Pembaca mungkin pernah menyaksikan sebuah Film keluarga yang berjudul: Stuart
Little 2. Dalam film ini dilukiskan persahabatan antara seekor tikus putih bernama Stuart dan
seekor burung kenari bernama Margalo. Bagian akhir film itu memperlihatkan Margalo terbang
tinggi meninggalkan Stuart untuk bermigrasi ke daerah Selatan bersama kumpulannya. Melihat
tikus Stuart sedang galau ditinggal pergi sahabatnya, ayah-nya yang bernama Fred bertanya:
What's the "silver lining", Stuart? Stuart menjawab: She'll be back in the spring [Stuart Little
2, 2002]. Meskipun sedih berpisah, Stuart masih mengharap adanya silver lining bahwa
sahabatnya itu akan kembali lagi pada musim Semi mendatang. Hornby (1974) dalam kamusnya
menjelaskan istilah silver-lining yang dijumpai pada kalimat: Every cloud has a silver lining.
Kalimat ini berarti: There is something good in every evil ada kebaikan dalam setiap
keburukan.
Ketika kami sekeluarga berliburan akhir tahun di Pulau Lombok, televisi memberitakan
tentang jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 dari Surabaya ke Singapura pada tanggal 28
Desember 2014. Saya segera mencari informasi tentang kecelakaan tersebut, mengunduh
(download) sejumlah informasi terkait seperti: teknologi pelacakan pesawat hilang, dampak
awan Cumulonimbus (Cb) pada penerbangan, cara cepat dan murah untuk identifikasi korban,
dan fenomena terpisahnya ekor pesawat dari badan pesawat (fuselage). Seperti kita ketahui, ekor
pesawat ini berhasil diangkat ke permukaan laut pada tanggal 10/1/2015, sedangkan Flight Data
Recorder (FDR), Cockpit Voice Recorder (CVR) dan badan pesawat (fuselage) masing-masing
baru dapat ditemukan pada tgl 12, 13 dan 14 Januari 2014 [Greenfield dan Rizki, 2015; Anonim,
2015]. Artikel ini merangkum hasil penelusuran online informasi terkait yang diharapkan dapat
menjadi silver-lining bagi dunia penerbangan kita.
Ketiga artikel online tersebut menunjukkan bahwa saat ini sebenarnya telah tersedia
pelayanan teknologi yang mengkombinasikan antara radar penerbangan dan peta cuaca berbasis
satelit dari situs web AccuWeather.com. Informasi ini dapat diakses secara cepat dan untuk
selanjutnya digunakan sebagai awal program SAR (Search and Resque) dalam melacak/tracking
secara akurat pesawat yang hilang dan proses evakuasi korban dan kotak-hitam. Sistem
kombinasi radar dan citra satelit ini jauh lebih efektif dan cepat dalam menemukan pesawat
hilang dibanding melacak pesawat tersebut via isyarat pulsa ping ultrasonik berfrekuensi 37,5
kHz yang dipancarkan oleh kotak-hitam FDR (Flight Data Recorder) dan CVR (Cockpit Voice
Recorder) berwarna oranye. Ada sejumlah keterbatasan dalam mendeteksi ping misalnya:
kedalaman laut dan berkurangnya intensitas suara ultrasonik setelah 30 hari. Untuk mengatasi
ini, pinger yang mampu terlacak hingga kedalaman laut antara 1-2 km ini dapat diganti dengan
alat transponder berfrekuensi 10 kHz yang dapat terdeteksi hingga kedalaman laut antara 7-9
km [Kelland, 2009]. Selain kombinasi peta cuaca dan radar serta isyarat pinger atau transponder
dari kotak-hitam tersebut, keberadaan suatu pesawat dapat juga dilacak melalui fasilitas ADS-B
(Automatic Dependent Surveillance Broadcast) atau ACARS (Aircraft Communications
Addressing and Reporting System) yang dimiliki suatu pesawat [Smith, 2014].
Pada masa mendatang, ada suatu paket teknologi berbasis E-LORAN (Enhanced LOngRANge] yang dikembangkan dari sistem LORAN-C untuk melacak pesawat/kapal laut [af
dkk., 2012]. Sinyal E-LORAN berfrekuensi radio 100 kHz ini mampu menembus bangunan,
bawah tanah dan bawah air. Paket E-LORAN ini rupanya sudah disiapkan untuk menggantikan
sistem navigasi pelacak berbasis satelit yang rentan terhadap pengaruh badai matahari (Solar
Storm) dan oleh serangan Cyber internet [Zolfagharifard, 2014]. Antena penerima
sinyal/isyaratnya E-LORAN kini sudah terpasang pada 7 lokasi di Inggris [Morelle, 2014].
Kami pernah menerapkan sistem LORAN-C ini saat melacak kumpulan apungan/drifter/buoy
yang sengaja dihanyutkan di laut. Hasil pelacakan ini dapat menggambarkan sirkulasi arus pada
teluk Conception Bay di Kanada [Halide dan Sanderson, 1993].
Saat ini, kita bisa membayangkan bahwa pada suatu ketika nanti akan ada suatu sistem
pelacak E-LORAN (disingkat PE) yang ditempelkan (attached) pada badan pesawat. Sistem PE
ini dilindungi oleh bahan yang tahan korosi air laut, api/ledakan dan tumbukan. Ketika suatu
pesawat mengalami kecelakaan di laut misalnya, sistem PE akan terlepas secara otomatis dari
pesawat dan mengapung di permukaan laut. Lepasnya sistem PE ini dipicu oleh sensor yang bisa
merasakan adanya perubahan tekanan, suhu, massa-jenis, ataupun salinitas (kegaraman). Pada
saat sistem PE terlepas, pewaktu/timer-nya pun diaktifkan secara otomatis dan isyarat dengan
frekuensi E-LORAN pun segera dipancarkan untuk diterima oleh stasiun di darat, laut ataupun
satelit. Meskipun sistem PE ini dapat dihanyutkan oleh arus dan ombak selama beberapa waktu,
posisi awalnya saat ia terlepas dari pesawat selalu dapat dirunut. Hal ini berarti kita akan selalu
dapat menemukan posisi dimana sistem ini mengapung pada pertama kalinya inilah lokasi
pesawat yang hilang itu. Selain itu, jika arus bawah laut menggeser posisi pesawat yang
tenggelam utamanya pada perairan dangkal, hal ini pun bukan persoalan. Posisi pesawat yang
bergeser ini bisa diperkirakan dengan mengetahui arah dan besar arus dasar laut. Arus ini bisa
dihitung melalui aplikasi permodelan laut 3-dimensi. Model ini membutuhkan informasi ombak,
angin, pasang-surut dan topografi dasar laut untuk menghitung arus dasar laut. Penting pula
untuk dicatat bahwa ada suatu sistem dengan ide serupa namun dengan paket teknologi berbeda
(deployable dan data streaming) akan mulai diterapkan pada dunia penerbangan pada tahun 2016
[Croft, 2014]. Paket Teknologi semacam ini menjadi semakin penting sejak peristiwa kasus
jatuhnya pesawat Air France 447 tahun 2009 di Samudera Atlantik dan pesawat Malaysian Air
370 tahun 2014 yang hingga kini masih hilang entah dimana.
Penentuan lokasi pesawat yang jatuh secara akurat amat penting untuk proses evakuasi
korban dan rekaman pesawat secara cepat dan pengurangan secara signifikan biaya operasional
upaya SAR (Search and Resque) yang melibatkan instrumen canggih, pencari multinasional, dan
perenang handal.
Dampak awan cumulonimbus (Cb) pada penerbangan
Awan apakah yang akan dihindari oleh sang pilot AirAsia QZ8051 pada pukul 6.12 WIB
seperti disebutkan pada paragraf sebelumnya? Seorang pilot/penerbang memang menghindari
memasuki wilayah awan Cb karena dia akan menghadapi sejumlah sosok fenomena sekaligus.
Sosok-sosok yang dijumpai pada awan Cb dan wilayah sekitarnya adalah: gerakan udara vertikal
naik (updraft) dan turun (downdraft), turbulensi, batu-es (hail), dan kilat (lightning).
Kemungkinan besar, awan yang terlihat oleh sang pilot adalah awan Cumulonimbus/Cb (badai
guntur/thunderstorm). Keberadaan sejumlah sel Cb disekitar jalur penerbangan QZ8501 itu
diperlihatkan pada Gambar 1. Pada peta radar tentang kondisi cuaca yang dikeluarkan oleh
Gambar 1. Pola cuaca pada jalur penerbangan QZ8501 dan sketsa 3 buah posisi pesawat.
Posisi pesawat ketika ia bertolak dari Surabaya pada pukul 5.32 WIB (nomor 1), posisi pesawat
pada pukul 6.18 WIB saat pesawat hilang dari radar (nomor 2), dan rencana posisi pesawat jika
ia mendarat di Singapura (nomor 3) pada pukul 8.30 waktu Singapura atau 7.30 WIB [Curran,
2014]. Tampak adanya sejumlah sel dengan intensitas hujan yang rendah hingga tinggi.
Intensitas hujan ringan ditandai oleh warna biru dan hijau sedangkan warna merah, kuning dan
orange menandakan intensitas hujan sedang hingga tinggi. Awan cumulonimbus Cb dengan
intensitas hujan tinggi diberi warna merah, sedangkan kehadiran hail/batu es diberi warna ungu
dan putih [Means, 2015].
Pada tahun 2006, misalnya, Shusse dan Tsoboki mempublikasikan hasil eksperimen
mereka tentang siklus-hidup (life-cycle) dan dimensi awan Cb. Mereka melaporkan bahwa awan
Cb ini terdiri atas sejumlah sel-sel konveksi (multi sel) yang berjumlah antara 1 hingga 25 buah.
Setiap sel konveksi ini berusia kurang dari 40 menit, sedangkan keseluruhan awan Cb berusia
antara 1 hingga 2,5 jam. Dari hasil pengukuran radar Doppler, awan Cb ini bisa mencapai tinggi
antara 2 hingga 19 km dari atas permukaan laut, sedangkan luasnya antara 0,5 hingga 470 kmpersegi. Selain itu, mereka menemukan juga bahwa semakin besar ukuran awan Cb, semakin
banyak pula jumlah hujan (uap air yang telah mengalami proses kondensasi/pendinginan) yang
jatuh ke bumi.
Itulah sebabnya kita sekarang dapat memahami mengapa pilot AirAsia QZ8501 itu
meminta izin untuk menghindar dari awan Cb. Hal ini disebabkan begitu banyaknya kejadian
pada awan tersebut yang bisa mencelakakan pesawat seperti: turbulensi yang menggoncang
pesawat, batu es yang merusak kaca jendela cockpit, tempelan es pada sensor yang mengacaukan
pembacaan kecepatan pesawat, dan kilat yang bisa membutakan pilot. Patut dicatat bahwa
sedikitnya ada dua insiden pesawat komersial yang pernah merasakan dampak berinteraksi
dengan awan Cb. Kedua pesawat itu adalah pesawat Air France 447 jenis AirBus pada tahun
2009 dan pesawat Emirates EK 530 jenis Boeing 777 pada tahun 2010. Pesawat AF 447
ditemukan dua tahun kemudian yakni pada tahun 2011 pada dasar laut berkedalaman 3962,4
meter atau 13000 kaki di Samudera Atlantik [Langewiesche, 2014], sedangkan pesawat EK830
walaupun sempat jatuh bebas ke bawah dari ketinggian 6096 meter (20000 kaki) menuju
ketinggian 609,6 meter (2000 kaki) akhirnya tiba dengan selamat di tujuannya [Anonim, 2014].
Namun demikian, jika sebuah pesawat tak dapat menghindar dari awan Cb ada sejumlah
prosedur yang berlaku, antara lain: para pilot di cockpit saling berbagi tugas - satu sebagai
pengendali pesawat sedang pilot lainnya menjadi pengawas instrumen pada cockpit; semua crew
dan penumpang memasang sabuk-pengamannya masing-masing dengan erat; semua barang yang
dapat bergerak misalnya troli hidangan agar dikunci gerakannya; pemanas sensor pitot kecepatan
pesawat dan sistem anti-es diaktifkan untuk mencegah terbentuknya es misalnya pada kaca
depan, semua lampu cockpit dinyalakan untuk mengurangi cahaya kilat yang menyilaukan,
pesawat diarahkan untuk menghindari terbang tepat diatas awan Cb yang mungkin saja masih
tumbuh keatas dan hindari juga menerbangkan pesawat dibawah awan Cb untuk menghindari
batu es, kilat dan sebagainya; pesawat terus diterbangkan ke depan pada ketinggian tetap dan
mengikuti pola mengendarai-gelombang ride the waves untuk mengurangi tekanan pada tubuh
pesawat serta pesawat jangan sampai diterbangkan berbalik ke belakang [Federal Aviation
Administration and National Oceanic and Atmospheric Administration, 1975; Civil Aviation
Authority, 2010; Federal Aviation Administration, 2013a].
Identifikasi korban yang cepat dan cost-effective
Hingga hari Rabu tanggal 14 Januari yang lalu, dari total 162 penumpang pesawat
AirAsia QZ8501 sudah 50 korban yang ditemukan. Dari semua korban yang telah ditemukan itu,
40 orang yang sudah berhasil teridentifikasi [Andriansyah, 2015]. Upaya identifikasi yang
dilakukan tersebut memakan waktu lama karena terkendala buruknya cuaca dan kondisi laut,
prosedur operasional yang panjang dan turut melibatkan keluarga korban, dan kondisi korban
yang menyulitkan peng-identifikasi karena jasad yang sudah terlalu lama berada di air laut.
Selain itu, proses identifikasi yang dilakukan selama ini juga mebutuhkan biaya yang besar
[Ruqoyah dan Arifin, 2015]. Sejogyanya, identifikasi korban bisa dilakukan dengan lebih cepat,
murah dan efektif.
Idenya sudah jamak dilakukan pada studi ekologi dan perilaku satwa
misalnya penguin [Dann dkk, 2014], paus bungkuk [Witteveen dkk., 2015], dan burung laut
[Gremillet dkk., 2015]. Teknik menandai ini obyek semacam ini mestinya sudah tak asing bagi
kita saat memasang pita identitas pada bayi yang baru lahir ataupun ketika kita memasang gelang
bagi seorang calon haji. Jadi, ketika dilakukan proses check-in sebelum keberangkatan, setiap
penumpang mendapat sebuah gelang yang terbuat dari bahan monel (campuran nikel dan
tembaga) atau logam sejenis yang tahan korosi air. Pada gelang ini hanya tertera 2 informasi saja
yaitu identitas/nomor registrasi pesawat dan nomor kursi. Nomor kursi harus sesuai dengan
daftar nama penumpang dan sobekan boarding-pass yang dipegang oleh maskapai penerbangan.
Namun, ada satu kondisi yang mesti dipenuhi agar sistem identifikasi ini tetap akurat yakni
seorang penumpang harus duduk sesuai nomor kursi yang tertera pada boarding pass-nya. Jadi,
ketika seorang korban berhasil dievakuasi, identitasnya langsung diketahui berdasarkan
informasi pada gelangnya. Gelang, daftar nama penumpang pesawat dan sobekan boarding-pass
yang dipegang oleh maskapai inilah yang selanjutnya digunakan untuk pengurusan selanjutnya
misalnya claim asuransi korban.
Fenomena terpisahnya ekor dan badan pesawat
Ada benang merah yang menghubungkan musibah yang menimpa 3 (tiga) pesawat
Airbus ini: American Airlines 587 pada tahun 2001 [Jansen, 2012], Air Transat 961 [Rose, 2005]
pada tahun 2005, dan Air France 447 pada tahun 2009 [Marks, 2009]. Ketiga pesawat tersebut
mengalami kecelakaan dan ekor masing-masing terpisah dari badan pesawat. Tahun 2014 ini,
AirAsia QZ8501 juga mengalami fenomena serupa ekor terpisah dari badan pesawat. Pada
ketiga pesawat Air Bus terdahulu, bagian vertikal ekor pesawat (rudder) jatuh lebih dulu
meninggalkan pesawat sedangkan sisa pesawat (badan, sayap dan mesin serta cockpit) masih
mampu melayang tanpa ekor hingga pada akhirnya jatuh ke bumi.
Ditinjau dari aspek mekanika penerbangan, ada tiga bagian pesawat yang mengendalikan
gerak suatu pesawat: rudder untuk gerak yaw (mirip dengan gelengan kepala dalam hal ini
kami menganalogikan pesawat dengan kepala manusia), elevator pada bagian horizontal ekor
untuk gerak pitch (mirip dengan anggukan kepala), dan aileron pada bagian sayap untuk gerak
roll (mirip dengan gerak menjatuhkan kepala ke samping kiri dan kanan). Ketiga macam gerakan
ini dihasilkan dari masing-masing momen-gaya (torque) terhadap titik pusat massa (centroid)
pesawat [Federal Aviation Administration, 2013b]. Semua gerakan ini dibawah perintah seorang
pilot. Jadi, untuk menggerakkan rudder, misalnya, pilot hanya perlu menginjak sebuah pedal
seperti layaknya seorang pengemudi menginjak rem. Jika rudder yang terbuat dari bahan
komposit ini digerakkan melebihi batas rancangannya, maka ia akan sobek karena tak mampu
menahan aliran udara yang melewatinya. Akibatnya, rudder akan jatuh dan terpisah dari badan
pesawat [Cox, 2009]. Adanya keretakan pada pemegang rudder pesawat AirFrance 447 yang
jatuh di Samudera Atlantis dibuktikan pada laporan hasil investigasi kecelakaan [BEA, 2012].
Perlu diketahui BEA adalah suatu institusi terkait di Perancis yang fungsinya mirip dengan
fungsi KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) kebanggaan kita. Penggunaan bahan
komposit yang jauh lebih ringan dari bahan aluminium pada pesawat Itulah sebabnya mengapa
pesawat bertiket murah (Low Cost Carrier) mengoperasikan lebih banyak pesawat AirBus
dibanding pesawat non AirBus seperti Boeing. Contoh: AirAsia dan JetStar masing-masing
mengoperasikan (80/80 = 100 %) dan (63/70 = 90 %) pesawat AirBus. Bandingkan dengan
Garuda dan Qantas yang masing-masing hanya mengoperasikan (22/132 = 17 %) dan (38/132 =
29 %) pesawat AirBus [data ini diolah dari sumber: http://www.planespotters.net/Airline/].
Dengan adanya musibah AirAsia ini, para pelaku dalam dunia penerbangan kita seperti:
pemerintah sebagai regulator, maskapai penebangan sebagai operator, dan institusi penyedia jasa
terkait seperti ATC dan BMKG Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika diharapkan
terus berupaya memberikan pelayanan terbaik dan jaminan keselamatan prima bagi para
penggunanya. Memang kita manusia tak mampu memprediksi siapa, kapan dan dimana lagi
musibah serupa yang akan terjadi di kemudian hari. Namun, kita masih memiliki harapan besar
bahwa jika hal itu sampai terulang lagi, kita sudah siap menggunakan sejumlah kemampuan
teknologi sederhana hingga yang tercanggih sekalipun untuk menghadapinya dengan cepat dan
dengan akurasi tinggi. Semoga para keluarga yang ditinggalkan berkenan ikhlas melepaskan
kepergian anggota terkasihnya. Kejadian ini adalah suatu bentuk silver-lining bagi dunia
penerbangan kita yang lebih baik dan aman di masa depan.
Daftar Pustaka
Andriansyah, 2015. Sepasang kekasih korban AirAsia, teridentifikasi bersamaan
[http://www.merdeka.com/peristiwa/sepasang-kekasih-korban-airasia-teridentifikasibersamaan.html]
Anonim, 2010. 'Emirates pilot couldn't avoid Cumulonimbus cloud' [http://www.timesnow.tv/
Emirates-pilot-couldnt-avoid-Cumulonimbus-cloud/articleshow/4343790.cms].
Anonim, 2014. Bagaimana AirAsia QZ 8501 Bisa Ditemukan? [http://www.dw.de/bagaimanaairasia-qz-8501-bisa-ditemukan/a-18163381]
Anonim, 2015. Badan AirAsia QZ 8501 berhasil ditemukan, ini fotonya.
[http://www.beritasatu.com/nasional/240701-badan-airasia-qz8501-berhasil-ditemukan-inifotonya.html]
BEA (Bureau dEnqutes et dAnalyses), 2012. Final Report: On the accident on 1st June 2009
to the Airbus A330-203 registered F-GZCP operated by Air France flight AF 447 Rio de Janeiro
Paris.
Bernstein, B. C., F. McDonough, M. K. Politovich, B. G. Brown, T. P. Ratvasky, D. R. Miller,
C. A. Wolff, and G. Cunning, 2005: Current Icing Potential (CIP): Algorithm description and
comparison with aircraft observations. Journal of Applied Meteorology 44: 969986.
Civil Aviation Authority, 2010. The Effect Of Thunderstorms And Associated Turbulence On
Aircraft Operations. United Kingdom Aeronautical Circular.
Cox, W.J., 2009.Ground the Airbus? [http://www.globalresearch.ca/ground-the-airbus/14025]
Croft, J., 2014. Momentum Builds For Deployable, Streaming Tracking Aviation Week & Space
Technology [http://aviationweek.com/commercial-aviation/momentum-builds-deployablestreaming-tracking].
Curran, E., 2014. Missing AirAsia Jet Faced Foul-Weather Risks [http://www.wsj.com/articles/
missing-airasia-jet-faced-foul-weather-risks-1419857452].
Dann, P., L. A. Sidhu, R. Jessop, L. Renwick, M. Healy, B. Dettmann, B. Baker and E. A.
Catchpole, 2014. Effects of flipper bands and injected transponders on the survival of adult
Little Penguins Eudyptula minor. Ibis 156 (1): 7383.
Langer, A., and S. Utler, 2011. Air France Flight 447: Families Concerned About Efforts to
Recover
Bodies
[http://www.spiegel.de/international/europe/air-france-flight-447-familiesconcerned-about-efforts-to-recover-bodies-a-760835.html]
Langewiesche, W., 2014. The Human Factor [http://www.vanityfair.com/business/2014/10/airfrance-flight-447-crash].
Leberfinger, M., 2014. Storms to Persist in Search Zone for Missing AirAsia Plane
[http://www.accuweather.com/en/weather-news/airasia-flight-goes-missing-fr/39705613].
Marks, A., 2009. Rudder could be cause of Air France crash, pilots and experts say.
[http://www.csmonitor.com/USA/2009/0619/p02s01-usgn.html]
Means, T., 2015. How to Identify Severe Thunderstorms on Radar.
[http://weather.about.com/od/forecastingtechniques/tp/Severe-Storms-On-Radar.htm]
Metro TV, 29 Desember 2014a. Bersama AirAsia QZ8501, Ada Tujuh Pesawat Lain Melintas
[http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/29/338078/bersama-airasia-qz8501-ada-tujuhpesawat-lain-melintas].
Morelle, G., 2014. GPS back-up: World War
[http://www.bbc.com/news/science-environment-29758872].
Two
technology
employed
af, S., P Williams, F Vejraka, 2012. Accuracy performance of e-Loran receivers under
Cross-Rate Interference conditions. Annual of Navigation 19 Part 1: 133-148.
Shusse, Y., and K. Tsuboki, 2006. Dimension characteristics and precipitation efficiency of
cumulonimbus clouds in the region far south from the Mei-yu front over eastern Asian continent.
Monthly Weather Review134: 1942 - 1953.
Witteveen, B. H., A. De Robertis, L. Guo and K. M. Wynne, 2015. Using dive behavior and
active acoustics to assess prey use and partitioning by fin and humpback whales near Kodiak
Island, Alaska. Marine Mammal Science 31 (1): 255278.
Zolfagharifard, E., 2014. UK rolls out solar storm defences: eLoran system will prevent a
shipping disaster in the event of a massive flare [http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article2814547/UK-rolls-GPS-protect-ships-solar-storm.html]