NIM : 1401.14901.021
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KLIEN DENGAN KASUS ATRIAL FIBRILASI
Oleh : Izatun Fauziah Tamrin S.Kep
A. Tinjauan Teori
1. Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu gangguan pada jantung yang paling umum
(ritme jantung abnormal) yang ditandai dengan irama denyut jantung iregular dan
peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada
dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi
atrial yang tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium.
Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah
jantung 1,2,3.
Dari gambaran elektrokardiogram AF dapat dikenali dengan absennya
gelombang P, yang diganti oleh fibrilasi atau oskilasi antara 400-700 permenit
dengan berbagai bentuk, ukuran, jarak dan waktu timbulnya yang dihubungkan
dengan respon ventrikel yang cepat dan tidak teratur bila konduksi AV masih utuh.
Irama semacam ini sering disebutsebagai gelombang f 4.
a.
Anatomi Jantung
Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi
memompa darah melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang
ritmik. Jantung manusia dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara
satu orang dengan orang yang lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr.
Jantung secara normal terletak didalam rongga toraks, yang berada diantara
sternum di sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior, sedangkan
pada bagian inferior berbatasan dengan diafragma 15,16.
Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi
eksternal dan anatomi internal13,15,16.
1. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian
lapisan-lapisan pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan
pada jantung, yaitu pericardium, miokardium dan endokardium.
inferior dan vena kava superior. Kedua vena kava bermuara pada
tempat yang berbeda, vena kava superior bermuara pada dinding
Katup Atrio-Ventrikuler
Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup
trikuspidalis dan katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis
terdiri dari tiga daun katup yang berbeda ukuran pada setiap daun
katup. Ketiga daun katup ini adalah katup anterior, septal dan katup
posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium kanan
dengan ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral)
terletak sebagai sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup
bikuspidalis (mitral) mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari
daun katup mitral anterior dan posterior.
Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur
oleh kedua katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium,
annulus fibrosus, daun katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot
ventrikel. Keenam komponen ini merupakan rangkaian unit fungsional
dalam proses aliran darah, sehingga bila terjadi gangguan pada salah
satu komponen akan mengakibatkan gangguan hemodinamik yang
serius.
dan
serabut
saraf
parasimpatis.
Serabut
saraf
simpatis
9,17
pengontrol
utama
rangsangan
elektrik
jantung
(overdrive
6,8
Disamping
itu,
nodus
AV
juga
mempunyai
kemampuan
pengontrol dan pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok pada
rangsangan elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya
memiliki keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12
detik. Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam memberikan
waktu atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu dalam
proses mengosongkan voleme atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu
pengisian ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi813.
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his
sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang
berasal dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler
menuju ke ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu
berkas cabang kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan
(RBB/right bundle branch) merupakan percabangan dari berkas his. RBB
bercabang sebagai struktur tunggal di lapisan subendokardium di sisi bagian
kanan. Kemudian RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang
anterior, posterior dan lateral. Bagian RBB lateral akan berjalan menuju
dinding lateral ventrikel kanan dan menuju bagian bawah septum
interventrikuler, yang kemudian akan membentuk anyaman purkinje atau
serabut purkinje. Berbeda dengan RBB, berkas cabang kiri (LBB/left bundle
branch) mempunyai dua struktur percabangan. Kedua struktur percabangan
LBB ini berjalan di subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian masingmasing percabangan akan membentuk suatu struktur bangunan seperti pada
percabangan RBB, yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju
ventrikel melewati berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat.
Disamping itu, serabut purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga
keseimbangan koordinasi kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan
ventrikel kiri6,8,9.
2. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor,
diantaranya adalah1,2 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1.
2.
3.
Hipertrofi jantung
4.
Kardiomiopati
5.
6.
Tumor intracardiac
Pericarditis/myocarditis
2.
3.
c. Proses infeksi
1.
d. Kelainan Endokrin
1.
Hipertiroid
2.
Feokromositoma
e. Neurogenik
1.
Stroke
2.
Perdarahan subarachnoid
Alkohol
2.
Kafein
h. Keturunan/genetik
3. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu3 :
1. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya
dan baru pertama kali terdeteksi.
2. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini
juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari
24 jam tanpa bantuan kardioversi.
3. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7
hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari
kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.
4. Kronik (permanen AF)
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,
penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF juga
sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF
kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang
kurang dari 48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung
lebih dari 48 jam. Berdasarkan ada tidaknya penyakit yang mendasari, AF dapat
dibedakan menjadi 14 :
1. AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit sistemik
lainnya.
2. AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik seperti
gangguan tiroid. Berdasarkan bentuk gelombang P AF dibedakan atas:
AF coarse (kasar)
AF fine (halus)
Interpretasi EKG fibrilasi atrium, sebgai berikut 12 :
1. Frekuensi : frekuensi atrium 350 sampai 600 denyut per menit; respon ventrikuler
biasanya 120 sampai 200 denyut per menit.
2. Gelombang P : tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak undulasi yang
ireguler, dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang f, interval PR tidak dapat
diukur.
3. Kompleks QRS : biasanya normal.
4. Hantaran : biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respon ventrikel
ireguler, karena nodus AV tidak berespons terhadap frekuensi atrium yang cepat,
maka impuls yang dihantarkan menyebabkan ventrikel berespons ireguler.
5. Irama : ireguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Iregularitas irama
diakibatkan oleh perbedaan hantaran pada nodus AV.
4. Manifestasi Klinis
AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF sangat
bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang
mendasarinya. Fibrilasi atrium (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi
lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu
untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Atrial fibrilasi sering tanpa disertai gejala, tapi kebanyakan penderita mengalami
palpitasi (perasaan yang kuat dari denyut jantung yang cepat atau "berdebar" dalam
dada), nyeri dada terutama saat beraktivitas, pusing atau pingsan, sesak napas,
cepat lelah, laju denyut jantung meningkat, intoleransi terhadap olahraga, sinkop
atau gejala tromboemboli, atau dapat disertai gejala-gejala gagal jantung (seperti
rasa lemah, sakit kepala berat, dan sesak nafas), terutama jika denyut ventrikel yang
sangat cepat (sering 140-160 denyutan/menit) 6,7,8.
Pasien dapat juga disertai tanda dan gejala stroke akut atau kerusakan organ
tubuh lainnya yang berkaitan dengan emboli systemic. AF dapat mencetuskan gejala
iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial
yang sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat
menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri 5.
5. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal
atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan
adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga
berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik
ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA 6,8,9.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi
lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang
mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal
elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium
dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium
biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF
6,8,9
.
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dari Multiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau
wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik
dari fokus yang tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan
mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot
atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan
fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah
atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat
kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium.
Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah
jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya
merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dapat juga
disebabkan oleh gangguan katup jantung pada demam reumatik, atau gangguan
aliran darah seperti yang terjadi pada penderita aterosklerosis 10.
Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial
flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih
banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF
tanpa stroke emboli. 2/3 sampai stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan
AF non valvular karena stroke emboli.Beberapa penelitian menghubungkan AF
dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat
dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada
AF 5.
6. Komplikasi
Dampak penyakit ini, selain berdebar-debar dan mudah sesak bila naik tangga
atau berjalan cepat, juga dapat menyebabkan emboli, bekuan darah yang lepas,
yang bisa menyumbat pembuluh darah di otak, menyebabkan stroke atau bekuan
darah di bagian tubuh yang lain 11.
Kelainan irama jantung (disritmia) jenis atrial fibrilasi seringkali menimbulkan
masalah tambahan bagi yang mengidapnya, yaitu serangan gangguan sirkulasi otak
(stroke). Ini terjadi karena atrium jantung yang berkontraksi tidak teratur
menyebabkan banyak darah yang tertinggal dalam atrium akibat tak bisa masuk ke
dalam ventrikel jantung dengan lancar. Hal ini memudahkan timbulnya gumpalan
atau bekuan darah (trombi) akibat stagnasi dan turbulensi darah yang terjadi. Atrium
dapat berdenyut lebih dari 300 kali per menit padahal biasanya tak lebih dari 100.
Makin tinggi frekuensi denyut dan makin besar volume atrium, makin besar peluang
terbentuknya gumpalan darah. Sebagian dari gumpalan inilah yang seringkali
melanjutkan perjalanannya memasuki sirkulasi otak dan sewaktu-waktu menyumbat
sehingga terjadi stroke 11.
Pada penyakit katup jantung, terutama bila katup yang menghubungkan antara
atrium dan ventrikel tak dapat membuka dengan sempurna, maka volume atrium
akan bertambah, dindingnya akan membesar dan memudahkan timbulnya rangsang
yang tidak teratur. Sekitar 20 persen kematian penderita katup jantung seperti ini
disebabkan oleh sumbatan gumpalan darah dalam sirkulasi otak. Fibrilasi atrium
(kontraksi otot atrium yang tidak terorganisasi dan tidak terkoordinasi) biasanya
berhubungan dengan penyakit jantung aterosklerotik, penyakit katup jantung, gagal
jantung kongestif, tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit jantung kongenital
12
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis atrial fibrilasi, antara lain 5 :
1.
Anamnesis :
2.
Pemeriksaan fisik :
3.
4.
5.
6.
Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium
dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow
dan TEE (Trans Esopago Echocardiography) untuk melihat thrombus di
atrium kiri
7.
Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada AF episode pertama bila laju irama ventrikel
sulit dikontrol
8.
Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju
irama jantung.
9.
8. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol irama jantung
yang tidak teratur, menurunkan peningkatan denyut jantung dan mencegah
terjadinya
penatalaksanaan
yang
dapat
dilakukan
adalah
suatu
untuk
tata
salah
AF.
satu
Menurut
laksana yang
menjadi
2,
yaitu
pengobatan farmakologi
Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai
puncak konsentrasi plasma dalam waktu 1 jam dengan bioavailabilitas
100%. Warfarin di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi
(bentuk D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama
kerja 40 jam.
Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari
COX2 ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan
(TXA2) di dalam trombosit.Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya
agregasi dari trombosit.Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat
menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan
darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.
Digitalis
Obat
ini
digunakan
untuk
meningkatkan
kontraktilitas
jantung
dan
-blocker
Obat -blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis.Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi
kinerja jantung.
Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung
akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler
melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
yaitu
pengobatan farmakologi
(Pharmacological
2.
Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam
(bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR
(nodus sinus rhythm). Pasien AF hemodinamik yang tidak stabil akibat laju
ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop peru segera
dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200
joule.Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 joule.Pasien dipuasakan
dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.
3.
Operatif
Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan
sayatan pada daerah paha.Kemudian dimasukkan kateter kedalam
pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung.Pada bagian ujung
kateter terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik
yang bertanggung jawab terhadap terjadinya AF.
Maze operation
Prosedur maze operation hampeir sama dengan catheter ablation, tetapi
pada maze operation, akan mengahasilkan suatu labirin yang berfungsi
untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.
Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di
jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.
9. Prognosis
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus
hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga
menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuJuan
untuk asimtomatik pada pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa terapi medis yang ditujukan untuk mengendalikan irama jantung tidak
menghasilkan keuntungan keberhasilan dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan
antikoagulan 13.
Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada
kejadian
tromboemboli
cardiomiopati
bila
tidak
terutama
stroke.
terkontrol
AF
dengan
dapat
baik.
mencetuskan
Terbentuknya
takikardi
AF
dapat
menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium
dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada
pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya
gagal jantung saat terjadi AF 13.
10. Pathway
Faktor usia, obat-obatan
(alkohol), keturunan/genetik
Kardiomiopati,
tumor intracardiac
Pericarditis,miocarditis
Sinkop
ADL menurun
palpitasi
Sesak nafas
Aldosteron meningkat
ADH meningkat
fatigue
Intoleransi aktivitas
B. Asuhan Keperawatan
1. Diagnose Keperawatan
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi
listrik, Perubahan structural.
2) Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidakseimbangan antar suplai
okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan :
Kelemahan, kelelahan, Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea,
pucat, berkeringat.
3)
2. Intervensi Keperawatan
1.
Penurunan
curah
jantung
berhubungan
dengan
Perubahan
Tujuan
Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia
terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung, Melaporkan
2.
yang
disteni.
Murmur
dapat
menunjukkan
Inkompetensi/stenosis katup.
3.
4.
Pantau TD
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat
meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi
danhipotensi tidak dapat norml lagi.
5.
6.
volume
sekuncup,
memperbaiki
kontraktilitas
dan
menurunkan kongesti.
2.
Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila
klien menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek
obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi
jantung.
2.
3.
4.
3.
Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis
terjadi.
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena
penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga
pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
2.
3.
4.
5.
Kaji bising usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan
konstipasi.
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu
fungsi gaster/intestinal.
6.
Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi) dan Konsul dengan ahli diet.
Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang
memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
4.
2.
3.
4.
5.
DAFTRA PUTAKA
1. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter. Circulation Journal 67.
2. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A
prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 7927.
3. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-1204. Archived from the original on 2009-03-28.
4. Mappahya AA. Atrium Fibrilation Theraphy To Prevent Stroke: A Review. The
Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
6. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
7. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 81926.
8. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce
stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg. 61
(2): 7559.
9. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.
10. Noer S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 1996.
11. Emergency Cardiovascular Care Program, Advanced Cardiac Life Support,
1997-1999, American Heart Association.
12. Smeltzer, SC. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
8 Volume 2. Jakarta: EGC, 2001.
13. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic
assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham study".
Neurology 28 (10): 9737.