Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan Inklusif: Secercah Harapan yang Masih Buram bagi

Anak Berkebutuhan Khusus


Anak Berkebutuhan Khusus pada hakikatnya merupakan manusia yang harus
dipenuhi, dihargai, dilindungi hak asasinya serta dijunjung tinggi harkat dan
martabatnya, sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa- Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 10 Tahun 2011
Jika kita merujuk pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak No. 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak
Berkebutuhan Khusus, Anak Berkebutuhan Khusus atau yang biasa disebut
dengan ABK adalah anak yang mengalami keterbatasan/keluarbiasaan baik fisik,
mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh signifikan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak
lain seusianya.
ABK dengan segala keterbatasannya sering menjadi pihak yang, baik sengaja
maupun tidak sengaja, terlalaikan hak asasi, harkat dan martabatnya oleh
keluarga, masyarakat dan bahkan negara. Padahal secara jelas Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia tahun 1945 telah memberikan perlindungan atas hak
ABK untuk hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Negara juga menjamin, melalui pengesahan
atas Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the
Child), bahwa anak penyandang cacat dapat memperoleh pendidikan,
pelatihan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi, persiapan
untuk bekerja dan peluang untuk rekreasi. Namun demikian pada
kenyataannya, perlindungan hak ABK masih terbentur kondisi sosial yang
memperlakukan ABK secara berbeda. Seringkali ABK dikucilkan, tidak
diapresiasi, bahkan dianggap aneh ataupun membebani.
Salah satu hak asasi ABK yang sampai saat ini masih kurang terpenuhi adalah
hak atas pendidikan. Berdasarkan data dari Dirjen Pendidikan Luar Biasa
Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2010, dari sekitar 324.000 ABK di
Indonesia, hanya sekitar 75.000 ABK saja yang bersekolah. Ini berarti, hampir
sekitar 76% ABK di Indonesia belum mendapatkan akses terhadap pendidikan.
Pemerintah bukannya tidak berupaya untuk memenuhi hak pendidikan bagi ABK,
pendidikan inklusif sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 menjadi salah satu langkah yang
dilakukan untuk melindungi hak ABK atas pendidikan. Pendidikan inklusif
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Dalam Peraturan tersebut, diwajibkan untuk setidaknya terdapat 1 SD, SMP, dan
SMA pada setiap kecamatan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Bagi
sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut wajib
menerima ABK sebagai peserta didiknya.

Pendidikan inklusif layaknya secercah harapan bagi ABK untuk memperoleh


pendidikan yang sama dengan anak normal dengan mengakomodasi kebutuhan
dan kemampuan sesuai dengan bakat dan minat ABK. Jika Peraturan Menteri
tersebut dilaksanakan dengan baik, maka seharusnya akses terhadap pendidikan
dapat dengan lebih mudah dijangkau oleh ABK, mengingat bahwa sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif seharusnya dapat ditemui pada setiap
kecamatan.
Namun sayangnya, secercah harapan itu masih terlalu buram. Sampai dengan
saat ini, pelaksanaan atas Peraturan Menteri tentang Pendidikan
Inklusif masih terkesan semrawut dan tidak jelas. Banyak sekolah yang
ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif justru menolak menerima
ABK dengan alasan belum ada fasilitas memadai, guru pembimbing ataupun
dana dari pemerintah. Kalaupun ada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif,
itupun sebagian besar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan dengan sistem
integrasi, dimana tidak disediakan guru pembimbing secara khusus bagi ABK.
ABK dibiarkan berbaur dengan peserta didik lainnya dan menerima pelajaran
layaknya peserta didik normal, tanpa memperhatikan kebutuhan ABK itu sendiri.
Jika merujuk pada Peraturan Menteri tentang Pendidikan Inklusif, Pemerintah
Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit 1 orang guru pembimbing
khusus pada sekolah yang ditunjuk menjadi penyelenggara pendidikan inklusif
untuk mengakomodasi kebutuhan ABK. Pemerintah Kabupaten/Kota juga wajib
meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan
tenaga kependidikan pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Bahkan
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi pun dapat membantu dalam penyediaan
tenaga pembimbing khusus dan peningkatan kompetensi pendidikan khusus bagi
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan. Dengan demikian,
seharusnya alasan tidak adanya guru pembimbing secara khusus bagi ABK dapat
diminimalisir apabila ketentuan ini dilaksanakan dengan baik.
Selain mengenai guru pembimbing khusus, nuansa diskriminasi juga masih
menghambat penyelenggaraan pendidikan inklusif yang optimal. Pada beberapa
penyelenggara pendidikan inklusif, orang tua ABK yang mendaftarkan anaknya
disyaratkan untuk menyetujui perjanjian tertulis yang menyatakan bahwa ABK
tersebut tidak akan mengikuti ujian nasional layaknya peserta didik normal,
tanpa melihat terlebih dahulu kompetensi ABK tersebut. Padahal merujuk pada
Peraturan Menteri tentang Pendidikan Inklusif, peserta didik yang mengikuti
pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan standar
nasional pendidikan wajib mengikuti ujian nasional. Dengan demikian,
seharusnya potensi dan kapabilitas ABK dilihat terlebih dahulu untuk mengetahui
apakah ABK tersebut dapat mengikuti kurikulum standar nasional atau tidak.
Sangat disayangkan apabila ABK memiliki potensi dan kapabilitas layaknya
peserta didik normal lainnya tapi tidak disertakan dalam ujian nasional.
Dalam bukunya Educational Psychology in Classroom, Henry Clay Lindgren
mengemukakan, pada dasarnya prinsip dari pendidikan inklusif itu sendiri adalah
pihak penyelenggara pendidikan inklusif yang menyesuaikan standar pelayanan

mereka dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik
yang menyesuaikan dengan sistem sekolah. Pandangan ini sangat terkait dengan
adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Penghargaan atas
potensi dan kapabilitas setiap ABK akan sangat membantu mereka dalam
mengoptimalkan kemampuan ABK untuk menjadi individu yang mandiri dan
berprestasi. Pendidikan inklusif seharusnya dapat menjadi secercah harapan bagi
ABK untuk meraih masa depan layaknya anak pada umumnya.
Sekali lagi, permasalahan pendidikan bagi ABK perlu mendapatkan perhatian
khusus dari Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan masyarakat agar hak
ABK atas pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945 terpenuhi. Dengan segala keterbatasannya, adalah menjadi
kewajiban kita bersama untuk mendorong dan memastikan hak-hak ABK tidak
terabaikan.

Anda mungkin juga menyukai