Anda di halaman 1dari 11

Penjelasan bahwa Islam Rahmat Bagi seluruh Umat

Islam adalah agama rahmatan lil alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat
dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi
sesama manusia. Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil alamin
sebenarnya
adalah
kesimpulan
dari
firman
Allah
swt:

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(QS.Al-Alnbiyah:
Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah, lihat saja sabda
Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam Hadis riwayat al-Imam al-Hakim,
:
Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil
darinya,
maka
Allah
akan
meminta
pertanggungjawaban
kepadanya.
Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan !. Dengan haiwan saja tidak boleh sewenang-wenang,
apalagi
dengan
manusia.
Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh
indah dan damainya dunia ini. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wa sallam diutus dengan
membawa ajaran Islam, maka Islam adalahrahmatan lilalamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh
manusia. rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat
dapat
diartikan
dengan
kasih
sayang.
________________________________________________
(HR.
Al
Bukhari
dalam
Al
Ilal
Al
Kabir
369,
(Lihat
Ibnul
Mandzur)(Lihat
Lisaanul
Arab
.
Penafsiran
Para
Ahli
Tafsir
1.
Muhammad
bin
Jarir
Ath
Thabari
dalam
Tafsir
Ath
Thabari:
Para ahli tafsir berpendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang
dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mumin dan kafir? Ataukah hanya manusia
mumin saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik
mumin maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas
radhiallahuanhudalam
menafsirkan
ayat
ini:

Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan
akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi
mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka
semua
di
tenggelamkan
atau
di
terpa
gelombang
besar
dalam
riwayat
yang
lain:
,
Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah.
Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan
tidak
ditimpa
musibah
yang
menimpa
umat
terdahulu
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman
saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat ini:
: . ,
Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia yang mendapat bencana, ada yang mendapat
rahmah, walaupun bentuk penyebutan dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi
seluruh manusia. Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman
kepada
Rasulullah,
membenarkannya
dan
menaatinya
Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, sebagaimana riwayat
Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wa sallam sebagai
rahmat bagi seluruh manusia, baik mumin maupun kafir. Rahmat bagi orang mumin yaitu Allah
memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu alaihi Wa sallam.
BeliauShallallahu alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan
iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah. Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak
disegerakannya bencana yang menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah
(diterjemahkan
secara
ringkas).
2.
Muhammad
bin
Said
bin
Jubair

Ahmad
Al
Qurthubi
dalam
Tafsir
Al
berkata:
dari
Ibnu
Abbas,
beliau

Qurthubi
berkata:

,

Muhammad Shallallahu alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang
beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman

kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan
ke
dalam
bumi
atau
ditenggelamkan
dengan
air
Ibnu
Zaid
berkata:

Yang dimaksud seluruh manusia dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman
3.
Ash
Shabuni
dalam
Shafwatut
Tafasir
Maksud ayat ini adalah Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai
rahmat
bagi
seluruh
makhluk.
Sebagaimana
dalam
sebuah
hadits:

Sesungguhnya
aku
adalah
rahmat
yang
dihadiahkan
(oleh
Allah)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan
kebahagiaan
di
dunia
dan
akhirat.
Allah Taala tidak mengatakan rahmatan lilmuminin, namun mengatakan rahmatan lil
alamin karena Allah Taala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan
diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan
membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang
besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau
memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau
memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang
dimaksud
rahmat
Allah
bagi
seluruh
manusia.
Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi
mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau
dibenamkan
ke
bumi,
atau
ditenggelamkan
dengan
air.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa Islam Rahmatan Lil Alamin adalah agama
yang
memberikan
rahmat
bagi
seluruh
alam.
Dengan
diturunkannya
QS.
Al-Anfal
:33,



Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan
tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.
Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya Allah tidak akan memberikan azab di dunia bagi umat
nabi Muhammad, melainkan ditunggu hingga datangnya hari kiamat. Dan hal tersebut
merupakan bentuk rahmat di dunia bagi umat nabi Muhammad. Berbeda halnya dengan umatumat Nabi terdahulu, bila ada yang kafir atau maksiat, maka atas perintah Allah langsung

diturunkan azab. Seperti hujan batu, banjir, atau angin topan dana lain-lain.
Jadi telah jelaslah dari pembahasan diatas bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil
alamin dan tidak ada pembedaan antara muslim dan non muslim atas rahmat dunia. Karena
rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat ammah kulla syai meliputi segala hal, sehingga
orang-orang non-muslim pun mendapatkan ke-rahman-an di dunia. Islam merupakan agama
yang pluralis, karena Islam mengakui keberadaan semua bangsa, mengakui seluruh lapisan
masyarakat, dan Islam juga mengakui semua agama. Dengan adanya kesadaran untuk
menghargai pluralisme merupakan bukti bahwa Islam membawa rahmat bagi seluruh alam.

Pemikiran Tentang Sikap Terbuka Kepada Ilmu


Sikap kaum Muslim terhadap ilmu pengetahuan ialah spontan menghargai, mengadaptasi,
dan memanfaatkan, hal ini akibat universalisme dan kosmopolitanisme Islam yang benar-benar
dihayati oleh kaum Muslim Klasik (Salaf). Lebih jauh, Sikap serba positif-optimis kaum Muslim
terdahulu itu juga dapat ditelusuri dalam banyak ajaran spesifik Islam. Misalnya, bahwa orangorang yang beriman tidak perlu merasa takut atau khawatir; bahwa mereka yang benar-benar
beriman tidak perlu minder atau kurang yakin menghadapi orang lain, karena mereka
membawa misi perdamaian (Silm, salam, SalamahSelamat), sehingga mereka sesungguhnya
adalah unggul terhadap golongan lain,dst.
Rasa percaya diri yang besar kaum Muslim terdahulu itu memang ditunjang oleh
keunggulan politik dan ekonomi, seperti sering dikemukakan orang, namun terutama karena
penghayatan akan ajaran agama mereka sendiri itu. dalam soal budaya (duniawi), orang-orang
Arab dari Jazirah, dari banyak segi dan ukuran adalah kurang daripada bangsa-bangsa di
sekitarnya seperti Persia dan Byzantium, dua adikuasa Barat dan Timut saat itu. tetapi mereka
menghadapi keduanya dengan penuh percaya diri berdasarkan iman. Jadi benar-benar kaum
Muslim itu tidak takut dan tidak khawatir kepada mereka, termasuk dalam bidang pemikiran
dan budaya pada umumnya, sehingga mereka dengan bebas dan tanpa beban psikoloogis apapun
mengambil mana saja yang baik dan membuang mana saja yang buruk dari budaya asing itu.
Karena itu, sebagai contoh, para filsup Muslim tidak segan-segan mengambil dan menggunakan
unsur-unsur budaya Yunani yang netral seperti sebagian besar falsafat dan Ilmu pengetahuan,
tetapi mereka menyingkirkan unsure-unsur yang tidak sejalan dengan pok
ok-pokok ajaran
Islam seperi mitologi-mitologi yang kebanyakan menjadi tema sastra Yunani. Maka sementara
kaum Muslim mengenal hampir semua warisan pemikiran Yunani di Bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan merka tidak banyak mengetahui sastra Yunani seperti yang ada di balik nama-nama
Homerus, Sophocles, Euripides, Aesop, Herodotus, dll. Bagi kaum Muslim, mitologi yang
banyak mewarnai tema sastra mereka itu termasuk jenis kemusyrikan. juga tema panggung

mereka yang berkisasr pada tragedy misalnya, dipandang tidak cocok dengan semangat islam
yang optimis dan positif terhadap hidup ini.
Sikap serba percaya diri kaum Muslim klasik itu berlawanan sekali dengan sikap serba
kuatir dari kaum yahudi Kuno, yang membuat mereka ini enggan, malah menolah, untuk
meminjam budaya asing karena takut dan khawatir menjadi larut atau mengalami pengotoraan
sehingga mengancam kemurnian ajaran mereka yang mereka warisi turun temurun. Berkenaan
dengan filsaft dan ilmu pengetahuan Yunani, misalnya, sesugguhnya kaum Yahudi telah
berkenalan dengan itu sekitar seribu tahun sebelum Islam (I), yaitu sejak permulaan hellenisasi
Timur Tengah oleh ekspansi militer politik dan iskandar Agung dari Macedonia, seorang murid
filsuf Yunani Kuno terkemuka, Aristoteles. Namun pada saat itu kaum Yahudi enggan, segan dan
akhirnya menolak untuk meminjam dan menggunakan apa yang bermanfaat dari budaya Yunani
itu, dan harus menunggu seribu tahun sampai tampilnya para ilmuwan dan filsuf Muslim, karena
keterbukaaan islam dan toleransinya yang amat besar. sampai dengan kesempatan mereka belajar
dari orang-orang Islam itu, kaum Yahudi termasuk golongan paling terbelakang dalam falsafat
dan ilmu pengetahuan. Kata Max I dimont, seorang ahli peradaban Yahudi :
Ketika Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka adalah bangsa yang
telah berumur 2.500 tahun...Tidak ada yang lebih terasa asing bagi kaum Yahudi daripada
peradaban Islam yang fantastis ini, yang tumbuh dari debu padang pasir pada abad ke-7. tetapi
juga tidak ada yang lebih mirip. meskipun mewakili suatu peradaban baru, suatu agama baru,
dan suatu lingkungan social baru yang dibangun di atas dasar-dasar ekonomi baru, namun Islam
mirip dengan yang dikemas dan disajikan kepada kaum Yahudi seribu tahun sebelumnya ketika
Iskandar Agung membuka pintu-pintu masyarakat Hallenis kepada mereka. Sekarang masyarakat
Islam membuka pintu-pintu mesjid-mesjidnya, sekolah-sekolahnya, dan kamar-kamar tidurnya,
(berturut-turut) untuk konversi, pendidikan, dan asimilasi.
Sudah tentu kaum Yahudi mencapai zaman keemasan dalam masa kebesaran islam itu tanpa
menjadi Muslim. (Jika mereka telah menjadi Muslim, maka tidak lagi relevan, bahkan tidak
dibenarkan, untuk berbicara tentang mereka sebagai kaum Yahudi ). sebagian besar kaum
Muslim di seluruh dunia sekarang ini adalah keturunan bangsa-bangsa yang semula memeluk
berbagai agama. Dan di Timur Tengah sebagian besar dari mereka adalah bekas bangsa-bangsa
Kristen atau Yahudi). Karena itu yang diambil oleh orang Yahudi dari kaum Muslim, dalam hal
ini Muslim Arab, bukanlah agama mereka atau kearab-arab an mereka (kecuali bahas dan adat
istiadat lahiriah seperti pakaian, makanan, dll), melainkan bagian dari peradaban Islam aitu yang
netral dan dapat disertai oleh kelompok-kelompok lain di luar Islam. Dalam hal ini yang paling
penting ialah ilmu pengetahuan dan filsafat. Dan karena kedua bidang intelektual itu memang
sebagian cukup besar dipinjam dan dikembangkan Umat islam dari warisan Yunani, maka

kebangkitan kaum Yahudi dalam asuhan Islam itu daoat dikatakan banyak menggunakan unsure
budaya atau pemikiran Yunani yang netral itu.
Sekalipun demikian, tetap menarik untuk ditelaah, mengapa kaum Yahudi, sebagaimana
dikemukakan di atas , harus menunggu satu millennium sampai datangny Islam untuk bersedia
belajar dan memanfaatkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani? Padahal mereka dahulu
sedemikian takutnya kepada kemungkinan terkena polusi dari bahaya peradaban asing dari Utara
itu? Jawabannya ialah, menurut Max I. dimont, bahwa bahaya peradaban asing dari Yunani
itu telah dijinakan oleh orang Islam, dan dibuatnya ibaratkan virus yang mati. virus itu masih
mampu berfungsi, namun sudah tidak mampu lagi memproduksi racun ataupun penyakit. maka
kaum Yahudi belajar dan mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari Umat Islam itu ibarat
menyuntikan, ke dalam tubuh sistem agama mereka, virus penyakit dari Yunani yang oleh
peradaban Islam telah dibuat menjadi virulen. injeksi virus dengan menggunakan jarum suntik
peradaban islam itu menghasilkan dampak imunisasi tubuh agama yahudi dari bahaya budaya
asing. Suatu Metafor yang sangat mengesankan dari Dimont, yang selengkapnya ia katakana,
Sbb:
Kebangkitan Yahudi di Islam Barat (Spanyol), bagaimanapun, didasarkan kepada pemikiran
Yahudi, bukan Arab. Kebangkitan itu, sebenarnya adalah penyudahan yang sukses dari suatu
perputaran intelektual yang seharusnya sudah berlangsung seribu tahun sebelumnya dalam masa
Hellenistik sejarah Yahudi, namun tidak terjadi. mengapa orang-orang Yahudi tidak
menghasilkan Sastrawan , filsuf dan ilmuwan dalam masa Hellenistik? mengapa sejarah yahudi
harus menunggu satu milenium sebelum Hellenisme itu dapat berkembang dalam jiwa orang
Yahudi?
Jawabannya ialah bahwa kaum Yahudi dahulu dalam masa-masa Yunani takut bahwa suatu
dosis budaya Yunani yang orisinil, tak terkotori, dan lebih unggul dapat menyapu bersih
pemikiran Yahudi dalam suatu konfrontasi intelektual yang langsung. sekarang penyuntikan
hama Hellenisme yang telah berumur seribu tahun dan tidur (dormant) itu melalui jarum
peradaban Islam adalah seperti penyuntikan virus mati yang menjamin adanya kekebalan.
jadi, jelasnya, kaum Yahudi merasa aman terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan setelah
kedua-duanya itu lebih dahulu diislamkan. sedemikian rupa rasa aman kaum Yahudi itu sehingga
mereka tidak pernah merasakan permusuhan samasekali terhadap budaya asing itu. juga tidak
lagi curiga kepada kemungkinan bahayanya. padahal yang mereka pelajari dari umat Islam itu
adalah juga Hikmah Yunani yang dahulu, para pemimpin agama mereka, memperingatkan
jangan sampai mempelajarinya. kecuali jika sudah tidak ada lagi siang ataupun malam (yakni,
Kiamat).
Tetapi menurut Halkin, dan sama dengan pandangan Austryn Wolfson yang telah disinggung
di muka, Kaum Yahudi mengambil dari umat islam tidak hanya bidang-bidang yang dianggap

netral agama saja seperti filsafat dan ilmu pengetahuan, melainkan juga hal-hal yang bersifat
keagamaan, malah keimanan dan akidah. ini dapat dilihat, meurut Halkin, dari kenyataan
bagaimana para sarjana Yahudi, terutama di Timur, mempelajari ilmu Kalam dan
menggunakannya. Ilmu kalam itu premis-premisnya pada mulanya juga dipinjam dari luar
(yakni, dari Yunani, khususnya berkenaan dengan silogisme atau ilmu mantiq Aristoteles sebagai
dukungan kepada argumen-argumen yang dikembangkannya). Tetapi premis premis itu
mengalami transformsi menyeluruh begitu rupa sehingga para pemikir Muslim sesungguhnya
telah menciptakan disiplin ilmu yang samasekali baru. Maka lahirlah ilmu kalam yang bukan
sekedat theology seperti yang ada dalam berbagai agama, melainkan sebuah Ketuhana
Dialektis atau ketuhanan Falsafi, dan bersifat khas Islam. Kini Yahudi menggunakan ilmu
kalam itu seperti milik sendiri, dan mereka mendapatkannya sangat berguna, antara lain dalam
rangka polemic mereka dengan kaum Kristen tentang monotheisme melawan trinitaranisme.
telah pula disebutkan bagaimana para filsuf Yahudi tidak hanya menggunakan kosa kata ilmu
kalam dalam pembahasan-pembahasan keagamaan mereka, bahakan juga menjadikan al-Quran
sebagai sumber pembuktian.
Tantangan Pemikiran: Tantangan dan Harapan
Pengertian inovasi yang kiranya harus difahami sebagai pembaharuan, yang kata-kata
padanannya dalam Bahasa arab adalah tajdid, bukan bidah, ibda, ataupun ibtida. sebab
meskipun kata-kata ini juga mengandung makna kebaharuan, pembaharuan ataupun
pembuatan hal baru (dan dalam Bahasa inggris acapkali diterjemahkan sebagai Inovation),
namun konotasinya negative, karena secara semantic, mengandung arti pembuatan hal baru
dalam agama an sich. secara kebahasaan sebetulnya kata-kata bidah dan tasrifnya itu
mempunyai arti kreatifitas atau daya cipta. Maka Tuhan pun disebutkan dalan al-Quran sebagai
al-badi, Maha Kreatif atau Maha Berday cipta. dan jika Nabi SAW bersabda agar kita berbudi
enggan mencontoh budi Tuhan (hadits temasyur: Takhallaqu bi Akhlaq Allah), maka kreatifitas
atau daya cipta adalah hal yang sangat terpuji. namun, sudah dikatakan, tentu saja yang terpuji
itu bukanlah kreatifitas atau dayacipta dalam hal agama itu sendiri, seperti misalnya, kretifitas
atau daya cipta dalam masalah ibadah murni (al-Ibadah al-Mahdah). maka sama sekali tidak
dapat dibenarkan, misalnya menambah jumlah rakaat dalam shalat atau atau memandang dan
memasukan sesuatu yang sebenarnya hanya budaya belaka menjadi bagian dari agama murni.
Dalam hal ini berlaku peringatan dalam kitab suciketahui lah hanya bagi Allah agama yang
murni, dan firman penegasan,Mereka tidaklah diperintah melainkan untuk beribadat kepad
Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya saja, dan dengan semangat mencari kebenaran...
Agama adalah milik Allah semata. hanya Dial ah yang berwenang, yang kemudian disampaikan
kepada kita melalui rasulNya sebagai pemilik ajaran (Shahib al-Syariah). maka kretifitas atau

dayacipta dalam hal keagamaan murni (artinya, bukan dalam hal budaya keagamaan) adalah
sama dengan tindakan mengambil wewenang Allah dan rasulNya. suatu perbuatan yang
sesungguhnya tidak mungkin, sehingga yang memaksa melakukannya juga, menurut sabda Nabi
Saw adalah sesat. Sejalan dengan itu, dalam ilmu pokok-pokok agama(ushul fiqh) ada kaidah
yang berbunyi,Pada dasarnya ibadat adalah terlarang , kecuali jika ada petunjuk sebaliknya,(alAsl fil Ibadah Al-Tahrim, illa Idza ma Dalla dallil ala khilafihi). artinya, kita dilarang membuat
dan menciptakan cara ibadah sendiri. Kita harus hanya melihat dan mempelajari, apakah ada
bukti dalam sumber-sumber agama , yaitu kitab suci dan Sunnah nabi, bahwa suatu bentuk ibadat
memang dibolehkan, dianjurkan, atau malah diwajibkan. Maka masalah ibadah murni itu harus
ditempuh dengan seketat dan sebersih mungkin, dilakukan hanya menurut kitab dan sunnah
(sejauh-jauh pengertian kita melalui usaha sungguh-sungguh untuk memahaminya, yaitu ijtihad),
tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Tapi sebaliknya, dalam masalah bukan ibadah kita tidak saja dibolehkan, bahkan dianjurkan,
untuk berdaya cipta dan berkreasi sebanyak-banyaknya. karena itu kaidah yang berlaku adalah
Pada dasarnya dalam hal bukan ibadah adalah diperbolehkan, kecuali jika ada petunjuk
sebaliknya (al-ashl fighair ibadah al ibahah illa idza ma dalla al-dallil ala khilafihi). Yakni
perkara diluar ibadah pada dasarnya diperkenankan (halal) untuk dijalankan, kecuali jika ada
bukti larangan dari sumber agama (Kitab dan Sunnah). Karena itu kita tidak dibenarkan
melarang sesuatu yang dibenarkan Allah, sebagaimana dengan sendirinya, tidak dibenarkan
membolehkan sesuatu yang dilarang Allah.
Pola , format dan Agenda
Jika prinsip-prinsip itu telah kita fahami, kemudian kita mampu memproyeksikannya kepada
yang telah terjadi dalam tradisi pemikiran Islam sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka
kiranya menjadi jelas, apa pola, format dan agenda inovasi Keislaman dalam bidang pemikiran.
dan bila kita sudah mengerti bahwa suatu pemikiran (oleh manusia, dengan sendirinya) adalah
bidang budaya, bukan agama dalam bentuknya yang murni (meskipun pemikiran islam adalah
hasil budi daya manusia Muslim untuk memahami agamanya melalui kegiatan berfikir), maka
dengan sendirinya inovasi dalam bidang pemikiran itu selalu dimungkinkan, bahkan dituntut dari
masa ke masa. Jadi diperlukan pola berfikir yang mengenal dengan jelas apa yang dilarang dan
apa yang diperbolehkan tersebut tadi, dalam suatu format yang mengenal dengan jelas pula mana
yang agama murni dan mana yang budaya. dengan kata lain, format inovasi itu jadi kurang lebih
sebuah penggantian kalimat arti kaidah-kaidah ushul fiqh tadi: inovasi dalam agama tidak
dibenarkan , sedangkan inovasi dalam budaya dianjurkan. meskipun format serupa itu
sesungguhnya sangat standar dalam Islam, namun, menurut pengamatan dan pengalaman, untuk

kebanyakan orang tidak begitu jelas. Dan ini, seperti sudah disyaratkan di muka, merupakan
tantangan inovasi.
Sebenarnya negeri kita memberi kesempatan dan harapan yang sangat baik untuk
berlangsungnya inovasi-inovasi. Kesempatan dan harapan itu antara lain merupakan hikmah dari
kenyataan bahwa pemikiran Islam di Indonesia belum terlalu ekstablished atau mapan. Dari
satu segi, tidak adanya warisan pola pemikiran yang mapan itu memang dapat dipandang sebagai
kerugian, karena berarti kemiskinan intelektual. Tetapi, dari segi lain, dapat merupakan faktor
yang mengungtungkan, karena berarti terbuka lebar kemungkinan mengembangkan fikiranfikiran baru dan segar. Sebab, jika kita salah mempresepsi masa lalu, suatu warisan pemikiran
yang mapan dapat mempunyai efek pembelengguan dan pembatasan inovasi dan kreatifitas,
seperti dengan mudah dapat disaksikan wujudnya pada banyak masyarakat negeri Muslim. tentu
amat ideal kalau suatu masyarakat islam memiliki warisan intelektual yang mapan, lalu mampu
mengemabangkannya secara kreatif seperti dikehendaki oleh kata-kata hikmah pada permulaan
makalah ini, Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Kesempatan dan harapan itu juga disebabkan oleh adanya berbagai gerakan pembaharuan
dalam islam pada awal ini. Sejak Haji miskin pulang dari Mekkah dan mendorong lahirnya
gerakan Padri di Sumatera Barat, kemudian munculnya gerakan-gerakan reformasi dengan
pembentukan lembaga dan organisasi modern (model Barat)seperti Muhammadiyah,Persis, dan
al-irsyad, ide-ide inovasi sudah banyak dikenal di negeri kita. karena itu agenda inovasi
keislaman di negeri kita di segala bidang, termasuk bidang pemikiran, tidak akan terlalu jauh dari
pengulangan agenda berbagai gerakan reformasi yang lalu, dengan beberapa penekanan,
penegasan dan peningkatan beberapa segi yang sebelum ini agaknya luput dari penglihatan, atau
kurang mendapat perhatian, dengan tekanan yang lebih kuat akan pentingnya kesadaran
mengapresiasi kekayaan intelektual islam internasional. Garis besar agenda itu adalah:
1.
Kembali kepada kitab suci dan sunnah nabi. ini adalah dalil klasik para
pembaharu sejak masa Ibn Taymiyyah mengumandangkannya dengan lantang tujuh abad
yang lalu. seruan itu mengisyaratkan penegasan bahwa agama yang benar ialah yang hanya
yang ada dalam, atau sesuai dengan, ajaran kitab dan Sunnah. Maka dalil itu juga membawa
akibat program usaha pemberantasan bidah, yaitu sesuatu yang sebenarnya bukan agama
tetapi dianggap agama.
2.
Hal itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik kalau kita tidak mampu
mengenali dengan jelas mana perkara yang benar-benar agama, dan mana pula yang
sesungguhnya aspek cultural dari agama itu. persoalan mutlak-nisbi pada pemisahan mana
hal yang benar benar dien dan mana yang minadien.
3.
Budaya dunia Islam Klasaik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan
merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironis jika sejarahnya yang telah berjalan

lebih dari empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran.belajar dari
sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan sunnatullah. termasuk
disini ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual islam.
4.
Inti agama Isalam seperti diketahui, ialah Tauhid. dalam agenda inovasi yang
dipertegas, harus lebih ditekankan implikasi tauhid yang amat prinsipil seperti pembebasan
dari mitologi, pemusatan kesucian (tasbih atau taqdis) hanya kepada Allah (hanya Dia yang
bersifat Subbuh, Quddus, maha Suci, Maha Sakral), kemudian memandang alam raya
sebagai objek yang terbuka, merupakan ayat-ayat Kauniyah yang harus dibaca. beberapa
objek yang semula mengandung makna mitologis mungkin masih bertahan dalam kehidupan
kita sehari-hari, namun seorang Muslim harus mampu mendemotologisasi, mendesakralisasi
dan mendevaluasinya. (contoh ialah lambing garuda bagi Negara dan ganesha bagi ITB,
yang bekas mitologi Hindu, yang telah didevaluasi dan menjadi hanya bernilai dekoratifornamental belaka dll)
5.
Bergandengan dengan itu ialah kesadaran bahwa Allah adalah maha Mutlak,
maka tidak mungkin hakikat-Nya difahami oleh manusia yang nisbi ini. penegasan dalam
kitab suci bahwa Allah itu tidak sebanding atau analog dengan apapun adalah sentral sekali
dalam sistem faham Ketuhanan islam.karena itu harus disadari implikasinya yang jauh dan
mendalam, yaitu bahwa manusia tidak boleh memutlakan sesuatu kecuali Allah. memutlakan
sesuatu kecuali Allah adalah sama dengan mengangkat sesuatu itu setaraf dengan Allah, jadi
jelas suatu kemusyrikan.
6.
Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia (Inna Lillahi wa inna ilaihirajiun).
Kerana itu Allah harus menjadi pusat pandangan hidup manusia dan orientasi kegiatannya.
tetapi karena Allah tidak mungkin diketahui, maka orientasi hidup kepada Nya itu tidak
untuk mengetahui secara genostik akan hakikat Nya, melainkan demi memperoleh
perkenan atau ridha-Nya belaka. Maka persoalannya ialah bagaimana manusia terus
menerus mendekati Allah (taqarrub ilallah) dengan menempuh jalan )shirath, Sabil, syariah,
thariqah, minhaj, mansak- yang kesemuanya mengandung makna jalan) menuju kepadaNya. jadi seorang muslim harus terus bergerak, dinamis, tidak kenal berhenti.
7.
Itulah maknanya bahwa takwa kepada Allah dan ridha Nya (juga dinamakan
jiwa Rabbaniyyah, Ribbiyah-semangat ketuhanan) disebut dalam kitab suci sebagai asas
yang benar bagi bangunan kehidupan manusia, individual maupun social. semua
kegiatannya dalam berbudidaya haruslah berasaskan semangat kesadaran akan kehadiran
tuhan dalam hidup dan keinginan mencapai perkenan-Nya.
8.
Sejalan dengan itu maka ijtihad adalah suatu kemestian. jika ijtihad adalah
usaha secara terus menerus dengan penuh kesungguhan untuk menangkap pesan agama dan
bagaimana mewujudkan pesan itu dalam kaitannya dengan kenyataan ruang dan waktu,

maka meninggalkan ijtihad berarti menganggap persoalan sudah selesai dan kita semua
sudah sampai. dengan perkataan lain, itu berarti suatu klaim kemutlakan untuk apa yang
telah dicapai dan ada di tangan, padahal semuanya hasil usaha menusia sendiri yang nisbi
belaka.
9.
Bersamaan dengan itu penting sekali mamahami bahwa ilmu tidak mempunyai
batas (limit), sebab batas ilmu adalah ilmu Allah SWT yang tidak terjangkau oleh siapapun
dari makhluk Nya. Yang ada pada manusia ialah perbatasan(frontier) dari ilmu yang
dikembangkan manusia sendiri. oleh karena itu, sesuai dengan prinsip ijtihad, manusia
harus selalu berusaha untuk menembus perbatasan itu, dengan temuan-temuan baru dan
kreasi-kreasi baru. Manusia harus kreatif dan inovativ
10. Maka lukisan etos keilmuan yang benar menurut islam (seperti dicerminkan
dalam ungkapan Ibn Khaldun pada ujung sekali kitab Muqaddimah-nya) adalah bagaikan
anak panah yang menembus dinding perbatasan pengetahuan manusia saat itu, bukannya
yang kembali ke belakang karena tidak mampu atau tidak mau menembus dinding itu (yaitu
sikap yang menghasilkan penghayatan kepada ilmu secara dogmatis dan serba final)
11. Berdasarkan kesadaran akan kenisbian manusia, maka dengan sendirinya hasil
suatu ijtihad tidak selamanya benar. keterbatasan manusia membuatnya selalu mungkin
salah. tetapi dengan niat yang tulus guna mencapai ridha Allah, suatu kegiatan ijtihad harus
dilakukan tanpa takut salah, sebab takut salah justru adalah kesalahan yang lebih berbahaya.
penting sekali menghayati sabda nabi yang terkenal, bahwa orang yang berijtihad jika benar
akan mendapatkan dua pahala dan jika salah masih mendapat satu pahala. ini adalah
dorongan yang sangat kuat untuk berkreasi dan berinovasi.
12. Kesadaran akan kenisbian diri sendiri dan kemungkinan salah itu terkait dengan
prinsip amat penting lain, yaitu keharusan seseorang senantiasa bersedia mendengarkan
pendapat orang lain dengan hati terbuka. apalagi disebutkan dalam kitab suci bahwa sikap
terbuka itu merupakan indikasi adanya hidayah dari Allah. dan karena keharusan
mendengar merupakan suatu sisi yang mensyaratkan adanya sisi yang lain, yaituhak
untuk berbicara , maka gabungan antara keduanya itu melahirkan prinsip musyawarah
dalam semangat memberi dan menerima, salaing berpesan tentang kebenaran, dan saling
berpesan tentang ketabahan menegakan kebenaran itu.
13. Hal di atas itu menyangkut prisnsip amat penting lagi, yaitu bahwa dalam
pergaulan sesama manusia, khususnya dari kalangan sesama kaum beriman, harus
ditetapkan pandangan kenisbian kedalam (elektivisme Internal). karena itu harus ada
toleransi dan sikap menahan diri dari merendahkan orang, yaitu sikap yang dalam kitab suci
disebut sebagai tindakan pertama dalam rangka menegakan persaudaraan.

Anda mungkin juga menyukai