Anda di halaman 1dari 13

A PENDAHULUAN

1 Latar Belakang
Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar
obat utuh dan / atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau cairan tubuh
lainnya). Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat dipercaya, metode
penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi perolehan kembali
(recovery), presisi dan akurasi. Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah
jika metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau
lebih), kesalahan acak dan sistematik kurang dari 10% (Pasha dkk, 1986).
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1.
2.
3.
4.

Jumlah atau bagian obat yang diabsorbsi dari bentuk sediaan.


Kecepatan obat diabsorbsi.
Masa kerja obat berada di dalam cairan biologik atau jaringan, bila dihubungkan
dengan respon pasien.
Hubungan antara kadar obat dalam darah dengan efektivitas terapi/efek toksik.
Penentuan ketersediaan hayati kebanyakan hanya untuk bentuk sediaan obat seperti

tablet dan kapsul yang digunakan peroral untuk memperoleh efek sistematik. Hal ini bukan
berarti ketersediaan hayati tidak ada dalam bentuk sediaan obat yang lain selain bentuk
padat/penggunaan bentuk obat melalui rute lain selain melalui mulut (Anief, 1995).
Pada pengukuran konsentrasi obat dalam serum, suatu konsentrasi tunggal dari obat
dalam serum dapat tidak menghasilkan informasi yang berguna kecuali jika faktor-faktor lain
dipertimbangkan, sebagai contoh, aturan dosis obat yang meliputi besaran dan jarak
pemberian dosis, rute pemberian obat, serta waktu pengambilan cuplikan (puncak, palung,
atau keadaan tunak) hendaknya diketahui.
Mengkin ada ketervatasan dalam hal jumlah cuplikan darah yang dapat diambil,
keseluruhan volume darah yang diperlukan untuk penetapan kadar, dan waktu untuk
melakukan analisis obat, pengukuran konsentrasi serum hendaknya juga mempertimbangkan
biaya penetapan kadar, resiko, dan ketidaksenangan penderita, dan kegunaan informasi yang
diperoleh.
Metode analisis yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam serum hendaknya
telah sahih, berkenaan dengan hal-hal berikut seperti spesifitas, linieritas, kepekaan,
ketepatan, ketelitian, dan stabilitas (Sahrgel, 1985).
Untuk menganalisis darah total, komponen sel darah harus dilisis demikian sehingga
kandungannya bercampur merata dengan sonikator atau ditentukan dalam jangka waktu

tertentu lalu disonikasi. Plasma berbeda dengan serum, serum adalah plasma yang
fibrinogennya telah dihilangkan dengan proses penjendalan, sedangkan plasma diperoleh
dengan menambahkan suatu pencegah penjendalan ke dalam darah. Bila darah tidak diberi
antikoagulan terjadilah penjendalan dan bila contoh seperti dipusingkan maka beningannya
adalah serum (James, 1991).
Penilaian ketersediaan hayati dapat dilakukan dengan metode menggunakan data
darah, data urin, dan data farmakologis atau klinis, namun lazimnya dipergunakan data darah
atau data urin untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat
berkhasiatnya telah diketahui cara dan validitasinya. Jika cara dan validitas belum diketahui,
dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat diukur
secara kuantitatif (Syukri, 2002).
2

Dasar Teori

Parameter farmakokinetika suatu obat diperoleh dari hasil pengukuran kadar obat atau
metabolitnya di dalam darah atau urin. Metodeanalisis penetapan kadar obat yang digunakan
dalam penelitianfarmakokinetika harus memenuhi beberapa prasyarat agar nilai nilai
parameter kinetika obat dapat dipercaya, yaitu:
1.Selektif atau spesifik
2.Sensitif atau peka
3.Teliti dan tepat
4.Cepat

1. Selektif atau spesifik


Selektivitas metode menempati prioritas pertama karena bentuk obat yang ditetapkan
dalam cuplikan hayati adalah bentuk tak berubah ataumetabolitnya. Artinya metode analisis
yang digunakan harus memilikispesifitas yang tinggi terhadap salah satu bentuk obat yang
akan ditetapkantersebut.(Smith dan Stewart, 1981).Bahkan lebih memperluas lagi pengertian

selektivitas metode ini,yakni kemampuan suatu metode penetapan kadar untuk membedakan
suatuobat dari metabolitnya, obat lain, dan kandungan endogen cuplikan hayati.Pemilihan
metode yang memiliki selektifitas tinggi ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Karena hal
ini erat sekali kaitannya dengan rumusmatematik yang diterapkan dalam menghitung
parameter farmakokinetik.Rumus matematik yang diturunkan berdasarkan data pengukuran
kadar obattak berubah dalam cuplikan hayati tertentu, bebeda dengan yang diturunkandari
data kadar metabolitnya.
2. Sensitif atau peka
Sensitivitas metode analisis yang digunakan berkaitan dengan kadar terendah yang
dapat diukur oleh metode analisis yang digunakan. Dalam penelitian farmakokinetika,
pemilihan metode analisis juga tergantung padatingkat sensitivitas yang dimiliki oleh metode
tersebut. Hal ini dapatdipahami mengingat dalam menghitung parameter farmakokinetika
suatuobat, diperlukan sederetan data kadar obat dari waktu ke waktu, atau datadari kadar
tertinggi sampai kadar terendah dalam cuplikan hayati yangdigunakan. Misalnya kita akan
menghitung harga AUC maka kitamemerlukan data kadar obat dari waktu nol sampai tak
terhingga. Karenaitu, metode analisis yang dipilih harus dapat meliput kadar obat
tertinggisampai terendah yang ada di dalam badan.
3. Teliti dan tepat Ketelitian (accuracy) dan ketepatan ( precision) perlu pula dipetimbangkan
dalam memilih metode analisis penetapan kadar. Ketelitianditunjukan oleh kemampuan
metode memberikan hasil pengukuran sedekatmungkin dengan nilai sesungguhnya (true
value). Ini dapat diketahui dariharga perolehan kembali (recovery) yang dinyatakan sebagai%
error (hargasesungguhnya dikurangi harga uji dibagi harga sesungguhnya, dikali 100%). Nilai
perolehan kembali yang dipersyaratkan adalah 75-90%. Perolehankembali merupakan tolok
ukur efisiensi analisis
PK / Recovery = (kadar terukur)/(kadar yang diketahui) 100 %

Ketepatan menunjukan kedekatan hasil pengukuran berulang padacuplikan hayati


yang sama. Yang berarti dalam satu seri pengukuran,mempunyai selisih yang sangat kecil
antara satu nilai dengan nilai yanglain . Ini dapat diketahui dari harga replikasinya yang
dinyatakan sebagaikoefisien variansi

4. Cepat
Cepat juga merupakan syarat yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode
analisis penetapan kadar. Hal ini berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus
dianalisis dalam satu macam penelitian farmakokinetika (180-600 penetapan kadar).
Prasyarat prasyarat yang diuraikan di atas, sebaiknya benar-benar dipertimbangkan
dalam pemilihan metode analisis penetapan kadar dalam penelitian farmakokinetika. Karena
kesahihan hasil pengukuran parameter farmakokinetika sangat bergantung pada kesahihan
hasil penetapankadarnya dalam cuplikan hayati yang ditentukan. Dengan demikian,
pemahaman terhadapnya, akan sangat membantu dalam mencapai kesahihan hasil
pengukuran farmakokinetika seperti yang diharapkan.
Dalam percobaan ini akan dilakukan langkah langkah yang perludikerjakan untuk optimasi
analisis, yang meliputi:
1.Penentuan waktu jangka larutan obat yang memberi resapantetap (khusus untuk reaksi
warna)
2.Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikanresapan maksimum atau
penetapan

eksitasi atau emisi

3.Pembuatan kurva baku


4.Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dankesalahan sistematik

Ada 3 macam kesalahan yang dapat dilakukan selama praktikum :


1.Kesalahan gamblang ( gross eror )
Kesalahan gamblang merupakan kesalahan yang sudah jelas karenamelibatkan
kesalahan yang besar, akibatnaya, kita harus memutuskanuntuk mengabaikan percobaan yang

telah kita lakukan dan memuainyadari awal lagi secara menyeluruh. (Gandjar, Rohman,
2010).
Contoh :kesalahan gamblang adalah sampel cuplikan hayati tumpah, pengambilankadar obat
salah, dan lain lain.
2.Kesalahan acak (random error )
Kesalahan acak atau disebut juga kesalahan yang tidak tergantung(indeterminate error
) merupakan kesalahan yang nilainya tidak dapatdiramalakan dan tidak ada aturan yang
mengaturnya, serta nilainya berfluktuasi. Kesalahan acak merupakan jenis kesalahan yang
selaluterjadi sebagai akibat adanaya sedikit variasi yang tidak dapat dikontroldalam
pelaksanaan prosedur. Kesalahan acak dapat digambarkan sebagaikurva normal (Gaussian
curve) (Gandjar, Rohman, 2010)Dari kurva, dapat dikemukakan :1.Kesalahan yang kecil
lebih sering terjadi2.Kesalahan yang besar dapat dikatakan jarang terjadi3.Besarnya
kesalahan positif dan negatif sama.

3.Kesalahan sistematis (systematic error )


Sementara itu, kesalahan sistematik merupakan kesalahan yang mempunyai nilai
definitif (nilai tertentu). Hasil percobaan dapat mengarah ke arah yang lebih kecil atau arah
yang lebih besar dari rata-rata .Kesalahan sistematis bersifat konstan dan berhubungan
dengan ketelitian(akurasi). Kesalahan jenis ini mengakibatkan penyimpangan tertentu dari
mean.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesalahan sistematik,antara lain :
1.Kesalahan personil dan operasi
2.Kesalahan alat dan bahan
3.Kesalahan metode

Adanya kesalahan sistematik, kadang kadang menyebabkan rata-rata yang didapat


menyimpang agak besar dari nilai sebenarnya. Walaupunkesalahan ini tidak mungkin
dihindari secara mutlak, tetapi dengan caratertentu dapat diperkecil sehingga hasil yang
diperoleh tidak terlalumenyimpang dari nilai sebenarnya . (Gandjar, Rohman, 2010).
Cuplikan hayati yang sering diambil dalam uji farmakologi,farmakokinetika, dan
toksikologi, meliputi darah, urin dan berbagai organtubuh seperti lambung, usus, hati, limfa,
pankreas, ginjal, usus, uterus,ovarium, testis, jantung, paru, tiroid, dan otak . (Nurrochmad,
dkk, 2011).
Cuplikan hayati yang paling sering dipergunakan di dalam penelitian farmakokinetika
adalah darah atau urin. Jika mungkin, penetapan kadar obat tak berubah pada cuplikan
darahlah yang menjadi pilihan pertama. Pertama, karena darah merupakan tempat yang
palingcepat dicapai obat dan paling logis bagi penetapan kadar obat didalam badan. Paling
logis karena darahlah yang mengambil obat dari tempatabsorpsi, mendistribusikan ke
jaringan sasaran, serta menghantarkan keorgan eliminasi. Kedua, bagi kebanyakan obat,
bentuk obat tak berubahmerupakan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologik.
Karenanya, penetapan kadar pada cuplikan darah akan memberikan suatu indikasilangsung
berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi. Jika tidak ada metode penetapan kadar obat dalam
darah yang tersedia, atau jika level darah pada pemberian dosis normal, sangat rendah untuk
dapat

ditetapkan

dengantepat,

maka

penetapan

kadar

obat

pada

cuplikan

urin

merupakanalternatifnya. Sebenarnya penggunaan cuplikan urin dapat lebih baik dari pada
darah, terutama jika obat diekskresikan kedalam urin secarasempurna dalam bentuk tak
berubah. Karena selain data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di dalam
badan, juga karena variabilitas clearance renal dapat diabaikan. Keterbatasan penggunaan
cuplikan

urindi

antaranya

kemungkinanterjadinya

karena

dekomposisi

sulitnya
obat

pengosongan
selama

kandung
penyimpanan,

kencing,
dan

kemungkinanterhidrolisnya konyugat metabolit yang tidak stabil di dalam urin,


sehinggadapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk tak berubah yang dieksresikan
pada waktu tak terhingga. Akibatnya dapat terjadi kesalahan penafsiran terhadap harga
ketersediaan hayati obat yang diteliti (Donatus,2000).
3

Tujuan
Memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati.

B Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain; Labu takar 250 ml, pipet
volumetrik, pipet ukur, tabung reaksi/flakon, spektrofotometer dan kuvet, skaple/ silet, alat
pemusing/ sentrifuge, vortex, stopwacth.
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain; Asam trikloasetat (TCR 20%),
Natrium nitrit 0,1%, Amonium Sulfat 0,5%, N(1-Naftil) etiledimin 0,1%, sulfametoksazol,
Antiokogulan, Darah (tikus).

C Prosedur Kerja
a Prosedur penetapan Kadar bratton-marshall
1 Pembuatan Larutan stok Sulfametoksasol
-

Di Timbang secukupnya
Dilarutkan dalam NaOH 1 N
Diencerkan dengan aquadest ad 100 mL
Hingga diperoleh kadar sulfametoksasol: 25, 50, 100, 200 dan 400

Sulfametoksasol

g/mL

Hasil

Pembuatan kurva baku internal


Darah tikus 250 L

Diberi koagulan
Ditambah 250 L larutan stok sulfametoksasol sehingga kadarnya 0,

25, 50,100, 200 dan 400 g/mL darah


Di homogenkan
Ditambah 2,0 mL TCA 5% dengan vortexing.

Pemrosesan sampel darah intivo


Hasil

Darah 250 L
anti
- mengandung
Ditambah 250 L
aquadest
-koagulan
Dicampur homogen

Hasil

Ditambah 2,0 mL TCA 5% dengan vortexing

Dicampuran pada butir 2 dan 3 dipusingkan (5 menit, 2500rpm)

Diambil bening (1,50 mL) dan diencerkan dengan aquadest 2 mL.

Ditambahkan larutan NaNO, (0,1 mL, 0,1%)

Didiamkan 3 menit

Ditambah larutan amonium sulfamat (0,2 mL; 0,5%)

Didiamkan 3 menit

Ditambahkan larutan amonium sulfamat (0,2 mL; 0,5%)

Didiamkan 2 menit.

Ditambahkan larutan N (1- naftil) entilendiamin (0,2 mL; 0,1)

Dicampurkan dan didiamkan 5 menit di tempat gelap

Dipindahkan larutan ke dalam kuvet

Dibaca intensitas warna pada spektrofotometer 545nm terhadap


blanko darah sebagai kontrol yang telah diproses dengan cara
yang sama.

Hasil

Mencari waktu larutan sulfametoksasol dengan memberikan resapan tetap.


Larutan sulfametoksasol kadar 100 dan
400

Diukur resapannya pada gelombang 545 nm tiap 5 menit seama


minimal 1 jam.
Dibuat kurva resapan lawan waktu pada kertas grafik numerik
Ditetapkan resapan tetap.

Hasil

Menetapkan panjang gelombang larutan sulfametoksasol dengan resapan maksimum.


Intensitas warna larutan obat (100 dan 400 g/mL) diukur resapannya dari 500 s/d
580 nm.

Membuat kurva baku sulfametoksasol


Larutan sulfametoksasol 25 s/

Hasil

D Hasil Percobaan

Diukur resapannya dengan panjang maksimum.


Dibuatkan kurva antara resapan lawan kadar masing-masing
Dibuat persamaan kwadrat terkecil Y= ax + b

Klpk

Kadar
(mcg/ml)

absorbansi

200
400
600
800

0,218
0,273
0,242
0,205

Kadar
terukur
(mcg/ml)
780
935
847
743

390
233
141
92

Kesalahan
sistematik
(%)
-290
-133
-41
8

1000
200
400
600

0,122
0,154
0,105
0,065

509
600
461,9
349,3

51
300
115
58,2

49
-200
-15
41,8

800
1000
200
400

0,098
0,053
-0,051
0,029

442,2
315,5
22,5
233,8

55,2
31,5
11,25
58,45

44,8
68,5
88,75
41,55

600
800
1000
200

-0,06
-0,064
-0,087
0,125

149,3
-14,08
-78,87
518,3

24,88
-1,76
-7,887
259,15

75,12
101,76
107,887
-159,15

400
600
800
1000

0,397
0,358
0,161
0,084

1284,5
1174,6
619,7
402,8

321,125
195,77
77,46
40,28

-221,125
-95,77
22,54
59,72

%
recovery

Standar deviasi dan


kesalahan acak
200 mcg/ml
SD = 324,162
Rata-rata = 480,2
Kesalahan acak = 67,498
%
400 mcg/ml
SD = 471,727
Rata-rata = 728,8
Kesalahan acak = 64,726
%
600 mcg/ml
SD =466,74
Rata-rata = 630,05
Kesalahan acak = 74,07
%
800 mcg/ml
SD = 388,691
Rata-rata =348,205
Kesalahan acak =
111,63%
1000 mcg/ml
SD = 283,3
Rata-rata = 216,10
Kesalahan acak = 131,33
%

E Pembahasan
Pengambilan darah pada tikus dapat dilakukan pada lokasi tertentu dari tubuh, yaitu :
a. Vena lateral dari ekor
b. Bagian ventral arteri ekor
c. Sinus orbitalis mata
d. Vena saphena (kaki)
e. Anterior vena cava
f. Langsung dari jantung.

Pengambilan darah pada lokasi sinus orbitalis mata dilakukan dengan cara sebagai
berikut. Pertama, pegang tikus sesuai cara pengambilan darah yang benar. Kemudian ambil
pipa kapiler dan siapkan tabung penampung darah berheparin atau non heparin, tusukkan
kapiler perlahan-lahan pada vena optalmikus yang terdapat di sudut mata. Putar kapiler
perlahan lahan sampai darah keluar dan tampung darah yang keluar pada tabung. Setelah
volume darah dianggap cukup, cabut pipa kapiler dan bersihkan sisa darah yang terdapat di
mata dengan kapas steril.
Sulfametoxazol merupakan suatu derivat dari sulfisoxazol yang memiliki daya absorpsi
dan ekskresi yang lebih lambat. Sulfametoxazol mempunyai waktu paruh selama 8,6 jam.
Dapat diabsorpsi dengan hampir sempurna, yaitu sebesar 95%. Konsentrasi maksimal dalam
plasma akan tercapai 4 jam setelah pemberian. Pada waktu 24 jam setalah pemberian, 2550% berada dalam dan setelah 78 jam, 85% akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk
utuh/aktif. Sulfametoxazol bersifat tidak larut dalam air, tetapi dapat larut dalam NaOH encer.
Berdasarkan sifat kelarutannya, maka larutan obat ini dibuat dengan cara melarutkan terlebih
dahulu sulfametoxazol dalam NaOH dan kemudian diencerkan dengan menggunakan
aquadest (Mutschler, 1999).
Kadar sulfametoksazol pada cairan biologis tikus diuji menggunakan metode BrattonMarshall. R e a k s i d i a z o t a s i B r a t t o n - M a r s h l l t e l a h d i g u n a k a n s e c a r a u m u m
u n t u k penetapan kadar senyawa senyawa yang mengandung gugus amina
aromatis seperti sulfadiazin, metode Bratton-Marshall sampai saat ini ddan paling baik
untuk menentukan senyawa turunan sulfonamid seperti sulfametoksazol. Prinsipnya
m e m b e n t u k r e a k s kopling yang kemudian diamati pada panjang gelombang
maksimum. Karena pada panjang gelombang maksimum ini kepekaandan ketelitian
tinggi (underwood, 1980).
Tahapan reaksi kimia yang terjadi pada metode Bratton Marshall :
1. Pembentukan senyawa diazo

2. Menghilangkan kelebihan NaNO

3.

Pembentukan zat warna azo

(Siswadono, 2000).

Reaksi tersebut berlangsung pada suasana asam, oleh karena itu pada percobaan
ditambah TCA. Selain untuk merubah larutan menjadi asam TCA juga berfungsi
mengendapkan protein. Setelah pemberian TCA, kemudian dilakukan vortex untuk menghomogenkan campuran dan disentrifugasi untuk menyempurnakan pengendapan. Endapan
akan terpisah pada bagian bawah dan pada supernatan terdapat cairan bening yaitu plasma
darah. Kemudian supernatannya diambil tanpa endapannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengambil obat yang bebas dari protein plasma. Setelah pengambilan supernatan.
kemudian supernatan ditambah NaNO2 0,1% untuk reaksi diazotasi, yaitu pembentukan
garam diazonium yang sangat reaktif. Setelah itu lalu ditambahkan N-1-naftil etilen diamin
(NED) sehingga terbentuk senyawa kopling yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi
yang lebih panjang sehingga bisa dibaca serapannya pada : 550nm. Agar pembentukan
warna lebih sempurna dibiarkan di tempat gelap karena dengan adanya cahaya dapat

memutus ikatan konjugasinya sehingga ikatannya menjadi lebih pendek dan tidak dapat
dideteksi dengan UV-Vis (Imuno Argo, 1989).
Reaksi kopling ini ditandai dengan terbentuknya larutan yang berwana ungu (lembayung).
Mekanisme

yang

terjadi

(Siswandono, 2000).

F Kesimpulan

G Daftar Pustaka
Donatus, Drs., Apt. 1989. Analisis Farmakokinetika, Bagian I.Yogyakarta: Fakultas Farmasi
UGM.
Gandjar, G.I dan Rohman, A. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:Pustaka Belajar
Imuno Argo, D., 1989. Analisis Farmakokinetika, Bagian I. Yogyakarta: UGM press.
Mutschler, Ernst., 1999. Dinamika Obat, edisi ke lima. Bandung: Penerbit ITB.
Nurrochmad, A., Sari, I.P., Murwanti, R., Sardjiman, Candraningrum, T., Afritasari, D.,
Martina, D., dan Siahaan, I.W. 2012. Hepatoprotective Effect of Gamavuton-0 Against
D-Galactosamine/Lipopolysaccharide- Induced Fulminant Hepatic Failure. Majalah
Farmasi Indonesia. Vol 23. No.1 : hal. 18-26.
Siswandono, Bambang Sukarjo. 2000. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University
Press.
Smith, R.V. and Stewart, J.T., 1981, Textbook of Biopharmaceutic Analysis, a description of
methods for the determination of drugs in biologic fluids, Lea Febiger, Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai