295
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
A. PENDAHULUAN
Peningkatan tuntutan sosial dan global atas realisasi hak Asasi
manusia (HAM) memperlihatkan semakin kuatnya legitimasi politik
HAM sebagai kerangka konseptual, gagasan dan paradigma yang
harus menjadi acuan dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan
nasional.1 Tuntutan itu semakin tidak bisa ditawar ketika Indonesia
mengklaim diri sebagai negara demokrasi yang harus mengakomodasi
nilai-nilai universal HAM.
Hubungan demokratisasi dan HAM sesungguhnya sangat
nyata. Untuk dapat disebut pemerintahan demokratis, maka sejumlah
elemen HAM khususnya yang menyangkut hak-hak sipil harus ada.
George Soreson misalnya, mengemukakan elemen-elemen dasar
demokrasi; yaitu kompetisi ekstensif, partisipasi politik yang sangat
inklusif dan kebebasan sipil dan politik.2
Jalan demokrasi3 yang telah disepakati untuk dianut oleh
bangsa Indonesia memunculkan banyak implikasi yang membutuhkan
kedewasan berpikir, bersikap dan bertindak segenap rakyatnya. Nilainilai dasar (core values) demokrasi4 yang berhubungan dengan
1
Mulyana W. Kusuma, Menuju Pembangunan Berwawasan HAM, dalam E.
Sobirin Najd dan Naning Mardiniah (ed.), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan
Aksi, (Jakarta: Cesda LP3ES, 2000), h. 57.
2
Robert Robinson (ed.), Pathways to Asia: The Politics of Engagement, (New
South Wales: Allen & Unwin Pty. Ltd, 1996), h. 114-5.
3
Demokrasi merupakan suatu terminology yang sarat makna dan tafsir.
Pengertiannya berkait erat (linkage) dengan sistem sosial yang mendukungnya. Selain
memiliki unsur-unsur yang bersifat universal (universal common denominator),
demokrasi juga mengusung unsur-unsur kontekstual (cultural relativism). Dalam
kerangka ini, muncul pelbagai usaha untuk mencari standar demokrasi (standard of
democracy), walaupun diakui bahwa demokrasi sendiri bukanlah suatu kesatuan yang
statis (democracy is not a static entity) dan menunjukkan lebih dari sekedar political
machinary, tapi juga mengandung pandangan hidup (way of life) suatu masyarakat.
Tinggi dan rendahnya standar demokrasi sangat tergantung dari berbagai faktor
pendukung (facilitating conditions) seperti kemajuan sosial-ekonomi, kualitas golongan
menengah, kualitas kepemimpinan atau negara yang berdaulat. Muladi, Menggali
Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah
dalam Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progressif Indonesia, Kerjasama IAIN
Walisongo dengan PDIH Undip, tanggal 8 Desember 2004.
4
Nilai-nilai dasar demokrasi atau standar demokrasi universal (disebut pula
indeks demokrasi/ indices democracy) merupakan sarana untuk melakukan democratic
audit melalui the key auditing tool yang terdiri atas 30 (tiga puluh) pertanyaan dan
dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) dimensi, yaitu: (a) free and fair elections
(Pemilihan Umum yang jujur dan adil); (b) open, accountable and responsive
goverment (pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif); (c) civil and political
296
h. 10.
6
Untuk sebagian dari itu, negara perlu mengawasi aliran-aliran kepercayaan,
gerakan sempalan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban dan keamanan. Tugas
mengawasi ini diformalkan dengan
nama PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat) di bawah lembaga kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia.
297
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
Setiap pihak dapat menafsirkan sendiri HAM-nya yang kemungkinan
besar dapat bersinggungan dengan HAM milik orang lain. Kebebasan
beragama sebagai HAM-nya Lia Eden, telah mengganggu ketertiban
yang menjadi HAM-nya (menodai ajaran) umat agama lain. Inilah
dilema filosofis dan praktis yang perlu dikaji lebih serius supaya
penggunaan atas nama HAM dan demokrasi untuk kebebasan
beragama dan berkeyakinan tidak dilakukan secara anarkis dan
sewenang-wenang. Bagaimanakah sejatinya kebebasan beragama itu?
B. PEMBAHASAN
1. Norma Kebebasan Beragama
Secara normatif, kebebasan beragama dijamin oleh konvensi
internasional dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM/ The
Universal Declaration of Human Rights). Deklarasi ini terdiri dari 30
pasal dan memuat bermacam-macam hak yang dapat dikategorikan
ke dalam: hak personal, hak legal, hak sipil, hak politik, hak
subsistensi, hak ekonomi, hak sosial dan hak kultural. Pasal 2 DUHAM
menegaskan bahwa diskriminasi7 atas dasar agama tidak dibenarkan.
Beragama atau tidak beragama, menafsirkan dan meyakini apa yang
dianggap benar merupakan bagian HAM seseorang yang harus
dihormati.
Tuntutan
untuk
menjamin
kebebasan
beragama dan
berkeyakinan juga menjadi tuntutan international seperti dalam
International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia
sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak
(State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
Kovenan tersebut menetapkan hak setiap orang atas
kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan
atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai
7
Dalam pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat
pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya.
298
299
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
adalah kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama
tertentu, hemat saya tidak menjadi masalah. Jika yang dimaksud
adalah kebebasan untuk membuat agama baru dan meyakininya
sebagai agama yang benar, hemat saya juga tidak masalah.
Yang menjadi problem adalah jika kebebasan beragama yang
dimaksud dilakukan secara anarkis tanpa memperhatikan koridor ilmu
penganut agama yang dianut oleh mayoritas pemeluk agama
tersebut. Misalnya, seorang pemeluk agama Islam menafsirkan diri
dan mengakui sebagai malaikat, atau imam Mahdi atau mengaku
sebagai Rasulullah. Sementara menurut mayoritas umat Islam (yang
bersumber dari ketentuan normatif al-Quran dan al-Hadits) meyakini
tidak mungkin ada malaikat yang turun ke bumi menjelma sebagai
manusia atau setelah Nabi Muhammad Saw tidak ada lagi Rasul yang
turun ke dunia.
Apa yang dianggap sebagai HAM-nya orang yang mengaku
sebagai rasul, adalah penodaan terhadap kesucian ajaran suatu
agama. Oleh karena itu, pelakunya dianggap telah menodai dan
menyebarkan
ajaran-ajaran
yang
menyimpang
dari
ajaran
mainstream. Penyebaran ajaran yang dianggap sesat akan
menimbulkan kerawanan sosial dan menganggu ketertiban umum.
Jika kebebasan beragama dan berkeyakinan telah menimbulkan
ketidakketertiban (disorder) masyarakat, maka negara berkewajiban
mengharmoniskan kembali, misalnya melalui penegakan hukum.
Kedua, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan
HAM. Apakah HAM identik dengan kebebasan sebebas-bebasnya,
sehingga setiap orang bebas dan berhak mengaku sebagai tuhan,
rasul dan nabi yang sedang menyampaikan risalah kepada manusia.
Kebebasan beragama yang diyakini seperti ini adalah bagian dari HAM
yang anarkis; identik dengan kehidupan di rimba raya. Padahal,
masyarakat yang lain juga memiliki HAM yang perlu dihormati pula.
Menafsirkan doktrin ajaran agama secara anarkis tanpa
melihat rambu-rambu ilmu, hukum dan sosial juga berpotensi
menimbulkan benturan antar masyarakat. Menafsirkan tentang ajaran
jihad dan menyimpulkan bahwa semua orang yang menentang Islam
dicap sebagai kafir dan boleh dibunuh di manapun mereka berada,
adalah HAM bagi yang meyakininya. Tetapi keyakinan seperti ini pasti
berbenturan dengan keyakinan bagi orang lain yang menjadi HAMnya. Benturan ide, negara tidak berwenang untuk melerainya. Tapi
benturan ide yang menjurus pada meresahkan masyarakat, akan
mengundang negara untuk hadir menertibkannya.
300
301
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
Istilah delik agama pertama kali dikenalkan oleh Oemar Seno Adji,
dan memang dapat menimbulkan kebingungan karena mengandung
beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap
agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno
Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik
agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang
berhubungan dengan agama.9
Berbeda dengan yang di atas, Surat Kejaksaan Agung RI No.
B-1177/D.1/101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang Tindak Pidana
Agama dala UU No. 1/PNPS/1965 menyebut istilah delik
penyelewengan agama dan delik antiagama. Penyelewengan agama
berarti perbuatan menafsirkan atau melakukan kegiatan keagamaan
yang
menyimpang
dari
pokok-pokok
ajaran
agama
yang
bersangkutan. Sedangkan dalam delik antiagama meliputi dua hal,
yaitu delik penodaan/ penghinaan agama dan delik agar orang tidak
menganut suatu agama.
Di negara-negara Eropa seperti Inggris, istilah delik agama itu
dikenal dengan istilah blashphemy. Blacks Law Dictionary
mengartikan: the offence of speaking matter relating to god, Jesus
Christ, or the book of common prayer, intended to wound the feelings
of mindkind or to excite contempt and hatred againts the crurch by
law established or to promote immorality.
Pasal 156a KUHP sering disebut sebagai pasal penodaan
agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik
kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi
pertemuan/ upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal
175); mengganggu pertemuan/ upacara agama dan upacara
penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama
dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
larangan tersebut. Pengertian yang sama diperoleh dari J. Dressler yang mengartikan
criminal act sebagai actus reus may be defined as such result of human conduct as the
law seeks to prevent. Untuk dapat dipidana, seseorang tidak cukup hanya karena
melanggar aturan hokum (crimincal act). Orang tersebut harus juga mempunyai
kesalahan (mens rea) yang dapat berupa kesengajaan (intention) atau kealpaan, yang
merupakan unsure utama dalam criminal responsibility. Dikutip dari Ifdhal Kasim,
Perkembangan Delik Agama dari Masa ke Masa, makalah dalam Konsultasi Publik RUU
KUHP: Perlindungan HAM Melalui Reformasi Hukum Pidana, Hotel Santika Jakarta, 3-4
Juli 2007.
9
302
rujukan
hakim
untuk
303
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
Benih-benih delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam
pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan
larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya
berbunyi:
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu,
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok
ajaran dari agama itu".
Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan
dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan
memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di
sana disebutkan beberapa hal, antara lain:
Pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan
Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional
dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai
ancaman revolusi.
Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasiorganisasi
kebatinan/kepercayaan
masyarakat
yang
dianggap
bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut
dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan
menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan
mengeluarkan undang-undang ini.
Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah
agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang
dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama
yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman
beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaranajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui
pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu
[Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar
aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi
kehadirannya.
Pasal 156a dalam praktiknya memang menjadi semacam
peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara.
Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti
304
12
Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU
KUHP, makalah dalam Annual Conference Kajian Islam di Lembang Bandung, 26 30
November 2006.
13
Ibid.
14
Dikutip dari Ioanes Rakhmat, Catatan Kritis atas Keputusan MK, dalam
Koran Tempo, 12 Mei 2010.
305
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di
negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.
(2) Bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu HAM yang
sangat fundamental. Bahwa penafsiran keyakinan atas ajaran
agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum
internum.
(3) Bahwa kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dari tanggung
jawab sosial dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM bagi
setiap orang, sebab hanya dengan cara inilah kebebasan
beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang
lain.
(4) Bahwa
penafsiran
yang
bebas
dilakukan
tetap
harus
berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui
metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang
bersangkutan sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap
suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut.
Beberapa pertimbangan hukum yang diajukan MK cukup
memuaskan pihak-pihak yang masih mempertahankan keberadaan
UU tersebut. Tetapi di pihak lain, kritik pedas diarahkan kepada MK
yang
dianggap
tetap
melanggengkan
UU
yang
jelas-jelas
bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia.
3. Politik Hukum dan Siyasah Syariyyah
Kebebasan beragama dan berkeyakinan di satu sisi, dan
pengaturan tentang penodaan agama di sisi lain, secara hukum sudah
final putusannya berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Pada
artikel ini, saya akan memberikan analisis dengan acuan yang
berbeda berdasarkan perspektif politik hukum dan Siyasah Syariyyah
terhadap peraturan dan kebijakan negara tentang kebebasan
beragama. Sebelumnya akan diuraikan lebih dulu tentang apa yang
dimaksud dengan politik hukum dan Siyasah Syariyyah itu.
a. Politik Hukum
Para ahli hukum memberikan definisi dan deskripsi yang
beragam tentang apa yang dimaksud dengan politik hukum. Soedarto
memberikan pengertian politik hukum sebagai kebijakan dari negara
melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan
306
15
352.
18
Ibid, h. 352-3.
19
307
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
Menurut Mahfudz MD, politik hukum adalah legal policy atau
arah hukum yang diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan
negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan
penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini, politik hukum
harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di
negara tersebut.20
Dari berbagai definisi politik hukum yang dikemukakan para
ahli di atas, saya berpendirian bahwa politik hukum sesungguhnya
adalah cita-cita yang diwujudkan dalam kebijakan negara untuk
mensejahteran warganya melalui berbagai peraturan yang disusun.
Pasal-pasal penodaan agama dalam KUHP maupun UU No. 1/ PNPS/
1965 sesungguhnya didedikasikan negara untuk menjamin kehidupan
beragama yang harmonis dan bersahabat.
Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan
dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam
konstitusi dan peraturan lainnya yang intinya adalah: Negara
menjamin kebebasan warganya untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya masing-masing. Secara filosofis, jaminan ini adalah
komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang wujud
konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan
kesediaan aparatus negara untuk mengimplementasikan peraturan
tersebut.
Negara yang demokratis sama sekali tidak bisa mengekang
pikiran-pikiran warganya dalam menafsirkan pokok-pokok ajaran
suatu agama. Tetapi negara memiliki tanggung jawab besar untuk
menjaga ketertiban. Apa saja yang memungkinkan suatu tertib
hukum dan sosial terganggu, negara harus hadir dan wajib mencegah
dan menindaknya.
Dengan kata lain, sepanjang kebebasan beragama dan
berkeyakinan seseorang atau kelompok tidak mengganggu kebebasan
beragama dan berkeyakinan orang atau kelompok lain, maka negara
hanya diam saja. Namun, ketika kebebasan beragama telah
menimbulkan masalah di masyarakat, atau terjadi benturan fisik
akibat perbedaan pandangan di antara mereka, maka negara wajib
menegakkan hukum yang berlaku.
20
308
Siyasah Syariyyah
21
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayah al-Diniyyah, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Arabiyyah, 1990), h. 5.
22
309
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
dalam bidang yang diatur jelas oleh syariat ataupun tidak.25 Alsiyasah
juga
berarti
kewajiban
menangani
sesuatu
yang
mendatangkan kemaslahatan. Artinya, mengatur rakyat dan
menangani urusan mereka dan mendatangkan kemaslahatan bagi
mereka.26
Menurut istilah ahli fikih, siyasah syariyyah merupakan
keputusan dan langkah kebijakan yang diambil oleh pemimpin dan ulil
amri dalam permasalahan yang tidak diatur secara spesifik oleh
syariah. Menurut Ibn al-Qayyim, siyasah syariyyah tidak harus
berarti ketentuan yang eksplisit syariat. Menurutnya, setiap langkah
yang secara aktual membawa manusia lebih dekat kepada kebaikan
(shalah) dan lebih jauh dari kerusakan (fasad) merupakan bagian dari
siyasah yang adil meski pun hal itu tidak disuruh langsung oleh Allah
dan rasul-Nya.27
Abdul Wahhab Khallaf menyatakan siyasah syariyyah (atau
fikih siyasah) adalah pengelolaan masalah umum bagi Negara
bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan dan
terhindar dari kemudaratan dengan tidak melanggar ketentuan dan
prinsip-prinsip syariat yang umum meskipun tidak sesuai dengan
sesuai dengan pendapat para imam mazhab. Menurutnya, yang
dimaksud masalah umum bagi Negara adalah setiap urusan yang
memerlukan pengaturan baik mengenai perundang-undangan Negara,
kebijakan mengenai benda dan keuangan, penetapan hukum,
peradilan, kebijaksanaan pelaksanaannya, maupun mengenai urusan
dalam dan luar negeri.28
Dari beberapa definisi di atas, obyek kajian fikih siyasah adalah
membuat peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk
mengurus Negara sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama.
Realisasinya untuk tujuan kemaslahatan manusia dan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.29 Menurut J. Suyuthi Pulungan,
berdasarkan beberapa pendapat para fuqaha, obyek kajian fikih
25
Ibid, h. 38.
26
310
Ibid, h. 5.
30
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
Rajawali dan LSIK, 1997), h. 28.
31
Ibid, h. 39-40. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Siyasah Syariyyah,
(Yogyakarta: Madah, tt), h. 8. Selain buku ini, Hasbi juga memiliki buku yang khusus
membahas ilmu kenegaraan, yaitu Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, (Jakarta:
Matahari Masa, 1969).
311
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
Menurut Muhammad Hashim Kamali, siyasah shariyyah ini
beroperasi dengan mengikuti empat jalan. Pertama, dengan
membatasi apa yang diperbolehkan untuk menjamin kemanfaatan
atau mencegah bahaya. Contohnya seperti kebijakan Umar Ibn
Khattab yang melarang penduduk makan daging dua hari berturutturut dalam seminggu ketika pasokan daging di Madinah menipis.
Kedua, dengan membuat legislasi baik di dalam maupun di luar
wilayah yang diatur shariah. Legislasi dapat dilakukan untuk
melaksanakan keputusan al-Quran melalu shura, kesederajatan, dan
keadilan. Ketiga, dengan memilih satu diantara pemecahanpemecahan yang tersedia. Jika ada beberapa pandangan hukum
dalam isu tertentu, penguasa boleh memilih salah satu yang ia
anggap paling sesuai. Keempat, dalam wilayah hukum pidana, yakni
dengan melakukan tazir yang memungkinkan hakim melakukan
fleksibilitas dalam memilih jenis dan jumlah hukuman yang sesuai.32
Dalam
masalah
kebebasan
beragama,
hukum
Islam
memberikan pedoman yang cukup detail mengenai hal ini (sebagian
bersumber dari al-Quran dan sebagian yang merupakan hasil ijtihad).
Pemikiran politik Islam klasik mengenal adanya dar al-harb dan dar
al-Islam untuk menyebut teritori yang telah tunduk di bawah
kekuasaan Islam dan yang sebaliknya. Pembagian ini bukan berarti
bahwa dar al-harb adalah daerah yang wajib diperangi.
Dalam fiqh, pemeluk agama lain dikategorikan menjadi empat
golongan, yaitu ahl al-dhimmah (kelompok yang mendapat jaminan
dari Tuhan dalam hak dan hukum negara; mustaman (pemeluk
agama lain yang minta perlindungan keselamatan dan harta kepada
penguasa muslim; muahadah (perjanjian damai dan persahabatan
antara negara Islam dan negara lain yang bukan negara Islam, baik
disertai perjanjian saling tolong-menolong maupun tidak; harbi
(pemeluk agama lain yang mengganggu keamanan dan ketertiban
serta memaksa muslim untuk meninggalkan agamanya.33
Kebebasan beragama dalam arti kebebasan menafsirkan
agama yang diyakini, Islam juga memberikan kemerdekaan. Perlu
dipahami oleh penyokong kebebasan beragama, bahwa di dalam
Islam ada dua hal yang dibedakan, yaitu masalah pokok-pokok agama
(ushul) dan masalah-masalah cabang (furu). Masalah akidah dan
32
Seperti dikutip Ahwan Fanani, Menggugat Keadilan Politik Hukum Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, (Semarang: Walisongopress, 2009), h. 46.
33
312
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi tidak tenang karena
masing-masing pemeluk agama terjebak pada rutinitas perdebatan
tentang keabsahan suatu amalan tertentu.
________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Hukum
Pidana,
314
atas
Hukum,
al-Diniyyah,
315
Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 32, No.2, Juli Desember 2012: 295-316
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Siyasah Syariyyah, (Yogyakarta:
Madah, tt).
Ahwan Fanani, Menggugat Keadilan Politik Hukum Ibn Qayyim alJauziyyah, (Semarang: Walisongopress, 2009).
Ahmad Sukardja, Fikih Siyasah, dalam Taufik Abdullah, dkk,
Ensiklopedis Tematis Dunia Islam, III, (Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 2002).
316