Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat
TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (1550 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.1
Diperkirakan tedapat 8.000.000 penduduk dunia terserang tuberkulosis dengan kehamilan
3.000.000 orang (1993). Seiring dengan munculnya epidemi HIV / AIDS di dunia, jumlah
penderita tuberkulosis cenderung meningkat pula sehingga WHO mencanangkan kedaruratan
Global pada tahun 1993 karena diperkirakan seperempat penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Menurut World
Health Organization (WHO), insidens TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta dan 3,6 juta di
antaranya menginfeksi wanita. TB merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pada
wanita, yaitu sekitar 700.000 kematian setiap tahun, dan sepertiga dari kematian tersebut terjadi
pada wanita usia subur. Suatu penelitian lain yang dilakukan di United Kingdom (UK) pada
tahun 2008, insidens TB pada kehamilan adalah 4,2 per 100.000 kehamilan. TB pada kehamilan
dapat bermanifestasi sebagai TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. Pada 2 penelitian yang
dilakukan di UK, 53% dan 77% dari wanita hamil dilaporkan mengalami TB ekstrapulmoner.2

Indonesia belum mempunyai data prevalensi TB pada perempuan hamil. Di Indonesia,


kasus baru tuberkulosis hampir separuhnya adalah wanita, dan menyerang sebagian besar wanita
pada usia produktif. Kira-kira 1-3 % dari semua wanita hamil menderita tuberkulosis
Di poliklinik tuberkulosis Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun
2006 dan 2007 terdapat 0,2% perempuan hamil yang mengidap TB. Angka tersebut sebanding
dengan prevalensi TB pada masyarakat umum. Untuk itu diasumsikan bahwa penyebaran TB
pada perempuan hamil minimal tidak berbeda dengan sebaran di kalangan masyarakat. Oleh
karena itu usaha penapisan seharusnya dapat dilakukan pada populasi perempuan hamil
mengingat risiko yang lebih tinggi yang akan didapat oleh ibu dan janin.
Periode prenatal dengan jadwal pemeriksaan berkala yang telah ditetapkan oleh WHO
memberi kesempatan untuk membantu usaha ini dengan melakukan pemeriksaan dan
pengobatan, terutama pada wanita hamil yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi penyakit ini.
Mortalitas perinatal pada perempuan hamil yang menderita TB enam kali lebih tinggi jika
dibandingkan kontrol dengan insidens prematuritas dan berat badan lahir rendah meningkat dua
kali lipat. Diagnosis dan pengobatan yang terlambat berhubungan dengan meningkatnya
morbiditas ibu empat kali lebih tinggi.
Kejadian TB kongenital selama persalinan sangat jarang. Gejala klinis TB pada neonatus
sulit dibedakan dengan sepsis bakterial umumnya dan hampir semua kasus meninggal karena
keterlambatan diagnosis. Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir
maupun dalam beberapa hari. Gejala yang paling sering ditemukan adalah distres pernapasan,
hepatosplenomegali, dan demam. Tata laksana TB pada neonatus mencakup beberapa aspek
yaitu ibu, bayi yang dilahirkan dan lingkungan keluarga. Untuk diagnosis dan tata laksana
diperlukan pemeriksaan klinis dan penunjang berupa pemeriksaan patologi dari plasenta darah
v.umbilikalis, foto toraks, bilas lambung serta evaluasi uji tuberculin secara berkala. Deteksi dini
TB pada neonatus dan penanganan yang baik pada ibu dengan TB aktif akan memperkecil
kemungkinan terjadinya TB perinatal.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyebab TB
Penyebab dari penyakit tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, yang
mempunyai karakteristik mikrobiologi yaitu bersifat anaerobic, non-spore-forming, nonmotile
bacillus, merupakan salah satu dari lima anggota Mycobacterium tuberculosis complex, di mana
yang lain adalah: M. bovis, M. ulcerans, M. africanum, dan M. microti, akan tetapi M.
tuberculosis adalah yang bersifat pathogen pada manusia. Golongan mikobakteri lain yang juga
dapat menginfeksi manusia adalah Mycobacterium leprae, M. avium, M. Intracellulare, and M.
scrofulaceum.3,5

2.2 Jenis TB
2.2.1 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu pada TB Paru:
1. TB paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran TB.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
a.
b.
c.
d.

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative


Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.2.2 Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


Berdasarkan tingkat keparahan penyakit, TB dibagi menjadi :
1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas, dan atau keadaan umum pasien
buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: TB ekstra
paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis,
milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
2.2.3 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu:
1) Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali depositif (apusan atau
kultur).
3) Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 buBTA positif.
4) Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positpositif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan.
5) Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register
TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Lain-lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga
mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat
jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik.4,5

2.3 Gejala dan Tanda TB


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1.

Gejala respiratorik
o batuk > 3 minggu
o batuk darah
o sesak napas
o nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Gejala sistemik
o

Demam

gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.7
5

2.4 Perjalanan Penyakit TB


Berbagai opini dari praktisi medis mengenai tuberkulosis pada kehamilan secara singkat
direfleksikan sebagai suatu kondisi kesehatan masyarakat yang signifikan. Hal tersebut
digambarkan dengan pisau bermata dua, sisi pertama adalah efek tuberkulosis pada kehamilan
dan pola perkembangan neonatus, sisi lainnya merupakan efek kehamilan terhadap
perkembangan tuberkulosis. Tuberkulosis tidak hanya menyumbang proporsi yang signifikan
dalam beban penyakit global, juga merupakan kontributor yang signifikan untuk kematian ibu,
merupakan salah satu penyakit dari tiga penyebab utama kematian di kalangan wanita usia 15-45
tahun. Angka insiden TB pada kehamilan tidak tersedia di banyak negara karena banyak faktor
perancu. Namun demikian, diperkirakan bahwa kejadian TB pada wanita hamil akan sama
tingginya pada populasi umum, dengan kejadian mungkin lebih tinggi di negara berkembang.8
2.4.1 Efek Kehamilan pada Tuberkulosis
Peneliti dari zaman Hippocrates telah menyatakan kekhawatiran tentang efek yang tak
diinginkan yang mungkin ada pada kehamilan dengan TB paru. Terjadinya TB diyakini sebagai
akibat dari peningkatan tekanan intraabdomen terkait dengan kehamilan. Keyakinan ini dipegang
secara luas sampai awal abad keempat belas. Peneliti seperti Hedvall dan Schaefer menunjukkan
tidak adanya keuntungan maupun efek samping dari kehamilan terhadap progresi TB. Namun,
kehamilan yang berurutan dapat memberikan efek negatif yaitu menimbulkan reaktivasi
tuberkulosis laten.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa diagnosis tuberkulosis pada kehamilan
mungkin lebih sulit dilakukan, karena gejala awalnya mungkin dianggap berasal dari
kehamilan.Penurunan berat badan yang berhubungan dengan penyakit juga mungkin tertutupi
oleh kenaikan berat badan normal pada kehamilan.
Tidak selalu mudah untuk mengenal ibu hamil dengan tuberkulosis paru, apalagi bila
penderita tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas seperti badan kurus, batuk menahun, atau
hemoptoe. Tuberkulosis aktif tidak membaik atau memburuk dengan adanya kehamilan. Tetapi
kehamilan bisa meningkatkan resiko tuberkulosis inaktif menjadi terutama periode post partum.
Sebelum tahun 1940, kehamilan dianggap sesuatu yang mengganggu penyembuhan tuberkulosis
6

paru. Wanita dengan tuberkulosis paru dianjurkan untuk tidak hamil atau, jika setelah terjadi
konsepsi maka dilakukan aborsi. Sejak saat itu, banyak dokumentasi yang menyatakan bahwa
riwayat tuberkulosis tidak berubah dengan adanya kehamilan pada penderita yang yang diobati.
Sekarang, aborsi therapeutik jarang dilakukan, kalaupun itu dilakukan atas indikasi komplikasi
kehamilan karena tuberkulosis paru. TB akan meningkat secara progresif antara 15-30 % pada
penderita yang tidak mengobati penyakitnya selama 2,5 tahun pertama, apakah mereka hamil
atau tidak hamil. Demikian halnya dengan reaktifasi tuberkulosis paru yang inaktif juga tidak
mengalami peningkatan selama kehamilan. Angka reaktifasi tuberkulosis paru kira-kira 5-10%
tidak ada perbedaan antara mereka yang hamil maupun tidak hamil. 7

2.4.2 Efek Tuberkulosis terhadap Kehamilan


Efek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tingkat
keparahan penyakit, umur kehamilan saat didiagnosis TB, adanya penyebaran ekstrapulmoner,
koinfeksi HIV dan pengobatan yang diberikan. Prognosis paling buruk terjadi pada wanita
dengan diagnosis penyakit yang sudah lanjut pada masa nifas, begitu juga pada wanita dengan
koinfeksi HIV. Kegagalan pengobatan juga memperburuk prognosis.
Namun, data mengenai efek TB terhadap maternal dan luaran neonatal masih belum jelas.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa dengan pengobatan yang tepat dalam jangka waktu yang
benar, infeksi TB tidak memberikan efek negatif terhadap kehamilan. Dari suatu penelitian
prospektif di India, tidak ada perbedaan pada komplikasi kehamilan pada wanita yang
didiagnosis TB dan diterapi dengan wanita hamil yang tidak terkena TB. Namun, terdapat suatu
pengecualian pada wanita hamil yang terlambat memulai terapi TB, terjadi peningkatan
mortalitas neonatus dan tingginya angka prematur. Dalam penelitian, diagnosis dan terapi TB
dimulai pada umur gestasi antara 13 dan 24 minggu (67%). Hasil dari terapi seperti konversi
sputum, stabilisasi penyakit dan angkat terjadinya relaps hampir sama dengan penderita TB yang
tidak hamil, Namun dalam penelitian ini, ibu hamil yang terinfeksi TB, tidak terinfeksi HIV.
Pada wanita hamil dengan HIV, efek dari TB lebih berkaitan dengan infeksi HIV daripada
keadaan kehamilannya.8
Berlawanan dengan penelitian di atas, sebuah review retrospektif di Taiwan, ibu hamil
yang didiagnosis TB mengalami peningkatan risiko terjadinya kelainan pada kehamilan
dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi TB. Pada ibu hamil dengan TB mempunyai angka
7

persentase berat lahir rendah dan bayi yang lebih kecil daripada usia gestasi yang tinggi, namun
tidak ada perbedaan mengenai kelahiran prematur pada dua kelompok tersebut. Meskipun
demikian, diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.TB masih
menjadi penyebab morbiditas dan mortilitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks
ko-infeksi HIV.
Komplikasi obstetrik lainnya yang dilaporkan adalah abortus spontan, uterus yang kecil,
peningkatan berat badan hamil yang tidak optimal.Lainnya adalah lahir prematur, berat badan
lahir rendah, dan meningkatnya mortalitas neonates, seperti yang sudah disebutkan
diatas.Diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.TB masih menjadi
penyebab morbiditas dan mortalitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi
HIV.Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan meningkatkan morbiditas
sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran prematur meningkat sebanyak sembilan kali lipat.

Pengaruh tuberkulosis aktif pada kehamilan tidak jelas (vallejo and Starke, 1992) kecuali
pada negara berkembang, sesuai dengan luasnya pengalaman yang jarang. Tentunya dengan
adanya obat anti tuberkulosis mengurangi pengaruh buruk dari beratnya penyakit. Jika infeksi
tuberkulosis diobati dengan baik seharusnya tidak berpengaruh terhadap kehamilan begitu juga
sebaiknya kehamilan tidak akan berpengaruh terhadap penyakit tersebut. Pada awal tahun 1957
sampai 1972, Schaefer dkk (1975) melaporkan dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif diobati
lahir bayi yang sehat. Jana dkk (1994) melaporkan tubekulosis paru aktif menyebabkan
komplikasi dari 79 kehamilan di India. Bayi dari wanita yang menderita tuberkulosis mempunyai
berat badan lahir rendah, dua kali lipat meningkatkan persalinan prematur, kecil masa kehamilan,
dan meningkatkan kematian perinatal enam kali lipat. Mungkin ini dianggap berhubungan
dengan terlambatnya diagnosis pengobatan yang tidak lengkap dan teratur, dan luasnya kelainan
pada paru. Tidak ada bukti bahwa tuberkulosis paru meningkatkan angka abortus spontan,
kelainan kongenintal, persalinan dan kelahiran prematur pada penderita yang mendapatkan
pengobatan obat anti tuberkulosis yang adekuat. Bjerkedai dkk mencatat terjadinya kenaikan
toksikemia dan pendarahan pervaginam pada wanita hamil yang menderita tuberkulosis, mereka
juga melaporkan perbandingan angka kejadian abortus pada wanita hamil yang menderita
tuberkulosis dan yang sehat adalah

20,1

/100 pasien dibanding

2,3

/100 pasien. Tetapi, pengaruh utama

tuberkulosis pada kehamilan adalah mencegah terjadinya konsepsi, maka banyak diantara
penderita tuberkulosis yang mengalami infertilitas. Sistem genitalia dapat terjadi fokus primer
dari tuberkulosis paru, biasanya sistem genital yang sering terkena dalah tuba fallopi, dengan
bagian distal yang terkena lebih dahulu. Infeksi dapat menyebar ke bagian proksimal dari tuba
fallopi dan akhirnya uterus juga terkena. Infeksi jarang turun sampai ke serviks atau bagian
bawah dari sistem genitalia. Tidak seperti tuberkulosis paru, infeksi tuberkulosis pada sistem
genital dan gejala tidak tampak, setelah bertahun-tahun baru terlihat kelainan dari tuba fallopi
yang mencolok dan terjadi perlengketan dengan alat dalam rongga panggul. Walaupun beberapa
wanita yang menderita tuberkulosis subur dan terjadi konsepsi tetapi implantasi sering terjadi
pada tuba fallopi daripada di uterus. Diagonis tuberkulosis pelvis dibuat dengan dilatasi dan
kuretase rongga endometrium yang dilakukan segera pada periode premenstruasi. Jaringan
tersebut dikirim dan dilakukan pemeriksaan histologi.7
2.4.3 Tuberkulosis pada Neonatus
9

Transmisi TB ibu ke anak dapat terjadi di dalam uterus dengan penyebaran hematogen
melalui vena umbilikus dan aspirasi atau menelan cairan amnion yang terinfeksi dan juga selama
proses kelahiran melalui kontak dengan cairan amnion yang terinfeksi atau sekresi genital.
Setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan selama proses persalinan terjadi infeksi pada bayi
yang disebabkan karena teraspirasi sekret vagina yang terinfeksi kuman tuberkulosis. Infeksi
post-partum dapat terjadi melalui penyebaran di udara atau melalui cairan susu yang terinfeksi
dari lesi tuberkulosis aktif di payudara. Walaupun transmisi melalui ASI dapat diabaikan, bayi
dari ibu dengan TB aktif masih dapat terinfeksi melalui penyebaran lewat udara. Jika ibu baru
saja didiagnosa, belum di terapi, dan TB aktif, maka ibu harus dipisahkan dari anaknya untuk
mencegah penularan. Diagnosis TB pada neonatus bukan hal yang mudah, kecurigaan klinis
terhadap gejala non spesifik dan sulit dibedakan dengan gejalan kongenital lainnya merupakan
hal penting. Pada TB kongenital, gejala terlihat pada umur 2 dan 3 minggu. Diagnosis definitif
yaitu dengan kultur M.tuberkulosis dari jaringan atau cairan. Gambaran radiologi dada yang
abnormal sering ditemukan, setengahnya memberikan gambaran pola miliar.Jika terdiagnosa TB
aktif, harus diberikan terapi penuh. Jika tidak terdiagnosis TB aktif, maka diberikan profilkasis
isoniazid.
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang jarang terjadi
sementara itu risiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis kongenital merupakan hasil
penyebaran hematogen melalui vena umbilkal ke hati janin atau melalui penelanan atau aspirasi
cairan amnion yang terinfeksi. Fokus primer terbentuk di hati dengan adanya keterlibatan nodus
limfe periportal. Basil tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda pada dewasa yang
80% infeksi primer terjadi di paru.
Tuberkulosis kongenital mungkin sulit dibedakan dengan infeksi neonates atau infeksi
kongenital dengan gejalan yang mirip pada umur dua sampai tiga minggu. Gejala-gejalanya
adalah hepatosplenomegaly, repiratory distress, demam, dan limfadenopati.Abnormalitas
radiografi dapat terlihat namun secara umum terlihat belakangan. Diagnosis tuberkulosis
neonates ditegakkan dengan adanya kompleks primer hepar/ granuloma kaseseosa pada biopsi
hepar perkutaneus saat kelahiran, plasenta yang terinfeksi, atau tuberkulosis traktus genital
maternal, dan lesi saat minggu pertama kehidupan. Kemungkinan transmisi setelah kelahiran
harus disingkirkan dengan menelaah semua riawayat kontak termasuk kontak dengan tenaga
medis dan penjenguk.
10

Sebanyak setengah dari neonatus dengan tuberkulosis kongenital meninggal dunia


terlebih lagi pada kasus yang tidak diterapi.3,5

2.5 Patofisiologi TB
Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel in dapat menetap diudara selama 1-2 jam tergantung
ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, dan kelembaban. Dalam suasana lembab
dan gelap kuman dapat bertahan berhati-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini
terhisap oleh orang sehat, maka ini akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakan
partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trakeo-bronkial beserta
gerakan silia dengan sekretnya. Kuman dapat juga masuk melalui luka pada kulit atau mukosa
tapi itu sangat jarang. Bila kuman menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia akan terbawa keorgan tubuh lainnya, kuman yang bersarang di jaringan paru
akan membentuk sarang primer atau afek primer. Kemudian akan timbul peradangan saluran
getah bening menjadi kompleks primer, yang selanjutnya dapat menjadi : sembuh tanpa cacat,
sembuh dengan sedikit cacat/bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi hilus, berkomplikasi
dan menyebar secara perkominutatum, bronkogen, limfogen, hematogen.7
Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul setelah beberapa tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (post primer). Tuberkulosis post
primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru-paru (bagian apikal
posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke
nodus hiler paru. Sarang ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil, tergantung
jumlah kuman, virulensi kuman, imunitas penderita dapat menjadi : diresorbsi kembali dan
sembuh tanpa cacat, meluas tapi segera menyembuh dengan sebukan fibrosis, sarang dini yang
meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian
tengahnya nekrosis membentuk jaringan keju, bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi
kavitas, kavitas dapat meluas dan menimbulkan sarang baru, atau memadai dan membungkus
11

diri sendiri sehingga terjadi tuberkuloma yang dapat menyembuh atau aktif kembali, atau bisa
juga bersih dan menyembuh yang disebut sebagai open healed cavity.7
2.6 Diagnosis TB pada Kehamilan
Untuk mendiagnosis kondisi tersebut, riwayat paparan terhadap individu dengan batuk
kronis atau berkunjung ke daerah endemik tuberkulosis harus diperoleh. Riwayat gejala, mirip
dengan gejala yang dialami oleh wanita tidak hamil. Perhatian harus ditingkatkan mengingat
gejala pada ibu hamil tidak spesifik, yaitu keringat di malam hari, demam di malam hari, batuk
darah, penurunan berat badan yang progresif, dan batuk kronis selama lebih dari tiga minggu.
Tahap penting dalam membuat diagnosis pada kehamilan yaitu untuk mengidentifikasi faktor
risiko untuk infeksi TB dan gejala-gejala infeksi.
Pemeriksaan rutin terhadap TB selama masa kehamilan bukan merupakan suatu standar
yang dilakukan diberbagai tempat pelayanan, dan hal ini menjadi salah satu faktor keterlambatan
diagnosis dan meningkatkan angka mortalitas maternal. Pada suatu penelitian di Soweto, Afrika
Selatan, pemeriksaan penyaring TB dengan menanyakan beberapa pertanyaan saat melakukan
kunjungan antenatal dirasakan mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, direkomedasikan cara
tersebut dilakukan di daerah dengan prevalensi HIV tinggi, dimana angka infeksi TB pada
wanita hamil juga tinggi dalam keadaan tersebut.
Alat diagnositik yang biasa digunakan adalah pemeriksaan sputum bakteri tahan asam,
kultur sputum, dan spesimen lainnya, dan radiografi dada. Tes tuberkulin mempunyai nilai
diagnosis pada infeksi laten TB, kecuali di daerah dengan prevalensi dan insiden TB yang tinggi.
Pada wanita hamil dengan gejala dan tanda TB, harus dilakukan tes tuberkulin. Tes
tersebut sudah dinyatakan aman untuk dilakukan pada ibu hamil. Namun, masih diperdebatkan
mengenai sensitivitas tuberkulin saat kehamilan.Penelitian awal mengatakan bahwa adanya
penurunan sensitivitas tuberkulin saat kehamilan, sementara itu penelitian terakhir mengatakan
tidak adanya perbedaan antara populasi hamil dan tidak hamil.
Walaupun pada rekomendasi yang lalu tes tuberkulin dilakukan pada semua wanita
hamil, sekarang ini tidak dibutuhkan. Alasan alternatif dilakukan tes tuberkulin adalah untuk
wanita hamil dengan resiko tinggi, dan lebih baik digunakan PPD (Purifled Protein Derivative)
berkekuatan 5 TU (intermediate stength) yakni dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin 5 T.U
intrakutan.
12

Setelah 48-72 jam tuberkulindisuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dan antigen
tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan antigen tuberkulin amat
dipengaruhi oleh antibodi humoral, pada ibu hamil makin besar pengaruh antibodi humoral,
makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Biasanya hampir seluruh penderita tuberkulosis memberikan hasil mantoux yang positif
(99,8%). Sisa dari tes ini dapat positif seumur hidup pada 96-97% pasien.
Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi
Myobacterium lain. Walaupun pemeriksaan ini jarang memberikan hasil positif palsu dan
insidens terjadinya false negatif tidak lebih dari 2 %.7
- Tes Tine
Tes ini menggunakan beberapa jarum yang sudah dicelupkan pada bakteri TB yang sudah
dimurnikan, disebut dengan old tuberculin (OT). Kulit ditusuk dengan jarum tersebut dan reaksi
dianalisa 48-72 jam kemudian. Namun tes ini tidak lagi popular kecuali untuk uji penyaring pada
populasi yang besar.
- Tes Mantoux
Injeksi intradermal derivat protein yang sudah dimurnikan sebanyak 0.1 mL (5 tuberculin
units), dan reaksi kulit dianalisis 48-72 jam kemudian berdasarkan diameter indurasi terbesar
yang terbentuk. Tes ini lebih akurat daripada tes tine. Positif palsu dapat terjadi pada pasien yang
sudah mendapatkan vaksin BCG, yang sudah mendapatkan pengobatan untuk tuberkulosis,
ataupun pasien yang sudah terinfeksi dengan spesies mycobacterium lainnya. Negatif palsu dapat
terjadi karena sistem imun yang menurun dan kesalahan teknis.
Pemeriksaan radiologi dada dengan penutup di bagian perut dapat dilakukan setelah tes
kulit tuberkulin, walaupun pemeriksaan radiografi dada tertunda karena kekhawatiran akan efek
radiasi terhadap janin. Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin, hanya pada tes tuberculin
positif atau mengarah ke TBC dengan tes tuberkulin negatif.

13

Pemeriksaan mikroskopik sputum atau specimen lain untuk bakteri tahan asam masih
menjadi dasar diagnosis untuk TB dalam kehamilan. Tiga contoh sputum harus diperiksa untuk
smear, kultur, dan uji kerentanan obat. Pewarnaan bakteri tahan asam menggunakan ZiehlNeelsen, flouresen, Auramine-Rhodamine, dan teknik Kinyoun. Pemeriksaan dengan mikroskop
floresen light emitting diode (LED) baru-baru ini diperkenalkan untuk meningkatkan kepastian
diagnosis.Menurut laporan WHO mengenai pengendalian TB secara global, pemeriksaan TB
terdeteksi positif sebanyak 68%.Pemeriksaan dengan pewarnaan mungkin tidak kuat untuk
diagnosis, karena hasil yang negatif mungkin dapat luput.Individu dengan basil yang sedikit,
pemeriksaan mikroskopis tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Radiografi dada dan
penilaian suara napas merupakan alat bantu penting untuk membuat diagnosis dari pemeriksaan
mikroskop TB yang negatif. Namun, gambaran radiografi dada dapat normal pada 14% pasien
dengan kultur TB positif. TB ekstrapulmonar juga jarang terjadi pada kehamilan, dan klinisi
harus segera mencurigai apabila terdapat gejala atipikal.
Kultur tradisional dengan menggunakan media Lowenstein-Jensen memakan waktu
sekitar 4-6 minggu. Namun, mungkin dapat berguna untuk kasus yag meragukan dan dalam
terapi tuberkulosis yang diduga resisten. Saat ini terdapat alat diagnostik baru yang didukung
oleh WHO, yaitu kultur dengan media cairan bactec. Media kultur lainnya yang juga digunakan
adalah media Lowenstein, media Petragnani, dan media Trudeau committee. M.tuberkulosis
memproduksi niasin dan katalase sensitive panas dan kurang nya pigmen. Hal ini dapat
membedakannya dari spesies Mycobacterium lainnya. Molecular Line Probe Assay (LPA) dan
polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mengidentifikasi tuberkel basil.
Konfirmasi terhadap infeksi M.tuberkulosis masih sulit dilakukan, dengan teknologi yang
tidak akurat dan ketinggalan jaman.Pengembangan teknologi masih menjadi prioritas utama.
Interferon-c release assays dan the Ouanti-FERON-TB Gold In-Tube assay telah digunakan
untuk diagnosis infeksi laten TB. Pemeriksaan tersebut telah ditingkatkan spesifisitasnya dan
keakuratan diagnosis nya, selain itu juga tidak terpengaruh oleh vaksinasi BCG atau infeksi oleh
mycobacteria non-tuberkulosis. Ouanti-FERON-TB Gold In-Tube assay aman digunakan pada
ibu hamil namun belum divalidasi untuk diginakan pada ibu hamil
Kontrol terhadap infeksi merupakan hal penting dalam kontrol penyebaran TB, dimana
infeksius hanya ketika di paru atau laring, dan tidak menyebar dengan kontak singkat.Anggota

14

keluarga dari ibu hamil yang terinfeksi harus diberikan informasi mengenai cara penyebaran dan
perlu dilakukan tes penyaring.1,5

2.7 Populasi/Kelompok Resiko Tinggi TB


Kelompok risiko tinggi yang direkomendasikan untuk skrining tuberkulosis :
1)

Orang yang terinfeksi dengan HIV

2)

Kontak langsung ataupun tersangka menderita tuberkulosis, tinggal serumah ataupun


dalan ruang tahanan.

3)

Petugas medis

4)

Orang asing yang berasal dari tempat yang tinggi prevalensi tuberkulosisnya.

5)

Kesehatan lingkungan yang buruk, kemiskinan, ras yang mempunyai resiko tinggi,
termasuk kulit hitam, orang spanyol dan orang Amerika.

6)

Alkoholik dan pemakai obat-obatan.

7)

Orang-orang yang tinggal lama di tempat-tempat/fasilitas perawatan, Rumah sakit


jiwa, rumah-rumah perawatan dan fasilitas lainnya.7

2.8 Obat Antituberkulosis selama Kehamilan


Tuberkulosis maternal berhubungan dengan peningkatan risiko abortus spontan,
mortalitas perinatal, kecil untuk usia gestasi dan berat badan lahir rendah. Tuberkulosis
kongenital merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada infeksi tuberkulosis in utero yang
merupakan akibat penyebaran hematogen maternal. Tuberkulosis kongenital sulit didiagnosis
karena gejalanya mirip infeksi neonatal dan kongenital lainnya. Gejala biasanya muncul pada 2-3
minggu pascapartus. Gejalanya berupa hepatosplenomegali, distress pernapasan, demamdan foto
toraks biasanya abnormal. Isoniazid (Kategori Kehamilan A) direkomendasikan untuk TB pada
kehamilan meskipun terdapat peningkatan risiko hepatotoksisitas pada ibu hamil.Gejala harus
dimonitor dengan pemeriksaan fungsi hati yang dianjurkan setiap 2 minggu pada 2 bulan
pertama dan setiap bulan pada bulan berikutnya. Isoniazid sebagai profilaksis juga aman dan
direkomendasikan pada daerah berisiko tinggi seperti koinfeksi dengan HIV atau riwayat kontak
15

dengan penderita tuberculosis. Suplementasi piridoksin 50mg/hari dianjurkan untuk setiap ibu
hamil yang mengkonsumsi isoniazid karena defisiensi sering terjadi pada ibu hamil
dibandingkan populasi umum. Rifampisin (Kategori Kehamilan C) dapat menyebabkan
pendarahan yang berhubungan dengan hipoprotrominemia pada bayi apabila dikonsumsi pada
trimester ketiga kehamilan. Penggunaan rifampisin direkomendasikan pada ibu hamil dengan
tuberkulosis dan vitamin K harus diberikan pada ibu (10mg/hari) dan bayi setelah melahirkan
apabila rifampisin digunakan pada trimester tiga kehamilan menjelang partus.
Etambutol (Kategori Kehamilan A) direkomendasikan untuk TB pada kehamilan.
Pirazinamid (Kategori kehamilan belum tersedia). Sampai saat ini belum terdapat laporan efek
samping penggunaan obat ini pada penatalaksanaan pasien TB. Apabila pirazinamid tidak
digunakan maka paduan obat 9 bulan isoniazid, rifampisin dan etambutol dianjurkan.
streptomisin (kategori kehamilan belum tersedia) berhubungan dengan ototoksisitas janin dan
tidak direkomendasikan untuk pengobatan tuberkulosis pada wanita hamil.
Fluorokuinolon (Kategori Kehamilan B3) hanya digunakan pada wanita hamil apabila
keuntungan terapi lebih besar dibandingkan risikonya dan hanya dapat digunakan oleh dokter
yang sudah berpengalaman dalam penanganan tuberkulosis. Meskipun terdapat konsentrasi OAT
yang disekresikan pada ASI namun konsentrasinya minimal dan bukan merupakan kontraindikasi
pada perempuan menyusui. Konsentrasi OAT pada ASI sangat rendah sehingga tidak bisa
diandalkan untuk terapi TB pada bayi. Apabila bayi membutuhkan terapi TB maupun profilaksis
maka harus diberikan paduan obat standar yang dosisnya sesuai dengan berat badan.
Ibu dengan TB paru sensitif obat dapat melanjutkan OAT sambil menyusui dan bayinya
mendapat profilaksis TB selama 6 bulan dengan INH 10mg/kgBB/hari apabila terbukti tidak
menderita TB dan diikuti dengan vaksinasi BCG. Bayi denganASI hanya mendapatkan 20%
dosis INH dibandingkan dengan dosis yang seharusnya didapatkan sedangkan untuk OAT
lainnya konsentrasinya lebih kecil.Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat
diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil
dan tidak menyebabkan toksik pada bayi. Pemberian antituberkulosis yang cepat dan tepat
merupakan cara terbaik mencegah penularan dari ibu ke bayinya. Pada perempuan usia produktif
yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan
kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat

16

kontrasepsi hormonal berkurang.Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan


kehamilan.4
Konsensus umum menyatakan bahwa meskipun terdapat konsentrasi kecil dari obat
antituberkulosis disekresi lewat air susu ibu, hal ini tidak menjadi kontraindikasi bagi ibu untuk
menyusui anaknya. Konsentrasi dari OAT yang diekskresi lewat ASI ini rendah dan tidak
membahayakan bagi bayi. Bahkan bilamana bayi membutuhkan pengobatan untuk penyakit aktif
yang terjadi pada bayinya atau terapi profilaksis diberikan sesuai guidelines terapi pada anak.
Idealnya ibu dan anak dipisahkan terlebih dahulu sampai terjadi konversi dari BTA
sputum. Akan tetapi hal ini tidak bisa dilakukan terutama di negara berkembang. Oleh karena itu
menyusui tetap dilakukan, yang menjadi kontraindikasi adalah bilamana terjadi tuberculous
breast abscess.
Bila pada neonatus terdapat gejala TB maka diagnosisnya adalah TB perinatal dan terapi
TB langsung diberikan. Terapi yang dianjurkan adalah isoniasid dosis 5-10 mg/kgBB/hari,
rifampisin dosis 10-15 mg/kgBB/hari dan pirazinamid dosis 25-35 mg/kgBB/hari. Lakukan
pemeriksaan bilas lambung sebelum pemberian terapi. Setelah terapi TB selama 1 bulan (usia 1
bulan) lakukan pemeriksaan uji tuberkulin. Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan
didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan
mikrobiologis darah v. umbilikalis) maka dapat

langsung diobati selama 6 bulan tanpa

pemerikaan uji tuberkulin.


Apabila pada usia 1 bulan uji tuberkulin positif maka diagnosis TB ditegakkan dan
diberikan terapi TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung. Namun
bila hasil uji tuberculin negatif, masih mungkin TB karena faktor imunitas yang imatur pada
neonatus. Dalam hal ini terapi TB diteruskan disertai pemeriksaan tuberkulin pada usia 3 bulan.
Apabila hasil uji tuberkulin pada usia 3 bulan positif maka diagnosis TB ditegakkan dan
diberikan terapi TB selama 6 bulan. Namun apabila hasilnya negatif maka diagnosis bukan TB
dan terapi TB dihentikan.Selain mendapat terapi TB, pemberian nutrisi harus adekuat. Bayi
dipisahkan selama minimal 2 minggu pemberian terapi TB pada ibu, namun ASI tetap dapat
diberikan. Kandungan OAT di dalam ASI pada ibu yang mendapat terapi TB hanya dalam jumlah
yang kecil dan tidak berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi. Selain itu pemantauan
peningkatan berat badan, tanda vital, dan keluhan lain harus dilakukan dengan ketat.

17

Apabila neonatus lahir dari ibu TB aktif namun pemeriksaan klinis dan penunjang dalam
batas normal, maka neonatus tetap berpotensi untuk terinfeksi M.tuberculosis. Tata laksana awal
adalah pemberian profilaksis primer INH dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari selama 1 bulan
kemudian dilakukan uji tuberkulin untuk mengetahui apakah pasien telah terinfeksi. Apabila
setelah 1 bulan uji tuberkulin positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan dan diberikan terapi
TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung. Namun bila setelah 1
bulan uji tuberkulin negative maka pemberian profilaksis primer INH diteruskan sampai 3 bulan
kemudian dilakukan uji tuberculin untuk mengetahui apakah pasien telah terinfeksi. Bila setelah
3 bulan uji tuberkulin tetap negatif dan telah dibuktikan tidak ada sumber penularan lagi maka
profilaksis primer INH dapat dihentikan. Namun bila positif, harus dinilai klinis dan pemeriksaan
penunjang. Bila terdapat kelainan maka didiagnosis TB dan diberikan terapi TB selama 6 bulan.
Apabila pemeriksaan tidak mendukung TB, maka diberikan profilaksis sekunder selama 6-12
bulan. Pemberian BCG hanya dapat dilakukan apabila bayi belum terinfeksi M.tuberculosis
yaitu pada saat 3 bulan dan uji tuberkulin negatif.
Tata laksana terhadap lingkungan meliputi lingkungan keluarga. Harus dicari adanya
sumber penularan atau keluarga lain yang tertular melalui pemeriksaan klinis, laboratorium
maupun radiologis.11

2.9 Pencegahan Tuberkulosis


Vaksin BCG telah menjadi kebijakan imunisasi nasional di banyak negara untuk
memberikan imunitas aktif sejak masa anak, terutama negara dengan beban yang tinggi. Wanita
non-immune yang bepergian ke negara-negara endemik juga harus divaksinasi. Perlu diketahui
bahwa kontraindikasi vaksin BCG adalah wanita hamil.
Pencegahan penyakit TB tidak hanya berhenti pada vaksin BCG mengingat penyakit ini
merupakan penyakit kemiskinan. Perbaikan kehidupan dengan ventilasi yang baik dan
menghindari kehidupan overcrowded perlu didorong. Perbaikan status gizi merupakan aspek
penting dalam pencegahan. Wanita hamil dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk TB
yang akan mempengaruhi outcome maternal dan perinatal. Pada tahun 2009, sebanyak 1,1 juta
orang terdiagnosis dengan koinfeksi. Oleh karena itu, pencegahan primer HIV/AIDS merupakan
18

langkah utama dalam pencegahan tuberkulosis kehamilan. Untuk itu diperlukan uji penapisan
untuk wanita hamil dengan risiko tinggi bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala
klinis. Bagaimanapun juga, individualisasi pasien dan keputusan klinis yang rasional diperlukan
untuk memutuskan waktu yang tepat untuk memberikan Isoniazid preventive therapy (IPT) pada
wanita hamil dengan risiko tinggi. Komitmen pemerintah sangat diperlukan sehingga WHO dan
lembaga-lembaga internasional yang terlibat memerangi tuberkulosis berhasil mengusir monster
masyarakat ini.12,13

19

BAB III
KESIMPULAN

Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali streptomisin karena efek


samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin.

Ada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan
tidak menyebabkan toksik pada bayi.

Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin,


dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektifitas obat kontrasepsi hormonal
berkurang.

Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


364/MENKES/SK/V/2009
TENTANG
PEDOMAN
PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS (TB), MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.
2. Jana Narayan, dkk. Tuberculosis in pregnancy: The challenges for SouthAsian countries.
Journal Obstetrics and Gynaecologics Research Vol. 38, No. 9: 11251136, September 2012.
3. Meiyanti. Penatalaksanaan tuberkulosis pada kehamilan. UNIVERSA MEDICINA. JuliSeptember 2007, Vol.26 - No.3.
4. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. KEMENTERIAN
KESEHATAN RI. 2013.
5. PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DI INDONESIA. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia. 2006.
6. Khilnani G.C. Tuberculosis and Pregnancy, Review Article. Indian J Chest Dis Allied Sci
2004; 46 : 105-111.
7. N. Waraow. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Hiferi. Jakarta. 2004.
8. Dharmawan Bobby,dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Neonatus dari Ibu Hami Tuberkulosis
Aktif. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004.
9. Dominik Zenner, dkk. Risk of Tuberculosis in Pregnancy: A National, Primary Carebased
Cohort and Self-controlled Case Series Study. Journal Of Respiratory And Critical Care
Medicine Vol 185 2012.
10. Loto Olabisi. Review Article Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Hindawi Publishing
Corporation Journal of Pregnancy Volume 2012.
11. Ormerod P. Thorax: Tuberculosis in pregnancy and the puerperium Respiratory diseases in
pregnancy. 2001.
12. Kangeyan Narmatha, dkk. Tuberculosis in pregnancyDiagnostic dilemma. Open Journal
of Obstetrics and Gynecology, 2012.
13. Arora K., dkk. Tuberculosis And Pregnancy. Indian Journal of Tuberculosis, 2003, Vol. 50.

21

Anda mungkin juga menyukai