Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A.

Anatomi Konjungtiva1,2
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan

dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di

bawahnya.
Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan

jaringan dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.


Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua

arteri

ini

beranastomosis

dengan

bebas

dan

bersama banyak

vena

konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring


vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun
didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe
palpebra

membentuk pleksus

limfatikus.

Konjungtiva menerima persarafan dari

percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut
nyeri yang relatif sedikit

B.

DEFINISI
Konjungtivitis
akibat infeksi atau non-infeksi pada

KONJUNGTIVITIS
adalah

proses

inflamasi

konjungtiva

yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi. 1,2 Berdasarkan
waktu, konjungtivitis dibedakan menjadi:
1.

Konjungtivitis akut: awitan terpisah yang diawali dengan inflamasi unilateral,


kemudian diikuti dengan inflamasi mata kedua seminggu kemudian. Lama sakit

2.

C.

adalah kurang dari empat minggu.


Konjungtivitis kronik: lama sakit lebih dari tiga sampai empat minggu.4

ETIOLOGI KONJUNGTIVITIS
Sama halnya dengan kornea, konjungtiva terpajan dengan lingkungan luar
seperti mikroorganisme dan faktor stress.3 Permukaan konjungtiva tidak steril karena
dihuni oleh flora normal. Untuk itu, terdapat mekanisme defensi alamiah seperti
komponen aqueous yang melarutkan agen infeksius, mukus yang menangkap debris,
kedipan mata, perfusi yang baik, dan aliran air mata yang membilas konjungtiva. Air
mata sendiri mengandung antibodi dan antibakterial yaitu immunoglobulin (IgA dan
IgG), lisozim, dan interferon.3,5 Inflamasi dapat terjadi dengan kontak langsung
dengan patogen melalui tangan yang terkontaminasi, handuk, atau kolam renang.
Secara garis besar, penyebab konjungtivitis adalah endogen (non-infeksius) atau
eksogen (infeksius).
Infeksius
Bakterial
Klamidia
Viral
Riketsia
Parasitik
Non-infeksius

Alergi

Autoimun

Toksik (kimia atau iritan)

Penyakit sistemik seperti sindrom Steven-Johnson

Iritasi persisten akibat produksi air mata yang kurang.2

D.

EPIDEMIOLOGI KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis adalah penyakit mata paling sering di dunia yang dapat terjadi
pada berbagai usia.3 Akan tetapi, terdapat beberapa bentuk konjungtivitis tertentu
yang

terjadi

pada

kelompok

usia

tertentu.

Pada

anak,

sering

terjadi

keratokonjungtivitis vernal, sedangkan keratokonjungtivitis atopik dan alergika sering


terjadi pada dewasa muda. Sekitar 1-3% pengguna kontak lensa terkena konjungtivitis
papiler raksasa dan 10% neonatus mengalami konjungtivitis dengan berbagai
2

penyebab. Konjungtivitis infeksius mengenai perempuan dan laki-laki dengan


insidens yang sama. Namun, konjungtivitis sicca lebih sering terjadi pada perempuan.
Sebaliknya, keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis akibat kimia dan mekanik
lebih sering terjadi pada pria.4
E.

GEJALA DAN TANDA KONJUNGTIVITIS


Umumnya, konjungtivitis mengenai kedua mata dengan derajat keparahan yang
berbeda. Gejala konjungtivitis adalah mata merah dengan produksi sekret yang
berlebih sehingga mata terasa lengket pada pagi hari setelah bangun tidur. Selain itu,
pasien dapat mengalami sensasi benda asing, terbakar, atau gatal, serta fotofobia.
Rasa nyeri yang muncul biasanya menandakan kornea juga terkena. Gejala yang
dirasakan oleh pasien dapat bervariasi. Oleh karena itu, penting untuk mengenali
tanda dari konjungtivitis berupa:

Hiperemia: mata tampak merah akibat dilatasi pembuluh darah. Jika tanpa
disertai infiltrasi seluler, menandai iritasi seperti angin, matahari, dan asap.
Epifora: lakrimasi yang berlebihan sebagai respons terhadap sensasi benda
asing dan iritan yang harus dibedakan dengan transudat. Transudat ringan
yang timbul akibat pelebaran pembuluh darah dapat bercampur dengan air

mata.
Eksudasi: kuantitas dan sifat eksudar (mukoid, purulen, berair, atau berdarah)
bergantung dengan etiologi penyakit.
Pseudoptosis: jatuhnya kelopak bola mata karena infiltrasi pada otot Muller
yang dapat ditemukan pada konjungtivitis parah seperti keratokonjungtivitis

trakoma.
Hipertrofi papiler: reaksi konjungtiva yang tidak spesifik berupa papil
berukuran kecil, halus, dan seperti beludru. Papil berwarna kemerahan pada
infeksi bacterial, sedangkan bentuk cobblestone ditemui pada konjungtivitis

vernal.
Kemosis:

pembengkakan

konjungtiva

yang

sering

ditemukan

pada

konjungtivitis alergika, bakterial (konjungtivitis gonokokus), dan adenoviral.


Folikel: hiperplasia limfoid lokal konjungtiva yang terdiri dari sentrum
germinativum yang paling sering ditemukan pada infeksi virus. Selain infeksi
virus, ditemui pula pada infeksi parasit dan yang diinduksi oleh obat

idoxuridine, dipivefrin, dan miotik.


Pseudomembran: terbentuk akibat proses eksudatif dimana epitel tetap intak
ketika pseudomembran dibuang.
3

Konjungtiva lignose: terbentuk pada pasien yang mengalami konjungtivitis


membranosa berulang.
Flikten: diawali dengan perivaskulitis limfositik yang kemudian berkembang
menjadi ulkus konjungtiva. Selain itu, flikten menandakan reaksi delayed

hipersensitivitas terhadap antigen microbial.


Limfadenopati preaurikular: pembesaran kelenjar getah bening yang dapat
disertai rasa nyeri pada infeksi akibat herpes simpleks, konjungtivitis inklusi,
atau trakoma.3,4,5
Tanda Konjungtvitis5

Mata tampak merah dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva yang difus (injeksi
konjungtiva).

E. MACAM-MACAM KONJUNGTIVITIS
1. Konjungtivitis Bakterial
a) Tanda dan Gejala
Dua bentuk konjungtivitis bakterial adalah akut dan kronik. Konjungtivitis
bacterial akut (subakut) yang disebabkan oleh Haemophilus influenza bersifat selflimited dengan lama sakit melebihi dua minggu (tanpa pengobatan) dan eksudat
tipis, berair, serta flokulen.Konjungtivitis purulen yang disebabkan olehNeisseria
gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis menyebabkan komplikasi yang serius jika
tidak diobati dengan benar.
Konjungtivitis bilateral

dengan

eksudat

purulen

dan

biasanya

pembengkakan kelopak mata. Umumnya, infeksi bersifat unilateral pada mulanya


kemudian mengenai mata yang lain melalui tangan. Konjungtivitis purulen yang
banyak dapat disebabkan oleh N gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan N
meningitides yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan pengobatan
segera. Penundaan dapat menyebabkan kerusakan kornea, kebutaan, dan sepsis.
Sedangkan

konjungtivitis

mukopurulen

akut,

penyebab

tersering

adalah

Streptococcus pneumoniae.
Konjungtivitis kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi duktus
nasolakriminal dan dakriosistitis kronik. Disamping itu, blefaritis bacterial kronik
atau disfungsi kelenjar meibom juga dapat menyebabkan konjungtivitis kronik.3
b) Pemeriksaan Laboratorium
Sebagian besar diagnosis dapat ditegakkan dengan tanda dan gejala. Oleh
karena itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila konjungtivitis tidak
responsif terhadap antibitotik. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah
pewarnaan Gram untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab. Pewarnaan
Giemsa bertujuan untuk mengidentifikasi tipe sel dan morfologi.Kerokan
konjungtiva dan kultur dianjurkan apabila terdapat sekret purulen, membranosa,
atau pseudomembranosa. 3,4
c) Komplikasi
Pada infeksi staphylococcal dapat terbentuk blefaritis marginal kronik. Selain
itu, konjungtivitis pseudomembranosa dan membranosa akan menimbulkan
sikatriks dalam proses penyembuhan, dan lebih jarang menyebabkan ulkus kornea.
Ulkus kornea marginal mempermudah infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N
meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Apabila produk toksik N
gonorrhoeae menyebar pada bilik mata depan, akan terjadi iritis toksik.3
5

d) Pengobatan
Terapi empiris didahulukan sebelum hasil tes sensitivitas antibiotik tersedia.
Adapun terapi empiris yang dapat diberikan adalah Polytrim dalam bentuk topical.
Sediaan topikal yang diberikan dalam bentuk salep atau tetes mata adalah seperti
gentamisin, tobramisin, aureomisin, kloramfenikol, polimiksin B kombinasi
dengan basitrasin dan neomisis, kanamisis, asam fusidat, ofloksasin, dan
asidamfenikol.

Kombinasi

pengobatan

antibiotik

spektrum

luas

dengan

deksametason atau hidrokortison dapat mengurangi keluhan yang dialami oleh


pasien lebih cepat.3,4
Namun, apabila hasil mikroskopik menunjukkan bakteri gram-negatif
diplokokus seperti neisseria, maka terapi sistemik dan topikal harus diberikan
secepatnya. Seftriakson 1 g, dosis tunggal intramuscular, diberikan apabila tidak
mengenai kornea. Jika ada keterlibatan kornea, maka diberikan seftriakson 1-2
g/hari secara parenteral selama 5 hari. Pemberian obat tersebut diikuti dengan
doksisiklin 100 mg dua kali sehari atau eritromisin 500 mg empat kali sehari
selama 1 minggu. Pada konjungtivitis kataral kronik, diberikan antibiotik topikal
seperti kloramfenikol atau gentamisin diberikan 3-4 kali/ hari selama dua minggu
untuk mengeliminasi infeksi kronik.3,6
Selain itu, eksudat dibilas dengan larutan saline pada konjungtivitis purulen
dan mukopurulen akut. Untuk mencegah penyebaran penyakit, pasien dan keluarga
diedukasi untuk memerhatikan kebersihan diri.3,6
e) Prognosis
Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari tanpa
pengobatan. Namun, konjungtivitis akan sembuh lebih cepat dalam 1-3 hari apabila
diobati dengan tepat. Sebaliknya, infeksi kronik membutuhkan terapi yang adekuat
untuk

dapat

pulih.

Infeksi

staphylococcal

dapat

menimbulkan

blefarokonjungtivitis. Kemudian, konjungtivitis gonococcal dapat menyebabkan


ulkus kornea dan endoftalmitis jika tidak diobati. Oleh karena konjungtiva dapat
menjadi port dentry, maka septikemia dan meningitis menjadi komplikasi dari
konjungtivitis meningococcal.3
2. Konjungtivitis Viral
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus. Adenovirus adalah
penyebab tersering, sementaraHerpes Simplex Virus merupakan etiologi yang paling
membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella
6

zoster, Picornavirus, Poxvirus, dan Human Immunodeficiency Virus. Transmisi terjadi


melalui kontak dengan sekret respiratori, sekret okular, serta benda-benda yang
menyebarkan virus (fomites) seperti handuk. Infeksi dapat muncul sporadik atau
epidemik pada tempat ramai seperti sekolah, RS, atau kolam renang.3
a)

Tanda dan gejala


Presentasi klinis yang muncul berbeda-beda tergantung agen penyebabnya.
Namun pada umumnya konjungtivitis viral, mata akan sangat berair dengan
eksudat minimal, disertai adenopati preaurikular atau radang tenggorokan dan
demam. Vaughan membagi konjungtivitis ke dalam 3 kelompok sbb:
1.
Konjungtivitis folikuler viral akut3
a) Pharyngoconjunctival fever. Disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4, dan 7.
Ditandai dengan demam 38 40 o C, nyeri tenggorokan, dan konjungtivitis
folikuler pada satu atau kedua mata. Tanda lain dapat berupa injeksi, mata
berair, limfadenopati preaurikular, atau keratitis epitelial superfisial.
b) Epidemic keratoconjunctivitis. Disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, dan
29. Sering hanya muncul pada satu mata, atau bilateral dengan lesi salah
satu mata akan lebih berat. Ditandai dengan injeksi, nyeri, mata berair,
kemudian dalam 5 14 hari diikuit dengan fotofobia, keratitis epitelial,
dan opasitas subepitelial. Tanda lain berupa nodul preaurikular, edema
kelopak

mata,

kemosis,

subkonjungtiva

hiperemis,

dan

kadang

pseudomembran dan symblepharon. Pada dewasa, infeksi ini hanya


terbatas pada mata, sedangkan pada anak-anak gejala nyeri tenggorokan
dan demam akan terlihat nyata.
c) Herpes simplex virus conjungtivitis. Biasanya ditemukan pada anak-anak,
ditandai dengan infeksi unilateral, iritasi, keluar sekret mukoid, nyeri, dan
fotofobia ringan. Muncul pada infeksi primer HSV atau pada episode
rekuren herpes okuler. Kadang disertai pula dengan keratitis herpes
simplex. Bentuk konjungtivitis berupa folikuler atau pseudomembran
(jarang). Dapat pula muncul vesikel herpetik pada kelopak mata dan nyeri
pada nodul preaurikuler.
d) Acute hemorrhagic conjunctivitis. Disebabkan oleh enterovirus tipe 70
atau coxsackievirus tipe A24 (jarang). Penyakit ini memiliki masa inkubasi
yang pendek 8 48 jam, dan perjalanan penyakit yang ringkas 5 7 hari.
Tanda klinis berupa nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, mata berair, mata
merah, kelopak mata bengkak, perdarahan subkonjungtiva, kemosis.

Disertai dengan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan


keratitis epitelial.
2.

Konjungtivitis folikuler viral kronik3


Infeksi Molluscum contagiosum ditandai dengan konjungtivitis folikular
unilateral kronik, keratitis superior, dan pannus superior. Lesi berbentuk nodul
bulat, waxy, berwarna putih mutiara, dengan pusatnya bertangkai.

Gambar . (A) Konjungtivitis folikular dengan lesi molluscum; (B) lesi molluscum
pada konjungtiva bulbar; (C) lesi molluscum ekstensif pafa pasien HIV7
3.

Blefarokonjungtivitis viral3
Infeksi oleh varicella dan herpes zoster, ditandai dengan konjungtivitis
hiperemis, lesi erupsi vesikular sepanjang cabang optalmika dari nervus
trigeminalis. Lesi berbentuk papil, kadang folikel, pseudomembran, dan
vesikel. Lesi varicella dapat muncul pada kulit disekitar mata.

Dengan demikian, presentasi klinis yang mungkin muncul pada konjungtivitis


viral adalah sebagai berikut :
1. Oedema kelopak mata dan limfadenopati preaurikular,
2. Konjungtiva hiperemis dan muncul folikel,
3. Inflamasi berat dapat diasosiasikan dengan adanya perdarahan konjungtiva
(umumnya ptekiae), chemosis, membran, dan pseudomembran
4. Adanya jaringan parut yang dapat timbul akibat resolusi pseudomembran
atau membran
5. Uveitis anterior ringan, namun jarang terjadi
b)

Pemeriksaan
Pada prinsipnya, diagnosis konjungtivitis viral ini dapat ditegakkan
melalui anamnesa dan pemeriksaan oftalmologi, tanpa harus menggunakan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, penting ditanyakan riwayat kontak
dengan penderita konjungtivitis akut.
Namun, bila meragukan etiologinya, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang dengan scrap konjungtiva dilanjutkan dengan pewarnaan giemsa.
Pada infeksi adenovirus akan banyak ditemukan sel mononuklear. Sementara
pada infeksi herpes akan ditemukan sel raksasa multinuklear. Badan inklusi
intranuklear dariHSV dapat ditemukan pada sel konjungtiva dan kornea
menggunakan metode fiksasi Bouin dan pewarnaan Papanicolau. Adapaun
pemeriksaan yang lebih spesifik lagi antara lain amplifikasi DNA
menggunakan PCR, kultur virus, serta imunokromatografi.3,7

Gambar . Keratokonjungtivitis adenoviral. (A) Konjungtivitis folikular, (B)


pseudomembran, (C) residu jaringan parut, (D-F) keratitis5
c)

Komplikasi
Konjungtivitis viral bisa berkembang menjadi kronis hingga menimbulkan
blefarokonjungtivitis.

Komplikasi

lainnya

dapat

berupa

timbulnya

pseudomembran, jaringan parut, keterlibatan kornea, serta muncul vesikel


d)

pada kulit.
Tatalaksana1,5
Mengurangi risiko transmisi
o Menjaga kebersihan tangan, mencegah menggaruk mata
o Tidak menggunakan handuk bersamaan
o Disinfeksi alat-alat kedokteran setelah digunakan pada pasien yang

terinfeksi menggunakan sodium hipoklorit, povidone-iodine


Steroid topikal
o Prednisolone 0,5% 4xsehari pada konjungtivitis psuedomembranosa
atau membranosa
o Keratitis simtomatik steroid topikal lemah, hati-hati dalam
penggunaan, gejala dapat muncul kembali karena steroid hanya
menekan proses inflamasi.

10

o Steroid dapat membantu replikasi virus dan memperlama periode


infeksius pasien.
o Harus monitoring tekanan intraokular jika penggunaan steroid

diperpanjang
Lainnya
o Untuk infeksi varicella zoster, Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg 5x
sehari selama 10 hari) diberikan jika progresi memburuk.
o Pada keratitis herpetik dapat diberikan acyclovir 3% salep 5x/hari,
selama 10 hari, atau dengan acyclovir oral, 400 mg 5x/hari selama 7

e)

hari.
o Stop menggunakan lensa kontak
o Artificial tears 4xsehari
o Kompres hangat atau dingin
o Insisi/pengankatan jaringan pseudomembran atau membran
o Antibiotik topikal jika diduga ada infeksi bateri sekunder
o Povidone-iodine
o Jika sudah ada ulkus kornea, lakukan debridement\
Prognosis
Konjungtivitis virus merupakan penyakit limited disease, yang dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Pada infeksi adenovirus, infeksi
dapat hilang sempurna dalam 3 4 minggu, dan 2 3 minggu untuk HSV.
Dan infeksi enterovirus tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24 sembuh dalam
5 7 hari, tanpa butu tatalaksana khusus. 1

3. Konjungtivitis Allergika
Merupakan bentuk alergi pada mata yang disebabkan oleh reaksi sistem imun
pada konjungtiva.
a) Tanda dan gejala
Bervariasi untuk tiap kelompok.
1.
Reaksi hipersensitivitas tipe cepat (humoral)1
a. Hay fever conjunctivitis (pollens, grasses, animal danders, etc).
Merupakan inflamasi nonspesifik yang diasosiasikan dengan hay fever
(rinitis alergika). Terdapat riwayat alergi pada pollen, rumput, atau
bulu hewan sebelumnya. Mata akan gatal, berair, dan sangat merah.
Jika alergern persisten, maka akan tampak gambaran konjungtivitis
papiler.
b. Vernal keratoconjunctivitis

11

Dikatakan sebagai konjungtivitis musiman, yang penyebabkan kadang


sulit untuk diketahui. Riwayat alergi sebelumnya kadang diketahui.
Gejala berupa gatal dan keluar kotoran jernih yang kental. Tampakan
dapat berupa konjungtivitis folikuler atau papiler yang besar-besar.
c. Atopic keratoconjunctivitis
Dimiliki pada pasien dengan dermatitis atopik. Gejala berupa sensasi
panas terbakar dengan kotoran mukoid pada mata, mata merah, dan
fotofobia. Papila koeratokonjungtivitis lebih kecil.
d. Giant papillary conjunctivitis
Gejala mirip konjungtivitis vernal yang berkembang pada pasien
dengan penggunaan air mata artifisial dan lensa kontak.
2.

Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (seluler) 1


a. Phylctenulosis
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada protein
mikroba, termasuk basil tuberkulosis, spesies staphylococcus species,
Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, dann
Chlamydia trachomatis. Gejala diawali dengan lesi kecil, merah,
tinggi, yang dikelilingi dengan zona hiperemi, terasa gatal dan mata
berair. Pada limbus terdapat bentuk triangular dengan apex mengarah
pada kornea yang dapat membuat ulkus. Biasanya dipicu dengan
blefaritis, konjungtivitis bakterial akut, dan defisiensi diet.
b. Konjungtivitis ringan sekunder akibat kontak dengan blepharitis
Blefaritis kontak akubat atropine, antibiotik, neomycin, atau broadspectrum antibioticsdiikuti dengan hiperemia, papiler, kotoran mukoid,
dan iritasi.

3.

Penyakit autoimun
a. Keratoconjunctivitis sicca yang diasosiasikan dengan sindroma
Sjgren
Sinrom ini

ditandai

dengan

triad:

keratoconjunctivitis

sicca,

xerostomia, danarthritis. Kelenjar lakrimal terinfiltrasi oleh limfosit


dan sel plasma sehingga rusak. Muncul gejala berupa konjungtiva
bulbar hiperemis, iritasi, denngan kotoran mukoid,
b. Cicatricial pemphigoid
Diawali dengan konjungtivitis kronik nonspesifik yang resisten
terhadap terapi. Progresi hingga membentuk scar pada fornix dan
entropion dengan trichiasis.
12

b) Pemeriksaan
Pemeriksaan diarahkan pada anamnesis riwayat alergi dan tampilan klinis.
Penggunaan metode scrapping dan melihat sel imun dibawah mikroskop dapat
dilakukan, namun kurang efektif. Hanya pada konjungtivitis sicca, diagnosis
dilakukan menggunakan biopsi dan menemukan infiltrasi sel limfositik dan
plasma pada kelenjar saliva. 1
c) Komplikasi
Komplikasi bergantung

pada

perjalanan

dan

lokasi

penyakit.

Jika

konjungtivitis berlangsung kronik atau mengenai media refraksi, maka dapat


meinggalkan jaringan parut yang akan mengganggu pandangan. 1
d) Tatalaksana
Pada dasarnya terapi yang diberikan berupa terapi suportif pemberian
vasokonstriktor-antihistamin topikal, kompres dingin untuk mengurangi gatal,
antihistamin oral, dan steroid topikal untuk mengurangi infeksi. Pemberian
steroid harus dengan hati-hati, karena hanya mensupresi gejala, bukan
menyingkirkan penyebab utama. Pada pasien dengan kecurigaan infeksi
sekunder bakteri, dapat diberikan antibiotik topikal. Sedangkan pada kasuskasus akibat alergi dengan air mata artifisial atau lensa kontak, penanganan
terbaik adalah menghentikan penggunaannya atau mengalihkan dengan jenis
lain. Sedangkan pada konjungtivitis sicca, tatalaksana hanya berupa suportif,
menggantikan fungsi kelenjar air mata yang hilang, menggunakan air mata
artifisial. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengupayakan untuk
menghindari kontak dengan alergen. 1
e) Prognosis
Konjungtivitis ini bersifat selflimited, ketika alergen hilang, maka reaksi
inflamasi diharapkan juga berhenti. Beberapa memiliki masa perjalanan
penyakit yang pendek, namun ada pula yang berjalan kronik, tergantung
dengan kapasitas sitem imun pasien. Penyakit ini banyak timbul pada usia
anak, remaja, hingga dewasa. Pada sebagian kasus rekurensi berkurang jauh
ketika meninjak usia tua, diatas 40 50 tahun. 1

13

Daftar Pustaka:
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010. hal:2-6,
2. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119
3.

Ferrer FJG, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. InVaughan and Asburys General
Ophthalmology.16th ed. USA: Mc.Graw-Hill companies; 2007.

4. Lang GK. Conjunctiva. In Lang ophthalmology. New York: Thieme; 2000.


5. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of ophthalmology. New York:
Thieme; 2006.
6. Khurana AK. Comprehensive ophtalmology. 4th edition.

New Delhi: New Age

Publishers; 2007
7. Nischal, Pearson. Kanski Clinical Ophtalmology. 7th ed. [ebook]. Elsevier. 2011

14

Anda mungkin juga menyukai