Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN SPINAL CORD INJURY


Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen
Emergency di IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung

OLEH:
Reza Fitra Kusuma Negara
NIM. 120070300011074

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2014
DEFINISI
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna
maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada
cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan
ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra)
atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan akar-akar saraf yang berada
sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi).

KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :
a. Cedera Cervikal

Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi. Otot
diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara
fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada
tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas
kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator
mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder
terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai
dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan
dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien
mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.

Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep,
triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien
masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan
melepaskan baju.

Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan
ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa
perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas
pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan
dan memasak.

Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan
control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara
bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram.
Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan
pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.

b. Cedera Torakal

Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi
inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural
biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot
lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke bawah,
segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada.
Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal
harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:

T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas

T3 Aksilla

T5 Putting susu

T6 Prosesus xifoid

T7, T8 Margin kostal bawah

T10 Umbilikus

T12 Lipat paha

c. Cedera Lumbal

Lesi L1-L5

Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:

L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang

dari

bokong.

L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha

L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.

L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel.

d. Cedera Sakral

Lesi S1-S6

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari
telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi
meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek
posterior paha.
e. Klasifikasi berdasarkan keparahan
1. Klasifikasi Frankel :
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)
2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : hanya sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : motoris dan sensoris normal
ETIOLOGI

1. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya adalah penyebab terbesar.


2. Injuri atau jatuh dari ketinggian.
3. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam pada air yang
sangat dangkal
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
5. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress lateral, distraksi
(stretching berlebih), penekanan.
6. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis
servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera
progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun
noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebrata;
siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.
FAKTOR RESIKO
a. Pria 80 % sedangkan wanita hanya 20 %.
b. Usia 16-30 tahun. Kecelakaan sering terjadi pada usia di bawah 65 tahun
dibandingkan usia di atas 65 tahun, tersering pada usia 16-30 tahun.
c. Beberapa kegiatan olah raga seperti gulat, menyelam, berselancar, roller-skating, inline skating, hockey, berselancar di atas salju.
d. Memiliki kelainan tulang atau sendi seperti arthritis dan osteoporosis.
MANIFESTASI KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera pasien
mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin
tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga
mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu
cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera
tulang belakang. Tanda dan gejala trauma spinal antara lain adalah:

Nyeri pada area spinal atau paraspinal

Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki

Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)

Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis,


hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)

Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma

Shock dengan kecepatan jantung menurun

Priapism

Kerusakan kardiovaskuler

Kerusakan pernapasan

Kesadaran menurun

Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid paralisis di


bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya reflek-reflek
spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), Tidak ada
keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan retensi feses jika
berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic

Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak


simetrisnya hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh di
bawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau bowel,
berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh.

POHON MASALAH
(Terlampir)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra
b. Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal
c. CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray
d. MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya pembekuan darah
atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord.
PENATALAKSANAAN
1.

Cidera pada cervikal


- Immobilisasi sederhana
- Traksi skeletal
- Pembedahan untuk spinal dekompresi

2.

Cidera pada thoracal dan lumbal


- Immobilisasi pada lokasi fraktur
- Hiperekstensi dan branching
- Bed-rest

3.

Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema medulla


spinalis
PRINSIP-PRINSIP UTAMA PENATALAKSANAAN TRAUMA SPINAL:

1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit
gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal;
dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan
penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien
diangkat/dibawa dengan cara 4 men lift atau menggunakan Robinsons orthopaedic
stretcher.
2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:
a. Periksa vital signs
b. Pasang nasogastric tube
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan vital signs.
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen,
monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam
kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban
yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
4.

Dekompresi dan Stabilisasi Spinal


Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila realignment dengan cara tertutup
ini gagal maka dilakukan open reduction dan stabilisasi dengan approachanterior atau
posterior.

5.

Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah
bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi
fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.

KOMPLIKASI
-

Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia)

Komplikasi akibat imobilisasi:

Deep vein thrombosis

Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia

Kerusakan integritas kulit : dekubitus

Kontraktur

Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa

Meningkatkan resiko gagal ginjal

Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih

Hilangnya kontrol pada bladder

Hilangnya kontrol pada bowel

Kehilangan sensasi

Disfungsi seksual (impoten pada pria)

Spasme otot

Nyeri

Paralysis otot pernapasan

Paralysis (paraplegia, quadriplegia)

Shock

PROGNOSIS
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi
komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan
trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian
antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius. Pasien dengan trauma
tulang belakang komplit berpeluang sembuh < 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam
waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah 0 %. Prognosis trauma tulang
belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat
berjalan kembali > 50 %.
PENGKAJIAN
A. Data subyektif
-

Pengetahuan pasien tentang penyakit (cedera dan akibat dari gangguan neurologis)

Inforasi tentang kejadian cidera, bagaimana sampai terjadi

Adanya dyspnea

Sensasi yang tidak biasannya (parasthesia)

Riwayat hilangnya kesadaran

Tidak adanya sensasi - gangguan sensorik

B. Data Obyektif

Tingkat Kesadaran (Sadar/tidak sadar), GCS, pupil

Status respirasi (Bervariasi)

Orientasi tempat, waktu dan orang

Sikap tubuh pasien, kekuatan motorik

TTV (TD, Temp, Nadi), Integritas kuli

Distensi bowel dan bladder

DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
c. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret yang menumpuk.
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.
e. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
f.

Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau


kerusakan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder
terhadap cedera medulla spinalis.

g. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder


terhadap cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang
terlibat (S2-S4).
h. Nyeri berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alat
traksi
i.

Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf simpatis
sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.

j.

Risiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk


menelan.

k. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.
l.

Kurang perawatan diri (mandi, gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan


paralisis.

m. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit dan


prosedur perawatan

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang punggung,
disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
Tujuan: Mempertahankan pola nafas klien efektif
Kriteria hasil :

RR = 12-20x/menit

Nadi = 60-100x/menit

Pernafasan cuping hidung (-)

Retraksi dinding dada (-)

Bunyi nafas vesikuler

Cyanosis (-)

CRT < 2 detik

Rencana Tindakan
1. Beri posisi kepala netral, tinggikan sedikit kepala tempat tidur jika dapat
ditoleransi klien
2. Observasi TTV
3. Auskultasi suara nafas
4. Kaji tanda-tanda pola nafas tidak efektif (penggunaan otot-otot bantu
pernafasan, pernafasan cuping hidung, cyanosis)
5. Ajarkan teknik nafas dalam
6. Lakukan suction jika diperlukan
7. Beri tambahan O2 sesuai indikasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan
perubahan membran alveolar kapiler.
Tujuan: Mengoptimalkan pertukaran gas pernafasan
Kriteria hasil :

BGA dalam batas normal :

pH : 7,35-7,45

CO2 : 20-26 mEq (bayi), 26-28 mEq (dewasa)

PO2 (PaO2): 80-110 mmHg

PCO2 (PaCO2): 35-45 mmHg

SaO2 : 95-99 %

Cyanosis (-)

CRT < 2 detik

RR = 12-20x/menit

Suhu = 36,5 37,50 C

Intervensi
1. Istirahatkan klien dalam posisi semifowler.
2. Pertahankan oksigenasi NRM 8-10 L/menit.
3. Observasi TTV tiap jam atau sesuai respon klien.
4. Kolaborasi pemeriksaan BGA
3. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk membersihkan
sekret yang menumpuk.
Tujuan : jalan napas bersih
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan
napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan.
Rencana Tindakan
a. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap
kemampuan batuk.
b. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, bersihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
d. Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
e. Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
f. Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
g. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
Tujuan : Memperbaiki mobilitas

Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop,

meningkatkan

kekuatan

bagian

tubuh

yang

sakit

/kompensasi,

mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.


Rencana Tindakan
a. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
b. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan
kenyamanan pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
c. Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
d. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
e. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
f. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
g. Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada
lokasi yang tertekan.
Rencana Tindakan
a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan
sirkulasi darah.
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit

f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam
dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
6. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau kerusakan
kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder terhadap cedera medulla
spinalis.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan
distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang.
Rencana tindakan
a. Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
b. Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
c. Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu
bantuan dalam pengeluaran urine
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ........
e. Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
f. Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
g. Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
7. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder terhadap
cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang terlibat (S2-S4).
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana tindakan
a. kaji pola eliminasi bowel

R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi


b. b. Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
c. Berikan minum 1800 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
d. Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
e. Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
f. Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
g. Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
h. Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
8. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi
Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan
cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi
dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.
Rencana tindakan
a. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri,
misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 1R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau
kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
b. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat /
dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain
menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
c. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan
nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
d. kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium);
analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)

R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas


dan meningkatkan istrirahat.
9. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf simpatis sekunder
terhadap kehilangan kontrol otonom, ketidakstabilan kolumna spinalis
Tujuan: Membebaskan klien dari cidera karena menurunnya fungsi reflex
Kriteria hasil:
-

Cidera tidak terjadi

Klien tidak terjatuh

Ala-alat imobilisasi terpasang paten


Intervensi

1. Pertahankan tirah baring dan alat-alat imobilisasi tetap terpasang dengan paten
R/ memastikan pasien aman dan menghindari terjadinya cedera
2. Pasang penghalang samping tempat tidur dan beri bantalan lunak
R/ mencegah agar pasien tidak jatuh dari tempat tidur
3. Atur posisi tempat tidur serendah mungkin
R/ meminimalkan kemungkinan pasien jatuh dari tempat yang tinggi
4. Atur posisi tempat tidur klien sedekat mungkin dengan jangkauan pantauan perawat
R/ memudahkan perawat dalam memberikan penanganan pada pasien
10. Resiko aspirasi berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menelan.
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi
Kriteria Hasil:
Makanan dan minuman tidak lagi kembali keluar melalui hidung, jalan nafas paten dari
aspirasi makanan dan minuman
Intervensi:
1. kaji status pernapasan tiap jam
R/ Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena adanya
sekret.
2. lakukan suction
R/ Menurunkan resiko aspirasi atau aspiksia dan osbtruksi.
3. miringkan pasien untuk drainase
R/ Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas.
4. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut.
R/ Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen
dan pencegahan hipoksia.

5. Kolaborasi: Pemberian oksigen


R/ Memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan tubuh dan membantu dalam pencegahan
hipoksia.
11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis.
Tujuan: Status nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil:
Intake cukup, makan dan minuman yang masuk lewat mulut tidak kembali lagi melalui
hidung, BB meningkat, protein atau albumin 3,5 mg%
Intervensi:
1.

Pasang dan pertahankan NGT untuk intake makanan.


R/ Intake nutrisi yang seimbang dan adekuat akan mempertahankan kebutuhan nutrisi tubuh

2.

Kaji bising usus bila perlu


R/ Bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau mengetahui
kemungkinan komplikasi dan mengetahui penurunan obsrobsi air

3.

Berikan nutrisi yang tinggi kalori dan protein.


R/ nutrisi cukup akan membantu proses penyembuhan

4.

Timbang berat badan sesuai protokol


R/ mengetahui status nutrisi
Dx.7 Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang.
Tujuan : Kebutuhan aktifitas sehari-hari/perawatan diri terpenuhi
Kriteria Hasil:

Kejang (-), bed rest (-), bau badan (-), gigi bersih, rambut bersih, tempat tidur bersih, iritasi
kulit (-).
Intervensi
1.

Rasional
Pemenuhan kebutuhan aktifitas
1.

sehari-hari.

Kebutuhan sehari-hari terpenuhi


secara

adekuat

dapat

membantu

proses

kesembuhan.
2.

Bantu pasien dalam memenuhi


2.
kebutuhan

aktifitas

BAB/BAK,

mempertahankan

status

kesehatan dan kebersihan diri pasien.

membersihkan tempat tidur dan kebersihan


diri juga oral hygiene.
3.

Libatkan

keluarga

perawatan diri sehari-hari.

dalam
3.

Keluarga
motivasi

pasien

kebersihan diri

untuk

dapat

meningkatkan

melakukan

aktivitas

Dx. 8 Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan pasien tentang penanganan


penyakitnya dikarenakan kurangnya informasi.
Tujuan : pasien menunjukan rasa cemas berkurang atau hilang
Kriteria Hasil:
Takut <<, tegang (-), gelisah (-), nadi 80-100 x/menit, RR 16-20x/menit, klien dan keluarga
dapat mengulang informasi yang diberikan.
Intervensi
1.

Rasional
Kaji tingkat kecemasan pasien 1.

Tingkat kecemasan yang berbeda


butuh penanganan yang berbeda pula.

2.

3.

Jelaskan

tentang

aktifitas
2.

mengetahui

semua

kejang yang terjadi dan semua prosedur

prosedur dan kondisi tubuhnya, pasien akan

tindakan yang akan dilakukan pada pasien

merasa lebih tenang dan rasa cemas berkurang

Ajarkan

pasien

untuk
3.

mengekspresikan perasaannya
4.

Dengan

Gunakan
sentuhan terapeutik

komunikasi

Ekspresi perasaan secara verbal


dapat membantu mengurangi rasa cemas

dan
4.

Memberikan
nyaman bagi pasien

ketenangan

rasa

DAFTAR PUSTAKA
1. Andi, Tulus. 2009. Asuhan Keperawatan Spinal Cord Injury (SCI). http://tulusandi.blogspot.com/2009/06/asuhan-keperawatan-spinal-cord-injury.html

Diakses

tanggal 31 Agustus 2009 Pukul 10:59 WIB.


2. Bedah Umum. 2009. Penanganan Konservatif Fraktur Kompresi Vertebrae. Diakses
dari

http://bedahumum.wordpress.com/2009/03/04/penanganan-konservatif-fraktur-

kompresi-vertebra/ Tanggal 9 september 2009 pukul 13:42 WIB


3. Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
4. Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
5. Hudak, carolyn M. 1996. Keperawatan Kritis vol 2 Pendekatan Holistik. Jakarta :
EGC
6. Pinzon, Rizaldy. 2007. Mielopati Servical Traumatika: Telaah Pustaka terkini.
www.kalbe.co.id/files/cdk/files.154_13_mielopatiservicaltraumatika.pdf/154_13_
mielopatiservicaltraumatika.html. diakses tanggal 6 Nopember 2009 pukul 09.45
WIB.
7. Sunardi. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Trauma Medula Spinalis.
http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/10/askep-pasien-dengan-traumamedspin.ppt.Diakses tanggal 31 Agustus 2009 Pukul 10:58 WIB
8. http://www.scribd.com/doc/29042954/Penatalaksanaan-Trauma-Spinal-Dan-CederaCervikal
9. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18784/1/mkn-jun200740%20%287%29.pdf Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 2 Juni
2007 Penatalaksanaan Trauma Spinal
10. Hafas Hanafiah. Divisi Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi. Departemen Ilmu
Bedah. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
11. Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 .
Jakarta : EGC.
12. Carpenito, L. T, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Jakarta ; EGC
13. Doengoes,

M.

E,

1999,

Rencana Asuham

Keperawatan

Pedoman

untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC

14. Luckman,

J.

and

Sorensens

R.C.

1993.

Medical

Surgical

Nursing

Psychophysiologic approach, Ed : 4. Philadelphia ; WB, Souders Company.


15.Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai