Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam masyarakat,

hanya mungkin terjadi dalam alam dongeng belaka (seperti Tarzan, Robinson
Cruso dan sebagainya) namun dalam kenyataan hal itu tak mungkin terjadi.
Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan
sesamanya dalam satu kelompok, hasrat untuk bermasyarakat.1
Istilah masyarakat diambil dari akar kata syaraka bahasa Arab, yang
secara umum berarti saling berperan serta, saling bergaul. Sedangkan society
(dalam bahasa Inggris) ataupun socius dalam bahasa latin berarti sekumpulan
kawan, teman sepergaulan.
Masyarakat memang merupakan sekumpulan manusia, setidaknya terdiri
atas lebih dari satu orang dan saling bergaul. Pergaulan manusia dengan
sesamanya menimbulkan suatu ikatan rasa identitas bersama dalam suatu rentan
waktu yang lama dan berkesinambungan.2
Tiap manusia mempunyai sifat, watak, kehendak ,dan keperluan sendirisendiri. Akan tetapi acapkali pula keperluan-keperluan tersebut itu berlainan
bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang
mengganggu keserasian hidup bersama. Dalam hal ini orang atau golongan yang
kuat menindas orang atau golongan yang lemah untuk menekankan kehendaknya,
yang kaya menindas yang niskin,dan lain sebagainya.

1 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. (Jakarta:
Rineka Cipta). 2011. Hlm. 42.
2 I. Gede A. B. Wiranata. Antropologi Budaya. (Bandung: Citra Aditya Bakti). 2011.
Hlm. 68.

Karena setiap manusia anggota masyarakat itu memiliki berbagai


karakteristik yang berbeda menjadikan kehidupan masyarakat menjadi penuh
warna dan beraneka ragam serasi hidup berdampingan. Akan tetapi, beberapa dari
mereka ,memiliki suatu karakteristik yang cenderung bersifat negatif yang dalam
kehidupan masyarakat dikenal dengan perilaku menyimpang.
Salah satu contoh kasus perilaku menyimpang ialah Kasus Pedofilia yang
pernah terjadi Di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat 2 Mei 2014, berikut kami
paparkan kasus tersebut dalam sebuah kasus posisi:
Kasus Posisi:
VIVAnews - Puluhan anak laki-laki berusia 6-14 tahun mendatangi kantor
Polres Kota Sukabumi karena diduga menjadi korban predator seks.
Puluhan anak asal Kampung Lio Santa, Kelurahan Sudaya Hilir,
Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi, itu melapor ke unit Perlindungan anak
dan Perempuan (PPA) Polres Sukabumi Kota, karena telah menjadi korban
kekerasan seksual.
"Anak yang rata-rata masih duduk di sekolah dasar ini telah menjadi
korban sodomi. Pelaku adalah AS (Andri Sobari) alias Emon, 24 tahun, yang
bekerja sebagai buruh pabrik," kata Kapolres Sukabumi Kota, Ajun Komisaris
Besar Hari Santoso, Jumat 2 Mei 2014.
Tak butuh lama bagi polisi untuk membekuk Andri Sobari alias Emon.
Berbekal laporan orang tua korban, penyidik Polres Sukabumi Kota berhasil
menangkap Emon di sebuah pemandian air panas di Citamiang, Kota Sukabumi.
Pelaku digiring ke ruang unit PPA untuk menjalani pemeriksaan intensif.
Polres Sukabumi Kota langsung menetapkan Emon sebagai tersangka. Dia
dijerat dengan Pasal 82 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 293 KUHP tentang
Pencabulan Anak dan Pasal 64 KUHP tentang Perbuatan Berlanjut. Emon
terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

AKBP Hari Santoso menjelaskan, pelaku telah mengakui perbuatannya


mencabuli puluhan anak laki-laki dengan iming-iming uang kepada korban
berkisar Rp25 ribu sampai Rp50 ribu.
Kemudian Emon membawa korban ke bangunan kosong dan tempat bekas
pemandian air panas umum. Dalam sepekan, Emon bisa melampiaskan nafsu
bejatnya sampai 2 hingga 3 kali.
"Tersangka menunjukkan dua bangunan. Di bangunan pertama tersangka
mengaku menyodomi 25 anak," terang Hari.
Sedangkan di bangunan kedua, pelaku menyodomi 30 anak. Beberapa
korban juga disodomi di pemandian panas. "Uang baru dia serahkan setelah
selesai," kata Ajun Komisaris Sulaeman, Kepala Satuan Reserse Kriminal
Kepolisian Resor Kota Sukabumi, menambahkan.
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda,
mengatakan, Emon juga tidak segan mengancam korbannya jika mereka tidak
mau menuruti nafsu bejat dia. "Kalau korban tidak mau, pasti kan mereka
menangis. Di situ pelaku mengancam akan membunuh korban, namun hanya
ancaman verbal," kata Erlinda kepada VIVAnews.
Menurut pengakuan Emon, aksi bejatnya itu sudah dilakukan sejak Januari
2013. Namun ada korban yang mengaku pernah dicabuli Emon pada tahun 2009.
Lebih lanjut Erlinda menyatakan, perilaku menyimpang Emon itu sudah muncul
sejak dia berusia 4 tahun. Di samping itu, di usia 7 tahun Emon sudah ada
dorongan fantasi seks. Dia usia 7 tahun dia sudah mengkonsumsi buku-buku
seks," kata Erlinda.
Korban Terus Bertambah
Sementara itu, korban yang melapor ke Polres Sukabumi Kota terus
bertambah. AKBP Hari menyatakan, sampai hari Minggu, 4 Mei 2014, korban
kekerasan seksual yang dilakukan Emon yang melapor berjumlah 52 orang.

"Kemungkinan akan terus bertambah," ujar Hari. Terakhir, diduga


korbannya mencapai 73 anak.
Dari 13 korban yang diketahui hasil pemeriksaannya, ada tiga anak yang
menderita luka yang cukup serius pada bagian anus. "Postur anus rusak, ada
pendarahan dan bila buang air besar mengeluarkan darah," katanya.
Dia mengimbau kepada masyarakat yang menjadi korban untuk melapor
kepada aparat. Menurutnya polisi masih mengembangkan kasus ini, termasuk
menggali informasi apakah pelaku melakukan seorang diri atau ada oknum lain
yang turut serta.
"Sementara ini belum ada (pelaku lain)," ucapnya.
Erlinda menegaskan, KPAI memberikan bantuan kepada para korban
kekerasan seksual ini. Bantuan yang diberikan berupa pendampingan darurat satu
minggu hingga satu bulan.
"Karena jumlah korbannya banyak, kami bikin kategori kelompok. Kami
buat tim, satu psikolog menangani 10 anak," kata Erlinda.
KPAI kata dia, memberikan apresiasi kepada polisi karena telah
mengungkap kasus ini. Selain itu juga polisi langsung bersinergi dengan Wali
Kota Sukabumi, Dinas Kesehatan yang memberikan bantuan psikologi, serta
Dinas Sosial.
Disamping itu, KPAI juga melakukan upaya pencegahan agar perilaku
serupa tidak terulang lagi. Diantaranya melakukan penyuluhan, seminar parenting,
focus group discussion (FGD) melalui satgas perlindungan anak di tingkat RT dan
RW.
"Kami sudah memberikan sex education kepada sekolah-sekolah di semua
jenjang sampai ke level TK," paparnya
Korban Sodomi

Siapa sangka sosok Andri Sobari alias Emon yang kesehariannya dikenal
sebagai pemuda pendiam, jarang bergaul dan tidak pernah terlibat dalam
kenakalan remaja, justru kini dikenal sebagai predator seks anak di bawah umur.
Emon merupakan sulung dari tiga bersaudara, lahir dari pasangan Sobari
(Almarhum) dan Sohati (39). Dia tinggal di rumah orang tuanya di Gang Barokah
IV, Kampung Lio Santa, Sudajaya Hilir, Baros, Kota Sukabumi.
Ibunda Emon, Sohati mengaku kaget sekaligus tak percaya dengan
perilaku menyimpang putra sulungnya itu. Sohati hanya bisa mengurung diri di
rumah. Dia bahkan selalu dihantui ketakutan, bila suatu saat rumahnya diserang
warga yang anaknya menjadi korban nafsu bejat Emon.
"Saya nggak nyangka anak saya bisa melakukan ini," kata Sohati.
Adik Emon, Arman, juga mengaku sangat terkejut dengan peristiwa ini.
Dia tak menyangka kakaknya selama ini kerap melakukan perbuatan
menyimpang. Hal serupa juga dirasakan tetangga yang juga masih kerabat Emon,
Herman. Menurutnya, Emon merupakan sosok pendiam dan tidak pernah bergaul
dengan anak sebayanya.
"Tapi dia memang akrab kalau sama anak kecil," ujar Herman.
Dari hasil observasi KPAI, Erlinda menuturkan, bahwa pelaku pernah
mengalami kekerasan seksual saat masih kecil. "Menurut pengakuan pelaku, dia
pernah disodomi saat berusia 11 tahun. Hal ini yang mendorong pelaku
melakukan hal serupa kepada orang lain," tutur Erlinda yang juga Sekretaris KPAI
itu.
Hal itu juga diakui Emon kepada penyidik Polres Sukabumi Kota, bahwa
dia pernah menjadi korban sodomi oleh temannya sendiri. "Itu yang membuat
saya melakukan sodomi," kata Emon, Jumat sore, 2 Mei 2014, saat olah tempat
kejadian.
Selain itu, berdasarkan hasil observasi KPAI juga diketahui pelaku
mengalami gangguan afektif yakni kondisi mudah terangsang hasrat seksualnya

secara berlebih. Dia berharap polisi terus mendalami pengakuan Emon yang
dinilainya belum konsisten, karena masih berubah-ubah.
Erlinda mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan
fenomena gunung es. Dari terungkapnya kasus kekerasan seksual di JIS, telah
membuka kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus serupa kepada
aparat kepolisian.
"Efek luar biasa dari JIS ini telah membuka kesadaran masyarakat akan
efek dari kekerasan seksual terhadap anak ini sangat luar biasa," kata Erlinda.
Saking maraknya kasus kejahatan seksual yang menimpa anak-anak
Indonesia, Ketua Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait, sampai menyatakan tidak
ada tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak. Pelaku bisa ada di manamana, di lingkungan rumah sampai institusi pendidikan.
"Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Komnas HAM menyebut tahun
2013-2014 sebagai Tahun Darurat Nasional Kejahatan Seksual terhadap Anak,"
kata Arist. Arist menilai, kini tak ada tempat yang aman dan nyaman bagi anak
Ketua Umum Komisi Naional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait
mengatakan, kejahatan seksual yang menimpa anak-anak terjadi di hampir seluruh
wilayah Indonesia. Saat ini, kata Arist, sudah tidak ada tempat yang aman dan
nyaman bagi anak-anak.
"Kejahatan seksual terjadi di mana-mana. Predator anak juga ada di
lingkungan rumah, institusi pendidikan," kata Arist, Sabtu 3 Mei 2014.
Arist lalu mendaftar daerah-daerah di mana ada kasus kejahatan seksual,
seperti Siantar (Simalungun, Sumatera Utara), Jembrana (Bali), Malang (Jawa
Timur), Magelang (Jawa Tengah), Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera
Utara), Makassar (Sulawesi Selatan), Bandung (Jawa Barat). Kejahatan seks juga
terjadi di sebuah sekolah elite di Jakarta Selatan, Jakarta International Shool (JIS).

Terbaru, imbuhnya, Komnas PA menerima laporan mengenai kekerasan


seksual yang menimpa 47 anak di Sukabumi, Jawa Barat. Korban tersangka
Andri Sobari (23) rata-rata berusia di bawah 7 tahun.
"Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Komnas HAM menyebut tahun
2013-2014 sebagai Tahun Darurat Nasional Kejahatan Seksual terhadap Anak,"
kata Arist. Dia meminta agar kejahatan seksual ini menjadi isu bersama sehingga
aksi menentang kejahatan ini semakin luas.3

1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang , maka ada beberapa pertanyaan

yang timbul, adapun pertanyaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :


1. Apa yang menyebabkan suatu perbuatan dikatakan sebagai
perilaku menyimpang ?
2. Bagaimana mengatasi

suatu

perilaku

menyimpang

dalam

kehidupan bermasyarakat?

3http://fokus.news.viva.co.id/news/read/501731-puluhan-bocah-sukabumi-jadi-korbanemon diakses pada tanggal 20 April 2015 jam 15. 20 WIB.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perilaku Menyimpang dalam Kehidupan Bermasyarakat

Tidak semua di dalam kehidupan masyarakat berlangsung secara normal,


artinya sebagaimana dikehendaki oleh masyarakat yang bersangkutan. Gejalagejala tersebut merupakan gejala-gejala abnormal atau gejala-gejala patologis; hal
itu disebabkan karena unsur-unsur masyarakat tertentu tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, sehingga menyebabkan kekecewaan- kekecewaan dan
bahkan penderitaan bagi warga masyarakat.
Acapkali dibedakan antara dua macam persoalan yaitu antara masalah
masyarakat (scientific or societal problems) dengan problema sosial (ameliorative
or social problems). Yang pertama menyangkut tentang gejala-gejala kehidupan
masyarakat; sedangkan yang kedua meneliti gejala-gejala abnormal masyarakat
dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan menghilangkannya.4
Pada dasarnya masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral.
Perilaku Pedofilia dikategorikan sebagai perilaku menyimpang dalam kehidupan
bermasyarakat karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan
dengan hukum dan bersifat merusak.

2.2.

Upaya Mengatasi Perilaku Menyimpang dalam Kehidupan


Bermasyarakat

4 Suwarno. Teori Sosiologi Sebuah Pemikiran Awal. (Bandarlampung: Penerbit


Universitas Lampung). 2012. Hlm. 225.

Dikatakan bahwa perbuatan Pedofilia dikategorikan sebagai perilaku


menyimpang karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan
hukum dan bersifat merusak. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini perlu
ditelaah dengan mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Pedofilia itu sendiri merupakan salah satu perilaku menyimpang dalam
bentuk kelainan hasrat seksual atau bisa kita katakan sebagai penyimpangan
seksual. Penyimpangan seksual terdiri atas dua suku kata yaitu penyimpangan dan
seksual.
Penyimpangan berasal dari kata simpang yang memiliki empat
pengertian. Pertama, berarti proses, cara perbuatan yang menyimpang atau
menyimpangkan. Kedua, membelok menempuh jalan yang lain. Ketiga, tidak
menurut apa yang sudah ditentukan, tidak sesuai dengan rencana. Keempat,
menyalahi kebiasaan, menyeleweng dari hukum, kebenaran dan agama.5
Kata seksual mempunyai dua pengertian. Pertama, berarti menyinggung
hal reproduksi atau perkembangan lewat penyatuan dua individu yang berbeda
yang masing-masing menghasilkan sebutir telur dan sperma. Kedua, secara umum
berarti menyinggung tingkah laku, perasaan atau emosi yang berasosiasi dengan
perangsangan

alat

kelamin,

daerah-daerah

erogenous,

dengan

proses

perkembangbiakan.6
Jadi dapat disimpulkan bahwa penyimpangan seksual merupakan salah
satu bentuk perilaku menyimpang dan melanggar norma-norma dalam kehidupan
masyarakat. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh
seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual yang tidak sewajarnya.

5 Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan Bahasa, kamus besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka), 1995, hlm. 488
6 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap, terjemahan. Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,). 2004, cet. ke-9, hlm. 460

Setiap manusia memiliki kebutuhan biologis yang harus dipenuhi, naluri


alamiah manusia untuk mengadakan keturunan tidaklah dinilai sebagai suatu
penyimpangan seksual, akan tetapi naluri tersebut berubah menjadi suatu perilaku
menyimpang ketika perilaku tersebut tidak sejalan dengan nila-nilai moral yang
tumbuh dalam lingkungan tersebut.
Pedofilia adalah pemuasan seksual dengan anak dibawah umur yang
menjadi objeknya, baik sejenis (pedophilia homseksual), ataupun yang berbeda
jenis (pedophilia heteroseksual). Untuk mengatasi masalah tersebut, kita dapat
menggunakan metode-metode sosiologi yang mana menyangkut nilai-nilai sosial
dan moral dikaitkan dengan aturan yang bersifat mengikat yaitu kaidah hukum.
Perilaku menyimpang pada kasus ini menurut sosiologi merupakan
penyimpangan sekunder yaitu penyimpangan yang perbuatannya sudah tidak bisa
lagi ditolerir oleh masyarakat. Penyimpangan seksual pada kasus ini mungkin
disebabkan karena sebagai akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna,
karena ketidaksanggupan menyerap norma- norma kebudayaan ke dalam
kepribadiannya, seorang individu tidak mampu membedakan perilaku yang pantas
dan yang tidak pantas. Ini terjadi karena seseorang menjalani proses sosialisasi
yang tidak sempurna dimana agen-agen sosialisasi tidak mampu menjalankan
peran dan fungsinya dengan baik.
Metode- metode pengendalian sosial yang dipakai dalam mengatasi
penyimpangan seksual adalah dengan metode preventif dan metode represif.
Metode preventif lebih sulit dilakukan karena harus benar-benar didasarkan pada
penelitian yang sangat mendalam tentang sebab-sebab terjadinya masalah sosial,
sedangkan metode represif dilakukan setelah suatu gejala dapat dipastikan sebagai
masalah sosial barulah diambil tindakan-t indakan untuk mengatasi masalah sosial
itu. Dalam mengatasi penyimpangan seksual diperlukan suatu kerja sama lintas
ilmu pengetahuan masyarakat bukan dari aspek sosiologis saja.
A. Pengendalian Sosial dengan metode preventif (sebelum terjadi
penyimpangan) :

10

1) Diadakannya penyuluhan kepada masyarakat tentang tindakantindakan penyimpangan seksual sehingga terciptanya tindakan
pencegahan penyimpangan seksual dalam masyarakat.
2) Diperbanyak lagi peran media massa dalam pemberitaan atau
sosialisasi

kepada

masyarakat

mengenai

berbagai

tindak

penyimpangan seksual.
3) Diadakannya pendidikan seks, pendidikan seks dimaksudkan
sebagai suatu proses yang seharusnya terus menerus dilakukan
sejak anak masih kecil. Pendidikan seks harus dilakukan secara
bertahap. Pada permulaan pendidikan seks anak diberikan sex
information dengan cara diberikan penjelasan-penjelasan seksual
yan sederhana dan informatif. Hal yang ingin dicapai dengan
diadakannya pendidikan seks adalah supaya anak ketika sampai
pada usia remaja telah mempunyai sikap yang tepat dan wajar
terhadap seks.
4) Ikut berperan sertanya orang tua dalam semua kegiatan anak,
maksudnya disini orang tua ikut memantau semua kegiatan anak,
memantau disini bukan berarti membatasi ruang lingkup atau
gerak-gerik anak tetapi lebih kepada pengawasan, karena orang tua
memegang peranan yang sangat penting atas kepribadian anak di
masa mendatang, termasuk terjadinya penyimpangan perilaku
seksual.
5) Lebih ditanamkannya pendidikan agama kepada anak, kurang
ditanamkannnya pendidikan agama juga bisa menjadi salah satu
penyebab terjadinya penyimpangan seksual. Pendidikan agama
dapat memberikan benteng tersendiri agar tidak terjadinya perilaku
menyimpang, terutama perilaku menyimpang seksual.
B. Pengendalian sosial dengan metode represif (sesudah terjadi
penyimpangan):
1) Melakukan psikoterapi kepada si pelaku dan terapi secara
individual bisa dengan pemberian sanksi-sanksi atau hukuman
yang bisa memberikan efek jera dan penyembuhannya bukan hanya
bagi pelaku penyimpangan seksual saja tetapi juga harus dilakukan
kepada komunitas masyarakat sekitar, terapi yang dilakukan bagi

11

komunitas bisa berupa penentuan kebijakan-kebijakan tentang hal


penyimpangan seksual.
2) Melakukan rehabilitasi bagi pelaku agar si pelaku bisa sembuh dan
kembali normal.

BAB III
PENUTUP

3.1.

Kesimpulan

Kesimpulannya untuk menyikapi masalah-masalah penyimpangan seksual


seperti dalam contoh kasus tersebut, kita semua dituntut untuk memiliki
ketahanan mental agar tidak mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang tidak
sewajarnya sehingga akhirnya menjadi menyimpang. Untuk memperoleh
ketahanan mental tersebut kita sudah diberikan acuan dan pedoman berupa
norma-norma agama, norma etika maupun norma sosial. Oleh sebab itu
berperilakulah yang normatif dalam arti bertingkahlaku mengikuti norma agama,
norma etika dan norma sosial yang berlaku. Dalam hal ini sosiologi dan hukum
ikut mengambil peran dalam mengatasi masalah penyimpangan seksual dengan
cara melakukan pengendalian social dengan metode represif dan preventif.

3.2.

Saran
Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, yang perlu dipahami

adalah fungsi hukum yakni untuk melindungi masyarakat, bukan memerintahkan


begitu saja. Hukum juga seharusnya dari rakyat dan bersifat kerakyatan serta
menempatkan hukum dalam konteks sosialnya yang lebih besar. Untuk itu
seharusnya ada keterlibatan dari elemen masyarakat dalam pengambilan
keputusan hukum. Dengan maksud hukum dapat mengikuti tumbuh kembangnya
masyarakat.

12

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
J.P. Chaplin, 2004. Kamus Lengkap, terjemahan. Kartini Kartono cet. ke-9,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Suwarno. 2012. Teori Sosiologi Sebuah Pemikiran Awal. Bandarlampung:
Penerbit Universitas Lampung.
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Wiranata, I. Gede A. B, 2011. Antropologi Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti.

INTERNET:
http://fokus.news.viva.co.id/

13

Anda mungkin juga menyukai