Disusun Oleh :
Frisca Febe Lumban gaol, S.Ked.
Preceptor :
dr. RA Neilan Amroisa, Sp.S, M. Kes
KATA PENGANTAR
Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul Infeksi Oportunistik Susunan Saraf Pusat
Pada Pasien AIDS tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan referat ini adalah sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Abdul Moeloek.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. RA Neilan Amroisa, Sp.S, M. Kes yang telah
meluangkan waktunya untuk saya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya menyadari
banyak sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk saya,
tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di
seluruh dunia. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan
krisis dalam berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan.
Menurut WHO (2014) jumlah orang yang terinfeksi HIV pada tahun 2013 adalah 35 juta. Dari
35 juta kasus, 16,0 juta adalah perempuan dan 3,2 juta adalah anak-anak berusia kurang dari 15
tahun. Penderita AIDS yang meninggal pada tahun 2013 sebanyak 1,5 juta. Dari 1,5 juta kasus,
1,3 juta adalah dewasa dan 190.000 adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.
Dampak AIDS terhadap sel saraf yaitu dimana virus tampaknya tidak menyerang sel saraf secara
langsung tetapi membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang diakibatkan
dapat merusak otak dan saraf tulang belakang. Penelitian menunjukkan bahwa infeksi HIV
secara bermakna dapat mengubah struktur otak tertentu yang terlibat dalam proses belajar dan
pengelolaan informasi.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS,
akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus,
bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.
Dalam referat ini, akan dibahas secara singkat mengenai beberapa jenis infeksi oportunistik
susunan saraf pusat pada pasien AIDS, seperti : ensefalitis sitomegalovirus, leukoensefalopati
multifokal progresif, ensefalitis toksoplasma dan meningitis kriptokokus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1981, dan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah diketahui sebagai penyebab pada tahun 1984. Data
terakhir dari WHO (2014) jumlah orang yang terinfeksi HIV pada tahun 2013 adalah 35 juta.
Dari 35 juta kasus, 16,0 juta adalah perempuan dan 3,2 juta adalah anak-anak berusia kurang dari
15 tahun. Penderita AIDS yang meninggal pada tahun 2013 sebanyak 1,5 juta. Dari 1,5 juta
kasus, 1,3 juta adalah dewasa dan 190.000 adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.
terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp4. Di bagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17.
Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti terdapat komponen
penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase yang akan mengubah
informasi genetika dari RNA virus menjadi deoxy-ribonucleid acid (DNA)
Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV-1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan
pada tahun 1986 pada pasien AID di Afrika Barat. Epidemi HIV secara global terutama
disebabkan oleh HIV-1, sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat
di Afrika Barat dan beberapa Negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika
Barat.
HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama, HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi
tidak mempunyai vpx, sedangkan sebaliknya HIV-2 mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai
vpu. Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam
menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut.
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke dalam genom,
ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan menggunakan
glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama mengikat sel
CD4+ dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu virus hanya
dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4+. Makrofag dan sel dendritik juga dapat diinfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor, membran virus bersatu dengan membran sel pejamu dan
virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi
bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transcriptase dan kopi DNA bersatu
dengan DNA pejamu. DNA yang berintegrasi disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan,
sehingga diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti,
bermigrasi ke membran sel, memperoleh envelope lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel
virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten
dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga tersembunyi dari sistem imun
pejamu, bahkan dari terapi antivirus.
Pejamu memberikan respons seperti terhadap infeksi virus umumnya. Virus menginfeksi sel
CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid.
Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini
kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibody dalam sirkulasi terhadap p24 dan protein envelop
gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus.
Respons imun tersebut menghancurkan HIV dalam KGB yang merupakan reservoir utama HIV
selama fase selanjutnya dan fase laten.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat SD.
Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4+ berjalan
terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4+ dalam sirkulasi menurun. Hal itu dapat
memerlukan beberapa tahun. Kemudian menyusul fase progresif kronis dan penderita menjadi
rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman nonpatogenik.
malese yang terjadi sekitar 2-6 minggu setelah infeksi, tetapi dapat terjadi antara 5 hari dan 3
bulan.
Gejala klinis infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot/sendi, lemah, mukokutan (ruam
kulit, ulkus di mulut), limfadenopati, neurologis (nyeri kepala, nyeri kepala belakang mata,
fotofobia, meningitis, ensefalitis) dan saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur di mulut).
Gejala-gejala bervariasi dari ringan sampai berat sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit.
Tabel 1. Perjalanan penyakit pada HIV
Transmisi virus
Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut) 2-6 minggu
Serokonversi
Infeksi kronik asimptomatik (5-10 tahun)
Infeksi kronik simptomatik
AIDS (CD4 < 200/mm3), infeksi oportunistik
Infeksi HIV lanjut (CD4 < 50/mm3)
Ciri Klinis
Demam, sakit kepala, sakit tenggorok dengan faringitis,
limfadenopati umum, ruam
Periode Klinis Laten
Jumlah CD4+ menurun
AIDS
Infeksi Oportunistik :
- Bakteri (M. avium, Nokardia, Salmonella)
- Virus (Herpes simpleks, Herpes zoster, CMV, EBV)
- Parasit (Pneumocystiscarinii, Toksoplasma gondii,
Mikrosporidia, Cryptosporidia)
- Jamur (Kandida, Kriptokokkus neoforman, Aspergilus,
Histoplasma capsulatum, Coccidioido immitis)
Tumor :
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi
- Ensefalopati
- Wasting syndrome
Gambaran klinis dan manifestasi patologik AIDS disebabkan primer oleh peningkatan
kerentanan terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker. Penderita sering diinfeksi mikroba
intraselular seperti virus (CMV), P. karini, mikobakteri atipik yang pada keadaan normal dapat
ditanggulangi oleh sistem imun selular. Banyak mikroba tersebut ditemukan dalam lingkungan
tetapi tidak menginfeksi individu dengan sistem imun utuh.
Virus yang ditularkan melalui darah (viremia plasma) ditemukan dini setelah terjadi infeksi yang
dapat disertai gejala sistemik khas untuk sindrom HIV akut. Virus menyebar ke organ limfoid,
tetapi viremia plasma menurun sampai kadar sangat rendah (hanya ditemukan dengan esai yang
menggunakan cara reverse transcriptase polymerase chain reaction yang sensitive) dan hal
tersebut dapat menetap untuk beberapa tahun. Sel CD4+ perlahan menurun selama masa klinis
laten. Hal itu disebabkan oleh karena replikasi virus yang aktif dan destruksi sel T yang terjadi di
jaringan limfoid. Menurunnya kadar sel CD4+ disertai peningkatan risiko infeksi dan komponen
klinis HIV yang lain.
Berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, infeksi HIV dapat dibedakan menjadi beberapa fase :
Tabel 3. Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara
umum)
JUMLAH
SEL CD4
200500/mcl
100200/mcl
50100/mcl
PATOGEN
MANIFESTASI
S.pneumoniae,
H.influenzae
M.tuberculosis
C.albicans
HSV 1 dan 2
Virus
VaricelaZoster
Virus Epstein-Barr
Human Hervesvirus
8
Semua
di
atas,
ditambah :
P.carinii
C.parvum
Semua
di
ditambah :
T.gondii
C.albocans
C.neoformans
H.capsulatum
Microsporidia
M.tuberculosis
Pneumonia
Diare kronik
atas,
R.equi
HSV 1 dan 2
Virus
VaricellaZoster
Virus Epstein-Barr
<50/mcl
Community-Aquired
Pneumonia(CAP)
TB paru
Sariawan, candida vagina
Herpes orolabial, genital,
perirectal
Ruam pada saraf
Semua
di
atas,
ditambah :
M.avium complex
Ensefalitis
Ensefalitis
Meningitis
Penyakit diseminata
Diare kronik
TB diseminata/
Ekstrapulmoner
Pneumonia
HSV diseminata
VZV diseminata
Limfoma primer SSP
MAC diseminata
Cytomegalovirus
Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat dikelompokkan
menjadi:
a. Infeksi HIV Primer
Komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV dengan perubahan
patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri. Harus diingat bahwa lesi SSP pada
AIDS dapat disebabkan proses neoplastik. Limfoma SSP primer ditemukan sekitar 3 %
dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik juga bisa menyebar pada mening. Contohnya
adalah Demensia AIDS. Proses patologi terjadi di substansia alba subkortikal, thalamus, dan
ganglia basalis, serta relatif tidak banyak melibatkan korteks serebri. Daerah yang sering
terinfeksi adalah daerah subkortikal yang meliputi substansia grisea bagian dalam (ganglia
basalis dan thalamus) dan substansia alba. Pada umumnya, demensia muncul secara
tersembunyi/tidak jelas. Namun, pada pasien dengan gangguan sistemik, perkembangan
demensia menjadi lebih cepat. Dapat dijumpai juga perubahan kognitif, gangguan motorik,
kelainan tingkah laku, maupun nyeri kepala dan kejang. Manifestasi lanjut berupa ataksia,
inkontinensia, tremor, dan gangguan-gangguan regresi serta sindrom lobus frontalis lainnya.
Tabel 4. Stadium Klinis Kompleks Demensia AIDS
Stadium
Stadium 0 (normal)
Stadium 0,5 (ekuivokal/ subklinis)
Defenisi
Fungsi kognitif dan motorik normal
Gangguan fungsi kognitif tidak ada,
Stadium 1 (ringan)
Stadium 2 (sedang)
nyata
(dapat
berjalan
tanpa
dituntun)
Membutuhkan bantuan dalam bekerja
dan ADL
Fungsi kognitif jelas abnormal (tidak
Stadium 3 (berat)
sulit
Dapat merawat diri sendiri
Membutuhkan alat bantu untuk berjalan
Gangguan kecerdasan mayor (tidak
nyata mengikuti berita terbaru, tidak
dapat
mengikuti
percakapan
yang
Stadium 4 (terminal)
tindakan)
Butuh bantuan dalam berjalan
Hampir vegetative
Pemahaman kognisi dalam
rudimenter
Paraplegi atau kuadriplegi
kondisi
Gejala yang timbul pada sistem saraf tepi termasuk lemas pada lengan dan kaki,
masalah pendengaran dan keseimbangan, tingkat mental yang berubah, demensia,
neuropati perifer, koma dan penyakit retina yang dapat mengakibatkan kebutaan.
Infeksi CMV pada urat saraf tulang belakang dan saraf dapat mengakibatkan
lemahnya tungkai bagian bawah dan beberapa paralisis, nyeri bagian bawah yang
berat dan kehilangan fungsi kandung kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan
pneumonia dan penyakit lambung-usus.
c) Diagnosis
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis
ensefalitis CMV :
-
Elektroensefalografi (EEG)
Hasil EEG yang abnormal, kemungkinan adalah suatu ensefalitis, tetapi hasil EEG
yang normal tidak bisa menyingkirkan diagnosis ensefalitis.
Biopsi otak
d) Penatalaksanaan
Pengobatan ensefalitis sitomegalovirus pada pasien dengan AIDS membutuhkan obat
khusus terhadap CMV dan pemulihan fungsi kekebalan melalui penggunaan terapi
anti retroviral (ART). Untuk virus CMV nya dapat diberikan asiklovir (5mg/kgBB 2
kali sehari parenteral selama 14-21 hari, selanjutnya 5mg/kgBB sekali sehari
dianjurkan sampai CD4>100 sel/ml). Sedangkan pengobatan kausatif dapat diberikan
diazepam 10-20 mg iv untuk mengatasi kejang, dan dapat pula diberikan manitol
20% untuk anti udem serebri.
2) Leukoensefalopati multifokal progresif
Leukoensefalitis multifokal progresif adalah penyakit demielinisasi, yaitu penyakit yang
menghancurkan selubung myelin yang menutupi serabut saraf (akson), sehingga merusak
penghantaran impuls saraf.
a) Etiologi
Disebabkan oleh papovirus JC,yang 70% populasinya ada di tubuh manusia dalam
masa laten dan menyebabkan penyakit pada hanya sistem kekebalan sangat lemah.
Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengendalikan virus JC agar tidak
menyebabkan penyakit.
b) Tanda dan Gejala
Tidak ada penampakan patognomonik, tetapi pasien sering menunjukkan hilangnya
neurologi multifokal. Pasien juga dapat memperlihatkan perubahan status mental
yang parah, termasuk delirium, hilangnya kemampuan kognitif, sikap yang labil atau
psikosis, dan perubahan kepribadian.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pada pencitraan CT scan terdapat lesi berwarna putih pada parenkim otak. Terdapat
demielinisasi pada MRI, dan mendeteksi virus JC melalui polymerase chain reaction
(PCR) dalam cairan serebrospinal. Pada pasien yang PCR-negatif, biopsi otak
umumnya dianjurkan bila PML dicurigai.
d) Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang menyembuhkan, tetapi pengobatan dengan ART
umumnya dianjurkan. Bukti mengesankan bahwa ART mungkin merupakan
pengobatan
untuk
dan
juga
melindungi
terhadap
Progresif
Multifokal
Leukoensefalopati, tetapi juga ada bukti yang bertentangan; pasien dengan Progresif
Multifokal Leukoensefalopati yang mengalami perbaikan kekebalan dengan ART
tidak mengalami perbaikan secara neurologi. Penatalaksanaan ini bersifat
mengurangi gejala.
3) Ensefalitis toksoplasma
a) Etiologi dan Penularan
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan
hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan
kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam
sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat
dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur
yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dpat
terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi
akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.
b) Tanda dan Gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis
fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma.
Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan
pada penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit
ini. Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
c) Diagnosis
-
Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan
biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai
edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul
dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
Biopsi otak
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
d) Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua
obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan vitamin
B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso.
Sulfadiazin menghambat penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg
pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan
vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia. Orang dengan toksoplasmosis biasanya
memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk mencegah anemia.
Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80% orang
menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari toksoplasmosis
seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis rumatan yang lebih rendah.
Jelas bahwa orang yang mengalami toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi
antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4 naik menjadi di atas 200 selama lebih dari
tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat dihentikan.
4) Meningitis kriptokokus
a) Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum
ditemukan pada tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang paru dan
menyebar ke otak dan saraf tulang belakang, menyebabkan peradangan. Risiko
infeksi paling tinggi jika jumlah CD4 di bawah 50.
b) Tanda dan Gejala
Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit kepala, mual dan
muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada cahaya terang. Gejala
ini muncul secara perlahan. Tanda-tanda seperti meningismus, termasuk kuduk kaku,
timbul < 40% penderita. Kejang dan defisit neurologik fokal sering timbul dan
merupakan tanda koma kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi
ekstraneural, dapat terjadi dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi
di kulit, abses prostat dan hepatitis.
c) Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes laboratorium
ini memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah atau cairan sumsum
tulang belakang dapat dites untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut
CRAG mencari antigen (sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes biakan
mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus dari sampel. Tes biakan membutuhkan
satu minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil positif. Cairan sumsum tulang
belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan tinta India (70% positif)
dan ditemukan antigen kriptokokus dalam darah dan LCS (95-100% positif). LCS
jumlah sel, glukosa, protein dapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin
(+).
d) Penatalaksanaan
Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai
flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan kapsul
flusitosin. Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak
ginjal.
Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih
berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal
ini disebabkan karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune
reconstruction inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat
memulihkan kemampuan sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan
menghasilkan pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering ditunda hingga terapi
awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan.
e) Pencegahan
Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah
meningitis kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak
meresepkannya:
-
Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti
kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal
(resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan
amfoterisin B.
DAFTAR PUSTAKA