Disusun oleh:
Sunny
102012325
A3
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510 Telp : (021) 5694-20
sunnytahir@live.com
Pendahuluan
Latar belakang
Gangguan somatisasi sudah dikenal sejak zaman mesir kuno. Nama awalnya untuk
gangguan somatisasi adalah hysteria, suatu keadaan yang secara tidak tepat diperkirakan
hanya mengenai wanita saja. Hysteria berasal dari bahasa Yunani Hysteria yang diartikan
sebagai rahim. Pada abad ke-17, Thomas syndenham menemukan bahwa faktor psikologis
yang dinamakannya penderitaan yang mendahului (antecendent sorrow) adalah terlibat dalam
patogenese gejala somatisasi. Ditahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Perancis mengamati
banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dalam perjalanan penyakit yang biasanya
kronis. 1
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang berarti tubuh. Dan
gangguan somatoform adalah kelompok penyakit luas dan memiliki tanda serta gejala
berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. Gangguan ini mencakup interaksi pikiran
tubuh. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukan adanya kaitan dengan
keluhan pasien. Gangguan somatoform meliputi: Gangguan somatisasi (somatization
disorder), Gangguan konversi (conversion disorder), Gangguan nyeri (pain disorder),
Hipokondriasis (hypochondriasis), Gangguan dismorfik tubuh (body dysmorphic Disorder).1,2
Hipotesis
Pasien tersebut menderita gangguan somatisasi.
Sasaran pembelajaran
1. Mengetahui dan memahami maksud dari dilakukannya anamnesis.
2. Mengetahui dan memahami tata cara pemerikasaan fisik pada Gangguan somatisasi.
3. Mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja yang dapat dilakukan pada Gangguan
somatisasi.
4. Mengetahui dan memahami diagnosis kerja Gangguan somatisasi.
5. Mengetahui dan memahami diagnosis banding antara Gangguan somatisasi dengan
penyakit lain yang mempunyai gejala yang hampir sama.
6. Mengetahui dan memahami etiologi Gangguan somatisasi.
7. Mengetahui dan memahami epidemiologi dari Gangguan somatisasi.
8. Mengetahui dan memahami patofisiologi dari Gangguan somatisasi.
9. Mengetahui dan memahami gejala-gelaja klinik dari Gangguan somatisasi.
10. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan medik dan non-medik dari Gangguan
somatisasi.
11. Mengetahui dan memahami komplikasi apa saja yang dapat terjadi karena Gangguan
somatisasi.
12. Mengetahui dan memahami pencegahan dari Gangguan somatisasi.
13. Mengetahui prognosis Gangguan somatisasi.
Isi
Skenario 7
Seorang perempuan usia 51 tahun datang ke dokter dengan keluhan rasa tidak enak di
perut, kembung, terasa naik ke atas sehingga pasien merasa sesak, keluhan lain rasa sakit di
dada kiri kadang menyebar ke bagian kanan. Keluhan lain ada rasa pegal di leher dan
kesemutan di tungkai atas sampai kedua belah kaki. Keluhan ini sudah berlangsung sejak
kurang lebih 1 tahun yang lalu dan sudah mendapat pengobatan dari beberapa dokter.
Ditambahkan bahwa siklus menstruasi pasien normal.
Pembahasan
Prosedur Pemeriksaan
Pemeriksaan psikiatrik lengkap berbeda dari pemeriksaan medik umum, dalam hal
perhatian khusus yang diarahkan pada manifestasi fungsi mental, emosional dan perilaku.
Pemeriksaan dilakukan untuk menyusun laporan tentang keadaan psikologik dan
psikopatologik pasien. Kerangka umum pemeriksaan lengkap terdiri atas:2
1. Pemeriksaan tidak langsung (indirect examination)
Anamnesis-keluhan tentang gangguan sekarang dan laporan pasien mengenai
yang mengenalnya.
2. Pemeriksaan langsung (direct examination)
Pemeriksaan fisik terutama status internus dan neurologik
Pemeriksaan khusus psikik: penampilan umum, bidang emosi, bidang
pikiran/ideasi, bidang motorik/perilaku.
3. Pemeriksaan tambahan, yang dilakukan apabila ada tambahan khusus untuk
melaksanakan pemeriksaan itu seperti uji psikologik, elektroensefalografi, foto sinar
tembus, CT scan, pemeriksaan zat kimia tubuh misalnya hormon, dll.
Inti prosedur pemeriksaan psikiatrik adalah pemeriksaan khusus psikik (penampilan
umum, bidang emosi-afek, pikiran ideasi, motorik perilaku) selanjutnya evaluasi data yang
diperoleh harus dibuat dalam konteks keseluruhan data yang dihasilkan dari pemeriksaan
lengkap.2
Data khusus psikiatrik yang dihasilkan dari suatu pemeriksaan psikiatrik adalah data
perihal fungsi kejiwaan, yang diperoleh melalui observasi penampilan dan perilaku pasien,
pengamatan interaksi antara dokter dan pasien, pengamatan interaksi antara pasien dan
lingkungannya, dan pemahaman humanistik sang dokter mengenai pasien. alat
pemeriksaan psikiatrik adalah kepribadian dokter sendiri. Pemeriksaan ini diarahkan, dan
data diungkapkan dalam pembicaraan antara dokter dan pasien, yang disebut wawancara
psikiatrik.
Wawancara Psikiatrik
Wawancara merupakan wadah utama pemeriksaan psikiatrik. Secara teknis sukar
dipisahkan, misalnya antara anamnesis dan pemeriksaan khusus psikik dan antara bidangbidang khusus pemeriksaan psikik. Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat
diandalkan hendaknya senantiasa diusahakan untuk menciptakan dan memelihara hubungan
yang optimal antara dokter dan pasien. Pemeriksa membuka percakapan dengan perkenalan
yang dilanjutkan dengan pengambilan anamnesis yang terdiri atas keluhan utama, hal
mengenai penyakit saat ini, riwayat lampau, riwayat keluarga. Anamnesis diambil dari pasien
sendiri dan dapat dilakukan allo-anamnesis kepada keluarga, teman dan orang-orang sekitar
yang berhubungan langsung dengan pasien.2
1. Identitas pasien
Berupa nama, alamat, umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
bahasa, suku bangsa dan agama. Catat pula tempat dan situasi saat dilakukan
wawancara terhadap pasien sumber informasi dan apakah gangguan yang dialami
pasien adalah gangguan yang pertama kali dialami pasien. Tanyakan atau perlu
diketahui apakah pasien datang sendiri dibawa oleh anggota keluarga atau
dikonsultasikan oleh sejawat.
2. Riwayat psikiatrik
A. Keluhan utama
Tanyakan kepada pasien mengenai apa yang dirasakan, alasan berobat dan
indikasi perawatan dan sejak kapan.
Gangguan psikiatrik
Uraikan secara kronologis onset penyakit yang pertama kali, usia awitan,
perkembangan
gejala,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
(faktor
Gangguan medik
Apa pasien pernah mengalami gangguan fisik/penyakit sebelumnya,
diagnosis, terapi dan kondisi setelah terapi.
dampak
penggunaannya,
gejala
putus
zat,
terapi,
Riwayat pendidikan
Riwayat pekerjaan
Kehidupan beragama
E. Riwayat keluarga
F. Situasi kehidupan sosial sekarang
3. Status mental
A. Deskripsi umum
a. Penampilan
Deskripsikan apa yang tampak: sikap, cara berpakaian, dadanan, make
up, postur tubuh, rambut, jenggot, kumis, kebersihan diri, tampak lebih
tua/muda/sesuai usia, dll.
b. Kesadaran
i. Kesadaran neurologik/sensorium: compos mentis, apatis,
somnolen, sopor, sopor-coma, coma, delirium.
ii. Kesadaran psikiatrik(kualitas kesadaran):
Tampak terganggu
Tampak tidak terganggu
Perilaku dan aktivitas psikomotor seperti tenang,
gelisah, cemas, katatonia, stereotipi, hiperaktivitas,
kompulsi, menarik diri, pada saat sebelum, saat dan
setelah wawancara.
c. Sikap terhadap pemeriksa
Apakah pasien bersikap kooperatif, indeferen, apatis, curiga, antisosial,
bermusuhan, pasif, aktif, ambivalen, tegang, seduktif, dll.
d. Kualitas berbicara
Cara bicara: spontan/tidak,
cepat/lambat,
keras/lemah,
lancar,
Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi banyak dicirikan dengan gejala-gejala somatik yang banyak
tidak dapat dijelaskan berdasarkan pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang
diutarakan pasien sangat melimpah dan meliputi berbagai sistem organ seperti
gastrointestinal, seksual saraf dengan keluhan nyeri. Gangguan ini bersifat kronis berkaitan
dengan stresor psikologis yang bermakna, menimbulkan hendaya dibidang sosial dan
okupasi, serta adanya perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan. Dikenal juga
dengan briquets syndrome.3
Keluhan yang paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ
gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, mual dan muntah ) dan keluhan pada
kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, baal dan pedih. Pasien juga sering mengeluhkan
rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya persendian, tulang belakang, dada
atau nyeri saat berhubungan badan. Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan
gangguan haid.4
7
Epidemiologi
Prevalensi sepanjang hidup gangguan pada populasi diperkirakan adalah 0,1 0,2%
walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin
mendekati 0,5 %. Wanita dengan gangguan somatisasi melebihi jumlah laki laki sebesar 520 kali, walupun perkiraan tertinggi mungkin karena kecenderungan awal yang tidak
mendiagnosis ganguan somatisasi pada laki-laki. Namum demikian, dengan rasio wanita
berbanding laki-laki adalah 5 berbanding 1, prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi
pada wanita dipopulasi umum adalah 1 atau 2 persen. Gangguan somatisasi didefinisikan
dimulai sebelum usia 30 tahun, tetapi seringkali mulai usia belasan tahun (remaja). 1,3
Etiologi
a. Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial gejala
gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari
kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimpulkan perasaan.Pengajaran orang
tua, contoh orang tua, dan budaya dapat mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan
somatisasi.3
b. Faktor Biologis
Data genetik menunjukan bahwa gangguan somatisasi memiliki komponen
genetic. Gangguan cendrung menurun pada kelurga dan terjadi pada 10-20% wanita
turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahgunaan
zat dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot transmisi terjadi
29% sedangkan dizigot 10%.1
Pada penelitian sitokin, suatu area studi ilmu neurologi dasar dapat relevan
dengan gangguan somatisasi dan somatoform lainnya. Sitokin ini molekul pembawa
pesan yang digunakan sistem imun untuk berkomunikasi didalam dirinya sendiri dan
dengan sistem saraf , termasuk otak. Sejumlah studi melaporkan adanya penurunan
metabolism lobus frontalis dan hemisfer nondominan.1
Gambaran Klinis
8
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat
medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual,
muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai, nafas
pendek (bukan pada olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi adalah gejala
yang lazim ditemui. Seringkali pasien beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang
hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering dianggap gangguan neurologic namun tidak
patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan
lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan ditenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi,
hilangnya sensasi raba atau sakit, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan atau kehilangan
kesadaran bukan karena pingsan.1,3
Selama perjalanan penyakit, penderita gangguan somatisasi mengeluhkan sekurangkurangnya empat gejala nyeri yaitu dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual dan satu
gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan
depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman sering bunuh diri
sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien mengungkapkan
keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi dan berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya
tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan dan pujian, dan manipulatif.3
Diagnosis
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM IV TR memberi syarat awitan gejala
sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi
minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tak satupun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM IV TR. 1
a) Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan
atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.1
b) Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi kapanpun selama
perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus dipenuhi. Gejala-gejala yang
dimaksud antara lain 1,3,5:
keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari
pertolongan medis. Adanya tekanan peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan
eksaserbasi gejala-gejala somatik.3
Tatalaksana
Non-Farmakoterapi
I.
Etiologi fisik gangguan somatisasi tidak diketahui. Oleh karena itu, pendekatan
untuk tatalaksana pasien yang mengalami gangguan tersebut adalah dengan
mencari dasar gangguan jiwa yang dialami pasien. Gangguan cemas dan depresi
merupakan dua diagnosis yang biasanya mendasari gangguan somatisasi.
Walaupun untuk keadaan saat ini keluhan depresi dan cemas sering ditemukan
sudah tidak lagi memenuhi kriteria diagnosis, namun biasanya dari riwayat pasien
ditemukan adanya suatu gangguan depresi dan cemas di masa lalu. Tata laksana
pasien dengan kondisi somatisasi
Edukasi pasien. Keluhan somatik adalah keluhan yang dikenal di dalam dunia
medis. Untuk itu dokter yang menangani pasien seperti ini perlu mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang konsep biopsikososial, patofisiologi gangguan
kejiwaan, neuropsikiatri, ilmu perilaku, dan psikoneuroimunologi sebagai salah
satu cabang ilmu terbaru yang mendukung penjelasan tentang faktor stress
psikososial dan hubungannya dengan terjadinya keluhan somatik pasien.6
III.
tersebut sulit ditemukan selain harganya yang agak tinggi. Selain imipramin,
terdapat beberapa obat golongan trisiklik lain; Amitriptilin dapat digunakan
dengan dosis antara 12,5-50 mg. Obat tersebut merupakan antidepresan
trisiklik yang sangat murah dan banyak terdapat di pusat pelayanan primer di
Indonesia.6
Rujuk Psikiatri
Merujuk pasien kepada dokter ahli jiwa. Untuk mendapatkan penatalaksanaan yang
lebih tepat.
Prognosis
Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi. Remisi total jarang
tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress dapat dikurangi namun tidak dapat
sama sekali dihilangkan.
Diagnosis Banding
a. Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai orang yang berpreokupasi dengan
ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien dengan
hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis maupun akurat tentang gejala
atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis. Preokupasi pasien
menimbulkan penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk
berfungsi secara baik dibidang sosial, interpersonal maupun pekerjaan.3
Epidemiologi , prevalensi hipokondriasis 4-6% dari populasi pasien medik
umum, dan kemungkinan tertinggi adalah 15%. Awitan dari gejala dapat terjadi pada
segala usia, namun yang tersering adalah usia 20-30 tahun. Angka kejadian tak
dipengaruhi oleh strata sosial, pendidikan maupun perkawinan, namun bersifat
sementara saja. 1,3
Etiologi hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang
salah.Pasien menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara
berlebihan.Sebagai contoh, seseorang secara normal mempersepsikan sebagai rasa
kembung, oleh pasien hipokokndriasis menambah dan memperbesar sensasi somatic
yang dialaminya. Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena
permusuhan dan agresi dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui mekanisme
13
14
keputusan
Selera makan menurun atau bertambah
15
c. Gangguan Cemas
Gangguan cemas merupakan kondisi gangguan ditandai dengan kecemasan
dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak realistic
terhadap berbagai peristiwa sehari-hari. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk
dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-gejala somatic seperti tegang otot,
iritabilitas, kesulitan tidur, kegelisahan, sehingga menimbulkan penderitaan yang
bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan.9
Gambaran klinis kecemasan sifat berlebihan dan mempengaruhi aspek
kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai gemetaran, kelehan,
sakit kepala.Hiperaktivitas otonom timbul pernapasan pendek, berkeringat, palpitasi,
disertai gejala gangguan pencernaan. Pasien datang kedokter umum dengan keluhan
somatic atau karena gelisah spesifik seperti diare kronik.
Kriteria diagnostic cemas menurut DSM IV-TR : Kecemasan atau
kekhawatiran timbul berlebihan hampir setiap hari dan terjadi sekurangnya 6 bulan
penderita sulit mengendalikan kekhawatirannya. Kecemasan dan khawatirnya disertai
3 atau lebih dari 6 gejala berikut: kegelisahan; merasa mudah lelah; sulit
berkonsentrasi dan pikiran jadi kosong; iritabilitas; ketegangan otot; gangguan tidur. 9
16
PENUTUP
Kesimpulan
Dokter harus menggunakan pendekatan biopsikososial dalam tata laksana pasien
walaupun bukan pasien dengan kondisi gangguan jiwa. Untuk diagnosis gangguan
somatoform berdasarkan DSM IV-TR terdapat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu
gejala seksual, dan satu gejala neurologis semu, yang pemeriksaan fisik atau laboratorium
tidak adekuat. Tatalaksana pasien dengan gangguan somatisasi berlangsung secara
menyeluruh baik dari segi farmakoterapi dan psikoterapi.
Daftar Pustaka
1. Kaplan HI, Sadock BJ. Buku ajar psikistri klinis. Edisi ke-2. Jakarta: EGC, 2010. Hal.
268-70.
2. Utama H. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2010. Hal. 265-68.
3. Hadisukanto G. Ganngguan somatoform. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,
penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal. 265-79.
4. Zubaidah S. Gangguan somatoform. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, 2009. Hal.10.
5. Maslim, R. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2003. Hal.84.
6. Andri. Konsep biopsikososial pada keluhan psikosomatik. J Indon Med Assoc
September 2011; 61(9):377-79.
7. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi.Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting.
Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal.265-79.209-19.
8. Kaplan MD, Harlod I, Benjamin J, Sadock. Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta:
Penerbit Widya Medika, 1998. Hal. 227-31.
9. Redayani P. Gangguan cemas. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku
ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal.231-33.
10. Elvira S, Kusumadewi I. Gangguan panik. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,
penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI, 2010. Hal.235-39.
17