OLEH:
Reza Fitra Kusuma Negara
NIM. 120070300011074
2014
DEFINISI
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna
maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada
cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan
ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra)
atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan akar-akar saraf yang berada
sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi).
KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :
a. Cedera Cervikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi. Otot
diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara
fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada
tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas
kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator
mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.
Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder
terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai
dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan
dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien
mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan
edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep,
triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien
masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan
melepaskan baju.
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan
ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa
perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas
pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan
dan memasak.
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan
control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara
bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram.
Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan
pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.
b. Cedera Torakal
Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi
inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural
biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot
lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke bawah,
segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada.
Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal
harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
T3 Aksilla
T5 Putting susu
T6 Prosesus xifoid
T10 Umbilikus
c. Cedera Lumbal
Lesi L1-L5
L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang
dari
bokong.
L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel.
d. Cedera Sakral
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari
telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi
meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek
posterior paha.
e. Klasifikasi berdasarkan keparahan
1. Klasifikasi Frankel :
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)
2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : hanya sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : motoris dan sensoris normal
ETIOLOGI
Priapism
Kerusakan kardiovaskuler
Kerusakan pernapasan
Kesadaran menurun
POHON MASALAH
(Terlampir)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra
b. Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal
c. CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray
d. MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya pembekuan darah
atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord.
PENATALAKSANAAN
1.
2.
3.
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit
gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal;
dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan
penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien
diangkat/dibawa dengan cara 4 men lift atau menggunakan Robinsons orthopaedic
stretcher.
2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:
a. Periksa vital signs
b. Pasang nasogastric tube
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan vital signs.
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen,
monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate dalam
kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban
yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
4.
5.
Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah
bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi
fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.
KOMPLIKASI
-
Kontraktur
Kehilangan sensasi
Spasme otot
Nyeri
Shock
PROGNOSIS
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi
komplit mencapai 100 %. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan
trauma quadriplegia mencapai 90 %. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian
antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius. Pasien dengan trauma
tulang belakang komplit berpeluang sembuh < 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam
waktu 72 jam setelah trauma, peluang perbaikan adalah 0 %. Prognosis trauma tulang
belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih ada, peluang pasien untuk dapat
berjalan kembali > 50 %.
PENGKAJIAN
A. Data subyektif
-
Pengetahuan pasien tentang penyakit (cedera dan akibat dari gangguan neurologis)
Adanya dyspnea
B. Data Obyektif
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang
punggung, disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan membran alveolar kapiler.
c. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekret yang menumpuk.
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.
e. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
f.
Risiko tinggi cidera berhubungan dengan stimulasi refleks sistem saraf simpatis
sekunder terhadap kehilangan kontrol otonom.
j.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kerusakan tulang punggung,
disfungsi neurovaskular, kerusakan sistem muskuloskeletal.
Tujuan: Mempertahankan pola nafas klien efektif
Kriteria hasil :
RR = 12-20x/menit
Nadi = 60-100x/menit
Cyanosis (-)
Rencana Tindakan
1. Beri posisi kepala netral, tinggikan sedikit kepala tempat tidur jika dapat
ditoleransi klien
2. Observasi TTV
3. Auskultasi suara nafas
4. Kaji tanda-tanda pola nafas tidak efektif (penggunaan otot-otot bantu
pernafasan, pernafasan cuping hidung, cyanosis)
5. Ajarkan teknik nafas dalam
6. Lakukan suction jika diperlukan
7. Beri tambahan O2 sesuai indikasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi dan
perubahan membran alveolar kapiler.
Tujuan: Mengoptimalkan pertukaran gas pernafasan
Kriteria hasil :
pH : 7,35-7,45
SaO2 : 95-99 %
Cyanosis (-)
RR = 12-20x/menit
Intervensi
1. Istirahatkan klien dalam posisi semifowler.
2. Pertahankan oksigenasi NRM 8-10 L/menit.
3. Observasi TTV tiap jam atau sesuai respon klien.
4. Kolaborasi pemeriksaan BGA
3. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan ketidakmampuan untuk membersihkan
sekret yang menumpuk.
Tujuan : jalan napas bersih
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan
napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan.
Rencana Tindakan
a. Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap
kemampuan batuk.
b. Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, bersihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
c. Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
d. Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
e. Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
f. Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
g. Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
h. Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
i. Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop,
meningkatkan
kekuatan
bagian
tubuh
yang
sakit
/kompensasi,
f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam
dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
6. Gangguan BAK berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau kerusakan
kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder terhadap cedera medulla
spinalis.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan
distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang.
Rencana tindakan
a. Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
b. Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
c. Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu
bantuan dalam pengeluaran urine
d. Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ........
e. Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
f. Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
g. Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
7. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya kontrol sfingter volunter sekunder terhadap
cedera medulla spinalis di atas T11 atau arkus refleks sakrum yang terlibat (S2-S4).
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana tindakan
a. kaji pola eliminasi bowel
1. Pertahankan tirah baring dan alat-alat imobilisasi tetap terpasang dengan paten
R/ memastikan pasien aman dan menghindari terjadinya cedera
2. Pasang penghalang samping tempat tidur dan beri bantalan lunak
R/ mencegah agar pasien tidak jatuh dari tempat tidur
3. Atur posisi tempat tidur serendah mungkin
R/ meminimalkan kemungkinan pasien jatuh dari tempat yang tinggi
4. Atur posisi tempat tidur klien sedekat mungkin dengan jangkauan pantauan perawat
R/ memudahkan perawat dalam memberikan penanganan pada pasien
10. Resiko aspirasi berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menelan.
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi
Kriteria Hasil:
Makanan dan minuman tidak lagi kembali keluar melalui hidung, jalan nafas paten dari
aspirasi makanan dan minuman
Intervensi:
1. kaji status pernapasan tiap jam
R/ Takipnu, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris sering terjadi karena adanya
sekret.
2. lakukan suction
R/ Menurunkan resiko aspirasi atau aspiksia dan osbtruksi.
3. miringkan pasien untuk drainase
R/ Memudahkan dan meningkatkan aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas.
4. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan bersihkan mulut.
R/ Memaksimalkan fungsi pernafasan untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap oksigen
dan pencegahan hipoksia.
2.
3.
4.
Kejang (-), bed rest (-), bau badan (-), gigi bersih, rambut bersih, tempat tidur bersih, iritasi
kulit (-).
Intervensi
1.
Rasional
Pemenuhan kebutuhan aktifitas
1.
sehari-hari.
adekuat
dapat
membantu
proses
kesembuhan.
2.
aktifitas
BAB/BAK,
mempertahankan
status
Libatkan
keluarga
dalam
3.
Keluarga
motivasi
pasien
kebersihan diri
untuk
dapat
meningkatkan
melakukan
aktivitas
Rasional
Kaji tingkat kecemasan pasien 1.
2.
3.
Jelaskan
tentang
aktifitas
2.
mengetahui
semua
Ajarkan
pasien
untuk
3.
mengekspresikan perasaannya
4.
Dengan
Gunakan
sentuhan terapeutik
komunikasi
dan
4.
Memberikan
nyaman bagi pasien
ketenangan
rasa
DAFTAR PUSTAKA
1. Andi, Tulus. 2009. Asuhan Keperawatan Spinal Cord Injury (SCI). http://tulusandi.blogspot.com/2009/06/asuhan-keperawatan-spinal-cord-injury.html
Diakses
http://bedahumum.wordpress.com/2009/03/04/penanganan-konservatif-fraktur-
M.
E,
1999,
Rencana Asuham
Keperawatan
Pedoman
untuk
14. Luckman,
J.
and
Sorensens
R.C.
1993.
Medical
Surgical
Nursing