sumber daya alam yang terjadi di daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya alam. Eksploitasi kekayaan alam di daerah kemudian tidak berbanding lurus
dengan optimalisasi pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut. Bahkan pernah
mencuat adanya dampak negatif dari proses eksploitasi sumber daya alam terhadap
masyarakat lokal. Hal inilah yang mendorong lahirnya tuntutan masyarakat yang
mengingingkan kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerah sendiri dan menjadi
salah satu latar belakang otonomidaerah di Indonesia.
B. Tujuan
1. Memahami pengertian dan hakikat otonomi daerah menurut hukum dan
perundang-undangan Indonesia
2. Mengetahui pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang sebenarnya.
3. Mengetahui peran pemerintah dan upaya upaya pemerintah menghadapi serta
menyelesaikan permasalahan otonomi daerah yang terjadi di Indonesia.
4. Menentukan sikap generasi muda untuk bersama menjadi pengawas pemerintahan
termasuk mengawasi sistem otonomi daerah.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan hakikat otonomi daerah?
2. Bagaimanakah pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia?

3. Bagaimanakah peran pemerintah menghadapi dan menyelesaikan permasalahan


otonomi daerah di Indonesia?
4. Bagaimanakah sikap generasi muda menghadapi hal-hal tersebut di atas?
D. DasarTeori
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU
NOMOR 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah).
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun
1999 tentangPemerintahan Daerah).
DalamUndang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi
derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspires
masyarakat.
Otonomi daerah dengan system desentralisasi yaitu penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam rangka negara kesatuan.
Desentralisasi mengandung segipositif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari
sudut politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, karena dilihat dari
fungsi pemerintahan. Sedangkan otonomi daerah dengan system dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada daerah otonom sebagai wakil
pemerintah dan perangkat pusat di daerah dalam kerangka negara kesatuan, dan lembaga

yang melimpahkan kewenangan dapa tmemberikan perintah kepada pejabat yang telah
dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan.
E. Pembahasan
Negara Indonesia merupakan Negara yang besar dan sungguh kaya akan daerahdaerah yang beragam. Maka dari itu pemerintah daerah memberikan kesempatan pada
masing-masing daerah tersebut untuk mengatur urusan rumah tangga nyasendiri yang
dikenal dengan system otonomi daerah. Otonomi berasal dari kata autos yang berarti
sendiri dan namos yang berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan
sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan
guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah merupakan kesatuan masyarakat
yang mempunyai batas wilayah tertentu. BerdasarkanUndang-Undang No. 32 tahun2004
pasal 1 ayat 5, otonomi derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksaaan otonomi daerah pada
hakekatnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang sesuai dengan kehedak dan
kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Pelaksaan otonomi harus sesuai
dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
kabupaten dan daerah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasankawasan khusus yang dibina oleh pemerintah. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah baik sebagai fungsi legislatif,
fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus penyelewengan otonomi daerah.
1. Kasus di Jawa Tengah

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali melakukan audit investigasi terkait


dugaan penyelewengan dana bansos 2011. Belum tuntas kasus dugaan kasus
penyelewengan Bansos 2011, ICW menemukan juga data penyelewengan dana bansos
tahun 2012. Dari hasil terakhir penelusuran Kejati Jateng pada proses pencairan bansos
2011 terdapat kerugian sebesar Rp 26,89 miliar. Sedangkan untuk dugaan penyelewengan
dana bansos tahun 2012 lebih besar lagi mencapai Rp 65 miliar. Dugaan kuat,
penyelewengan dana bansos atau hibah di tahun 2012 ini terkait dalam pertarungan Pilgub
Jateng 2013. Sampai saat ini, proses penyelidikan dugaan kasus penyelewengan dana
bansos puluhan milar itu tidak jelas rimbanya.
Sesuai kewenangan, BPK melakukan audit investigasi dalam UU No 15 2004
pemeriksaan terhadap kasus tertentu, maka BPK berhak masuk ke kasus dan proses
hukum di dalamnya. Contoh Hambalang dan Century. Ancaman di dalam aturan
perundangan diketahui ada unsur kerugian negara. Dalam satu bulan wajib dilaporkan
penegak hukum ke BPK. Ada mekanismenya, apakah benar ada unsur kerugian dan saat
sidang selesai hasil audit investigasi akan distribusikan kembali.
Dari hasil penelusuran, berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW),
dugaan penyelewengan dana tidak hanya terjadi pada bansos tahun 2011 saja, di APBD
2012, indikasi dan dugaan kuat juga terjadi penyelewengan. Padahal alokasi dana hibah
APBD Jateng 2012 terbesar di Indonesia, nilainya mencapai Rp 3,245 triliun. Saat ini,
ICW sedang melakukan investigasi untuk dilaporkan ke KPK. APBD 2012 DKI Jakarta
saja hanya menganggarkan Rp 1,367 triliun untuk dana hibah. Jawa Timur Rp 1,03 triliun
dan Jawa Barat Rp 170 miliar, dana hibah dan bantuan sosial (bansos) ditengarai lebih
banyak dimanfaatkan untuk dana taktis jelang Pilkada.
Salah satu manipulasi dan korupsi dana hibah adalah dengan membuat lembaga
dengan alamat palsu, atau satu alamat untuk dua lembaga. Juga dengan menghibahkan
dana besar untuk satu organisasi kemudian dipotong atau dibagi-bagi untuk beberapa
pihak yg berkaitan dengan Pilgub. Seharusnya sejak setahun sebelum pemilu, dana hibah
dan bansos ditiadakan sesuai dengan Permendagri No 32 Tahun 2011 maupun Peraturan
Gubernur No 47 A Tahun 2011. Kekurangan itu mengakibatkan penentuan nilai menjadi

subjektif dan mengandalkan kedekatan penerima dengan pengelola anggaran atau


birokrat. Anehnya, atas dana hibah pemprov Jateng adalah ada organisasi pemuda dapat
Rp 11 miliar, tetapi Masjid Agung Jateng hanya dapat Rp 1 miliar
Indikasi penyelewengan dana hibah dan bantuan sosial APBD Jawa Tengah
setahun menjelang pilkada. Hibah dari APBD Provinsi Jateng 2012 untuk lembaga
pendidikan justru dimanfaatkan oleh oknum pegawai di Dinas Pendidikan. Dugaan pungli
yang dilakukan oleh oknum terjadi karena penyaluran penerima hibah difasilitasi oleh
dinas pendidikan di kabupaten atau kota, 5-10% dari bantuan yang diberikan bahkan bisa
lebih karena setiap penerima hibah jumlahnya tidak sama.
Jawa Tengah menduduki peringkat pertama korupsi dana bansos diikuti DKI
Jakarta yang menduduki peringkat kedua dan Banten di peringkat ketiga. Melambungnya
dana hibah provinsi Jawa Tengah hingga Rp 3 triliun lebih berkaitan dengan rencana
Pilgub Jateng yang akan digelar 26 Mei 2013 mendatang. Menurut ICW, Tahun 2012 ini
Jawa Tengah terdapat potensi dugaan korupsi lebih besar lagi dari tahun sebelumnya.
Kisaran nilai dugaan penyelewenganya mencapai Rp 65 milyar rupiah. Tahun 2012
Pemerintah Propinsi Jawa Tengah mengalokasikan anggaran senilai Rp 3,245 triliun
rupiah untuk hibah dan 107 miliar untuk Bansos. Dana itu disalurkan kepada 6 juta
organisasi dan forum dengan jumlah dana yang diterima bervariasi. Mulai dari Rp 5 juta
hingga Rp 45 miliar rupiah, diketahui adanya organisasi masyarakat yang tidak jelas
menerima dana tersebut sebagian besar beralamat fiktif. Beberapa penerima bantuan
memiliki alamat yang sama dan ditemukannya aliran dana Bansos dan hibah untuk
politisi. (Merdeka.com)
2. Penyimpangan otonomi di Papua akibat regulasi
Pemerintah didesak segera menerbitkan peraturan pemerintah yang berisi
mekanisme implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua. Salah satu PP yang dinilai krusial adalah mengenai tata cara penggunaan
dana otonomi khusus yang nilainya mencapai triliunan rupiah.

Sebagaimana diberitakan, Kepolisian Daerah Papua menetapkan Achmad Hatari,


Kepala Bidang Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Papua Barat, sebagai tersangka
kasus korupsi penggunaan dana otsus 2007. Ia diduga kuat terlibat dalam pembangunan
jalan fiktif senilai Rp 1,9 miliar di Kabupaten Sorong Selatan yang kini masuk wilayah
Papua Barat.
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Bekto Suprapto, Senin lalu, mengatakan,
proyek pembangunan jalan fiktif itu dibiayai dari otsus Papua 2007. Menurut Kambuaya,
akibat dana otsus dianggap sebagai bantuan, tidak sedikit pejabat daerah yang membagibagikan dana tersebut langsung kepada masyarakat. Sofia Maipauw, anggota Dewan
Perwakilan

Daerah

(DPD)

asal

Papua

Barat,

berpendapat,

ada

kekosongan

regulasi/instrumen dalam penggunaan dana otsus. Dampaknya, pemda menganggap dana


otsus adalah bantuan, tetapi aparat hukum serta Badan Pemeriksa Keuangan berpersepsi
dana otsus adalah dana APBN yang pengelolaannya harus mengacu pada Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa.
Paulus Yohanes Sumino, anggota DPD asal Papua, menambahkan, sampai saat ini
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penerimaan dan
Pengelolaan Dana Otsus tak kunjung ditandatangani gubernur. Diduga, hal itu akibat
Jakarta belum menerbitkan sejumlah peraturan pemerintah (PP) yang menjadi peraturan
pelaksanaan undang- undang otsus Papua. Saat ini pemerintah pusat baru menerbitkan
dua PP untuk Papua. Pertama, PP No 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Kedua, PP
No 24/2007 tentang Provinsi Irian Jaya Barat menjadi Provinsi Papua Barat. Beberapa PP
yang masih dibutuhkan adalah PP tentang pertambangan, pengelolaan hutan, dan
masyarakat adat/hak ulayat. (InfoKorupsi.com)
3. Kasus Penyelewengan di Boyolali
Otonomi daerah lahir untuk melengkapi sistem kepemerintahan yang demokratis di
Indonesia. Sebelum dicanangkannya otonomi daerah, sistem yang dipakai adalah sistem
sentralistik. Sistem sentralistik memberikan kewenangan penuh dari pemerintah pusat

dalam mengatur tiap-tiap daerah di Indonesia. Namun ternyata sistem sentralistik ini
dianggap merugikan pihak daerah.
Pada masa orde baru di mana sistem pemerintahan sentralistik diberlakukan,
pengerukan potensi dari daerah ke pusat terus dilakukan dengan alasan pemerataan
pembangunan. Bukannya mendapat untung, tapi daerah justru mengalami pemiskinan
yang sangat luar biasa. Sehingga pemberlakuan otonomi daerah dianggap sebagai sebuah
solusi yang tepat.
Otonomi daerah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban bagi daerah. Antara
lain untuk mengatur pemerintahan sendiri dan mengelola kekayaan serta potensi yang
dimiliki oleh daerahnya masing-masing. Otonomi daerah secara otomatis melenyapkan
sistem sentralistik yang pada saat itu dianut oleh rezim orde baru.
Pada awal dicanangkan, otonomi daerah disambut dengan positif oleh masyarakat
dan

digunakan

semaksimal

mungkin.

Tetapi

setelah

hampir

sepuluh

tahun

diberlakukannya otonomi daerah, kini justru muncul berbagai penyimpangan. Hak dan
kewenangan yang seharusnya dilaksanakan dengan lurus ini ternyata telah berbenturan
dengan kepentingan pribadi. Saat ini, bukan hanya pemerintah pusat saja yang dapat
melakukan tindak pidana KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), namun juga pemerintahpemerintah daerah. Praktik korupsi telah bergeser dari pusat ke daerah.
Adanya kewenangan penuh dalam mengelola wilayah, keuangan, dan lain-lain
malah dijadikan kesempatan untuk melakukan korupsi, dan tindakan-tindakan yang tidak
bijak lainnya. Contohnya seperti bagi-bagi hasil sisa anggaran daerah untuk anggota
DPRD, menghamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi
banding, dan isu yang terhangat saat ini adalah tentang pidato Seno Samodro, Bupati
Boyolali, Jawa Tengah menyoal rencana pembuatan efisiensi anggaran daerah. Yang
nantinya hasil efisiensi anggaran daerah tersebut akan digunakan untuk menghapus bunga
kredit motor dan rumah bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) bawahannya.
Pidato Bupati Boyolali yang mengundang kontroversi tersebut tentu saja langsung
menjadi sorotan di berbagai media massa. Bahkan anggota DPRD Boyolali pun ikut
angkat bicara menolak rencana tersebut dalam sebuah media cetak. Banyak yang kontra

terhadap rencana Bupati tersebut. Beberapa pihak menilai rencana tersebut sebagai upaya
politisasi PNS dalam rangka menjelang tahun pemilu 2014.
Untuk mengatasi masalah ini, seharusnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo
turut serta memberi masukan kepada Bupati Boyolali agar membatalkan rencana tersebut
dan mengalokasikan hasil efisiensi anggaran daerah tadi untuk kepentingan rakyat
Boyolali. Jangan mentang-mentang Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Boyolali-nya
berasal dari partai yang sama lantas Gubernur terkesan selalu pro terhadap rencana yang
dikeluarkan Bupati Boyolali.
Otonomi daerah dewasa ini justru dimanfaatkan oleh oknum pejabat untuk
melakukan penyelewengan karena minimnya pengawasan dari pemerintah pusat. Hal ini
merupakan salah satu kelemahan dari sistem otonomi daerah. Kebebasan yang diberikan
ternyata tidak disertai rasa tanggung jawab pemegang kekuasaan daerah. Banyak dari
mereka yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat.
(Ipmvisi.com)
4. Kasus Dinasti Atut di Banten
Contoh konkret lainnya adalah kasus Gubernur Banten Ratu Atut yang tersandung
perkara nepotisme. Ia membangun dinasti politik di provinsi Banten. Beberapa kerabatnya
menduduki posisi strategis di pemerintahan provinsi Banten. Namun, kerabat-kerabat
Ratu Atut diduga menggunakan cara yang curang, yaitu dengan memanfaatkan kekuasaan
dari Sang Gubernur untuk mendapatkan jabatan di pemerintahan provinsi Banten.
Pelaksanaan otonomi daerah semestinya bisa membawa manfaat yang besar dan
kemajuan bagi daerah. Karena dengan kewenangan itu, pemerintah daerah bisa dengan
leluasa mengatur beragam aspek dari seluruh sektor wilayahnya tanpa banyak campur
tangan dari pemerintah pusat. Tapi entah mengapa, kewenangan yang diberikan justru
kerap disalahgunakan. Kalau sudah begini, pemerintah pusat memang harus segera turun
tangan untuk mengatasinya. (Ipmvisi.com)

Dari contoh-contoh kasus di atas dapat kita telaah bahwa pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia belum sepenuhnya mendapatkan perhatian dari pemerintah baik pusat
maupun daerah. Pemerintah pusat yang memberikan kepercayaan kepada pemerintah
daerah tidak sepenuhnya mengawasi program ini. Sedangkan pemerintah daerha juga
tidak sepenuhnya menjalankan apa yang seharusnya dijalankan. Kebanyakan kasus-kasus
yang terjadi adalah penyelewengan dana dan penyalahgunaan kekuasaan. Para pejabat
daerah yang haus akan kekuasaan akan menggunakan wewenang yang didapatnya dari
pusat untuk terus mencari kekuasaan lebih dan lebih. Selain itu pemerintah daerah juga
seringkali tidak mengindahkan dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat untuk
pengembangan potensi daerah. Tanpa rasa malu dan tidak tahu diri mereka menggunakan
dana bantuan itu untuk mencari kepuasan pribadi. Peran pemerintah yang nampak adalah
melalui badan KPK. Untuk kepala-kepala daerah nampaknya masih takut atau bahkan
mungkin cenderung tidak kuat menahan godaan dan akhirnya jud\stru ikut serta dalam
penyelewengan yang terjadi. Sampai saat ini Gubernur yang sungguh amat terlihat jelas
mengawasi system otonomi dan menyelamatkan dari para koruptor adalah Gubernur DKI
Jakarta, Pak Ahok. Selebihnya mungkin masih malu berteriak.
Sungguh ironis keadaan pemerintahan di Negara tercinta kita Indonesia ini.
Kepercayaan dan kejujuran nampaknya sudah menjadi hal yang mahal harganya. Penulis
mengajak para kaum muda untuk mulai peduli dengan bangsa dari hal yang paling kecil.
Mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk jalannya system otonomi daerah. Minimal
otonomi daerah di daerahnya masing-masing. Menyelamatkan bangsa juga bisa dimulai
dari membangun diri sendiri hidup dalam kejujuran. Mari generasi muda menyelamatkan
bangsa kita dari perkara kecil hingga suatu saat nanti perkara besar akan dipercayakan
kepada kita.
F. Kesimpulan
1. Otonomi berasal dari kata autos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai

kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan


guna mengurus rumah tangga sendiri.
2. Pelaksanaan otonomi daerah belum sepenuhnya berjalan dengan baik, masih
banyak penyimpangannya. Kasus-kasus penyimpangan sistem otonomi daerah
ini mayoritas terjadi dengan diikuti kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme).
3. Pemerintah terkesan masih setengah-setengah dalam menghadapi permasalahan
tentang otonomi daerah, apalagi penyelesaiannya hanya muncul sekejap lalu
kabar tentang kasus itu menghilang.
4. Sebagai generasi muda kita bisa mengawasi pemerintahan yang terjadi di
Indonesia, termasuk sistem otonomi daerah minimal di daerahnya masingmasing.
G. Kritik dan Saran
1. Seharusnya

pemerintah

Indonesia

harus

benar-benar

peduli

dengan

pemerintahan yang berada di daerah, terlebih kasus yang ada seharusnya


dihasut hingga tuntas jangan hanya muncul lalu hilang begitu saja.
2. Sebagai generasi muda harus mulai peduli dengan nasib bangsa kita. Hidup
dalam kejujuran mengawali segalanya. Karena setia pada perkara kecil akan
membawa kita mendapatkan kepercayaan untuk perkara yang lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai