Anda di halaman 1dari 12

Peritonitis et Causa Perforasi Typhoid

Jessy Maria Joltuwu


102013348
F 10
Joltuwujessy@gmail.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl Arjuna Utara no 6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Pendahuluan
Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi
rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal
maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Berdasarkan sumber dan
terjadinya kontaminasi mikrobial, peritonitis diklasifikasikan menjadi: primer, sekunder, dan
tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi monomikrobial. Sumber infeksi umumnya
ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen. Ditemukan pada penderita sirosis hepatis
yang disertai asites, sindrom nefrotik, metastasis keganasan, dan pasien dengan peritoneal
dialisis. Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari intraabdomen yang
umumnya berasal dari perforasi organ berongga Peritonitis sekunder merupakan jenis
peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi
akibat peritonitis sekunder yang telah dilakukan interfensi pembedahan ataupun
medikamentosa. Kejadian peritonitis tersier kurang dari 1% kasus bedah.
Diketahui seorang laki laki berusia 20 tahun dibawa ke UGD RS dengan keluhan
nyeri perut hebat pada seluruh perutnya sejak 6 jam yang lalu. Orang tua pasien mengatakan,
sejak 10 hari yang lalu, pasien demam yang naik turun terutama pada malam hari, disertai
mual, konstipasi, dan anoreksia. Sejak 3 hari yang lalu, keadaan pasien semakin melemah dan
hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pada pemeriksaan fisik, keasaan umum lemah, tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 95x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 38,5c. Pada
pemeriksaan fisik abdomen, tampak distensi abdomen.
Anamnesis

Identitas Pasien bertujuan: mengetahui dan memastikan bahwa yang diperiksa benarbenar pasien yang dimaksud dan tidak keliru dengan pasien lain. Identitas terdiri dari
nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama dan suku bangsa.

1
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Riwayat Penyakit
- Keluhan utama, keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat.
Keluhan utama tidak selalu merupakan keluhan yang pertama disampaikan oleh
-

pasien. Keluhan utama tidak harus sejalan dengan diagnosis utama.


Riwayat penyakit sekarang, menanyakan keluhan adanya nyeri, kaku atau
bengkak, jika ada salah satu ataupun ketiga keluhan tersebut, kemudian
ditanyakan dimana lokasi terasa nyeri, kaku atau bengkak, kemudian onset yaitu
dari kapan atau sejak kapan mulai terasa nyeri, kaku atau bengkak. Lalu durasi,
berapa lama keluhan berlangsung. Yang terakhir adalah adakah factor yang
memperberat seperti terasa nyeri atau kaku, ketika pagi hari, atau melakukan
aktivitas sehari-hari.

Riwayat perjalanan penyakit pada dugaan penyakit keturunan ( misalnya: asma)


ditanyakan adakah saudara sedarah ada yang mempunyai stigmata alergi.

Pemeriksaan Fisik
Bila pasien dating dengan nyeri abdomen, maka anamnesis adalah suatu basis data
pembahasan kemungkinan diagnostic, tetapi keputusan tentang apakah dioperasi atau tidak,
dibuat atas dasar pemeriksaan fisik yang harus dilakukan dalama cara tertib dan sistematik.
Enam gambaran utama pemeriksaan fisik mencakup (1) inspeksi, (2) auskultasi, (3) palpasi,
(4) perkusi.
Inspeksi
Penampilan umum pasien bisa memberikan petunjuk tentang sifat penyakit.
Perubahan dalam keadaan mental, warna dan turgor kulit serta mata yang cekung bisa
manifestasi hipovolemia parah dan kolaps kardiovaskular mengancam. Pasien nyeri visera
terisolasi seperti yang ditemukan dalam obstruksi usus, bila sering mengubah posisi, tetapi
jika nyeri terlokalisasi atau ada iritasii peritoneum generalisata, maka sering pasien
menghindari gerakan. Posisi anatomi pasien sering diranjang patut diperhatikan. Pasisen
peritonitis yang luas sering membawa lututnya ke atas untuk merelaksasikan tegangan
abdomen. Pasien keadaan peradangan yang berkontak dengan muskulus psoas bisa
memfleksikan paha yang berhubungan.

2
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Auskultasi
Auskulatsi dilakukan sebelum palpasi karena bisa mengubah arah bising usus. Teknik
auskultasi memerlukan penempatan lonceng stetoskop dengan lambat diatas dinding
abdomen anterior yang dimulai denga kuadran kiri bawah, kemudian dalam empat kuadran.
Masa auskultasi 2 samapi 3 menit diperlukan unutk menentukan bahwa tidak ada bising usu
pasien. Waktu ini juga kemungkinan observasi wajah dan sikap pasien secara tak terputus.
Bila bising usus bernada tinggi yang timbul dalam dorongan yang bersamaan nyeri
menunjukkan obstruski usus halus.
Palpasi
Palpasi seharusnya dimulai sejauh mungkin dari pusat nyeri. Kemudian perlu
menentukan adanya defense muscular, atau spasme. Tempatkan tangan dengan lembut diatas
muskulair rectus dan tekan sedikit serta minta pasien menarik nafas dalam. Jika spasme
volunter, maka ahli bedah akan merasakan musculus rectus yang mendasari relaksasi. Tetapi
jika ada spasme sejati, maka ahli bedah akan merasakan otot kaku tegang di otot-otot
pernapasan.

Perkusi
Perkusi abdomen harus selalu dilakukan dengan sangat lembut. Ia bermanfaat dalam
menilai jumlah distensi yang menyertai obstruksi usus dan dapat digunakan untuk
menyingkirkan adanya vesica urinarius terdistensi sebagai penyebab nyeri abdomen akuta.
Mungkin yang terpenting, perkusi bermanfaat dalam menimbulkan rasa nyeri tekan angulus
costovertebralis menyertai infeksi tractus urinarius.
Manifestasi klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. 1 Bila telah terjadi peritonitis
bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita
tampak letargik dan syok.1 Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
3
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.1,7
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis
organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum, gambaran
klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini
tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi
menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mulamula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus
infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,
vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan
abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah
atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan
peritonitis bakterial. 1,3

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 3
2. Barium Meal
Pasien dipuasakan sepanajng malam sebelum pemeriksaan. Kontras ganda didapatkan
dengan cara memasukkan gas kedalam lambung dengan menggunakan bubuk
effervescen. Pemberian glukagon atau buscopan secara intravena akan menekan
motilitas dan memperbaiki kualitas film. Pemeriksaan dilakukan dibaeah panduan
fluroskopi, kemudian beberapa film diambil pada berbagai proyeksi lambung yang
terisi gas dan barium. Sambbungan gastroesofageal diobservasi untuk mengetahui
apakah terdapat refluks.

3. Gambaran Radiologi

4
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan


dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto
polos abdomen 3 posisi, yaitu :3
a. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior
( AP ).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus)
obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara
lain:3
a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran.
Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi,
penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance),
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air
fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada
ileus letak tinggi, sedang jika panjang panjang kemungkinan gangguan di kolon.
Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid
level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid
level dan step ladder appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu
adanya distensi usus partial, air fluid level, dan herring bone appearance.5
Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
a. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang kadang
susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.
b. Air fluid level
c. Herring bone appearance.
Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level
ada yang pendek pendek (usus halus) dan panjang panjang (kolon) karena diameter lumen
kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi
ileus paralitik.2 Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto
polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi). 2

5
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos
abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus
buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :3
a. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada cavum abdomen.
b. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit
(semilunair shadow).
c. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi.
Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding
abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma
atau intra peritoneal.2,5
Diagnosis Kerja
Peritonitis et causa perforasi typhoid, terjadi karena salmonella thypi yang menyerang
jaringan atau organ limfoid, seperti limpa yang membesar. Juga jaringan limfoid di ileum,
yaitu plak peyeri terserang dan hyperplasi (membesar). Jaringan rapuh dan mudah rusak oleh
gesekkan makanan padat yg melaluinya. Inilah mengapa pasien tiphoid harus diberi makan
lunak, agar tidak merusak lapisan plak peyeri. Plak peyeri yang membesar akan semakin
menipis dengan gesekkan, sehingga pembuluh darah setempat ikut rusak dan timbul
pendarahan, yang kadang-kadang cukup hebat. Bila ini berlangsung terus, ada kemungkinan
dinding usus tidak tahan dan pecah (perforasi), diikuti peritonitis yang dapat berakhir fatal.
Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus
abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena
trauma abdomen.2
a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok
Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b. Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk,
tepung). 2,3,9
6
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Epidemologi
Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi
peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong tinggi
di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului dengan asites, dan
lebih dari setengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites. Sindrom dari
peritonitis bakterial spontan umumnya terjadi pada peritonitis akut pada pasien dengan
dasar sirosis. Sirosis mempengaruhi 3,6 dari 1000 orang dewasa di Amerika Serikat dan
bertanggungjawab terhadap 26000 kematian per tahun. Perdarahan variseal akut dan
peritonitis bakterial spontan merupakan beberapa komplikasi dari sirosis yang
mengancam jiwa. Kondisi yang berkaitan yang menyebabkan abnormalitas yang
signifikan mencakup ascites dan enselofati hepatik. Sekitar 50% pasien dengan sirosis
yang menimbulkan ascites meninggal dalam 2 tahun setelah diagnosis.4

Patofisiologi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Perforasi pada saluran pencernaan menunjukkan adanya lubang yang
terjadi pada dinding saluran pencernaan. Perforasi usus halus dilaporkan terjadi pada 0,5-3%
kasus. Keluarnya isi saluran pencernaan ke dalam rongga perut menyebabkan iritasi dan
peradangan pada rongga abdomen yang disebut peritonitis. Peritonitis ini sering menjadi
fatal. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah, dan peningkatan
frekuensi nadi. Perforasi usus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah
akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, defans muscular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda
peritonitis yang lain.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pitapita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.1 Peradangan menimbulkan
akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak
dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
7
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena


tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.5
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.10
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi.5 Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi
atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkunglengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.1 Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus
sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat
bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat
terjadi peritonitis.7
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.4

8
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 2,3,5,9


a. Peritonitis bakterial primer merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam
abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bacterial primer dibagi menjadi dua, yaitu;
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan
asites.
b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa). Peritonitis yang mengikuti suatu
infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada
umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii
anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob
dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga
dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
1. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
2. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
3. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
c. Peritonitis tersier, misalnya:
1. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
2. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis
yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung,
getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
1. Aseptik/steril peritonitis
2. Granulomatous peritonitis
3. Hiperlipidemik peritonitis
4. Talkum peritonitis

9
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Diagnosis Banding
Peritonitis primer
Peritonitis sekunder
Peritonitis tersier
Merupakan peritonitis akibat Peritonitis yang mengikuti Peritonitis tersier

terjadi

kontaminasi

respon

bakterial suatu

infeksi

akut

atau akibat

secara hematogen pada cavum perforasi


peritoneum

dan

kegagalan

inflamasi tubuh atau

tidak tractusi gastrointestinal

atau superinfeksi.

ditemukan fokus infeksi dalam tractus urinarius.


abdomen.
Penyebabnya

bersifat Bakterii anaerob, khususnya Peritonitis tersier dapat terjadi

monomikrobial, biasanya
Coli,

Sreptococus

Pneumococus.

E. spesies

Bacteroides, akibat peritonitis

sekunder

atau dapat memperbesar pengaruh yang telah


bakteri

aerob

dalam Di

menimbulkan infeksi.

lakukan

pembedahan

interfensi
ataupun

medikamentosa.

Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.1,8
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah
hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah.
Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang
selama operasi.5,10
Pembuangan penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang
dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh
abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas
tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi
tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi,
atau mereseksi viskus yang perforasi.
10
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak
dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain. 2,3
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat
masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi
yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak
dapat direseksi. 2,3
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 9
a. Komplikasi dini ; Septikemia dan syok septic, syok hipovolemik, sepsis intra
abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system, abses
residual intraperitoneal, portal pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut: Adhesi, Obstruksi intestinal rekuren
Prognosis
Mortalitas tetap tinggi antara 10 % 40 %,prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila
peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam.
Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera
dalam rongga perut. Gejala Klinis nyeri ini tiba-tiba, hebat menyebar keseluruh bagian
abdomen. Tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik),
demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum,
dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Prognosis Buruk bila tidak ditangani
dengan baik,.
Daftar Pustaka
11
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita


Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
2. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 2009, Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
3. Departement of Medicine Universityof Pittsburg School of Medicine. New insight on
preventing and managing peritonitis. Pediatr Nephrol 2004;19:125-127.
4. Kumpulan catatan kuliah, 2007, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta.
5. Sulton, David, 2005, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa
Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.
6. Balley and Loves, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 2008, England
7. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 2007, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah;
221-239, EGC, Jakarta.
8. Ukwenya AY, Ahmed A, Garba ES. Progress in management of typoid perforasi.
Artikel Annals of African Medicine vol 10 no 4, 2011.
9. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,2007, Toronto.
10. Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,2009

12
Universitas Kristen Krida Wacana-Fakultas Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai