Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Kuman batang aerobik
dan tahan asam ini, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk
organisme adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.
Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara melalui terhirupnya nukleus droplet
yang berisikan organisme basil turbekel dari seseorang yang terinfeksi.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil,
anak dengan malnutrisi, dan anak dengan gangguan imunologis. Sebagian besar anak
menderita tuberkulosis primer pada umur muda dan sebagian besar asimtomatik dan sembuh
spontan tanpa gejala sisa. Pada beberapa pasien penyakit berkembang menjadi tuberkulosis
pasca primer.1,2
Epidemiologi
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TBC
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia
untuk jumlah kasus TBC setelah India dan Cina. Berdasarkan data WHO pada tahun 2007
menyatakan jumlah penderita TBC di Indonesia sekitar 528 berada diposisi ketiga setelah
India dan Cina.
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi ke 5
dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang dengan urutan India, Cina, Afrika,
Nigeria, Indonesia. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.2
Proporsi kasus TB Anak diantara semua kasus yang diobati di Indonesia dari 2007
sampai 2013 berkisar pada 7,9% sampai 12%. Angka ini masih berada pada batas
normal proporsi kasus TB anak diantara semua kasus.
Proporsi kasus TB Anak diantara semua kasus TB yang diobati sangat bervariasi
pada level Provinsi, Kabupaten/Kota sampai Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes).
Dari grafik di atas menunjukkan bahwa beberapa provinsi memiliki proporsi kasus
TB anak <5% dan beberapa provinsi lain menunjukkan >15%
Dari data tersebut menunjukkan kecenderungan adanya overdiagnosis,
underdiagnosis maupununderreported kasus TB Anak3
Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA
positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB mencapai 10.45%. Angka-angka ini
merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya
mengingat tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi
dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.4
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang lurus kadang
dengan ujung melengkung, gram positif, lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak
membentuk spora, dengan ukuran panjang 2-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan . Kuman merupakan aerob wajib
(obligat) yang tumbuh pada media sintesis yang mengandung gliserol sebagai sumber
karbon dan garam amonium sebagai sumber nitrogen. MTB memiliki
dinding
yang
sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan
kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin
( dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es )
dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberkulosis menjadi aktif lagi. 2,4
Faktor resiko
Faktor resiko untuk TB terbagi menjadi 2, yaitu factor resiko infeksi TB dan factor
resiko sakit TB.
Anak-anak yang terekspose dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif)
4
Risiko timbulnya transmisi kuman dari dewasa ke anak-anak jika orang dewasa tersebut
BTA sputum positif juga terdapat infiltrat yang luas pada lobus atas atau kavitas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat,terutama sirkulasi udara yang tidak baik serta kemiskinan
Usia : Anak usia <5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang dengan sempurna.
Resiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap dengan pertambahan usia.
Konversi uji tuberkulin dari negatif menjadi positif dalam 1 tahun terakhir
Tidak Sakit
TB Paru
TB Diseminata
(milier,meningitis)
<1
50%
30-40%
10-20%
1-2
75-80%
10-20%
2-5%
2-5
95%
5%
0.5%
5-10
98%
2%
<0.5%
>10
80-90%
10-20%
<0.5%
Tabel 1. Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak yang Terinfeksi Tuberkulosis5
Cara Penularan
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam secret
endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama,
5
jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary),tetapi karena imunitas anak
masih lemah, jumlah kuman yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua,
lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi
di daerah parenkim yang jauh dari bronkus sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga,
tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah
parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.2
Penularan pada anak biasanya dari orang dewasa yang mempunyai kontak erat
dengan anak. Pada waktu bersin atau batuk, penderita menyebabkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan darah). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup
kedalam saluran pernapasan. Setelah kuman TBC masuk kedalam tubuh manusia melalui
pernapasan, kuman TBC tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, saluran limfe, saluran napas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan oleh parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 2,6
Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
6
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung
selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler
tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih
negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil
kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler
spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).2
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2,6
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). 2,6
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, dan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus menyebabkan hiperinflasi di segmen distal paru
melalui mekanisme ventil dan obstruksi total menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistel. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumotitis
dan atelectasis yang sering di sebut lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam
fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak
tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.2,6
*catatan :
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (ocult hematogenic spread). Kuman TB
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik
2. Kompleks prier terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasi
4. Sakit TB pada keadaan ini desebutTB pasca primer
Perjalanan Alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga
dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai
organ.2
Manifestasi Klinis
10
Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik
organ/lokal.
Gejala sistemik/umum:
1. Demam lama (>2minggu) dan atau berulang tanpa sebab jelas (bukan tifoid, ISK
Malaria, dll) yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi.
2. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) dan sebab lain
telah disingkirkan dimana batuk pada anak bukan gejala utama TB. Batuk berulang
lebih sering disebabkan oleh asma dan focus primer TB paru anak umumnya terdapat di
daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Gejala batuk kronik ini dapat
muncul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk
secara kronik. Selain itu batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami
penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut.
3. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik
dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
4.
Nafsu makan menurun dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan aadekuat
Kelenjar Limfe
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai.
Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi
juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula,secara klinis,
Karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan,
tidak hangat pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat
(confluence) satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada
kapsul kelenjar limfe (perifocal inflammation).
membungkuk.
TB otak dan susunan saraf pusat :
11
menurun.
TB abdomen/usus
Diare persisten tidak sembuh dengan pengobatan diare dan benjolan-benjolan dalam
abdomen/usus
TB Mata
Konjungtivitis fliktenularis dan tuberkel koroid(hanya terlihat dengan funduskopi)
TB Kulit
Tuberculous chancre dan skrofuloderma
Diagnosis
Konfirmasi pasti pada TB paru adalah dengan mengisolasi Mycobacterium
tuberculosis dari sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau biopsi
jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu
sedikitnya jumlah kuman, dan sulitnya pengambilan specimen (sputum).
Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB disekret bronkus pasien anak lebih
sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di
kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan
parenkim paru tidak seberat pasien dewasa, Basil tahan asam baru dapat dilihat dengan
mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam 1 ml specimen.
Penyebab kedua, sulitnya mengambil specimen sputum. Pada anak, karena lokasi
kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi
sputum tidak ada dan minimal dan gejala batuk juga jarang, sputum yang representative
untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulent,
berwarna hijau kekuningan dengan volum 3-5 ml, dan ini sulit di peroleh pada anak.
Spesimen untuk kultur yang paling baik pada anak adalah cairan lambung pagi hari
yang diambil sebelum anak bangun dari tidur. Akan tetapi semua hal diatas memang sulit
untuk dilakukan pada anak, sehingga sebagian besar diagnosis berdasarkan gejala klinis,
gambaran radiografi thorax, dan tuberkulin test. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB
dewasa BTA positif, uji tuberculin positif, gejala dan tanda sugestif TB dan foto toraks yang
mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.2,3,6
Tabel 2.Lesi Tuberculosis Paru
Kelenjar limfe
Sluran napas
: perbesaran di hilus,paratrakeal,mediastinum
: focus, primer,pneumonia,atelektasis,tuberkuloma,
Kavitas
: air trapping, penyakit endobronkial,trakeobronkitis,
Stenosis bronkus,fistula bronkopleura, bronkiektasis, fistula
12
Pleura
Pembuluh darah
Bronkoesfagus.
: efusi,fistula bronkopleura, empiema, pneumotoraks,
Hemotoraks
: milier, perdarahan paru
14
Catatan:
1. Didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal 13)
2. Jika dijumpai skrofuloderma langsung di diagnosis TBC
3. Foto rontgen bukan alat diagnosis utama pada TBC anak
4. Gambaran sugestif TB berupa pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrate, konsolidasi, kalsifikasi, atelectasis.
Pemeriksaan Penunjang
15
Uji Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TBC yang mempunyai sifat antigenik yang
kuat. Jika disuntikan secara intrakutan pada seseorang yang telah terinfeksi TBC (kompleks
primer pada tubuhnya) akan memberikan indurasi dilokasi suntikan yang terjadi karena
vasodilatasi lokal,edema, endapan fibrin dan meningkatnya sel radang lain di daerah
suntikan. Uji tuberkulin mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak dengan
sensitivtas dan spesitifitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD
RT-23 2TU buatan Statens Serum Institu Denmark, dan PPD (Purified Protein Derivate)
dari Biofarma.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux
lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD (Purified Protein Derivate) 5
IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan
4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi bukan eritemnya. 1,7,13
Interpretasi hasil mantoux
1. Pembengkakan (Indurasi)
: 04mm,
uji
Arti
klinis
mantoux
tidak
ada
negatif.
infeksi
M.
tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi)
: 59mm,
uji
mantoux
meragukan.
vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi)
16
Indurasi 10 mm
Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko (penyakit ginjal,
gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi, pengguna obat suntik)
Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko tinggi TB
Lahir atau baru pindah ( 5 tahun ) dari negara dengan angka prevalensi TB tinggi
Indurasi 15 mm
Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko
Anergi
Radiologis 2
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada
TB dapat juga dijumpai pada penyakit lainnya. Interpretasi foto biasanya sulit, harus hti-hati
kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Secara umum, gambaran radiologis
yang sugestif TB adalah:
Pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
17
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma
Gambar 6. Radiologi TB anak
Serologi
Pada anak sulit mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan TB, maka di cari
pemeriksaan yang mudah pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologi (imunitas humoral).
Berbagai penelitian pemeriksaan imunologik Ag-Ab spesifik untuk M.Tuberculosis ELISA
dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum cairan bronkus, cairan pleura, dan
LCS.Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,
Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada
satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.2,6
Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik
apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan
pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung
didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan
positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan
untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5
Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,
terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut
mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.
Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2
TATALAKSANA TBC PADA ANAK
Tatalaksana TB pada anak merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara
pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu,
18
penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga
harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan
untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orangtua pasien
mengenai
pentingnya menelan obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan
terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat yang diminum . 2,7
Medikamentosa
Pengobatan TB 2
Terdapat 2 fase :
fase intensif dengan tiga macam obat (2 bulan pertama) yaitu rifampisin, isoniazid,
pirazinamid
fase lanjutan dengan dua macam obat (4 bulan lebih) yaitu rifampisin dan isoniazid.
Berdasarkan American Academy of Pediatric telah mendukung regimen 6 bulan INH dan
RIF yang ditambah selama 2 bulan PZA sebagai terapi baku tuberkulosis intratorak pada
anak. Pemberian panduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan
untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler.
Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. Berbeda dengan orang dewasa, OAT anak
diberikan setiap hari, bukan 2 atu 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi pada anak-anak. Dosis
obat juga haus disesuaikan berat badan anak. Prisip dasar pengobatan TBC harus dapat
menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak2-7
Obat yang digunakan 2,3
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z),
etambutol (E), streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan
ditambah dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin.
Obat TB lain (second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,
ethionamide,
prothionamide,
ofloxacin,
levofloxacin,
moxifloxacin,
gatifloxacin,
ciprofoloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Obat Tuberkulosis Primer (First line)
19
Isoniazid (INH)
INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada
intrasel dan ekstrasel kuman. INH cukup murah dan sangat efektif untuk mencegah
multiplikasi basil tuberkulosis. Dalam sediaan oral, kadar obat dalam plasma, sputum dan
cairan seresrospinal dapat dicapai dalam 1-2 jam dan bertahan minimal 6 8 jam. Isoniazid
dimetabolisme melalui asetilasi di hati. INH diberikan secara oral, dosis harian yang biasa
diberikan(5 15 mg/kgbb/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian.
Isoniazid tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100mg/5ml.2,7,8
Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan
penggunaanya. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya melakukan
asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada
orang Afrika-Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi
isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa. Isoniazid terdapat pada ASI yang mendapat
isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin
atau bayi tidak membahayakan. 2,7,8
Efek toksik:
Hepatotoksisitas
Hal ini, jarang terjadi pada anak-anak. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan
isoniazid mengalami peningkatan kadar transminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2
bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. 3-10% pasien akan
mengalami peningkatan kadar transminase darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas
yang bermakna secara klinis jarang terjadi dan biasanya terjadi pada remaja atau anak
dengan TB berat. Sebaiknya kita memantau kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tapi
hal tersebut tidak rutin dilakukan. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid
diberikan bersama dengan rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama
dengan
fenobarbital
atau
fenitoin
juga
dapat
meningkatkan
resiko
terjadinya
hepatotoksisitas. Dan pemberian isoniazid tidak disarankan bila kadar trasminase naik lebih
20
dari lima kali harga normal atau tiga kali disertai ikterik dan atau manifestasi klinis hepatitis
berupa mual, muntah dan nyeri perut.
Neuritis perifer
Terjadi karena inhibisi kompetitif pada piridoksin. Manifestasi klinis neuritis prifer yang
paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin
berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tetapi manifestasi klinisnya jarang
sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin tambahan. Akan tetapi, remaja dengan diet
yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi,
serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan
25-50 mg satu kali sehari atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg INH.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah reaksi alergi, pellagra, anemia hemolitik pada
pasien defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) dan reaksi mirip lupus
disertai ruam dan artritis. 2
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ektrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Obat
ini diserap dengan baik melalui sistem gatrointestinal pada saat lambung kosong (1 jam
sebelum makan) dan kadar serum puncak tercapai 2 jam. Ekskresi yang utama lewat traktus
biliaris.. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10 20 mg/kgbb/hari, dosis
maksimal 600 mg/hari, dengan dosis pemberian satu kali perhari. Rifampisin tersedia dalam
bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak
dengan berbagai kisaran BB dan obat ini tidak diminum bersamaan dengan pemberian
makanan karena dapat timbul malabsorpsi. Jika diberikan dengan INH, dosis rifampisin
tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis INH 10 mg/kgBB/hari. Distribusi rifampisin
kedalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang meradang daripada keadaan
normal. 2
Efek toksik:
Perubahan warna, ludah, keringat, sputum, air mata, menjadi warna oranye kemerahan
21
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali
sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP. Sifat etambutol adalah bakteriostatik dan
bakterisidal.
Efek toksik :
Neuritis optika berupa kebutaan terhadap warna merah-hijau (red-green color blindness).
Efek ini cukup sering dijumpai pada orang dewasa. Insidensi dari toksisitas
optalmologika cukup rendah. Oleh karena pemeriksaan lapang pandang dan warna pada
anak-anak cukup sulit dilakukan maka etambutol tidak direkomendasikan untuk terapi
rutin pada anak-anak. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan resisten obat jika obat lain tidak tersedia
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada
keadaan basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Obat ini penting pada
pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari, maksimal dosis 1 gram/hari dan kadar
puncak 40-50g/ml dalam waktu 1-2 jam. Obat ini dapat melewati selaput otak yang
meradang, tetapi tidak dapat melawati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi melalui ginjal. 2
Efek toksisitas :
Kelainan pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
berupa tinismus dan pusing
Dapat menembus plasenta sehingga hati-hati menentukan dosis pada wanita hamil
karena dapat merusak saraf pendengaran janin2
Isoniazid
Dosis harian
Dosis maksimal
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)
5-15*
300
Efek Samping
23
Rifampisin**
10-20
600
Gastrointestinal,
reaksi
kulit,
hepatitis,
15-30
2000
Etambutol
15-20
1250
Neuritis
optik,
berkurang,
15-40
penglihatan
warna
merah-hijau,
buta
penyempitan
Streptomisin
ketajaman
lapang
pandang,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Ototoksis, nefrotoksik
1000
**
Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Obat
Dosis harian
Dosis 2x/minggu
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
15-40
(maks.
900
(maks.
600
INH
Rifampisin
Pirazinamid
15-40 (maks. 2 g)
50-70 (maks. 4 g)
15-30 (maks. 3 g)
Etambutol
50 (maks. 2,5 g)
Streptomisin
15-40 (maks. 1 g)
mg)
15-20
mg)
6 Bulan
Isoniazid
Rifampisin
24
9 Bulan
12 Bulan
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Prednison
4 bulan
RH (5/50 mg)
59
1 tablet
1 tablet
10 19
2 tablet
2 tablet
20 32
4 tablet
4 tablet
Catatan:
kedudukannya
digantikan
oleh
etambutol.
PAS
memperlihatkan
efek
masih
dapat
diatasi
dengan
amikacin,
tetapi
sebaliknya
tidak.
Capreomycin dan kanamycin adalah obat antituberkulosis injeksi yang tersedia dalam 1 vial
dengan dosis harian adalah 15-30mg/kg (IM) atau 1 g sebagai dosis maksimal. Kanamycin
mempunyai efek samping pada nervus VIII yang menyebabkan gangguan pendengaran
sama halnya dengan capreomycin. Audiogram dapat dilakukan setiap bulannya pada saat
pasien menggunakan terapi capreomycin. Obat ini juga mempunyai efek toksis terhadap
ginjal yang menyebabkan kerusakan tubulus ginjal dengan ganggan elektrolit serta terjadi
peningkatan kreatinin. Pasien yang lebih tua umumnya lebih rentan dengan efek samping
dari capreomycin maka dosis maksimal dibatasi sampai 750 mg. 9,10
Beta-laktam
Co-amoxiclav dan ampicillin/sulbactam in-vitro mempunyai aktifitas terhadap M
tuberculosis. Penghambat beta-laktamase adalah esensial untuk menghambat hidrolisis oleh
beta-laktamase yang dihasilkan oleh mikobakteri, sehingga memungkinkan penetrasi
aminopenicillin meliwati dinding sel. Akan tetapi aktifitas bakterisid hanya terhadap
mikobakteri pada fase eksponensial dan tidak pada fase stasioner, sehingga diperkirakan
obat ini hanya bermanfaat untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lainnya
yang diberikan bersama. 9,10
Cycloserine
Cycloserine memperlihatkan efek mikobakteriostatiknya melalui penghambatan
sintesis dinding sel. Penelitian klinis yang dilakukan pada tahun 1950-an memperlihatkan
kemanjuran yang lebih rendah dibanding dengan PAS, disertai dengan efek samping
neuropsikiatrik yang terlihat pada 50% penderita yang menerima dosis 1 gram perhari.
Gejalanya mencakup serangan kejang, psikosis, berbicara tak jelas, mengantuk, dan koma.
Kejang dan neuropati perifer juga dapat terjadi jika diberikan bersamaan isoniazid. Untuk
hal ini perlu diberikan 150 mg pyridoxin untuk mencegah atau meringankan kejadian efek
27
samping neurotoksis. Dalam dosis rendah efek samping kurang kerap; dosis harian yang
digunakan adalah 15-20 mg/kg, dosis maksimal 1 gram/hari, dan kadarnya dalam darah
dianjurkan tak lebih dari 30 ng/ml. Cycloserin tersedia dalam 250 mg-kapsul.
Fluorokinolon
Fluorokinolon menghambat trpoisomerase II (DNA gyrase), dan tropoisomerase IV
tetapi enzim ini tak ada pada mikobakteri. Sifat penting fluorokinolon adalah
kemampuannya
untuk
masuk
ke
dalam
makrofag
dan
memperlihatkan
efek
mikobakterisidnya di dalam sel itu. Yang diakui berkhasiat sebagai OAT adalah
fluorokinolon generasi kedua, yaitu ciprofloxacin, ofloxacin, dan levofloxacin. Akan tetapi
jumlah kajian klinik yang meneliti peran fluorokinolon pada pengobatan multi-drug resistant
tuberculosis (MDR-TB) masih terbatas. Pada kajian-kajian itu oxofloxacin diberikan dalan
dosis 400 mg sekali hari dan ciprofloxacin dalam dosis 500-750 dua kali sehari. Akan tetapi
belakangan ini oxofloxacin dan ciprofloxacin dirubah dosisnya masing-masing menjadi 800
mg dan 1000 mg yang diberikan satu kali sehari. Di dalam satu uji banding dinyatakan
bahwa levofloxacin lebih unggul khasiatnya daripada ofloxacin yang dicakupkan kedalam
pengobatan penderita multiple-drug- resistant tuberculosis (MDR-TB). 9,10
Efek samping yang berkaitan dengan penggunaan fluorokinolon mencakup
gangguan saluran cerna, efek neurologik, artopathy dan fotosensitifitas. Percobaan in-vitro
dengan fluorokinolon baru yakni gatifloxacin dan moxifloxacin, memperlihatkan aktifitas
antimikobakteri yang lebih baik dari levofloxacin. Kedua kinolon baru itu memperlihatkan
kadar hambat minimal (MIC) yang lebih rendah dari kinolon lama. Moxifloxacin dalam
dosis harian yang direkomendasikan 400 mg terlihat paling aktif terhadap M tuberculosis.
Pada penderita dengan tuberculosis aktif, diperlihatkan moxifloxacin mempunyai aktifitas
bakterisidal awal yang setara dengan rifampicin. 9,10
Penggunaan OAT Sekunder
Penggunaan OAT sekunder ditujukan untuk pengobatan tuberkulosis yang disangka
resisten dengan OAT primer. Resistensi primer terjadi bila individu terinfeksi dengan
M.tuberculosis yang resisten dengan obat tertentu. Resistensi sekunder terjadi bila
organisme resisten obat muncul sebagai populasi dominan selama pengobatan yang terjadi
akibat ketaatan yang buruk pada pengobatan oleh penderita atau regimen pengobatan yang
diresepkan dokter tidak adekuat. Adanya resistensi mikobakteri terhadap OAT seharusnya
ditegakkan melalui drug-susceptibility testing (DST), namun fasilitas laboratorium tak
28
selalu tersedia. Secara klinis seorang penderita TB disangka mengandung mikrobakteri yang
resisten bila terjadi kegagalan pengobatan atau kekambuhan.
Kekambuhan adalah keadaan dimana seorang penderita, selama pengobatan, tetap
negatif hasil pemeriksaan sputumnya, kemudian setelah pengobatan selesai hasil
pemeriksaan sputum kembali positif atau pemeriksaan radiologik kembali memburuk dan
sesuai dengan gambaran tuberkulosis aktif. Kekambuhan penyakit secara retrospektif
dikaitkan dengan hasil pemeriksaan sputum yang masih tetap positif setelah pengobatan fase
awal/induksi dan adanya cavitas di awal pengobatan.10
Gagal bila pemeriksaan sputum tetap memperlihatkan hasil positif selama pengobatan
berlangsung. Penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif pada bulan keempat
dapat dinyatakan sebagai gagal pengobatan. Sebab utama dari kegagalan pengobatan adalah
penggunaan obat yang tak memadai yang mencakup ketakpatuhan minum obat. Penyebab
lain adalah penggunaan OAT bermutu rendah, dan regimen pengobatan yang tak memadai,
atau penderita yang terinfeksi dengan mikobakteri yang sudah resisten terhadap OAT
primer.
Dalam keadaan tidak dapat dilakukan DST, pengobatan empirik dapat dimulai dengan
menganggap penderita mengidap MDR-TB, yang berarti penderita itu mengandung
mikobakteri yang sudah resisten dengan paling sedikit dua obat utama yaitu isoniazid dan
rifampicin. 10
Pengobatan dengan OAT sekunder memerlukan waktu yang lebih lama, mengandung
risiko efek samping yang lebih berat, sehingga ancaman ketidakpatuhan mengikuti
pengobatan adalah tinggi. Pengobatan dengan OAT sekunder menghasilkan konversi sputum
setelah 4-7 bulan, dan dilanjutkan selama minimal 18 bulan, jauh lebih lama dari
pengobatan yang berintikan isoniazid dan rifampicin pada penderita yang masih sensitive
terhadap OAT primer. Obat diberikan setiap hari, tidak ada regimen intermiten dengan OAT
sekunder. 10,11
Bila fasilitas memungkinkan, selama masih berpotensi mernularkan, penderita
sebaiknya dirawat dan diisolasi di rumah sakit atau di sanatorium sambil memantapkan
kepatuhan penderita melalui edukasi yang intensif. Karena tingginya ancaman kegagalan
pengobatan dan tingginya biaya pengobatan MDR-TB, jalan yang terbaik adalah menekan
sekecil mungkin terjadinya kasus MDRTB melalui peningkatan kemanfaatan pengobatan
penyakit tubekulosis melalui program DOTS.10,11
Tabel 8 Obat TBC Lini II
Nama obat
Dosis
harian
Dosis
29
maksimal
Efek samping
Ethionamide
atau
(mg/kgBB/hari)
15-20
Prothionamide
Muntah,
gangguan
gastrointestinal
*,sakit sendi
Floroquinolones**
Ofloxacin
15-20
800
Levofloxacin
7,5-10
Moxifloxacin
7,5-10
Gatifloxacin
7,5-10
Ciprofloxacin
Aminoglycosides
20-30
1500
Kanamycin
15-30
1000
Ototoksisitas,
Amikacin
15-22,5
1000
toksisitas hati
Capreomycin
Cycloserin
15-30
10-20
1000
1000
Gangguan
psikis,
terizidone
gangguan
Para-aminosalicylic
neurologis
Muntah, gangguan
150
12000
acid
* dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi
gastrointestinal
** meskipun belum disetujui untuk terapi anak tetapi kalau sangat diperlukan dapat
diberikan dengan mengabaikan efek samping
Pengobatan OAT pada TBC dengan keadaan khusus 2,7,10
TBC milier, diberikan 4-5 macam OAT (INH, RIF,PZA, STM) atau ETM selama 2
bulan, dilanjutkan dengan INH dan RIF sampai 9-12 bulan kemudian ditambahkan
prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu yang selanjutnya diturunkan secara
perlahan-lahan hingga 2-6 minggu
TBC ekstrapulmonal
a.
TBC kelenjar, dapat sembuh tanpa diobati namun bisa berkembang jadi nekrosis.
Terapi yang diberikan 2HRZ + 6HR + perbaikan gizi
b.
Pleuritis TB, terapi sama dengan terapi TB paru bila berespon maka suhu akan turun
dalam 2 minggu terapi, cairan pleura akan diserap dalam 6 minggu. Bila demam
30
berlangsung hingga 2 bulan, diberikan steroid selama 2-6 minggu dengan dosis
penuh, kemudian tappering off selama 2-6 minggu
c.
d.
e.
TBC kulit (skrofuloderma), diberikan 2HRZ + 6RH dan higiene yang baik
f.
TBC abdomen, terapinya 4-5 macam OAT selama 2 bulan pertama + 12 RH dan
kortikosteroid 1-2 mg/kgBB selama 1-2 minggu pertama
g.
h.
i.
TBC ginjal, terapi 4 macam OAT pada 2 bulan pertama + 2 macam obat selama 12
bulan.Kalau dilakukan pembedahan setelah pemberian OAT 4-6minggu
j.
TBC jantung, diberikan 4-5 OAT untuk 2 bulan pertama dilanjutkan 2 OAT hingga
12 bulan
k.
l.
31
bronkopneumonia. Anak dengan TB milier perlu diulang foto toraksnya setelah 1 bulan
evaluasi pengobatan sementara pada efusi pleura TB setelah 2 minggu
Evaluasi efek samping hasil pengobatan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, obat-obat tuberculosis dapat menimbulkan
berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian INH dan
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam.
Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas. Efek samping ini
jarang terjadi pada pemberian dosis INH yang tidak melebihi 10 mg/kg BB/hari dan dosis
hari dan dosis rifampisin yang tidak lebih dari 15 mg/Kg BB/hari. 2,8,10
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali tanpa gejala,
atau 3 kali batas atas normal (40 U/L), peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/kg
BB/hari dan dosis rifampisin yang tidak lebih dari 15 mg/DL, serta peningkatan
SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia, nausea, muntah, dan
ikterus. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pemantauan melalui pemeriksaan
laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit yang berat, seperti TB milier,
meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang memerlukan dosis INH dan rifampisin
lebih besar dari dosis yang dianjurkan.
Pada keadaan ini, hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama
pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering (misalnya setiap 2
minggu) selama 2 bulan pertama, dan selanjutnya dapat lebih jarang. Sedangkan pada anak
dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak melebihi anjuran,
pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada keadaan ini, hanya
diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum pemberian terapi serta pemantauan
terhadap gejala hepatotoksisitas. 2
Penatalaksanaan hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang
terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan
terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yagn tidak terlalu
tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan
peningkatan lebih dari 3 kali nilai normal memerlukan penghentian rifampisin sementara
atau penurunan dosis rifampisin. Namun, mengingat pentingnya rifampisin dalam panduan
pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan.
Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan pengobatan dengan INH dan rifampisin cukup aman
32
digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan
hepatotoksisitas dengan tepat. 2,8,10
Apabila peningkatan enzim tranaminase lebih dari 5 kali, semua OAT dihentikan,
kemudian kadar enzim trasaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT
diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah kembali normal. Terapi berikutnya
dilakukan dengan cara memberikan INH dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara
bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat.
Hepatoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan
langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam panduan
pengobatan. 2,8,10
Putus obat
Tejadi bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu. Sikap selanjutnya
untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah
berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut
perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.2
Multi Drug Resistance (MDR) TB
Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua
atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya
MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen
TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada
beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,
penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak
dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak
rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa
MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan
tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di
Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB
mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan
strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya
1,6% saja.2
33
Nonmedikamentosa
Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat
ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment
shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam
pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan
yang tinggi.2
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai
berikut :
Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji
tuberkulin.2
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau
yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).
Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yaitu uji tuberkulin.2,3
34
Pencegahan
I. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan.
Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di
daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal,
ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia
lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak
yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian
vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada
anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,
TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif
telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi
umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif
aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi
imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat
badan optimal.1,-3
II. Kemoprofilaksis2
Terdapat
dua
jenis
kemoprofilaksis,
yaitu
kemoprofilaksis
primer
dan
Komplikasi
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke
ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang
menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada
pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.2,11
Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini
memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan
pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi
ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada
pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon
36
buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple
terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter
meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan. 11
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampisin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama
isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi
OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.11
KESIMPULAN
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang
dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia
dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan
biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare persisten serta malaise (letih, lesu,
lemah, lelah).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi, tes
serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.
Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan
dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat TB utama (first line,
lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan
Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.
DAFTAR PUSTAKA
37
38