MAKALAH
EPILEPSI
ANONIM
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2014
EPILEPSI
I. Pengertian
Epilepsi adalah setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan gangguan otak
sementara yang bersifat paroksismal yang dimanifestasikan berupa gangguan atau penurunan
kesadaran yang episodic, fenomena motorik yang abnormal, gangguan psikis, sensorik, dan
system otonom; gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas listrik otak (Kumala et al, 1998)
Gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam bentuk
serangan berulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang
bersifat reversible. Serangan ini dapat timbul secara tiba-tiba dan dapat menghilang secara
tiba-tiba pula.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya serangan:
1. Faktor sensoris : cahaya berkedip-kedip,bunyi-bunyi yang mengejutkan dan air panas,
2. Faktor sistemis : demam, penyakit infeksi,obat-bat tertentu misalnya golongan fenotiazin,
chlorpropamid, hipoglikemi, kelelahan fisik,
3. Faktor mental : stress dan gangguan emosi.
(Mansjoer, 2000).
Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal
abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik
yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau
magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang
jelas
b. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
o mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
o menilai fungsi hati dan ginjal
o menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi).
o fungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
(Rahza, 2010).
II. Insidensi, Prevalensi dan Epidemiologi
Rata-rata 10% populasi pernah mengalami kejang di saat tertentu. Lebih dari 30%
dari semua kejang diperantarai oleh gangguan sistem saraf pusat. Kejang yang terjadi secara
berkala/berulang membutuhkan pengobatan dengan obat antiepilepsi. Kondisi reversibel
seperti penghentian alkohol, demam, gangguan metabolisme dapat memperantarai kejang
2
akut. Kejang ini tidak termasuk epilepsi dan tidak membutuhkan terapi obat antiepilepsi.
Secara umum, 1% populasi umum terkena epilepsi (Mary,2009).
Insiden epilepsi adalah 44/100000 orang/tahun. Setiap tahun, kira-kira 125.000 kasus
epilepsi baru ditemukan di USA. Hanya 30% yang berumur <18 tahun dan kebanyakan
sisanya >65 tahun (Dipiro,2008).
III.Etiologi
Semua hal yang mengganggu homeostasis normal neuron dan stabilitasnya dapat
mengakibatkan hipereksitabilitas dan kejang. Ada banyak penyebab epilepsi, antara lain :
1. Faktor genetis
2. Pasien dengan gangguan mental, trauma di kepala (head injury) atau stroke memiliki
faktor risiko yang lebih tinggi terkena kejang atau epilepsi.
3. Gangguan tidur, sensor stimulus dan stress dapat meningkatkan frekuensi kejang.
4. Perubahan hormonal (mens, puber,kehamilan) juga dapat meningkatkanfrekuensi kejang.
5. Obat-obatan (teofilin, alkohol, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan) dapat meningkatkan
risiko kejang.
6. Trauma lahir juga merupakan faktor risiko perkembangan kejang parsial (Dipiro,2008).
IV.
Gam
bara
n
Klinis
Berdasarkan International Classification of Epileptic Seizures, kejang dibagi menjadi dua
yaitu, kejang parsial/focal dan kejang umum (generalized seizures).
Kejang parsial
Kejang berasal dari 1 daerah fokus lalu menyebar ke
daerah lain. Jika menyebar hingga bagian lain otak,
maka menjadi secondory generalization seizures
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan
perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau
dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
a. Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
b. GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,
sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan
masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi
dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok
neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi
yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang
secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.
Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus
impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya
konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar
glutamat pada berbagai tempat di otak.
8
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan
pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga
VII.
Manejemen Terapi
Outcome Terapi : Memperbaiki kualitas hidup pasien
Tujuan terapinya: Mencegah kekambuhan penyakit dan meminimalkan terjadinya kejang
Sasaran terapi
Strategi terapi
10
11
c.
d.
e.
12
disebabkan penyakit herpes (post herpetic neuralgia) dan nyeri akibat kerusakan syaraf
karena diabetes. Pregabalin baru tersedia dalam bentuk kapsul 75 mg.
9. Lainnya: Fenasemid, Topiramate
Topiramate merupakan obat epilepsi baru dengan sediaan tablet 25 mg, 50 mg dan 100
mg juga dalam bentuk kapsul sprinkle 15 mg, 25 mg dan 50 mg. Diminum sebelum atau
sesudah makan dengan air segelas penuh.
Berdasarkan mekanismenya, obat antiepilepsi dikelompokkan sebagai berikut:
transmisi
mempengaruhi
kanal
ion
Na
tervoltasi.
Carbamazepine
harus
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien pasien dengan diagnosis
partial seizures dan untuk pasien dengan kejang pada saat serangan yang tidak
membutuhkan penanganan emergensi.
Efek samping
Biasanya tidak terjadi, jika terjadi efek samping berupa aritmia, edema,
hiper/hipotensi, tromboembolis, tromboplebitis, amnesia, anxietas, depresi, kejang,
13
lelah, sakit kepala, rash, konstipasi, diare, dispepsia, mual, muntah, retensi urin,
hepatitis, dll.
Interaksi Obat
Karena efek terapi dan efek samping yang muncul tergantung konsentrasi, maka
interaksi obat dengan carbamazepine menjadi hal yang sinifikan secara klinis.
Valproic acid meningkatkan metabolit 10,11-epoxide. Tanpa mempengaruhi
konsentrasi carbamazepine dengan penghambatan epoxide hydrolase. Obat yang
menhambat
CYP3A4
memiliki
potensial
dapat
meningkatkan
konsentrasi
simetidine,
klirens
gabapentin
menurun
hingga
10%
dan
14
setiap pasiennya dan klirens plasma dipengaruhi oleh terapi obat yang lain. Eliminisai
waktu paruh lamotrigin menurun kira-kira 50% karena adanay keberadaan obat yang
menginduksi antara lain carbamazepin, fenobarbital, pirimidon dan fenitoin.
Asam valproat menghambat klirens lamotrigin, inhibisi ini substansial dan terjadi
walaupun dalam dosis yang sangat rendah. Secara klinis, untuk dapat menncapai
konsentrasi serum yang dibutuhkan, maka dibutuhkan pengaturan dosis yang lebih
besar ketika menjadi inducer ketika dibandingkan dengan monoterapi, sedangkan
dibutuhkan dosis yang lebih rendah ketika dikombinasikan dnegan asam valproat.
Ada kemungkinan terjadi interaksi farmakodinamik ketika diberikan dengan terapi
carbamazepin, dapat memicu peningkatan efek samping di system saraf pusat.
Dosis dan cara pemberian
Dosis awal :25 mg dua kali sehari ketika dalam keadaan VPA; 50mg/hari jika dalam
keadaan tidak VPA
Dosis harian : 100-150 mg jika dalam keadaan VPA; 300-500 jika tidak VPA
Adanya perbedaan dosis karena keterkaitan antara kulit yang memerah, dan tingkat
kenaikan dosis.
4. VALPROIC
ACID/DIVALPROEX
SODIUM
(ASAM
VALPROAT/NATRIUM
DIVALPROEX)
Farmakologi dan mekanisme aksi
Mekanisme asam valproat adalah meningkatkan GABA dengan cara menghambat
degradasinya atau dengan mengaktivasi sintesisnya. Walaupun ini menjelaskan
bagian dari efek asam valproat, waktu untuk peningkatan pada GABA dibandingkan
dengan onset efek antikonvulsan yang mengindikasikan adanya pengaruh pada
sintesis dan degragdasi GABA tidak sepenuhnya menjelaskan aktivitas antiseizure
asam vaproat. Asam valproat mungkin mempotensiasi respon GABA, dan memiliki
efek langsung stabilisasi membrane, dan mempengaruhi kanal kalium. Asam valproat
merupakan terapi lini pertama unutk generalized seizure seperti myoclonic, atonic,
dan absence seizures. Dapat digunakan sebagai monoterapi dan terapi tambahan
untuk partial seixure, dan dapat sangat berguna pada pasien gangguan mixed seizure.
Efek Samping
16
Mual, muntah, anoreksia, dan peningkatan berat badan. Efek samping ini dapat
diminimalisir dengan formulasi salut, atau dengan memberikanny abersamaan
makanan. Peningkatan berat badan terjadi secara signifikan dan dapat menstimulasi
nafsu makan dan atau menghambat oksidasi asam lemak yang memicu penurunan
kecepatan metabolism. Asam valproat meyebabkan kerusakan kognitif yang minimal.
Efek samping yang paling serius adalah hepatotoksisitas.
Interaksi Obat
Obat yang mempengaruhi enzim hati dapat mempengaruhi kinetik asam dengan cara
meningkatkan atau menurunkan klirens. Missal : fenitoin, fenobarbital, pirimidon,
dan carbamazepin, smeuanya meningkatkan klirens asam valproat. Topiramat dapat
menurunkan konsentrasi serum asam valproat. Karena ini terikat banyak dengan
protein, obat terikay kuat dnegan protein bisa menggantikan asam valproat. Sama
lemak bebas dan aspirin dapat mempengaurhi ikatan asam valproat oleh adanya
displacement. Felbamat dapat mengganggu klirensi valproat melalui inhibisi oksidasi
. Asam valproat merupakan inhibitor enzim yang dapat menghambat cytochrome
P450 isozymes, epoxide hydrolase, and UGT isozymes secara spesifik.
Dosis dan cara pemberian
Dewasa dan anak : per oral 15 mg/kg/hari pada dosis terbagi apabila total dosis lebih
dari 250mg/hari. Ditingkatkan pada interval per minggu dengan 5-10 mg/kg/hari
sampai kejang dapat terkontrol.
Asam valproat tersedia dalam soft gelatin kapsul, tablet salut-enterik, sirup, sprinkle,
dan formulasi pelepasan perlahan.
(Anonim, 2008).
17
(Octaviana, 2008).
Setelah diketahui jenis kejang yang dialami, dapat dilakukan pemilihan obat berdasarkan
kejang yang terjadi. Berikut tabel yang berisi pilihan obat untuk tipe kejang :
(Octaviana, 2008).
18
(Dipiro, 2008).
\
Berikut adalah algorima terapi epilepsi menurut Dipiro(2008) :
19
Berikut algoritma terapi epilepsi pada anak menurut Nia Kania (2007) dalam jurnal berjudul
Kejang pada Anak:
20
(Kania,2007).
X. Epilepsi dan Kehamilan
Menurut International League Againts Epilepsy, epilepsy pada kehamilan dinagi
menjadi 3 kelompok yaitu epilepsy yang telah diderita sebelum kehamilan, termed
gestational epilepsy, dan gestational onset epilepsy.
21
Wanita yang menderita epilepsy sebelum kehamilan dapat mengalami bangkitan pada
saat hamil. Hal ini disebabkan karena pengaruh perubahan hormonal, metabolic, psikis, dan
farmakokinetik OAE.
Termed gestational epilepsy adalah epilepsy yang terjadi pertama kali sewaktu masa
kehamilan dan berlanjut pada kehamilan berikutnya dengan masa bebas bangkitan diantara
kehamilan.
Gestational onset epilepsy adalah epilepsy yang terjadi pertama kali pada masa
kehamilan dan berlanjut diluar masa kehamilan.
Pengaruh epilepsy pada kehamilan
22
Faktor yang paling mempengaruhi keamanan dalam kehamilan adalah usia kehamilan
pada saat mulai terpejan obat. Pejanan yang terjadi 2 minggu pertama setelah konsepsi
biasanya tidak mengakibatkan malformasi karena sel konseptus pada saat ini masih
pluripoten sehingga sel yang mati karena pejanan obat dapat segera diganti dengan sel yang
baru. Tetapi bila banyak sel mati karena pejanan obat, embrio tidak dapat bertahan hidup.
Masa ini disebut masa all or none saat embrio dapat mati atau hidup tanpa malformasi.
Dari penelitian didapat bahwa bayi yang lahir dari ibu dengan riwayat epilepsy tetapi
tidak mengkonsumsi OAE saat hamil memiliki frekuensi abnormalitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang menggunakan OAE. Namun, efek
kehamilan terhadap frekuensi bangkitan sangat bervariasi dan tidak bisa diramalkan.
-
XII.
Fenitoin
Fenitoin adalah suatu obat antikejang yang paling sering diterapkan untuk mengendalikan
gangguan kejangyang termasuk dalam golongan hidotoin . Variasi dalam metabolisme fenitoin
antara individu yang berbeda dapat menghasilkan kadar serum (setelah dosis oral) yang sangat
bervariasi. Karena itu, pemanfaatan terapeutik fenitoin sering dilakukan. Obat ini telah
digunakan selama lebih dari 50 tahun sebagai obat antikejang pada eppilepsi tonik-klonik, serta
pada kejang fokal dan kejang yang lebih kompleks misalnya kejang psikomotor. Obat ini sering
digunakan dalam pengobatan status epileptikus (yaitu status akut kejang yang tidak terkontrol)
untuk mencapai control secaar cepat. Obat ini tampaknya tidak efektif untuk mengatasi aktivitas
kejang petit mal. Walaupun mekanisme kerja secara selular dan biokimiawi belum diketahui,
fenitoin diketahui menekan ektivitas kejang, terutama di korteks motorik otak.
Fenitoin umumnya dapat digunakan sebagai obat tunggal untuk mengobati pasien epilepsy.
Mereka yang tetap refrakter terhadap fenitoin saja mungkin diterapi dengan obat antikejang
23
tambahan. Kadar terapeutik fenitoin dalam serum adalah dalam rentang 10-20 mikrogram/mL,
dengan toksisitas mungkin timbul pada konsentrasi diatas 20
Fenitoin merupakan obat pilihan atau generasi pertama untuk kejang umum, kejang tonikklonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11). Fenitoin memiliki
range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam
darah (12). Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na +) (13) yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11). dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis
awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam (10).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga
mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi
korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi
adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat
mengurangi resiko gingival hyperplasia (14).
(Sacher, 2002)
Struktur Fenitoin
Indikasi
24
Efektif untuk epilepsy parsial dan tonik-klonik; tidak efektif untuk absens dan
epilepsy mioklonik. Mekanisme kerjanya mirip dengan karbamazepin.
Dosis dan pemberian:
Dewasa : loading dose oral 2 dd 500 mg atau 3 dd 300 mg. loading dose IV 15 mg/kg
(20 mg/kg untuk status epileptikus), maksimal 50 mg/menit. Rumatan : 300-400 mg/hari
dibagi 2.
Anak-anak: 4-5 mg/kg/hari, maksimal 8 mg/kg
Pemberian : biasanya 2 kali sehari, tetapi dapat juga 1 kali sehari
Kadar terapeutik : 10-20 mikrogram/L
Efek samping :
Berkaitan dengan dosis : pusing, ataksia, diplopia, dan mual.
Idiosinkratik : ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson), diskrasia darah, gagal hati, dan
lupus-like syndrome.
Kronis : hiperplasi gusi, hirsutisme, osteopenia, dan pseudolimfoma
Teratogenik, pada ibu hamil dapat menimbulkan kelainan jantung dan bibir sumbing pada
bayi.
Interaksi :
Fenitoin menurunkan efektifitas topiramat, karbazepin, fenobarbital, pirimidone,
valproat, kontrasepsi oral, kortikosteroid, dan warfarin.
Kadar fenitoin ditingkatkan oleh topiramat, kloramfenikol, simetidin, dikumarol,
disulfiram, isoniazid, sulfonamide, dan trimetoprim. Kadar fenitoin diturunkan oleh asam
folat dan konsumsi alcohol jangka panjang
Fenitoin, struktur kimia obat ini mirip barbital, tetapi dengan cincin-lima hidantoin
(lihat rumus bangun di bawah ini). Senyawa hidantoin ini terutama digunakan pada grand
mal. (Dewanto, 2007)
25
Farmakodinamik
Mekanisme kerja:
Efek stabilisasi membrane pada neuron karena blokade kanal Na+ hambatan
letuan yang berulang kali, hmabatan potensiasi pasca tetani
Pada
konsentrasi
yang
lebih
tinggi,
juga
terjadi
hambatan
pembebasan
26
Farmakokinetik
XIII.
Kasus
Pasien anak laki-laki berusia 7 tahun mengalami kejang berulang. Satu hari sebelum
masuk rumah sakit anak tiba-tiba menjerit lalu jatuh dan mengalami kejang selama + 1
menit, kemudian anak tidak sadarkan diri. Setelah 15 menit, anak tersebut mengalami
kejang lagi selama + 1 menit, kejang berulang hingga 4 kali dan anak tidak sadarkan diri.
Anak tertidur selama + 1 jam dan kemudian terbangun. Menurut ibu, saat kejang anak tidak
demam. Kejang berupa guncangan-guncangan di seluruh tubuh disertai dengan mengompol.
Pada usia 3 tahun pasien pernah terjatuh dan mengalami trauma kepala. Setelah itu
pasien sempat mengalami kejang dan pada usia 5 tahun mengalami kejang yang sama.
27
Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan. Pada keluarga tidak ada yang
memiliki riwayat keluhan yang sama. Kemudian pasien dilarikan ke rumah sakit. Saat
dirumah sakit, pasien diberikan terapi fenitoin Na 125 mg secara iv lambat. Selain itu,
diketahui dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dengan keadaan umum baik, kesadaran
compos mentis (sadar sepenuhnya), nadi 104 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit
dan suhu 37oC. Berat badan anak 25 kg. Pemeriksaan neurologis didapatkan reflek Babinski
(-) pada tungkai kiri, lain-lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan data hemoglobin (12,3 g/dl),
angka eritrosit (4,18 x 106/uL) dan netrofil (45,6 %) serta peningkatan pada laju endap darah
1 jam (33) dan 2 jam (52), lain-lain dalam batas normal. Akan tetapi tidak dilakukan
pemeriksaan CT Scan, MRI maupun EEG karena pertimbangan usia.
Pasien diberikan terapi pemeliharaan yaitu depaken 250 mg/5 ml 2 kali sehari dan
rivotril 1 mg/hari, metil predinisolon 125 mg per hari.
28
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Satuan
Assessment
Hemoglobin
12,3
10-16
g/dl
Normal
Eritrosit
4,18 x 106
*4,2-5,4 x 106
/uL
Netrofil
45,6
32-61
Normal
LED
33
*0-15
mm/jam
*nilai normal pada wanita dewasa, karena pada anak tidak diketahui
Eritrosit merupakan sel darah merah yang mengandung hemoglobin yang bertugas untuk
mengangkut oksigen dalam darah. Jika kadarnya turun maka perlu diperhatikan apakah
kadar oksigen dalam tubuh pasien normal atau tidak. Jika kadar oksigen menurun dapat
menyebabkan alkalosis respiratorik.
Peningkatan LED biasanya terjadi akibat peningkatan kadar globulin dan fibrinogen
karena infeksi akut local maupun sistemis atau trauma, kehamilan, infeksi kronik dan
infeksi terselubung yang berubah menjadi akut. Selain itu juga biasa terjadi pada
arthritis rheumatoid, infark miokard akut, kanker (lambung, colon, payudara, hepar, dan
ginjal), penyakit Hodkins, myeloma multiple, limfosarkoma, infeksi bakteri, gout, SLE,
eritoblastosis foetalis, kehamilan trimester II dan III, operasi, dan luka bakar.
(nilai normal berdasar Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. (Sutedjo, 2008))
Dari hasil pemeriksaan serta keterangan keluarga pasien mengenai frekuensi dan tipe
kejang yang dialami pasien, diagnosa kejang pasien adalah kejang tonik klonik
menyeluruh.
(b) Outcome Klinis
29
Jenis DTP
Penyebab
Tidak ada
Ada. Penggunaan metil prednisolon pada pemeliharaan
dinilai kurang tepat karena menurut DIH 2009-2010 metil
inflamasi,
neoplastik,
hematologic,
dan
autoimmune origin.
Menurut jurnal Kejang pada Anak Penggunaan terapi
fenitoin Na pada pasien kondisi serangan kurang tepat
karena dalam jurnal dikatakan untuk terapi epilepsy
Pemilihan obat salah
Tidak ada
30
Ketaatan pasien
Kejang pada serangan pertama berdasarkan guideline kurang tepat diberikan fenitoin
Na 125 mg karena:
1. First line pada kasus epilepsi menurut jurnal Kejang pada Anak digunakan
Diazepam i.v 0,3-0,5 mg/kg BB.
2. Adapun kasus ini, pasien bukan penderita dengan status epileptikus sehingga
diketahui dosis Fenitoin terlalu tinggi bila ingin diberikan pada pasien
Kejang pada pasien diatasi dengan pemberian diazepam 250 mg (BB>10 kg) secara
rektal, jika setelahnya pasien mengalami kejang kembali, maka pemberian diazepam
10 mg dapat diulangi dengan interval 5 menit.
(e) Follow Up
Penentuan tipe kejang atau epilepsi sangat penting karena pengobatan penderita
epilepsi salah satunya didasarkan pada tipe kejang atau jenis epilepsi. Anamnesis
dapat dilakukan pada pasien atau saksi mata yang menyaksikan pasien kejang. Selain
31
Pada pasien ini, dapat diberikan terapi anti epilepsi secara rutin yaitu dengan
memberikan fenitoin dosis terapi harian: 5 mg/kg/24jam dalam 2 kali dosis terbagi.
Pemberian fenitoin dapat dimulai 12 jam setelah pemberian suppo diazepam 10 mg
(pasien dalam kondisi tidak lagi mengalami kejang). Namun jika 10-15 menit setelah
pemberian suppo diazepam 10 mg, pasien mengalami kejang kembali, maka dapat
dilakukan treatment sesuai dengan algoritma kejang pada anak.
Jika kondisi pasien tidak lagi kejang dan kondisi vitalnya baik, pasien diperkenankan
untuk istirahat di rumah. Dan sebaiknya diberikan pula edukasi pada orang tua untuk
mengamati keadaan psikologis pasien dan segera berkonsultasi ke dokter jika
terdapat kejanggalan atau kelainan pada keadaan psikologis pasien.
(f) Indikator
(g) Monitoring
Dilihat apakah pasien masih mengalami kejang atau tidak. Terapi dinyatakan
berhasil jika kekambuhan kejang pasien berkurang dan pasien dapat melakukan
kegiatan normalnya kembali.
Perlu dilakukan pengukuran suhu tubuh setiap hari sekali untuk mengantisipasi jika
terjadi demam
gangguan SSP, rambut rontok, ruam kulit, eritema multiforme, gangguan psikiatrik,
hematologi, leukopenia, dan eosinofilia, anemia, gangguan fungsi hati dan sistem
endokrin, pankreatritis pada penggunaan depakene. Lelah/letih, mengantuk, lemah
otot, pusing, kepala terasa ringan, ataksia, gangguan konsentrasi, bingung, depresi,
hipersalivasi atau sekresi bronkial pada bayi & anak akibat penggunaan rivotril.
(h) KIE
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau
panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya,
karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah,
dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan
pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi atau yg biasa
disebut aura. Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung,
melayang-layang, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang
melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti
melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat
atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat,
bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
33
Edukasi:
Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam
keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi
tidak menular. Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa
penyakit epilepsi tidak dapat menular)
(Rahza, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia(IONI), Badan POM RI, Jakarta.
Battica, F., 2008 Asuhan keperawatan Klien dengan gangguan sistem persarafan, Salemba
Medika, Jakarta, 118-121.
Cotman CW, et. al., 1995, Excitatory Aminocid neurotransmission. In: Bloom, FE & Kupfer DJ:
Psychopharmacology. The fourth generation of progress. Raven Press, New York, 75-85.
Dr. Dewanto, G., S.pd, 2007 Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 85-90.
34
Kania, N., 2007, Kejang pada Anak, Seminar Klinik Penanganan Kejang pada Anak di AMC
Hospital
Bandung,
http://pustaka.unpad.ac.id/wp
35