Anda di halaman 1dari 30

KEPANITERAAN RADIOLOGI DENTAL

LAPORAN HASIL ANALISIS BITE MARK

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Blok 2
Arifah Hariadi
Vici Kartika Sari
Nurul Annisa A.
Anjarwani Fitriasca W.
Astrid Ardiana A.

8436
8440
8443
8454
8485

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan teknologi yang saat ini semakin berkembang, tindak kriminal yang
dilakukan seseorang dapat bervariasi pula. Adanya bekas gigitan pelaku pada benda maupun
jaringan dapat dijadikan bukti saat dilakukan persidangan. Sebagai dokter gigi, sudah semestinya
kita mampu untuk mengidentifikasi gigitan melalui cetakan gigi suspek tersangka dan
menetapkan pelaku melalui bukti yang ada karena setiap orang memiliki lengkung gigi dan pola
gigitan yang berbeda-beda dan spesifik. Berdasarkan pasal 179 KUH Pidana (Moeljatno, 1996),
setiap orang yang dimintai pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman (forensik) atau
dokter, berkewajiban memberikan keterangan ahli demi keadilan. Demikian juga pasal 53 ayat
(2) Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan ditegaskan bahwa tenaga kesehatan
dapat dilibatkan dalam upaya pembuktian dengan melakukan tindakan medis tertentu, baik
dalam perkara pidana maupun perkara lainnya melalui permintaan tertulis oleh pejabat yang
berwenang yang menangani kasus tersebut.
Ilmu forensik dalam aplikasinya digunakan untuk membantu proses penyidikan dibidang
hukum. Ilmu kedokteran gigi merupakan ilmu forensik yang spesifik apabila digunakan untuk
mengidentifikasi. Forensik dengan ilmu kedokteran gigi disebut ilmu kedokteran gigi forensik.
Pada forensik kedokteran gigi, rekam medis dental individual diperiksa, baik sebagai korban
maupun tersangka, yang akan membantu menentukan keputusan akhir dari kasus yang ada
(Bowers, 2004).
Salah satu peran dokter gigi dalam kedokteran gigi forensik adalah menganalisa tanda
gigitan manusia atau hewan yang ditemukan pada kulit atau obyek. Gigi manusia pasti berbeda
antara satu individu dengan individu lainnya. Bentuk gigi dan lebar mesio distal yang bervariasi
akan membentuk pola gigitan yang khas oleh masing-masing individu. Gigi sering
disalahgunakan sebagai senjata untuk menyerang orang lain, atau sebagai cara untuk
mempertahankan diri dari serangan sehingga membekas pada kulit korban. Analisis bukti bekas
gigitan melibatkan pemeriksaan ukuran, rincian dan perbandingan bukti gigitan dari korban dan
tersangka (Brogon, 1998).
Bitemark dapat didefinisikan sebagai perubahan fisik pada bagian tubuh akibat kontak
atau interdigitasi gigi-gigi atas dengan gigi-gigi bawah sehingga struktur jaringan mengalami
diskontinyuitas. Analisis bitemark merupakan suatu teknik identifikasi pola gigitan dengan
menemukan kesamaan antara pola gigitan pada bitemark dengan cetakan model gigi suspek. Pola

gigi manusia satu dengan lainnya berbeda dan ada ciri khas pada masing-masing individu. Ciri
khas dapat berupa pola lengkung gigi, lebar mesio distal, malposisi gigi, jumlah gigi, dan lain
sebagainya. Teknik analisis bitemark dapat dimanfaatkan dalam bidang kedokteran gigi forensik.
Analisis dan perbandingan bitemark merupakan hal yang rumit (Van der Velden et al, 2006).
Analisis dilakukan dengan membandingkan foto tanda gigitan berskala 1: 1 dengan model gigi
para tersangka. Pola gigitan yang terbentuk pada objek dibandingkan dengan kontur, bentuk,
ukuran, dan susunan gigi yang ada pada model gigi. Pada pemeriksaan bekas gigitan dapat
dilakukan analisis terhadap: gigi yang hilang, ruang antar gigi, rotasi gigi, adanya kondisi
spesifik seperti gigi supernumerary, dan fraktur (Stimson, 1997). Bitemark pada jaringan tubuh
manusia atau pada buah-buahan tertentu dapat ditemukan pada korban hidup maupun korban
yang sudah meninggal. Bitemark pada buah-buah paling sering ditemukan pada buah apel,
sehingga ada istilah Apple Bitemark (Van der Velden et al, 2006).
Analisis bitemark dihubungkan dengan perbandingan pada ukuran reproduktif foto grafik
pada daerah yang tergigit (subjek atau objek) dengan model gigi para tersangka dan kemudian
diidentifikasikan atau sama dengan gigi dan ukurannya (Bowers, 2004). Dalam analisis
seringkali dijumpai variasi bitemark, menurut Bowers (2004) variasi bitemark dapat berupa
penambahan, pengurangan maupun distorsi.
1. Central Ecchymosis (pusat memar), dapat disebabkan oleh:
a. Tekanan positif dari gangguan penutupan gigi
b. Tekanan negatif akibat hisapan lidah
2. Partial Bitemark
3. Bitemark yang tidak jelas
4. Multiple bites
5. Avulsive bites

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Bite Mark
Menurut Verma dkk. (2013), bite mark didefinisikan sebagai suatu pola yang
dihasilkan oleh gigi manusia atau gigi binatang dan struktur terkait pada setiap bahan yang
dapat tertandai oleh hal-hal tersebut. Sedangkan menurut Hinchliffe (2011), bite mark

didefinisikan sebagai pola yang sesuai dengan struktur gigi hewan atau manusia yang
tertinggal pada suatu objek maupun jaringan.
Menurut William Eckert (1992), pola gigitan atau bitemark adalah bekas gigitan dari
pelaku yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat
di bawah kulit sebagai akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku, dengan kata
lain pola gigitan merupakan suatu produksi dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.
Menurut Bowers dan Bell (1955), pola gigitan adalah suatu perubahan fisik pada
bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigi atas dengan gigi
bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi manusia maupun gigi hewan.
Menurut Levine (1976) bahwa pola gigitan baik pola permukaan kunyah maupun
permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dan di bawahnya baik
pada jaringan tubuh manusia maupun buah-buahan tertentu misalnya buah apel , dapat
ditemukan baik pada korban hidup maupun yang sudah meninggal. Sedangkan menurut
Soderman dan OConnel (1952), benda yang paling sering terdapat pola gigitan yaitu pada
buah-buahan (buah apel, pear, dan bengkuang) yang dikenal dengan istilah Apple Bite Mark.
Lukman (2003, dalam Lukman, 2006) menyatakan bahwa pola gigitan mempunyai suatu
gambaran dari anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan pola gigitan pada
jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun manusia yang masing-masing
individu sangat berbeda.
B. Karakteristik Bite Mark
Menurut Rai dan Kaur (2012), bite mark dapat menghasilkan beberapa karakteristik
seperti:
1. Ecchymosis
a. Central ecchymosis: tekanan negatif yang dibentuk oleh lidah dan hisapan serta tekanan
positif yang dibentuk oleh gigi. Hal ini menyebabkan perdarahan karena pecahnya
pembuluh darah kecil sehingga menghasilkan central ecchymosis.
b. Linear abrasions, contusions, atau striations: hal ini disebabkan oleh tergelincirnya gigi
terhadap kulit atautercetaknya permukaan lingual gigi di kulit.
c. Double bite(gigitan ganda):hal ini dapat terjadi saat kontak awal dengan gigi, kulit
tergelincir dan gigi berkontak lagi dengan kulit untuk kedua kalinya.
d. Pola anyaman dari pakaian yang tercetak
e. Peripheral ecchymosis: hal ini terjadi ketika terdapat luka memar yang berlebihan
2. Pola gigitan sebagian (partial bite marks)
a. Satu lengkung (half-bites)

b. Satu atau beberapa gigi


c. Pola unilateral: dihasilkan ketika gigi-geligi tidak lengkap atau tekanan yang tidak rata
selama menggigit.
3. Pola gigitan kabur (faded bite marks)
a. Penggabungan lengkung: tidak terdapat pola gigi individual
b. Solid: terjadi ketika eritema atau memar mengisi seluruh area pusat gigitan. Bite mark
tidak menunjukkan bentuk lingkaran, namun terdapat tanda perubahan warna
(kehitaman)
c. Lengkung tertutup (closed arches): bagian tepi lengkung maksila dan mandibula
bergabung
d. Latent: dapat terlihat dengan teknik khusus
4. Superimposed bites: 2 tanda gigitan saling bertumpuk
5. Avulsive bites: jaringan tergigit oleh korban itu sendiri
C. Klasifikasi Bite Mark
Pola gigitan mempunyai derajat perlakuan permukaan sesuai dengan kerasnya
gigitan, pada pola gigitan manusia terdapat 6 kelas, yaitu:
1. Kelas I
Merupakan pola gigitan yang terdapat jarak dari gigi insisivus dan kaninus.

Gambar 1: memperlihatkan pola gigi seri sentralis dan naturalis dan kaninus dengan
jarak sesuai dengan susunan gigi-geliginya.
2. Kelas II
Pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat gigitan cusp bukalis dan
palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih
sedikit.

Gambar 2: memperlihatkan pola gigitan dari gigi insisivus, kaninus, dan cusp premolar
rahang atas dan rahang bawah.
3. Kelas III
Pola gigitan kelas III memiliki derajat luka yang lebih parah dari kelas II yaitu
permukaan gigit insisivus telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai
derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II.

Gambar 3: memperlihatkan permukaan kulit dengan luka sesuai dengan garis gigitan
gigi insisivus dan kaninus sedangkan gigi premolar lebih mempunyai pola luka lebih
dalam.
4. Kelas IV
Pada pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulitdan otot di bawah kulit yang sedikit
terlepas atau rupture sehingga terlihat pola gigitan yang ireguler.

Gambar 4: Memperlihatkan ketidakteraturan dari keparahan derajat pola gigitan dari gigi
kaninus dan insisivus yang sangat dalam, baik pada rahang atas maupun rahang bawah
sedangkan pola gigitan gigi premolar kedua cuspnya hampir menyatu.
5. Kelas V

Pada pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan insisivus, kaninus, dan
premolar baik pada rahang atas maupun bawah.

Gambar 5: memperlihatkan pola luka gigitan yang sangat lebar serta ketidakteraturan
dari semua gigi depan dan premolar.
6. Kelas VI
Pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari gigi rahang atas dan
bawah, jaringan kulit, serta jaringan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan
pembukaan mulut.

Gambar 6: memperlihatkan luka akibat pola gigitan sangat dalam dan buas pada jaringan
kulit dan jaringan ikat terlepas seluruhnya.
Sedangkan mnurut Verma dkk (2013) bite mark (pola gigitan) diklasifikasikan
menjadi 7 jenis, antara lain:
1. Artefak, dimana daging atau bagian tubuh secara utuh terlepas atau tergigit lepas dari
2.
3.
4.
5.
6.
7.

tubuh.
Abrasi, tanda undamaging pada kulit atau memar tanpa kerusakan kulit
Avulsi, yaitu terlepasnya kulit
Kontusi, yaitu pecahnya pembuluh darah
Hemoragi, tanda pendarahan kecil
Insisi, yaitu tusukan atau sayatan rapi pada kulit
Laserasi, kulit yang robek dan basah

D. Metode Analisis Bite Mark


1. Swab saliva pada Area Bitemark
Swab saliva pada area gigitan harus dilakukan apabila memungkinkan. Apabila area
gigitan telah tercuci maka prosedur ini tidak dapat dilakukan. Jika melakukan swab pada
area gigitan dapat merusak atau mengubah pola gigitan, maka sebaiknya tidak dilakukan
atau dilakukan apabila semua prosedur analisis sudah dilakukan. Swab saliva dapat

dilakukan menggunakan ujung cotton applicator, kertas rokok, atau media lainnya.
Kontrol swab harus diambil dari area lain pada objek yang telah digigit (Anonim, 2000).
2. Dokumentasi Fotografi dari Area Gigitan
Fotografi telah digunakan sebagai media berekspresi dan dokumentasi peristiwa.
Fotografi sendiri telah digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, sesuai keperluannya
masing-masing. Sebagai contoh, dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi, fotografi
digunakan untuk dokumentasi berbagai kasus-kasus kelainan serta secara luas digunakan
dalam ilmu forensik kedokteran gigi sebagai analisis bite mark(Rajshekar dkk., 2012).
Foto-foto diambil untuk mendokumentasikan luka yang ditemukan pada tubuh korban dan
sebisa mungkin foto diambil dari posisi yang sama dengan ketika korban digigit. Hal ini
ditujukan untuk

meminimalisir kemungkinan distorsi postural pada foto (Hinchliffe,

2011).Dalam kasus kriminalitas yang melibatkan bite mark, cetakan serta fotografi geligi
para tersangka harus dimiliki (Rajshekar dkk., 2012).
Beberapa jenis fotografi yang dianjurkan dalam dokumentasi bite mark adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Dengan dan tanpa skala ABFO


Foto berwarna dan hitam putih
Foto dengan flash dan tanpa flash
Foto seluruh badan yang menunjukkan lokasi bite mark
Foto close up dengan skala 1:1
Foto UV jika bite mark memudar
Jika gigitan terletak pada bagian tubuh bergerak, maka posisi tubuh spesifik juga di
ambil gambar.(Bhargava dkk.,2012 )
Seluruh foto yang didokumentasikan diambil pada sudut 90 dari lokasi injuri, dan

direkomendasika untuk diambil sesegera mungkin selang interval 24 jam. Pencahayaan


saat pengambilan foto diatur pada sudut sebaik mungkin agar foto memiliki hasil yang
maksimal. Secara umum metode foto merupakan cara teraman dalam dokumentasi bite
mark. Penggunaan fotografi stereoskopik dianjurkan untuk mendapatkan detail yang lebih
baik, penggunaan metode UV dan inframerah mungkin diperlukan pada kasus tertentu
untuk mendapatkan detail yang mungkin tidak nampak secara jelas pada foto normal
(Bhargava dkk.,2012).
Beberapa gambar dengan metode foto dan menggunakan image perception software:

Gambar 7. Kiri:foto original; kanan:foto diwarnai dengan teknologi persepsi gambar (van der Velden
dkk., 2006).

Gambar 8. Detail insisal pada foto bite mark (van der Velden dkk., 2006).

Gambar 9. Foto pseudo 3-D dengan detail bite mark (van der Velden dkk., 2006).

Gambar 10. Cetakan gigi dan hasil gigitan apel yang discan dengan A.B.F.O, skala No.2, menggunakan
HP Scanjet 3770 digital flatbed scanner (Stavrianos dkk., 2011)

Gambar 11. Perbandingan model gigi dengan hasil gigitan apel menggunakan Adobe Photoshp CS4

Area gigitan harus difoto menggunakan fotografi konvensional dan diikuti dengan
petunjuk yang telah dijelaskan pada ABFO Bitemark Analysis Guidelines. Prosedur
fotografi aktual harus dilakukan oleh dokter gigi forensuik atau direksi odontologi untuk

mendapatkan akurasi dan dokumentasi area gigitan yang lengkap. Video atau digital
imaging dapat digunakan sebagai pendukung dari fotografi konvensional. Alat bantu
seperti tripod, focusing rail, dll dapat digunakan untuk mendapatkan hasil foto yang lebih
baik.
a. Pencahayaan
- Sudut pencahayaan menggunakan flash point merupakan teknik pencahayaan
yang paling umum dan harus dilakukan apabila memungkinkan.
- Sumber pencahayaan tegak lurus atau sejajar pada area gigitan dapat
dimanfaatkan selain dari sudut pencahayaan. Tetapi, harus berhati-hati agar
pantulan cahaya tidak mengganggu objek yang akan difoto.
b. Skala
- Skala ABFO no.2 merupakan alat ukur yang paling umum digunakan dalam
analisis bitemark. Bitemark Analysis Guidelines.
- Peletakan skala harus mengikuti petunjuk yang dijelaskan oleh ABFO

Skala ABFO No.2


(Anonim, 2000)
c. Pencetakan pada Area Gigitan
Metode pencetakan bekas gigitan dilakukan jika bite mark telah berpenetrasi dalam
kulit. Dalam metode ini, biasanyan digunakan cetakan menggunakan gips plaster atau gips
stone. Pencetakan dilakukan dengan menggunakan bahan berbasis karet atau berbasis
silikon. Ada dua metode dalam melakukan pencetakan bekas gigitan, yaitu :
a. Metode I : Material dituangkan menutupi area gigitan, kemudian diletakkan balut dari
kawat tipis dan ditambahkan material cetak tambahan
b. Metode II : Sebuah tray khusus dibuat dengan menggunakan cold cure sampai batasbatas bentukan bite mark, lalu cetakan dibuat dengan tray tersebut.
Cetakan dibuat dua buah, yaitu cetakan asli dan cetakan duplikat. Baik resin light
cured ataupun resin epoksi bisa digunakan untuk mendapatkan cetakan yang keras dan
stabil (Bhargava dkk.,2012).

Menurut Lukman (2006), analisis pola gigitan manusia dapat dilakukan dengan cara:
a. Bahan-bahan analisa
Pencetakan pada pola gigitan manusia menggunakan bahan cetak yang flow system
seperti alginat. Pada organ tubuh yang bulat, dapat digunakan kain keras yang dibentuk
sesuai dengan sekitar pola gigitan sehingga bahan cetak tidak keluar dari sekitar gigitan.
b. Cara mencetak pola gigitan
Bahan cetak diaduk kemudian setengah bagian ditempatkan dan ditekan pada sekitar
pola gigitan. Mangkok cetak diisi setengah bagian lagi bahan cetak dan dijadikan satu
dengan bahan cetak di sekitar pola gigitan
c. Hasil cetakan
Hasil cetakan dari pola gigitan menghasilkan suatu model gips stone dari model negatif.

Gambar 12. Contoh pola gigitan pada apel (Stavrianos dkk., 2011)

Gambar 13. kiri: Hasil cetakan negatif dengan light body vynil plysiloxane; kanan: cetakan positif
dari catatan gigitan (Stavrianos dkk., 2011)

Gambar 14. Pencocokan model gigi tersangka dengan hasil cetakan gigitan pada apel (Stavrianos
dkk., 2011)

Analisis pola bite mark dapat dilakukan dengan metode langsung dan tak langsung.
Analisis pola ini dilakukan dengan menggunakan foto skala 1:1 dan model gigi. Pada metode
langsung, model gigi tersangka langsung ditempatkan di atas foto bite mark dan dicocokkan.
Pada metode tidak langsung, dapat dilakukan metode seperti: 1) program komputer, 2) dua
tipe radiograf, 3) xerografik, dan 4) hand-traced. Metode tidak langsung yang paling akurat
ialah metode dengan menggunakan komputer.
Beberapa metode khusus dalam analisis bite mark adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Vectron digunakan untuk mengukur jarak antara titik dan sudut.


Stereometric graphic analysis dapat digunakan untuk membuat kontur gigi tersangka
Experimental marks dapat dibuat dari kulit babi dan karet untuk analisis
Scanning electron microscopic digunakan untuk analisis luka pada bite mark
Image perception technology
Menurut Benson dkk. (1988) terdapat berbagai macam cara pencetakan bitemark, salah

satunya dengan menggunakan bahan cetak vinyl polysiloxane (Exaflex). Exaflex dicampur di
atas paper pad hingga homogen, kemudian diaplikasikan pada obyek bitemark menggunakan
syringe atau spatula. Harus dihindari timbulnya gelembung udara. Material cetak harus
mampu mencetak seluruh bekas gigitan dengan jelas dan batas yang tegas. Setelah material
cetak menrgalami proses setting, orthopedic tape dipotong sesuai besar ukuran obyek yang
dicetak. Orthopedic tape direndam dalam air hangat agar dapat membentuk lapisan penguat
bahan cetak pertama. Setelah orthopedic tape dingin dan keras, exaflex kedua dituangkan
untuk merrekatkan lapisan exaflex pertama dengan orthopedic tape. Agar lapisan cetakan
lebih kokoh, dapat ditambakan beberapa lapis orthopedic tape lagi. Sebelum lapisan terakhir
bahan cetak setting, diberi label identitas berupa tanggal, lokasi bitemark, nama korban atau
nomor tubuh korban, dan inisial orang yang membuat cetakan tersebut. Cetakan yang dibuat
minimal dua cetakan untuk kepentingan pengadilan.
Alternatif lain untuk pencetakan bitemark adalah menggunakan plaster of paris sebagai
bahan cetak. Namun penggunaan plaster of Paris sebagai bahan cetak terbatas karena bahan
ini tidak mampu mencetak obyek secara detail. Plaster of Paris juga dapat menghasilkan panas
sehingga tidak nyaman jika digunakan pada subyek yang masih hidup. Material cetak
hydrocolloid juga dapat digunakan, namun bahan cetak ini memiliki kelemahan dalam hal

dapat terjadi distorsi karena dehidrasi. Material cetak yang paling akurat dan stabil untuk
digunakan adalah vinyl polysiloxane (Benson, 1988).
Menurut Lee dan Harris (2006), teknik pencetakan dalam analisis bitemark dilakukan
dengan cara membuat pembatas berbentuk cincin dari akrilik yang dapat mengelilingi sekitar
5 cm melebihi bekas gigitan. Light body vinyl polysiloxane atau bahan cetak flowable
diaplikasikan pada bitemark. Cincin akrilik yang telah dibuat diletakkan dan bahan cetak
dibiarkan setting. Lalu diaplikasikan heavy body vinyl polysiloxane di atas light body material
dan dibiarkan mengeras. Kemudian diaplikasikan lapisan akrilik di atas cetakan dan dibiarkan
mengeras. Cetakan yang telah setting diangkat dan diisi dengan gips stone untuk membuat
cetakan positif. Catat dan beri label pada model.
D. Analisis Pola Gigitan pada Buah
Analisa pola gigitan pada buah hanyalah buah tertentu saja, misalnya pada apel yang
dikenal dengan apple bite mark, dapat pula pada buah pear dan bengkuang. Pola gigitan ini
adalah penapakan dari hasil gigitan yang putus akibat gigi atas yang beradu dengan gigi
bawah sehingga terlihat hasil dari gigitan permukaan bukalis gigi atas dan gigi bawah.
Dilakukan pencetakan hasil gigitan buah apabila buah tersebuat belum rusak. Keadaan
ini telah dilakukan pada identifikasi pola gigitan apple bite mark pada peristiwa terbunuhnya
pelukis nasional Basuki Abdullah. Setelah melakukan pembunuhan, pelaku memakan
makanan di meja makan kemudian menggigit apel dari lemari es dan tersisa buah apel dengan
gigitan sebelah.
Pertama-tama dilakukan pencetakan pada buah apel tersebut, kemudian dicekatkan
pada okludator. Dilakukan pencetakan gigi geligi rahang atas dan rahang bawah para
tersangka kemudian model rahang dicekatkan pada okludator, bila tersangka lebih dari satu
maka terdapat banyak model pada okludator dengan diberi nomor A,B,C,D atau I, II, III, IV
dan seterusnya. Satu persatu tersangka diinterogasi sambil diperlihatkan model rahangnya
serta diminta untuk menggigit buah apel dengan diameter sebesar di tempat kejadian perkara.
Apabila hasil gigitan sama maka dialah pelakunya.
Proses ini dilaksanakan di ruang tertutup oleh penyidik dan tim identifikasi dengan
penjagaan secukupnya. Data-data tersebut dicatat dalam formulir baku mutu, odontogram
serta lampiran-lampirannya. Hal ini penting untuk penyusunan berita acara tuntutan dalam
proses suatu penyelidikan. Pada peristiwa Basuki Abdullah, terungkap bahwa tukang
kebunnya adalah pencuri koleksi jam antiknya sekaligus pelaku pembunuhan dengan
memukul kepala korban menggunakan senapan angin yang tergantung di dinding.

E. Distrorsi dalam Analisis Bekas Gigitan


Metode analisis bite mark yang paling sering digunakan dalam bidang odontologi
forensik didasarkan pada interpretasi bukti-bukti fotografi, dimana bite mark dibandingkan
dengan model gigi seseorang yang dijadikan tersangka (Velden dkk., 2006). Gambar atau foto
dapat mengalami distorsi akibat teknik fotografi yang buruk; sebagai contoh sebuah gambar
tidak dapat digunakan lagi dan harus difoto ulang. Bukti bite mark seringkali tidak lagi ada
pada kulit seiring dengan perubahan kulit, atau karena bite mark-nya sendiri lenyap seiring
berjalannya waktu. Penggunaan teknik yang benar untuk beberapa jenis distorsi akan
meningkatkan akurasi (Bowers sit Rajshekar,2012).
Distorsi dapat terjadi pada tahapan yang berbeda-beda dalam analisis bite mark. Dua
jenis distorsi adalah:
1. Distorsi primer
Distorsi primer terjadi saat gigitan ditimbulkan pada kulit. Distorsi jenis ini
diakibatkan terutama karena dinamika proses menggigit dan tingkat kejelasan jaringan
yang digigit. Komponen ini disebut dengan distorsi dinamik dan distorsi jaringan. Distorsi
ini menunjukkan adanya perlawanan selama serangan dilakukan yang mengakibatkan
perubahan posisi gigi saat menggigit (Rajshekar dkk., 2012).
Kulit merupakan jaringan yang sangat elastis dan segera setelah tekanan dihilangkan,
maka kulit akan kembali pada kondisi semula. Fenomena meregang dan melebarnya kulit
ini akan menyebabkan distorsi jaringan. Distorsi primer secara forensik dianggap penting
karena hal ini diobservasi mengenai fase awal serangan atau gigitan dan dicatat secara
runtut (Rajshekar dkk., 2012).
2. Distorsi sekunder
Distorsi sekunder ditemui pada fase lanjut, bukan sesaat setelah gigitan terjadi, dan dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Distorsi terkait waktu
Distorsi terkait waktu disebabkan karena adanya rentang waktu antara kejadian
dan waktu saat bite mark didokumentasikan; sebagai contoh adanya perlukaan kulit dan
berikutnya terjadi proses penyembuhan luka pada kulit, hal ini mengakibatkan
terjadinya distorsi.
b. Distorsi postural

Distorsi postural terjadi karena perbedaan postur saat proses menggigit terjadi,
dibandingkan dengan waktu saat bite mark didokumentasikan. Distorsi postural terjadi
karena peristiwa fleksi dan ekstensi, tetapi distorsi postural paling sering terjadi daerahdaerah lekukan, seperti pada payudara wanita karena posisi lengan. Seorang analis harus
memperhatikan posisi tubuh awal saat insiden terjadi untuk meminimalisir distorsi.
c. Distorsi fotografi
Distorsi fotografi terjadi akibat teknik fotografi yang salah. Sebuah foto
merupakan representasi grafis dari sebuah objek dan tergantung dari lensa kamera.
Akurasi derajat representasi grafis tergantung dari beberapa variabel, seperti orientasi
kamera. Skala foto harus selalu paralel dengan bite mark. Pada dasarnya, sebuah
penggaris dapat digunakan untuk mengukur cetakan gigi dan data tersebut kemudian
dibandingkan dengan foto. Odontologis harus memperhatikan tanda-tanda lain yang
teridentifikasi, baik pada cetakan gigi maupun foto. Ketika distorsi terjadi pada sebuah
foto, bukti yang ada tidak lagi akurat, sehingga hasil foto menjadi tidak valid dan bukti
menjadi tidak reliable.
Sebuah penelitian juga mengatakan bahwa distorsi dapat terjadi pada kulit setelah
penggigitan. Respon pada kulit berupa edema terhadap trauma kemungkinan mengeraskan
area tersebut sehingga membuatnya lebih stabil. Namun, resorpsi berikutnya dar cairan
tersebut akan menyebabkan distorsi yang lebih tinggi. Para peneliti tersebut menyimpulkan
bahwa perubahan pada penampakan pola gigitan kemungkinan menjadi lebih besar seiring
bertambah lamanya luka yang terjadi (Beena dkk., 2012).
Sementara makanan dan beberapa benda padat lain memiliki sifat yang mirip dengan bahan
bahan cetak dimana keakuratannya ditentukan oleh substrat dan kecenderungannya untuk
berubah bentuk, dehidrasi atau membusuk. Makanan seperti keju, permen karet, kue, coklat
dan permen dapat menghasilkan cetakan 3D dengan kondisi yang baik. Sedangkan buahbuahan, sayuran, mentega, dan daging juga dapat digunakan untuk identifikasi pola gigitan
namun dengan kemungkinan distorsi yang lebih tinggi. Semakin besar pola gigitan, semakin
cepat pula dehidrasi terjadi sehingga pola gigitan menjadi lebih cepat distorsi. Dehidrasi
tersebut dapat diperlambat dengan penyimpanan material dalam plastik bersegel dan
menempatkannya dalam lemari pendingin (Stavrianos dkk., 2011). Menurut Stols dan Bernitz

(2010), penyusutan maupun distorsi dalam jumlah kecil tidak akan mempengaruhi pola yang
berhubungan dengan ciri-ciri atau karakteristik yang ada pada bite marks.
F. Identifikasi Korban Melalui Eksklusi pada Korban Massal
Yang dimaksud dengan identifikasi korban dengan eksklusi ialah apabila pada korban
missal yang telah teridentifikasi hanya tertinggal satu jasad saja, maka tidak perlu
diidentifikasi oleh karena jasad yang satu itu adalah nama yang belum teridentifikasi pada
daftar penumpang. Misalnya musibah pesawat terbang jatuh, daftar penumpang 100, apabila
99 telah diidentifikasi dari temuan-temuan organ tubuhnya maka satu jasad tersisa tidak usah
dilakukan identifikasi.
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu:
(a). Primer/utama
1.
2.
3.

Catatan atau hasil pemeriksaan gigi geligi (Dental Records)


Sidik jari (Finger Prints)
DNA

(b). Sekunder/pendukung
1.
2.
3.

Visual
Property (Barang kepemilikan)
Data medis (Medical)
Metode untuk identifikasi korban bencana secara massal salah satunya adalah dental

records. Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian khususnya
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang berbeda,
menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jati diri seseorang.
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi
pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini
menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya
kebakaran. dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik jari tidak dapat dilakukan,
sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari. Satu keterbatasan
pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum meratanya sarana untuk pemeriksaan
gigi, demikian pula pendataannya (dental record). Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi
(Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual,
sinar-X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk,
susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap

individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan
cara membandingkan data temuan dengan data pembanding antemortem.
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai berikut:
a. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan
pengaruh lingkungan yang ekstrem. Karena gigi komposisinya sebagian besar terdiri
dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, sedangkan bahan organik dan airnya
sedikit sekali.
b. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi
menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. (1: 1050).
Kemungkinan tersedianya data ante mortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental
record) dan data radiologis.

BAB III
HASIL TRACING
A. Hasil Pengukuran Mesiodistal Gigi pada Model Gigi Tersangka dan Bite Mark (dalam
mm)

Elemen

Lebar Mesiodistal Gigi pada Model


Pelaku Gigitan
Pelaku Gigitan

Gigitan Apel
Gigitan
Gigitan

Distorsi Model
Gigitan
Gigitan

Dalam
7,20

Dangkal

Dalam

Dangkal

Dalam

13

Dangkal
7,7

12

6,1

6,50

6,70

6,90

+0,20

-0,40

11

7,9

8,00

7,60

7,30

+0,90

+0,70

21

7,8

8,00

9,30

7,60

-0,80

+0,40

22

6,1

6,70

6,50

5,60

-0,30

+0,90

23

7,30

43

6,4

6,50

6,90

42

5,5

5,30

5,50

4,30

+0,30

+1,00

41

5,00

5,90

4,40

-0,80

+0,60

31

4,9

5,00

4,70

5,10

+0,30

-0,10

32

5,7

5,40

6,90

5,30

-1,00

+0,10

33

6,1

6,30

4,70

7,90

+2,30

-1,60

Rata-rata
Hasil pengukuran setelah 1 jam
Elemen

Lebar Mesiodistal Gigi pada Model


Pelaku Gigitan
Pelaku Gigitan

Gigitan Apel
Gigitan
Gigitan

Distorsi Model
Gigitan
Gigitan

Dalam
7,20

Dangkal

Dalam

Dangkal

13

Dangkal
7,7

12

6,1

6,50

7,46

6,9

-1,36

11

7,9

8,00

8,25

-0,35

21

7,8

8,00

9,6

7,7

-1,8

22

6,1

6,70

7,6

6,7

-1,5

23

7,30

43

6,4

6,50

5,3

4,7

+1,1

42

5,5

5,30

3,8

4,3

+1,7

41

5,00

6,3

5,1

-1,3

31

4,9

5,00

5,7

5,2

-0,8

32

5,7

5,40

5,6

5,2

+0,1

33

6,1

6,30

6,5

Dalam

-0,4

Rata-rata
Elemen

Lebar Mesiodistal Gigi


pada Model

Gigitan Tangan

Distorsi Model

13
12
11
21
22
23
43
42
41
31
32
33
Rata-rata

8
6,7
7,4
8,3
6,3
7,3
5,8
5,3
5
5,1
5,2
6,2

6,6
6
8,6
9
7,1
5,7

+1,4
+0,7
-0,8
-0,7
-0,8
1,6

6
6,3
5,2
5

-0,7
-1,3
-0,1
+0,2

B. Hasil pencetakan gigitan dangkal dan gigitan dalam

Gambar 15. Cetakan gigitan dangkal A

Gambar 16. Cetakan gigitan dangkal B

Gambar 17. Cetakan gigitan dalam A

Gambar 18. Cetakan gigitan dalam B

C. Hasil Penapakan Gigitan Dalam, Gigitan Dangkal dan Gigitan Tangan

Gambar 19. Penapakan gigitan dalam

Gambar 20. Penapakan gigitan

dangkal

Gambar 20. Penapakan gigitan tangan

Gambar 22. Penapakan gigitan dengan software Corel Draw X5

D. Analisis Hasil Tracing


1. Pada bite mark gigitan dangkal A RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi 12 11
21 22 sedangkan pada gigitan dangkal B RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi
12 11 21 22. Pada gigitan dangkal A RB juga terdapat 6 catatan gigitan sempurna yaitu gigi
33 32 31 41 42 43 sedangkan gigitan dangkal B RB juga terdapat 6 catatan gigitan
sempurna gigi 33 32 31 41 42 43.
2. Pada bite mark gigitan dalam A RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi 12 11
21 22 sedangkan pada gigitan dalam B RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi
12 11 21 22. Pada gigitan dalam A RB juga terdapat 5 catatan gigitan sempurna yaitu gigi
33 32 31 41 42 sedangkan pada gigitan dalam B RB terdapat 5 catatan gigitan sempurna
yaitu 33 32 31 41 42.
3. Pada bite mark RA untuk gigitan dangkal terlihat adanya malposisi gigi 22, posisi gigi
terlihat lebih dalam, sedangkan pada RB terlihat adanya malposisi gigi 33 32 31 41 42.

Sedangkan untuk gigitan dalam RA tidak terlihat jelas, pada RB terlihat adanya gigi 31 33
42 43 terlihat lebih dalam.
4. Gigitan dangkal lebih mudah diidentifikasi karena batasnya masih cukup terlihat terutama
pada gigitan RB. Sedangkan pada gigitan dalam terutama gigitan RA sulit diidentifikasi.
5. Pada bitemark gigitan tangan RA, terdapat 3 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi 11, 22,
23, sedangkan pada gigitan tangan RB terdapat 2 catatan gigitan sempurna yaitu gigi 31
dan 32.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada gigitan dangkal A RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna (22, 21, 11, dan 12)
sedangkan pada gigitan dangkal B RA terdapat 5 gigitan sempurna (22, 21, 11, 12). Pada
gigitan dangkal A RB terdapat 5 catatan gigitan sempurna (22, 21, 11, 12, dan 23), sedangkan
pada gigitan dangkal B RB terdapat 5 gigitan sempurna (22, 21, 11, 12, dan 23). Pada gigitan
dalam A RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna (22, 21, 11, 12), sedangkan pada gigitan
dalam B RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna (22, 21, 11, 12). Pada catatan gigitan dalam
A RB terlihat adanya 4 catatan gigitan sempurna (21, 12, 23 dan 13) sedangkan pada catatan
gigitan dalam B RB terlihat adanya 4 catatan gigitan sempurna (21, 12, 23 dan 13).
Pada bitemark gigitan tangan RA, terdapat 3 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi 11, 22,
23, sedangkan pada gigitan tangan RB terdapat 2 catatan gigitan sempurna yaitu gigi 31 dan
32.
Baik pada gigitan dangkal maupun gigitan dalam ditemukan adanya malposisi gigi
individual..
Malposisi Gigi Pada Gigitan Dangkal
RAHANG ATAS
22 mesiolabiotorsiversi

RAHANG BAWAH
33 mesiolabiotorsiversi
32 distolinguotorsiversi
31 distolinguotorsiversi
41 mesiolinguotorsiversi

Malposisi Gigi Pada Gigitan Dalam


RAHANG ATAS
23 mesiolabiotorsiversi

RAHANG BAWAH
33 distolabiotorsiversi
31 mesiolabiotorsiversi
43 mesiolabiotorsiversi

Malposisi Gigi Pada Gigitan Tangan


RAHANG ATAS
11 mesiopalatotorsiversi

RAHANG BAWAH
31 mesiolinguotorsiversi

22 mesiopalatotorsiversi, supraversi 32 distolinguotorsiversi


23 mesiolabiotorsiversi

A. Cetakan model gigi Monika

A.

Perbandingan Bite Mark Gigitan Dangkal dengan


Model Gigi
1.
Cetakan Model Gigi Monika
Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan cetakan model gigi tersangka,
terdapat kemiripan lengkung gigi dan posisi gigi individual. Salah satu kesamaan yang
tampak sangat jelas adalah gigi I2 rahang atas kiri dari Monika sangat sesuai dengan
cetakan pola gigitan yaitu malposisi mesiolabiotorsiversi.
Hasil tracing baik pada pola gigitan dangkal dan pola gigitan dalam menunjukkan
terdapat distorsi ukuran mesiodistal dibandingkan pada cetakan model rahang. Walaupun
demikian masih terdapat kemiripan pola lengkung gigi antara model rahang dan pola
gigitan pada apel. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan distorsi, antara lain :
Ada beberapa bekas gigitan yang berukuran lebih kecil daripada ukuran gigi pada model,
hal tersebut kemungkinan disebabkan kekuatan gigitan yang kurang.
Ada beberapa bekas gigitan yang berukuran lebih besar daripada ukuran gigi pada model,
hal tersebut kemungkinan disebabkan kekuatan gigitan yang lebih besar.
Pada pola gigitan dalam, gigi yang tercetak lebih banyak daripada pola gigitan dangkal
kemungkinan hal tersebut disebabkan kekuatan gigitan dalam lebih besar.
Terdapat kemungkinan terjadi kesalahan dalam menentukan lebar mesiodistal gigi pada
pola gigitan karen batas titik-titik mesial dan distal yang kurang jelas.
Perbedaan yang terjadi dikarenakan adanya pergerakan, distorsi dari bekas gigitan dan
adanya sobekan pada benda yang digigit. Posisi tubuh saat melakukan gigitan mungkin
juga dapat mempengaruhi bitemark. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi identifikasi
bitemark yang akurat adalah perubahan bitemark seiring berjalannya waktu, lokasi, tingkat
kerusakan pada jaringan lunak, kesamaan susunan gigi individu, hasil cetakan dan ukuran
gigi. Adapun pada kasus ini terjadi distorsi, sebagai berikut:

1.

Ada beberapa bekas gigitan yang berukuran lebih besar daripada ukuran gigi pada model,
hal tersebut kemungkinan disebabkan pergeseran saat menggigit.

2.

Distorsi pada gigitan dalam secara garis besar lebih besar dibandingkan gigitan dangkal,
mungkin karena kekuatan gigitan dalam lebih besar sehingga merusak batas mesiodistal
gigi, selain itu distorsi dapat juga disebabkan karena tekanan dari sudut maksila dan
mandibula dapat mengubah rupa bitemark.

3.

Terdapat kemungkinan terjadi kesalahan dalam menentukan lebar mesiodistal gigi pada
pola gigitan karena batas titik-titik mesial dan distal yang kurang jelas.

B. Perbandingan Bite Mark Gigitan Dalam dengan Model Gigi


1.

Cetakan model gigi Galuh


Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi. Galuh memiliki
bentuk lengkung gigi 12 11 21 22 yang paling sesuai dengan yang tercetak pada bite
mark. Terlihat pula adanya malposisi gigi 31 33 42 43 yang diperlihatkan dengan adanya
gigitan yang lebih dalam pada bite mark. Dengan pertimbangan tersebut, Galuh dianggap
yang paling sesuai dengan bite mark.

C. Perbandingan Bite Mark Gigitan Tangan dengan Model Gigi


1.

Cetakan model gigi Euis


Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi. Euis memiliki bentuk

lengkung gigi 11 22 23 yang paling sesuai dengan yang tercetak pada bite mark. Terlihat pula
adanya malposisi gigi 31 32 yang diperlihatkan dengan adanya gigitan yang lebih dalam pada
bite mark. Dengan pertimbangan tersebut, Euis dianggap yang paling sesuai dengan bite
mark.
D. Distorsi
Berdasarkan hasil penapakan dan perhitungan bite mark pada gigitan dangkal, gigitan
dalam maupun gigitan tangan menunjukkan adanya distorsi ukuran mesiodistal dibandingkan
dengan ukuran pada cetakan model gigi dari tersangka. Distorsi tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Ukuran gigi pada bite mark ada yang lebih kecil dan ada yang lebih besar daripada lebar
mesiodistal gigi.
2. Distorsi pada gigitan dalam lebih besar daripada gigitan dangkal.

BAB V
KESIMPULAN

A. Dari analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa:


1. Pelaku gigitan tangan adalah Euis.
2. Pelaku gigitan apel dalam adalah Galuh.
3. Pelaku gigitan apel dangkal adalah Monika.
B. Distorsi yang terjadi antara model gigi dengan bite mark dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan dalam menganalisis pelaku gigitan. Dokter gigi perlu memahami bahwa terdapat
berbagai faktor yang dapat menyebabkan kesalahan dalam analisis.

DAFTAR PUSTAKA
Bowers, C. dan Michael, 2004, Forensic Dental Evidence : A Field Investigators Handbook,
USA, Elvesier Publising.

Brogon BG, 1998. Forensic Radiology, CRC press, New York.


Eckert, W.G., 2008. Forensic Dentistry. International Reference Organization in Forensic
Medicine and Sciences. Michigan.
Idries, Abdul, 2011, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyelidikan, GK Press,
Jakarta.
Kennedy,

D.,

2011,

Forensic

Dentistry

and

Microbial

Analysis

of

bite

marks,

http://dentistry.otago.ac.nz/staff/juleskieser/pdfs/DarnellKennedyAPJ.pdf
Lessig R, Wenzel V, Weber M, 2006, Bite mark analysis in forensic routine case work, EXCLI
Journal 2006;5:93-102.
Levine, L.J., 1977. Bite Mark Evidence In Symposium on Forensic Dentistry : Legal
Considerations and Methods of Identification for the Practitioner. Dental Clinics of North
America 21: 145-158.
Lukman D., 2006, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik, Jilid 1, Jakarta: CV Sagung Seto.
Pretty, I.A., 2008, Forensic Dentistry :2. Bitemarks and Bite Injuries, Dental Update, 35: 48-51
Rajshekar, M., Kruger, E., Tennant, M., 2012, Photographic imaging distortion and its
effects on forensic bite mark analysis, Journal of Advanced Oral Research, 3 (3): 1-6.
Stimson, Mertz, 1997. Forensic Dentistry, CRC press, New York.
Van der Velden A, Spiessens M, Willems G, 2006, Bite Mark Analysis and Comparison Using
Image Perception Technology, the Journal of Forrensic Odonto-Stomatolog;24(1):14-17

Anda mungkin juga menyukai