Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah


Kasus tentang bullying di sekolah sudah menjadi hal yang banyak terjadi
dari tiga puluh tahun lalu. Menurut Olweus (dalam Aoyama, 2010) bullying
merupakan perilaku agresif yang ditandai dengan tindakan berulang. Biasanya
bullying melibatkan tindakkan melecehkan dan mengancam seseorang secara
verbal, mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti
(intimidasi), atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul).
Namun, pada beberapa tahun terakhir bentuk baru dari bullying muncul dengan
memanfaatkan beragam teknologi yang ada. Peningkatan akses terhadap teknologi
bukan hanya memberikan dampak positif dalam interaksi sosial dan pembelajaran
yang kolaboratif bagi siswa, tetapi juga membawa masalah yang harus
mendapatkan perhatian lebih, dalam penanganannya. Media-media sosial yang
seharusnya mempermudah dan mengeratkan hubungan antar manusia, justru
dalam beberapa kasus menjadi sarana untuk saling melukai dengan kata-kata.
Contohnya, banyak anak yang merasa lebih hebat dan berkuasa mengganggu anak
lain yang dianggap lemah dan tidak akan melawan untuk dijadikan bahan ejekan

dan hinaan dengan mengakses teknologi, baik melalui internet maupun pesan
singkat dengan telpon genggam. Hal ini disebut cyberbullying. Bentuk dari
bullying yang dilakukan di dunia maya ini memiliki pemain yang jauh lebih
luas yang dapat melibatkan semua kalangan, baik dari pelajar sekolah dasar,
menengah, mahasiswa, bahkan kaum pekerja.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 82 juta orang
dan capaian Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna
internet tersebut, 80% di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Untuk
pengguna facebook, Indonesia di peringkat ke-4 terbesar dunia. Dari angka
tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Sedangkan, berdasarkan data Asia Pacific Digital Marketing Year Book 2012 lalu,
jumlah pengguna Facebook di Indonesia sudah mencapai lebih dari 40 juta. Dari
jumlah itu, sebanyak 59% pengguna dari kalangan remaja usia 13-18 tahun, atau
41% pengguna berusia 18-24 tahun. Dengan menggunakan data statistik di atas,
tentu saja kelompok usia tersebut sangat rentan pada masalah penyimpangan
perilaku di media sosial ketimbang orang dewasa. Anak-anak yang menggunakan
akses tersebut dapat melakukan apa saja di jejaring sosial. Bahkan tanpa disadari
apa yang mereka lakukan saat bersosial media, bisa mengarah terjadinya
cyberbullying.
Menurut survei global yang dilakukan The Health Behavior in SchoolAged Children (HBSC) (Kaman, 2013), Indonesia merupakan negara dengan
kasus bullying tertinggi kedua di dunia setelah Jepang. Kasus bullying di

Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang


menempati posisi ketiga. Ironisnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak
dilakukan di jejaring sosial. Sebagai negara dengan jumlah populasi yang banyak
di dunia, Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di
dunia. Selain itu, Indonesia juga menyumbang 15% tweet setiap hari untuk
Twitter. Bahkan, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (2012) lebih dari 60% pengakses internet berumur dibawah 7 - 18 tahun.
Penelitian yang dilakukan pada siswa SMP dan SMA di beberapa kota di
jawa tengah, hasil menunjukkan telah terjadi perilaku cyberbullying sebanyak
28% meski dampak yang ditunjukkan belum begitu serius (Rahayu, 2012).
Sedangkan dari Data hasil survei yang dilakukan Juwita (2009) menyatakan
bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying dibanding
dengan kota Jakarta dan Surabaya. Tercatat sekitar 70,65 % kasus Bullying terjadi
di SMP dan SMA di Yogyakarta. Jadi dapat diasumsikan individu yang memiliki
kecenderungan lebih besar untuk melakukan cyberbullying pada remaja rentang
usia 13 tahun 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja
memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap cyberbullying.
Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke KPAI (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia) 2014 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik,
108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di
lingkungan sekolah. Tingginya kasus pada remaja yang terjadi dapat bermacammacam motifnya, seperti salah satunya untuk menjadi pusat perhatian dan
mendapatkan reaksi yang dapat dilakukan dengan cara mengejek atau

mengirimkan gambar yang memalukan melalui media elektronik yang bahkan


dapat menimbulkan perkelahian di dunia nyata. Perilaku tersebut kadang kurang
disadari oleh remaja yang merupakan salah satu perilaku cyberbullying. Seperti
yang pernah terjadi pada siswa SMAN 64 Jakarta, dengan alasan tersebut peneliti
menjadikan sekolah tersebut tempat penelitian.
Kasus nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah twitwar atau perang
twitter. Beberapa waktu lalu yang terjadi kasus bully pada Bastian salah satu
personil grup musik, ada yang mengungah foto Bastian yang mencium seorang
gadis yang menjadi banyak komentar cacian karena Bastian yang masih berumur
15 tahun dan menjadi public figure. Selain itu, baru-baru ini terjadi kasus
pengungahan video Chelsea Ishan yang sedang berganti baju. Video yang
diunggah oleh orang yang tidak diketahui tersebut diduga untuk menjatuhkan
Chelsea Ishan yang karirnya sedang naik daun tersebut, banyak yang akhirnya
mem-bully tetapi dengan bijaknya sikap yang ditunjukkan Chealsea Ishan yang
tidak menghiraukan video tersebut dan menghimbau dalam kampanye stop
bullying. Kasus lainnya yang sempat membuat ramai di media sosial Twitter,
kasus Farhat Abbas yang mengejek dan menjelekkan Ahmad Dhani atas kasus
yang dialami oleh anak Ahmad Dhani yang akhirnya sampai dengan pelaporan
Ahmad Dhani pada pihak kepolisian dan anak Ahmad Dhani yang tersulut emosi
hingga ingin membuat pertarungan tinju dengan Farhat Abbas. Dari beberapa
kasus tersebut, dapat menjelaskan maraknya kasus cyberbullying yang terjadi di
Indonesia. Tindakan cyberbullying ini terjadi tanpa dapat pengawasan baik dari
pihak sekolah atupun yang berkepentingan untuk mengawasi tindakan ini. Hal

tersebut yang tetap membuat leluasanya pelaku cyberbullying melakukan


tindakannya.

Cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan


teknologi yang tidak dikontrol, dimana seorang anak dapat menulis teks atau
menunggah gambar dengan tujuan untuk menjelek-jelekan dan menghina orang
lain dengan niat mempermalukan orang lain. Selain itu tulisan dan gambar yang
diunduh dapat mengundang komentar dari pihak ketiga untuk ikut berkomentar
(bystander) yang sering mengikuti untuk melecehkan dan mempermalukan
korban. Sehingga dapat memperparah dampak bagi korban cyberbullying
(Camfield, 2006). Sedangkan pelaku bullying menunjukkan rasa empati yang
kecil untuk teman sebaya mereka. Menurut Menesini, et.al (dalam Dilmac, 2009),
pelaku bullying sebenarnya sadar akan perasaan orang lain namun tidak dapat atau
tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka dan anak-anak pelaku
bullying juga cenderung ingin dapat mengontorol teman-temannya (Gourneau,
2012).

Penelitian lainnya menemukan bahwa rendahnya respon empati secara


utuh berpengaruh pada perilaku cyberbullying. Pada siswa pelaku cyberbullying
memiliki respon empati yang rendah dibandingkan siswa yang bukan pelaku
cyberbullying (Steffgen, Konig, Pfetsch, & Melzer, 2011). Pada penelitian lainnya
tentang empati dan cyberbullying, dimensi empati dibagi menjadi dua yaitu : (1)
afektif empati (2) cognitif empati (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rendahnya afektif empati maupun

kognitif empati mempengaruhi tingginya perilaku cyberbullying pada remaja


perempuan maupun laki-laki (Ang & Goh, 2010). Menjadi penting untuk
mengetahui kecenderungan sikap empati secara afektif maupun kognitif pada
remaja untuk upaya lebih lanjut dalam intervensi dalam pengurangan perilaku
cyberbullying. Dalam penelitian ini bertujuan melihat peran empati pada
cyberbullying. Secara khusus, untuk melihat apakah pelaku cyberbullying
memiliki empati yang rendah dibanding dengan yang bukan pelaku cyberbullying.

Alasan lain yang membuat lebih banyak lagi pelaku cyberbullying karena
pelaku dapat menyembunyikaan identitas atau anonimitas (Heirman & Walrave,
2008). Penyamaraan atau penyembunyian identitas sebenernya membuat pelaku
cyberbullying merasa tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya,
sehingga mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif. Menurut
Pellegrini (dalam Dilmac, 2009), menyebutkan pelaku bullying memiliki
emosional tinggi dan kontrol diri rendah, namun hingga saat ini, belum ada jurnal
atau penelitian yang menyebutkan secara jelas bahwa tipe kepribadian tertentu
menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi pelaku ataupun korban
cyberbullying. Sedangkan pada penelitian remaja di Singapura dan Malaysia
ditemukan agresivitas sebagai mediator dari perilaku cyberbullying (Ang, Tan, &
Mansor, 2011). Dalam penelitian tersebut, remaja pelaku cyberbullying cenderung
memiliki sikap agresivitas yang tinggi yang salah satu faktor pemicunya
rendahnya self-control.

Hasil penelitian Denson, DeWall, dan Finkel, (2012) yang menyatakan


bahwa kegagalan self control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan yang
paling agresif yang menyertakan kekerasan. Ketika agresi mendesak menjadi
aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk
berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai dengan
standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan perilaku agresif tersebut.
Masih sedikit studi yang mengaitkan self-control yang rendah terhadap pelaku dan
korban bullying, meskipun fakta bahwa self-control yang rendah telah
diidentifikasi sebagai prediktor yang penting dari perilaku penyimpangan dan
kejahatan dalam studi empiris yang telah ada (Gottfredson & Hirschi, 1990).
Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa secara langsung maupun
tidak langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku pelaku maupun
korban dalam cyberbullying (Vazsonyi, Machackova, Sevcikova et al., 2012).
Penelitian Holt, Bossler dan May (2012) tentang tindakan cybercrime dan
kenakalan pada remaja, menemukan hasil bahwa pelaku cybercrime dan
kenakalan pada remaja dipengaruhi oleh rendahnya self-control dan kelompok
teman dengan perilaku yang menyimpang. Rendahnya self-control tidak hanya
menentukan perilaku kriminal, tetapi juga menentukan perkembangan ikatan
sosial yang terjadi, Self-control yang rendah dapat mengganggu ikatan sosial
seseorang (Wright, Caspi, Moffitt, & Silva, 1999). Dari hasil penelitiannya,
Chapple (2005) menyimpulkan bahwa self-control yang rendah menyebabkan
penolakan dari rekan sesama (peer rejection), hubungan dengan rekan atau
kelompok yang menyimpang (deviant peer) dan kenakalan (delinquency).

Masa remaja adalah saat ketika perkembangan identitas sangat penting.


Selama periode ini, proses pembentukan identitas sebagian besar tergantung pada
isyarat dan peraturan dari lingkungan sosial (stereotip sosial) (Hurlock, 1994).
Oleh karena itu, remaja cenderung mencari perilaku dan situasi yang membantu
mereka menghargai diri mereka sendiri secara positif dan menghindari orangorang yang membuat mereka merasa buruk tentang siapa diri mereka. Hal ini
berhubungan dengan persepsi dan penerimaannya sendiri mengubah anak dan
memainkan peran penting dalam mengarahkan pertumbuhan pribadi.

Dari literatur sebelumnya menunjukkan bahwa pengalaman dengan


cyberbullying memiliki efek negatif pada perkembangan remaja. Salah satunya
adalah self-esteem seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan rendahnya selfesteem ditemukan pada korban cyberbullying bukan pada pelaku cyberbullying
(Salmivalli, Kaukiainen, Kaistaniemi, & Lagerspetz, 1999). Sedangkan penelitian
lainnya menyebutkan baik pelaku ataupun korban cyberbullying sama-sama
memiliki self-esteem yang rendah dibandingkan individu yang tidak pernah
mengalami cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2010; Fong-Ching et al, 2013).
Sementara penelitian terbaru menyebutkan tidak adanya pengaruh self-esteem
dengan bullying di sekolah maupun cyberbullying (Robson & Witenberg, 2013).
Dari beberapa hasil penelitian tentang self-esteem tersebut menjadi menarik untuk
diteliti pada penelitian ini untuk lebih melihat keadaan self-esteem pada pelaku
cyberbullying.

Dari

data-data

menyimpulkan

bahwa

dan

beberapa

perilaku

hasil

penelitian

cyberbullying

pada

di

atas,

remaja

peneliti

merupakan

permasalahan yang harus mendapatkan perhatian dalam pencegahan dan


pemecahan solusi yang tepat. Untuk remaja, dapat dengan memberikan kesadaran
atas perilaku yang dilakukan memiliki dampak psikologis bagi orang lain,
intervensi sedini mungkin untuk remaja yang menjadi pelaku cyberbullying
dengan pendidikan internet sehat bagi setiap anak-anak dan remaja di sekolah.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masih kurangnya penelitian tentang
cyberbullying di Indonesia. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul
penelitian yaitu Pengaruh empati, self-control dan self-esteem terhadap
perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah


1.2.1 Pembatasan masalah
Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan
masalah. Adapun pokok permasalahan yang menjadi batasan permasalahan dalam
penelitian ini adalah perilaku cyberbullying yang dipengaruhi oleh variabelvariabel lain diantaranya empati, self-control, dan self-esteem. Adapun penjelasan
mengenai variabel-variabel tersebut sebagai berikut:
1. Cyberbullying dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk bullying yang
dilakukan melalui media elektronik seperti menghina, mengancam,
menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain baik berupa

10

pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui
media sosial.
2. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir,
merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang
tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa
yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut.
3. Adapun yang dimaksud self-control adalah kemampuan seseorang dalam
mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang
sesuai dengan yang diyakini, dibagi berdasarkan pada aspek behavior
control, cognitive control, dan decisional control (Averill, 1973).
4. Yang dimaksud dengan Self-esteem adalah sikap individual, baik positif
atau negatif terhadap dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan yang utuh.
5. Subjek penelitian siswa SMAN 64 Jakarta
1.2.2 Perumusan Masalah
Setelah melalui tahap identifikasi masalah dan tahap seleksi masalah, peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
2. Apakah terdapat pengaruh perspective taking dari variabel empati
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
3. Apakah terdapat pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku
cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

11

4. Apakah terdapat pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap


terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
5. Apaka terdapat pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
6. Apakah terdapat pengaruh behavior control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
7. Apakah terdapat pengaruh cognitive control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
8. Apakah terdapat pengaruh decisional control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?
9. Apakah terdapat pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying
pada siswa SMAN 64 Jakarta?

1.3

Tujuan dan Manfaat

1.3.1

Tujuan penelitian ini ialah :

a. Untuk menguji pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap


perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
b. Untuk menguji pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap
perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
c. Untuk menguji pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku
cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
d. Untuk menguji pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap
perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

12

e. Untuk menguji pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap


perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
f. Untuk menguji pengaruh behavior control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
g. Untuk menguji pengaruh cognitive control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
h. Untuk menguji pengaruh decisional control dari variabel self-control
terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.
i. Untuk menguji pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada
siswa SMAN 64 Jakarta.

1.3.2

Manfaat penelitian ini dilihat dari segi teoritis dan praktis sebagai
berikut:

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi


dalam

ranah psikologi, terutama ranah psikologi pendidikan serta

memberikan informasi bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian


mengenai dinamika karakteristik pada pelaku cyberbullying.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan informasi dan prevention bagi remaja dan para pendidik agar
dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku cyberbullying
pada remaja.

13

1.4 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi
beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini :
Bab 1. Pendahuluan
Bab pendahuluan memuat empat sub bab yaitu latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab 2. Kajian Teori
Pada bab ini dipaparkan teori-teori yang berhubungan dengan variabel penelitian,
yaitu cyberbullying, empati, self-control, dan self-esteem. Selanjutnya dipaparkan
kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.
Bab 3. Metode Penelitian
Bab ini berisi uraian tentang populasi dan sampel termasuk teknik sampling,
variabel

penelitian,

definisi

operasional

variabel

penelitian,

instrumen

pengumpulan data, uji validitas konstruk dan hasilnya, teknik analisis data dan
prosedur penelitian.
Bab 4. Hasil Penelitian
Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran subjek penelitian, deskripsi data,
analisis data dan hasil uji hipotesis. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel-tabel.
Bab 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Dalam bagian ini memuat kesimpulan, diskusi dan saran

Anda mungkin juga menyukai