LAPORAN PENCAPAIAN
TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM
DI INDONESIA
2011
2012
ISBN 978-979-3764-79-5
Diterbitkan oleh:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Tim Penyusun:
Penanggung Jawab
Ketua Tim Pengarah
Sekretaris
Anggota
Mitra Pendukung
LAPORAN PENCAPAIAN
TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM
DI INDONESIA
2011
Diterbitkan Oleh:
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
| ii
Kata Pengantar
Keikutsertaan Indonesia dalam menyepakati Deklarasi Milenium bersama dengan 189 negara lain
pada tahun 2000 bukan semata-mata untuk memenuhi tujuan dan sasaran Millenium Development
Goals (MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran
MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan Indonesia. Konsisten dengan itu,
Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap
perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan 2010-2014
serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya. Berdasarkan strategi pro-growth,
pro-job, pro-poor, dan pro-environment alokasi dana dalam anggaran pusat dan daerah untuk
mendukung pencapaian berbagai sasaran MDGs terus meningkat setiap tahunnya. Kemitraan
produktif dengan masyarakat madani dan sektor swasta berkontribusi terhadap percepatan
pencapaian MDGs.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011 ini merupakan laporan ke
tujuh yang bersifat nasional sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2004. Penerbitan laporan ini
bertujuan untuk melaporkan berbagai keberhasilan yang telah kita capai sebagai perwujudan dari
komitmen dan kerja keras Pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia
yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk menunjukkan komitmen Indonesia
sebagai bagian dari Masyarakat bangsa-bangsa dalam mewujudkan cita-cita Deklarasi Milenium
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2000. Laporan ini secara ringkas menguraikan keadaan dan
kecenderungan serta upaya penting untuk percepatan pencapaian MDGs sampai dengan posisi
tahun 2011, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan
agar sasaran MDGs tahun 2015 dapat dicapai.
Laporan ini disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis/Kelompok Kerja yang
bertanggungjawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS.
Kepada seluruh anggota Tim Penyusun disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggitingginya atas kerja keras dan kontribusinya sehingga Laporan Pencapaian MDGs ini tersusun dengan
baik.
Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada:
Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, Wakil Menteri Negara PPN/Wakil Kepala Bappenas dan Dra.
Nina Sardjunani, MA, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas yang telah
mengkoordinasikan penyusunan dan sekaligus melakukan quality assurance atas substansi
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2011.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan
Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan
Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, Komisi
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
iii
| iv
Pemilihan Umum, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kontribusi dalam penyediaan
data, informasi, dan penyiapan naskah.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mitra pembangunan dari United Nations
Development Programme (UNDP) yang telah membantu penyusunan Laporan Pencapaian MDGs
ini, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga laporan ini menjadi kontribusi berharga bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita
pembangunan manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih sejahtera di masa yang akan
datang.
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Kotak
Daftar Foto
Daftar Singkatan
Pendahuluan
Ringkasan Status Pencapaian MDGs di Indonesia
Tinjauan Status Pencapaian MDGs di Indonesia
iii
v
vi
vii
Viii
Viii
ix
1
5
9
15
17
29
31
37
39
45
47
53
55
TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA
Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru
HIV dan AIDS hingga tahun 2015
Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS bagi semua
yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru
Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015
67
69
24
27
55
69
74
| vi
TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan
dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan
sumberdaya lingkungan yang hilang
Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses
terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak
pada 2015
Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk
miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020
TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN
Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka,
berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif
Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun
internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang
Target 8F: Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru,
terutama teknologi informasi dan komunikasi
83
85
93
102
107
109
114
117
Daftar Gambar
Gambar 1.1.
Gambar 1.2.
Gambar 1.3.
Gambar 1.4.
Gambar 1.5.
Gambar 1.6.
Gambar 1.7.
Gambar 1.8.
Gambar 1.9.
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 3.1.
Gambar 3.2.
Gambar 3.3.
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 5.1.
17
Proporsi Tenaga Kerja yang Berusaha Sendiri dan Pekerja Bebas Keluarga
Terhadap Total Kesempatan Kerja
Prevalensi Kekurangan Gizi pada Balita
Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < 1.400 Kkal dan < 2.000 Kkal
Perkembangan APM dan APK Jenjang SD/MI dan SMP/MTs tahun 1992-2011
Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, Tahun 2011
Perkembangan Proporsi Melek Huruf Perempuan dan Laki-Laki Umur
15-24 Tahun, 2000-2011
Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15-24 Tahun Menurut Provinsi, 2011
IPG/Rasio APM Perempuan Terhadap Laki-Laki, 2000-2011
Keragaman Tingkat Keaksaraan Laki-Laki dan Perempuan, 2011
Keragaman Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan di Sektor
Nonpertanian Antarprovinsi, 2011
Penurunan Angka Kematian Balita, Bayi, dan Neonatal, 1991-2007
Keragaman Pemberian Imunisasi Dasar Bagi Anak Usia 12-23 bulan, 2010
Persentase anak usia 1 tahun yang pernah mendapatkan imunisasi campak,
2011
Angka Kematian Ibu dari Tahun 1991-2007 dan Target MDG tahun 2015
26
17
18
20
24
25
27
28
32
33
33
34 39
40
40
41
47
48
49
56
|
Gambar 5.2.
Gambar 5.3.
Gambar 5.4.
Gambar 5.5.
Gambar 5.6.
Gambar 5.7.
Gambar 5.8.
Gambar 6.1.
Gambar 6.2.
Gambar 6.3.
Gambar 6.4
Gambar 6.5.
Gambar 6.6.
Gambar 7.1.
Gambar 7.2.
Gambar 7.3.
Gambar 7.4.
Gambar 7.5.
Gambar 7.6.
Gambar 7.7.
Gambar 8.1.
Gambar 8.2.
Gambar 8.3.
56
57
58
58
59
60
64
70
70
71
74
78
78
86
93
95
95
102
106
104
110
113
115
Daftar Tabel
Tabel 1.1.
Tabel 1.2.
Tabel 7.1.
Tabel 7.2.
Tabel 7.3.
Tabel 7.4.
Tabel 7.5.
Tabel 8.1.
21
22
87
87
89
104
105
110
vii
| viii
Daftar Kotak
Kotak 1.1.
Kotak 1.2.
Kotak 1.3.
Kotak 2.1.
Kotak 3.1.
Kotak 4.1.
Kotak 5.1.
Kotak 5.2.
Kotak 5.3.
Kotak 6.1
Kotak 6.2.
Kotak 6.3.
Kotak 7.1.
Kotak 7.2.
Kotak 7.3.
Kotak 7.4.
Kotak 7.5.
Kotak 7.6.
Kotak 8.1.
Kotak 8.2.
21
22
23
36
42
51
64
65
65
73
75
81
90
97
99
105
106
112
119
Daftar Foto
Foto 4.1.
Foto 5.1.
Foto 5.2.
Foto 5.3.
Foto 6.1.
Foto 6.2.
Foto 7.1.
Foto 7.2.
Foto 8.1.
52
62
63
66
76
81
99
105
119
Daftar Singkatan
ABAT
AKBA
APBD
APBN
APK
APM
APS
ARG
ART
ARV
ASEAN
ASFR
ASI
Balita
Bappenas
BBLR
BBM
BCG
BKKBN
BLM
BOK
BOS
BP3AKB
BPD
BPO
BPR
BPS
Perum Bulog
BUMN
CAR
CBEIS
CDR
CFCD
CFCs
CLTS
CO2
CPE
CPR
CSR
CTU
DAD
DAK
Desa Pinter
DO
DOTS
DPR
DPT-HB
DSR
ix
|x
Fasyankes
FWT
GBS
GPI
GRK
GWM LDR
HCFCs
HIV dan AIDs
HPB
HPMP
IIX
IPG
Jamkesda
Jamkesmas
Jampersal
JPS
K1
K4
KB
Kemendagri
Kemdikbud
Kemenhut
Kemenkes
Kemenkeu
Kemenkokesra
Kemen PPN
Kemen PU
Kementan
Kominfo
KH
KIA
KIE
KKP
KLB
KLH
KPP&PA
KPU
KRR
KS-1
KUR
LDR
LPA
LSM
LULUCF
MDGs
MDR-TB
MI
MKJP
MOP
MOW
MP3EI
|
MRV
MTBS
MTs
NPL
NTRL
NUSSP
OJK
Opsus
P2DTK
PAMSIMAS
PAUD
PBB
PDB
Perda
PISEW
PKBR
PKH
PKK
PLIK
PLP2K-BK
PMK
PMT
PMT-AS
PNPM
PNPM-KP
PONED
PONEK
Poskesdes
Posyandu
PPIP
PPN
PPP
PPP
PPRG
Pra-KS
PSK
PT
PUAP
PUG
PUGAR
Puskesmas
PUS
PUMP
Pustu
RA
RAD
Raskinda
Raskindes
xi
| xii
RDT
Renstra
Riskesdas
Risti
RK
RKB
ROA
RPJMN
RPJPN
RPJMD
RS
RTS
RTSM
Sakernas
SBI
SBN
SD
SDKI
SDLB
SDM
SIP
SIPBM
SKRRI
SMA
SMP
SMPLB
SPAM
SR
SSL
STBM
STBP
STR
Susenas
TAC
TB
TPA
TOMA
TOGA
UKBM
ULN
UMKM
UNDP
UNESCO
UNFCCC
UNICEF
USO
Valas
VCT
Wajar Dikdas
WHO
Pendahuluan
Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs mencerminkan komitmen negara untuk
menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia.
Berkenaan dengan itu maka MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan 2010-2014, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan,
dan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia menghadapi tantangan global yang tidak ringan.
Perdagangan bebas, harga minyak yang masih meningkat yang diikuti oleh subsidi BBM yang
semakin membengkak, perubahan iklim dan pemanasan global dan dampaknya pada harga pangan
yang semakin mahal, mewarnai dinamika sosial dan ekonomi pembangunan nasional.
|2
tahun, peningkatan cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, dan
penurunan kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need).
MDG 6, yaitu mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa
peningkatan proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan
Antiretroviral (ARV). Selain itu, pengendalian penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus
baru malaria yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu
berinsektisida belum memadai dalam rangka menurunkan jumlah kasus baru malaria.
MDG 7, yaitu berupa penurunan konsumsi bahan perusak ozon, proporsi tangkapan ikan yang
tidak melebihi batas biologis yang aman, serta rasio luas kawasan lindung untuk menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan dan rasio rasio kawasan
lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial yang keduanya meningkat.
MDG 8, yaitu berupa keberhasilan pengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang
terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif yang diindikasikan oleh rasio
ekspor dan impor terhadap PDB, rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum, dan rasio
pinjaman terhadap simpanan di BPR yang semuanya meningkat pesat. Selain itu juga
keberhasilan dalam menangani utang untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang yang
diindikasikan oleh rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dan rasio pembayaran pokok utang
dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor yang menurun tajam.
Keberhasilan selanjutnya adalah dalam hal pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi,
yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap dan
telepon seluler.
Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras
untuk mencapainya adalah:
MDG 1, yaitu berupa penurunan hingga setengahnya persentase penduduk yang hidup di bawah
garis kemiskinan nasional.
MDG 5, yaitu berupa penurunan hingga tiga perempatnya angka kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup.
MDG 6, yaitu mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa
penurunan prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi,
dan peningkatan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif
tentang HIV dan AIDS, baik laki-laki maupun perempuan menikah dan belum menikah.
MDG 7, yaitu berupa rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO2, konsumsi energi
primer per kapita, elastisitas energi, serta proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan
terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak di perkotaan dan perdesaan.
MDG 8, yaitu berupa peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan
komputer pribadi yang belum memadai.
Prestasi pembangunan kesejahteraan yang dicapai oleh Indonesia telah berhasil memperoleh
berbagai penghargaan global. Indonesia diundang oleh negara-negara maju yang tergabung dalam
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk masuk dalam kelompok
negara-negara yang makin ditingkatkan keterlibatannya (enhanced engagement countries) dengan
negara-negara maju. Bersama-sama dengan keterlibatan internasional dengan negara-negara maju,
Indonesia telah masuk pada forum G-20, yaitu kelompok 20 negara yang menguasai 85 persen dari
pendapatan domestik bruto (PDB) dunia, peran serta Indonesia dalam penetapan kebijakan global
menjadi sangat penting.
|4
5.
Penetapan Surat Edaran Kementerian PPN dan Kemendagri Nomor: 0068/M.PPN/02/2012 dan
Nomor: 050/583/SJ tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium
(Millennium Development Goals) Tahun 2011-2015 antara lain untuk mendorong agar daerah
menyusun program dan kegiatan serta pengalokasian anggaran dalam Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah agar mengacu pada RAD MDGs di
masing-masing provinsi untuk percepatan pencapaian tujuan target dan indikator MDGs.
6. Peningkatan dukungan pembiayaan untuk percepatan pencapaian MDGs, yaitu :
a. Penyusunan kerangka kebijakan pendanaan percepatan sasaran MDGs melalui Public
Private Partnership (PPP) untuk mendorong pihak swasta bermitra dengan Pemerintah
dalam upaya percepatan pencapaian MDGs;
b. Penyusunan pedoman harmonisasi Pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR)
untuk mensinergikan pelaksanaan kegiatan CSR dengan program dan kegiatan dalam
rangka pencapaian MDG yang mencakup upaya (i) pencapaian keselarasan antara tujuan
pelaksanaan CSR dengan MDG, (ii) keselarasan targeting atau sasaran kelompok
masyarakat, (iii) keselarasan lokasi pelaksanaan CSR dengan lokasi target pencapaian
MDG; dan, (iv) keselarasan indikator kinerja yang dipakai dalam pencapaian MDG dengan
kegiatan CSR;
7. Penyusunan pedoman pemberian insentif bagi daerah untuk mendukung percepatan
pencapaian MDGs sebagai panduan dalam penetapan, pelaksanaan dan pemantauan
pemberian insentif daerah yang memiliki kinerja baik dalam upaya pencapaian tujuan MDGs.
8. Pelaksanaan diseminasi dan advokasi percepatan pencapaian MDGs kepada seluruh
stakeholders meliputi DPR, organisasi profesi, perguruan tinggi, media masa, lembaga swadaya
masyarakat, Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat, dan SKPD;
9. Pemberian MDGs Award dengan tujuan memberikan apresiasi kepada para pemangku
kepentingan dan pelaku pembangunan yang telah menghasilkan prestasi terbaik dalam upaya
mendorong percepatan pencapaian MDGs di Indonesia dan membangun sistem insentif dan
disinsentif berkesinambungan yang dapat menjadi katalis bagi upaya percepatan pencapaian
MDGs di Indonesia. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP) RI
untuk Millennium Development Goals;
10. Penguatan ketersediaan data dan informasi mengenai indikator-indikator MDGs untuk
memperkuat sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi kinerja pencapaian MDGs.
Kegiatannya merupakan kerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan
KemenPPN/Bappenas.
11. Dalam lingkup regional, khususnya ASEAN, Indonesia juga berperan aktif dalam mendukung
upaya peningkatan kerjasama MDGs dalam rangka mengurangi kesenjangan pembangunan di
kawasan. Diadopsinya ASEAN Roadmap for the Attainment of the Millennium Development
Goals selama Keketuaan Indonesia untuk untuk ASEAN pada tahun 2011 mencerminkan
komitmen dan kontribusi signifikan Indonesia untuk turut mendukung penetapan kebijakan
regional terkait dengan upaya percepatan pencapaian MDGs.
|6
|8
Acuan Dasar
Saat Ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
20,60%
(1990)
5,90% (2008)
10,30%
1.1a
15,10%
(1990)
12,49% (2011)
7,55%
1.2
2,70% (1990)
2,08% (2011)
Berkurang
Bank
Dunia
dan BPS
BPS, Susenas
BPS, Susenas
Target 1B: Mewujudkan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum
muda
1.4
3,52% (1990)
5,04% (2011)
1.5
65% (1990)
63,85% (2011)
1.7
71% (1990)
44,24% (2011)
Menurun
PDB Nasional
dan Sakernas
BPS, Sakernas
Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015
Prevalensi balita dengan berat badan rendah
/ kekurangan gizi
31,00%
(1989)*
17,90% (2010)**
15,50%
1.8a
7,20%
(1989)*
4,90% (2010)**
3,60%
1.8b
23,80%
(1989)*
13,00% (2010)**
11,90%
1.8
1.9
*BPS, Susenas
**Kemenkes
Riskesdas
1400 Kkal/kapita/hari
17,00%
(1990)
14,65 % (2011)
8,50%
2000 Kkal/kapita/hari
64,21%
(1990)
60,03 % (2011)
35,32%
BPS, Susenas
88,70%
(1992)*
95,55 % (2011)**
100,00%
*BPS, Susenas
**Kemdikbud
2.2.
berhasil
62,00%
(1990)
96,58 % (2011)
100,00%
Kemdikbud
2.3
96,60%
(1990)
98,78 % (2011)
Perempuan: 98,75 %
Laki-laki: 98,80 %
100,00%
BPS, Susenas
| 10
Indikator
Acuan Dasar
Saat Ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
100,27%
(1993)
98,80% (2011)
100,00
99,86%
(1993)
103,45% (2011)
100,00
93,67%
(1993)
101,40% (2011)
100,00
di
74,06%
(1993)
97,82% (2011)
100,00
3.1a
Rasio melek huruf perempuan terhadap lakilaki pada kelompok usia 15-24 tahun
98,44%
(1993)
99,95% (2011)
100,00
3.2
pekerjaan
29,24%
(1990)
36,67% (2011)
Meningkat
BPS, Sakernas
3.3
12,50%
(1990)
18,40% (2011)
Meningkat
KPU
- Rasio
APM
perempuan/laki-laki
Perguruan Tinggi
BPS, Susenas
97 (1991)
44 (2007)
32
4.2
68 (1991)
34 (2007)
23
32 (1991)
19 (2007)
Menurun
44,50%
(1991)
87,30% (2011)*
Meningkat
4.2a
4.3
tahun
yang
BPS,
SDKI
1991, 2007;
*BPS, Susenas
2011
390 (1991)
228 (2007)
102
BPS, SDKI
5.2
40,70%
(1992)
81,25% (2011)
Meningkat
BPS, Susenas
Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015
Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi
perempuan menikah usia 15-49, semua cara
49,70%
(1991)
61,34% (2011)*
Meningkat
47,10%
(1991)
60,42% (2011)*
Meningkat
5.4
Angka kelahiran remaja (perempuan usia 1519 tahun) per 1000 perempuan usia 15-19
tahun
67 (1991)
35 (2007)
Menurun
5.5
92,70% (2010)**
5.3
5.3a
5.6
1 kunjungan:
4 kunjungan:
Unmet
Need
(kebutuhan
keluarga
berencana/KB yang tidak terpenuhi)
Meningkat
56,00%
(1991)
61,40% (2010)**
12,70%
(1991)
9,10% (2007)
Menurun
BPS,
SDKI
1991, 2007
*BPS, Susenas
2011
**Kemenkes
Riskesdas
2010
|
Indikator
Acuan Dasar
Saat Ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
TUJUAN 6: MEMERANGI HIV dan AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA
Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015
6.1
0,30% (2011)
Menurun
Perempuan :
35,00% (2011)**
6.2
6.3
12,80%
(2002/03)*
Laki-laki: 14,00%
(2011)**
11,40% (2010)
Kemenkes
2011
*BPS,
SKRRI
2002/2003
**STBP,
Kemenkes
2011
Meningkat
Meningkat
Kemenkes,
Riskesdas
2010
Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDs bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010
6.5
84,10% (2011)
Meningkat
Kemenkes,
2011
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun
2015
6.6
66.a
Malaria
(per
1,000
4,68 (1990)
1,75% (2010)
Menurun
Kemenkes,
2010
Meningkat
Kemenkes,
Riskesdas
2010
6.7
16,50% (2010)
Rural: 13.5%
Urban: 11.4%
6.8
34,70% (2010)
Kemenkes,
Riskesdas
2010
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun
2015
6.9
6.9a
(semua
343 (1990)
Dihentikan,
mulai
berkurang
189 (2011)
6.9b
443 (1990)
289 (2011)
6.9c
92 (1990)
27 (2011)
6.10
6.10a
20,00%
(2000)*
83.48% (2011)**
70,00%
6.10b
87,00%
(2000)*
90,30% (2011)**
85,00%
Laporan TB
Global WHO,
2011
*Laporan TB
Global WHO
**Laporan
Kemenkes,
2011
7.2
59,97%
(1990)
52,52% (2010)
Meningkat
Kementerian
Kehutanan
1.377.983
Gg CO2e
(2000)
1.791.372 Gg CO2e
(2005)
Berkurang
26% pada
2020
Kementerian
Lingkungan
Hidup
11
| 12
Acuan Dasar
Saat Ini
Target
MDGs 2015
2,64 BOE
(1991)
Menurun
dari kondisi
BAU 6,99
7.2b.
Intensitas Energi
5,28 SBM/
USD 1,000
(1990)
4,61 SBM/USD
1,000 (2010)
Menurun
7.2c.
Elastisitas Energi
0,98 (1991)
1,6 (2010)
Menurun
7.2d.
Indikator
7.2a.
7.3
3,50% (2000)
5,00% (2010)
8.332,7
metric tons
(1992)
0 CFCs
dengan
mengurangi
Status
Sumber
Kementerian
Energi dan
Sumber Daya
Mineral
Kementerian
Lingkungan
Hidup
HCFCs
7.4
66,08%
(1998)
96,86% (2011)
tidak
melebihi
batas
Kementerian
Kelautan
&
Perikanan
7.5
26,40%
(1990)
27,54% (2010)
Meningkat
Kementerian
Kehutanan
*Kementerian
Kehutanan
**
Kementerian
Kelautan
&
Perikanan
7.6
4,97%
(2011)**
0,14%
(1990)*
Meningkat
Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber layak dan fasilitasi
sanitasi dasar layak hingga tahun 2015
Proporsi rumah tangga dengan akses
berkelanjutan terhadap air minum layak,
perkotaan dan perdesaan
37,73%
(1993)
42,76% (2011)
68,87%
7.8a
Perkotaan
50,58%
(1993)
40,52% (2011)
75,29%
7.8b
Perdesaan
31,61%
(1993)
44,96% (2011)
65,81%
24,81%
(1993)
55,60% (2011)
62,41%
7.9a
Perkotaan
53,64%
(1993)
72,54% (2011)
76,82%
7.9b
Perdesaan
11,10%
(1993)
38,97% (2011)
55,55%
7.8
7.9
BPS, Susenas
Target 7D:Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada
tahun 2020
7.10
20,75%
(1993)
12,57% (2011)
6% (2020)
BPS, Susenas
8.6a
PDB
41,60%
(1990)*
45,00% (2011)**
Meningkat
8.6b
45,80%
(2000)*
78,80% (2010)**
Meningkat
8.6c
101,30%
(2003)*
107,60% (2011)**
Meningkat
*BPS
dan
Bank Dunia
**BPS
dan
Kemendag
*Laporan
Perekonomian
BI 2008, 2009
**Statistik
Perbankan
Indonesia, BI
(2011)
|
Indikator
Acuan Dasar
Saat Ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam
jangka panjang
8.12
8.12a
24,59%
(1996)
51,00%
(1996)*
8,28% (2011)
21,10%
(2011)**
Berkurang
Berkurang
Kementerian
Keuangan
*Laporan
Tahunan
BI
2009
**Statistik
Utang
Luar
Negeri,
BI
(2011)
Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi
8.14
4,02%
(2004)
3,60% (2010)
Meningkat
8.15
14,79%
(2004)
103,90% (2010)
100,00%
8.16
26,21% (2011)
50,00%
8.16a
Proporsi rumah
komputer pribadi
12.30% (2011)
Meningkat
tangga
yang
memiliki
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika
2010
BPS, Susenas
2011
13
| 14
| 15
TUJUAN 1:
MENANGGULANGI
KEMISKINAN
DAN KELAPARAN
| 16
| 17
TUJUAN 1:
MENANGGULANGI KEMISKINAN
DAN KELAPARAN
TARGET 1A
Acuan
dasar
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
1.1
20,60%
(1990)
5,90%
(2008)
10,30%
Bank Dunia
dan BPS
1.1a
15,10%
(1990)
12,49
(2011)
7,55%
BPS, Susenas
1.2
2,70%
(1990)
2,08
(2011)
Berkurang
BPS, Susenas
2.99
2.77
2.5
2.21
2.5
2.08
2
1.5
1
0.5
0
2007
2008
2009
2010
2011
| 18
Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan masih beragam, baik antarprovinsi
maupun antarperdesaan dan perkotaan di dalam provinsi (Gambar 1.2). Papua, Papua Barat,
Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat merupakan lima provinsi dengan tingkat
kemiskinan tertinggi. Namun demikian, tingginya tingkat kemiskinan di Papua, Papua Barat, Maluku,
dan NTT hanya terjadi di perdesaan. Proporsi penduduk miskin perkotaan di Papua dan Papua Barat
lebih rendah dan di Maluku kurang lebih sama dengan nilai rata-rata nasional, namun di NTT
proporsi penduduk miskin perkotaan justru lebih besar dibandingkan dengan perdesaan. Papua,
Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo memang merupakan provinsi tertinggi dalam kesenjangan
proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Selanjutnya, keragaman
proporsi kemiskinan perdesaan antarprovinsi juga sangat besar, yaitu dari 4,65 sampai 41,58 persen.
Proporsi tertinggi penduduk perdesaan yang hidup dibawah garis kemiskinan berada di Papua,
Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo.
39,56
3,75
DKI Jakarta
3,91 4,65
3,75 0,00
4,20
Bali
7,35
6,34
5,29
4,11
5,75
Bangka Belitung
Kalimantan selatan
3,84
6,32
Banten
7,89
6,56
Kalimantan Tengah
7,65
6,77
4,06 11,21
7,35
7,40
Kepulauan Riau
Kalimantan Timur
9,37
8,47
Riau
9,83
7,46
6,37
8,51
Sulawesi Utara
6,33
8,60
Kalimantan Barat
9,59
10,07
7,53 11,19
8,65
Jambi
9,26 13,32
11,58
7,42
9,04
9,18 2,80
Maluku Utara
Sumatera Barat
9,23
13,57
10,65
Jawa Barat
10,29 4,61
11,33
Sulawesi Selatan
15,72
12,49
INDONESIA
Sumatera Utara
9,87
10,75 11,89
13,89
Jawa Timur
Sulawesi Barat
13,73
18,19
10,77 14,83
14,23
15,15
14,24
Sumatera Selatan
17,14
4,80
18,24
14,56
18,75
Gorontalo
14,12
15,76
Jawa Tengah
Sulawesi Tenggara
9,46
13,16
21,82
15,83
Sulawesi Tengah
19,57
NAD
17,89
16,08
19,73
NTB
5,37
12,27 18,54
16,93
Lampung
DI Yogyakarta
25,65
17,39 17,74
17,50
Bengkulu
16,90 23,67
13,69
12,50
21,23
10,24
23,00
NTT
Papua
Papua Barat
Maluku
31,98
4,60
10
6,05 31,92
20
21,87
30,54
23,36
30
4,61 9,75
Perkotaan
40
3,91
41,58
50
Gambar 1.3. Proporsi Penduduk Miskin di Perdesaan dan Perkotaan, Menurut Provinsi Tahun 2011
Sumber : BPS, Susenas 2011
| 19
Pada tahun 2011 telah diberikan bantuan siswa miskin untuk 4.666.220 siswa SD/MI/SDLB,
1.995.100 siswa SMP/MTs/SMPLB, 1.292.374 siswa SMA/SMK/MA, dan 126.538 mahasiswa PT/PTA.
Selanjutnya, pada tahun 2012 akan diberikan bantuan siswa miskin untuk 4.390.780 siswa
SD/MI/SDLB, 1.946.020 siswa SMP/MTs/SMPLB, 1.489.813 siswa SMA/SMK/MA, dan 303.856
mahasiswa PT/PTA.
Selanjutnya, hasil pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) telah mencakup sebesar
59,1 persen penduduk miskin pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 63,1 persen pada tahun
2011. Jamkesmas dasar dan rujukan telah meningkatkan cakupan rawat jalan tingkat pertama (RJTP)
dari 34.397.878 pasien tahun 2010 menjadi 61.790.618 pasien pada tahun 2011. Sementara itu,
cakupan rawat inap tingkat pertama (RITP) meningkat dari 1.268.294 pasien tahun 2010 menjadi
1.690.618 tahun 2011. Untuk cakupan rawat jalan tingkat lanjut (RJTL) meningkat dari 4.743.591
pasien tahun 2010 menjadi 5.244.215 pasien tahun 2011. Cakupan rawat inap tingkat lanjut (RITL)
meningkat dari 1.189.885 pasien tahun 2010 menjadi 1.194.419 tahun 2011. Selain itu, cakupan
jaminan persalinan (Jampersal) sebanyak 1.572.751 Persalinan (496 kabupaten/kota dari 497
kabupaten/kota) pada tahun 2011.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri inti telah dilaksanakan di 6.622
kecamatan yang terdiri dari 5.020 kecamatan PNPM Perdesaan, 1.153 kecamatan PNPM Perkotaan,
215 kecamatan PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP/RIS), 237 kecamatan PNPM Pengembangan
Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) dan 7 kabupaten untuk Program Pengembangan
Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Total alokasi dana PNPM Mandiri Inti yang bersumber dari
APBN dan APBD untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp13,14 triliun dengan proporsi Rp9,58 triliun
untuk PNPM Perdesaan, Rp1,67 triliun untuk PNPM Perkotaan, Rp1,01 miliar untuk PPIP/RIS,
Rp527,8 miliar untuk PISEW dan Rp345,9 miliar untuk P2DTK. Pada tahun 2011 juga telah disetujui
untuk penambahan dana PNPM melalui dana APBN-P sebesar Rp1,82 triliun yang ditujukan untuk
PNPM perdesaan sebesar Rp1,29 triliun dan PNPM perkotaan sebesar Rp524 miliar. Anggaran ini
dialokasikan sebagai penambahan untuk memenuhi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) bagi
lokasi-lokasi PNPM Perkotaan dan Perdesaan, serta untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui
usaha ekonomi produktif terutama di kecamatan-kecamatan dengan tenaga kerja Indonesia yang
tinggi. Sedangkan pada tahun 2012, PNPM Mandiri inti dilaksanakan di 6.680 kecamatan yang terdiri
dari 5.100 kecamatan PNPM Perdesaan, 1.151 kecamatan PNPM Perkotaan, 187 kecamatan PNPM
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 20
Infrastruktur Perdesaan (PPIP/RIS), dan 237 kecamatan PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial
Ekonomi Wilayah (PISEW). Total alokasi dana PNPM Mandiri Inti yang bersumber dari APBN dan
APBD untuk tahun 2012 adalah sebesar Rp13,60 triliun dengan proporsi Rp10,49 triliun untuk PNPM
Perdesaan, Rp1,71 triliun untuk PNPM Perkotaan, Rp862,5 miliar untuk PPIP/RIS, dan Rp536,5 miliar
untuk PISEW.
Pelaksanaan PNPM Mandiri juga didukung oleh pelaksanaan PNPM Penguatan (pendukung) yaitu
diantaranya: (i) PNPM Generasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
kesehatan generasi penerus, yang pada tahun 2011 dilakukan di 120 kecamatan di 25 kabupaten
pada 5 provinsi; (ii) PNPM Kelautan dan Perikanan (PNPM-KP) pada tahun 2011 telah dilaksanakan di
KP 351 kabupaten/kota melalui pemberian BLM dengan capaian 1.106 kelompok nelayan di 132
kabupaten/kota, 2.070 kelompok pembudidaya di 300 kabupaten/kota, 408 kelompok pengolah di
53 kabupaten/kota, dan 1.670 kelompok usaha garam rakyat di 40 kabupaten/kota; (iii)
Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) yang pada tahun 2011 dilaksanakan di 10.000
gapoktan (gabungan kelompok tani), ditujukan agar usaha agribisnis berkembang dan meningkat
kualitasnya; (iv) PNPM Pariwisata dengan tujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dan
memperluas kesempatan berusaha dalam kegiatan kepariwisataan, pada tahun 2011 telah
melaksanakan kegiatannya di 569 desa pada 83 kabupaten/kota.
Pelaksanaan program-program pemberdayaan koperasi dan UMKM pada klaster 3 program
penanggulangan kemiskinan untuk tahun 2011 menunjukkan pencapaian target yang cukup
signifikan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM dan koperasi selama tahun 2011 dapat
disalurkan sebesar Rp 29,0 triliun dengan jumlah nasabah lebih dari 1,9 juta serta rata-rata kredit
pembiayaan sebesar Rp 15,12 juta. Sebagian besar KUR merupakan KUR mikro, yaitu sebesar 47,3
persen dan diterima oleh usaha skala mikro sebesar 89,1 persen dari debitur KUR yang pada
umumnya tergolong kelompok masyarakat miskin. Sementara itu, tingkat pengembalian KUR juga
cukup baik dengan non performing loan (NPL) hanya sebesar 2,1 persen.
Program KUR ini ditujukan untuk memfasilitasi masyarakat yang sudah dapat memenuhi kebutuhan
dasar, namun masih memerlukan bantuan untuk akses permodalan dalam rangka mendukung
stabilitas tingkat pendapatan dan peningkatan kesejahteraannya melalui pengembangan usahausaha produktif skala mikro dan kecil. Kelompok sasarannya yaitu usaha-usaha masyarakat yang
layak namun belum bankable, serta Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Gambar 1.4. Pencapaian Target Penyaluran KUR (Rp Miliar)
| 21
Selain itu, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2011 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Aksi
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tahun 2011-2014. Kebijakan
pembangunan sosial ekonomi yang diambil, antara lain meliputi: (a) Program penanggulangan
kemiskinan, dengan memprioritaskan pada pemberian bantuan jaminan sosial, pengembangan
kapasitas dan pemberian modal usaha bagi masyarakat tertinggal; (b) Program pelayanan
pendidikan, dengan memprioritaskan pada peningkatan pelayanan pendidikan dasar terutama untuk
memastikan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan di seluruh kampung dengan fasilitas dan
jumlah guru yang memadai, serta menyiapkan pendidikan kejuruan; (c) Program pelayanan
kesehatan, dengan memprioritaskan pada peningkatan pelayanan pos pelayanan terpadu, pusat
kesehatan masyarakat pembantu, dan pusat kesehatan masyarakat dalam peningkatan pelayanan
pos kesehatan di tingkat kampung.
Kotak 1.1.
Program Keluarga Harapan (PKH)
PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga
Sangat Miskin (RTSM) dengan kewajiban melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah
ditetapkan. Program ini, dalam jangka pendek bertujuan mengurangi beban RTSM dan dalam
jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi, sehingga
generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan. Persyaratan yang harus dipenuhi
berupa kewajiban dalam bidang kesehatan dan pendidikan. RTSM merupakan penduduk dengan
berpendapatan terendah yang diperoleh melalui pendataan Program Perlindungan Sosial tahun
2008 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pelaksanaan PKH diharapkan juga mampu mengurangi
kemiskinan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Terdapat lima komponen MDGs
yang secara tidak langsung terbantu pencapaiannya jika PKH dilaksanakan optimal, yaitu:
pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, peningkatan akses pendidikan dasar, kesetaraan
gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu karena
melahirkan. Pada awal pelaksanaan, tahun 2007, program PKH hanya dicakup 387.928 RTSM di 7
provinsi, 48 kabupaten/ kota, dan 337 kecamatan. Untuk tahun 2011 direncanakan dicakup
1.116.000 RTSM di 25 provinsi, 119 kabupaten/kota dan 1.379 kecamatan.
Tabel 1.1. Lokasi Pelaksanaan Program Keluarga Harapan
Tahun
2007
Pelaksanaan awal di 7 provinsi (DKI, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Gorontalo,
Sulawesi Utara, NTT), 48 kabupaten/kota, dan 337 kecamatan. Jumlah penerima sebanyak
387.928 RTSM
Tahun
2008
Tahun
2009
Pengembangan di 150 kecamatan di 12 provinsi dan 43 kabupaten/kota (lokasi PKH 20072008) dengan tambahan penerima sebanyak 105.892 RTSM, sehingga menjadi 726.376 RTSM
Tahun
2010
Tahun
2011
Dikembangkan di 5 Provinsi (Riau, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Maluku Utara),
sehingga menjadi 25 Provinsi, 119 Kabupaten/Kota, 1.379 kecamatan. Jumlah penerima
sebanyak 1.116.000 RTSM
| 22
Kotak 1.2.
Program Subsidi Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin)
Program Raskin diawali dengan pelaksanaan Operasi Pasar Khusus (Opsus) Beras tahun 1998. Pada
waktu itu, opsus beras merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi dampak krisis
moneter/ekonomi. Peningkatan harga beras akibat krisis ekonomi sejak Mei 1997 berdampak pada
penurunan tingkat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Penurunan daya beli, kenaikan
biaya hidup, hilangnya sumber pendapatan, dan penurunan produksi pangan menimbulkan
terjadinya rawan pangan yang bila tidak segera diatasi akan menimbulkan kerawanan sosial dan
politik. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan sejumlah upaya diantaranya
membentuk Tim Pemantau Ketahanan Pangan dan program bantuan pangan (melalui Opsus beras).
Opsus beras merupakan mekanisme penyaluran bantuan pangan kepada masyarakat rawan
pangan. Selanjutnya, program Opsus beras ini menjadi rintisan program bantuan sosial lainnya
dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang saat ini menjadi Program Raskin. Karena berbagai
kendala, upaya untuk membuat program Raskin terus dapat mencakup seluruh rumah tangga
miskin baru dapat diwujudkan sejak tahun 2008 (Tabel 1.1), ketika persentase Rumah Tangga
Sasaran (RTS) Program Raskin mampu mencapai seluruh rumah tangga miskin (100 persen). Tahun
2009, pada awalnya, Program Raskin dialokasikan mencakup seluruh rumah tangga miskin (100
persen) sejumlah 18,5 juta RTS, 15 kg/RTS, selama 15 bulan, dan harga tebus Rp 1.600, dan total
subsidi sebesar Rp 12,987 triliun.
Tabel 1.2. Perkembangan Program Raskin 2004-2011
URAIAN
Jumlah RT miskin [juta KK]
Rumah tangga sasaran
(RTS) [juta KK]
2004
15,75
8,59
2005
15,79
8,30
2006
15,50
10,83
2007
19,10
15,78
2008
19,10
19,10
2009
18,50
18,50
2010
17,50
17,50
2011
17,50
17,50
54,56
20
52,56
20
69,86
15
82,62
10
100,0
15
100,0
15
100,0
13 (5 bln)
15 (7 bln)
100,0
15
Durasi [bulan]
Harga pembelian beras
(HPB) [Rp/kg]
12
3.549
12
3.351
10
4.275
11
4.275
12
4.619
12
5.500
12
6.285
12
6.450
1.000
1.000
1.000
1.000
1.600
1.600
1.600
1.600
2.549
2.351
3.275
3.275
3.019
3.900
4.685
4.850
5,3
4,7
5,3
5,7
10,1
12,99
13,9
15,27
Pada tahun 2011, Program Raskin mencakup seluruh keluarga miskin sebagai rumah tangga sasaran
(RTS). Total dana sebesar Rp 15,27 triliun dipergunakan untuk menyalurkan beras sebanyak 3,15
juta ton kepada sebanyak 17,5 juta keluarga miskin. Setiap keluarga miskin mendapatkan beras
sebanyak 15 kg selama 12 bulan dengan jumlah pagu beras 3.147 juta ton. Harga yang harus
dibayarkan oleh RTS adalah sebesar Rp 1.600 per kg.
| 23
Kotak 1.3.
Pelaksanaan Program Raskin oleh Pemerintah Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo
Program Raskin dipandang sebagai amanah oleh Pemerintah Kabupaten Boalemo, sehingga
Bupati beserta jajarannya menjalankannya dengan sepenuh hati. Program Raskin dijadikan
sebagai entry point dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan secara menyeluruh,
termasuk Program Dusun Terpadu Mandiri, yaitu pembangunan kawasan perumahan sehat dan
murah bagi RTM yang layak huni. Tujuan pemanfaatan program raskin sebagai entry point ini
adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan derajat hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Optimalisasi ini dilakukan dengan menyinergikan dan
mengkoordinasikan seluruh program lintas SKPD dari berbagai sumber pendanaan untuk
pemberdayaan masyarakat. Sasaran Program Dusun Terpadu Mandiri adalah dusun yang dipilih
tergolong dusun yang rawan sosial dan ekonomi, dengan kriteria: jumlah penduduk relatif
miskin, tingkat pendidikan rendah, sarana/prasarana sosial dan ekonomi belum memadai, serta
kondisi perumahan belum layak huni.
Untuk optimalisasi tersebut Pemerintah Kabupaten Boalemo juga mendukung Program Raskin
dengan APBD, melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk rumah tangga sasaran
(RTS), mengembangkan mekanisme pengelolaan yang dikelola oleh RTS, menyelenggarakan
musyawarah kerja ketua-ketua Forum RTS se-kabupaten, dan membuka layanan Pengaduan
Langsung Masyarakat ke nomor ponsel Bupati. Dukungan anggaran daerah tersebut dialokasikan
untuk: (i) bantuan biaya transport ke dusun terpencil dan sulit dijangkau, agar Raskin tepat
harga, (ii) subsidi harga tebus Raskin bagi penerima manfaat yang terdaftar dalam RTS-BPS, (iii)
Program Beras Miskin Daerah (Raskinda) dan Program Beras Miskin Desa (Raskindes) bagi rumah
tangga di luar data RTS-PM Raskin APBN, namun kondisinya masih miskin sesuai data
PKK/Dasawisma, dan (iv) penguatan modal bagi RTS Cerdas melalui Program POSDAYA
(beras Raskin diolah sebagai Modal Usaha). Dana Raskindes ini, diperoleh dari donatur yang
antara lain terdiri dari anggota DPRD dan DPR RI, PNS, pengusaha, kalangan perbankan, dan
wartawan.
Untuk meningkatkan komitmen para kepala desa, Bupati berinisiatif mengadakan
Penganugerahan Raskin Award tingkat Kabupaten. Prosedur seleksi mengikuti mekanisme yang
dilaksanakan oleh Kemenko Kesra yang melibatkan unsur perguruan tinggi dan LSM. Para
nominator melakukan presentasi di hadapan Tim Penilai yang dipimpin oleh Bupati.
Berkat kepedulian dan fokus dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana
ditunjukkan atas prestasi termasuk penganugerahan gelar best practice, Kabupaten Boalemo
telah menerima berbagai penghargaan termasuk dari World Bank atas penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik melalui program P2TPD sebesar Rp 18 milyar sejak tahun 2007-2010,
dan atas Komitmen Pemda terhadap anak usia dini tahun 2008-2009 sebesar Rp 5,96 milyar, dan
dari UNICEF atas kepedulian terhadap pendidikan dasar tahun 2008-2009 sebesar Rp 4,9 milyar.
| 24
TARGET 1B
Indikator
Acuan
dasar
Saat ini
Target
MDGs 2015
1.4
3,52%
(1990)
5,04%
(2011)
1.5
65,00%
(1990)
63,85%
(2011)
1.7
71,00%
(1990)
44,24%
(2011)
Menurun
Status
Sumber
PDB Nasional
dan Sakernas
BPS,
Sakernas
Gambar 1.5. Laju Pertumbuhan PDB Per Tenaga Kerja Tahun 2011
Sumber: PDB Nasional dan Sakernas 2011
| 25
Perkembangan indikator rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia kerja selama 20 tahun
(antara 19902011) menunjukkan perubahan yang relatif kecil, yaitu berada pada kisaran 6065
persen. Untuk laki-laki, rasio mencapai sekitar 80 persen, sedangkan untuk perempuan, rasio berada
pada kisaran 40-50 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa proporsi penduduk laki-laki yang
bekerja lebih banyak dari proporsi perempuan. Jika dilihat lebih dalam, pertumbuhan penduduk usia
kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angkatan kerja mengindikasikan adanya
preferensi yang lebih tinggi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya dibandingkan untuk
mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. Hal ini juga terlihat dari pertumbuhan bukan angkatan kerja
yang lebih besar dibandingkan dengan angkatan kerja, untuk kelompok usia 15-19 tahun, serta
turunnya rasio tingkat partisipasi angkatan kerja.
Gambar 1.6. Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun 2011
Sumber: BPS, Sakernas 2011
Kerentanan dalam lapangan kerja ditunjukkan oleh indikator proporsi tenaga kerja yang berusaha
sendiri (termasuk berusaha dibantu buruh tidak tetap), pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja
keluarga terhadap total kesempatan kerja tenaga kerja. Proporsi tersebut telah menurun secara
signifikan, yaitu dari 71,00 persen pada tahun 1990 menjadi 46,89 persen pada tahun 2010, dan
44,24 persen pada tahun 2011. Pekerja rentan adalah orang yang bekerja di bawah kondisi yang
tidak pasti dan cenderung tidak memiliki aturan kerja formal, akses kepada benefit atau program
perlindungan sosial, dan lebih beresiko dalam siklus ekonomi. Indikator ini sangat sensitif gender
karena pekerja tak dibayar, terutama pekerja keluarga, cenderung merupakan status yang
didominasi oleh perempuan. Lapangan kerja rentan juga berhubungan dengan kemiskinan.
Proporsi pekerja rentan terhadap total kesempatan kerja menurut provinsi juga mengikuti pola yang
sama. Hampir seluruh provinsi mengalami penurunan proporsi pekerja rentan, meskipun
penurunannya tidak merata. Jika dibandingkan antarprovinsi, pada tahun 2011 terlihat bahwa masih
terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antarprovinsi dengan proporsi pekerja rentan terbesar
(Papua) dan terkecil (Kepulauan Riau).
| 26
Gambar 1.7. Proporsi Tenaga Kerja yang Berusaha Sendiri dan Pekerja Bebas Keluarga Terhadap
Total Kesempatan Kerja
Sumber: BPS, Sakernas 2011
| 27
TARGET 1C
Saat ini
Target
MDGs
2015
Status
31,00%
(1989)*
17,90%
(2010)
**
15,50%
1.8.a.
7,20%
(1989)*
4,90%
(2010)
**
3,60%
1.8.b.
23,80%
(1989)*
13,00%
(2010)
**
11,90%
Indikator
1.8.
* BPS, Susenas
1.9
Sumber
** Kemenkes,
Riskesdas
- 1.400 Kkal/kapita/hari
17,00%
(1990)
14,65%
(2011)
8,50%
- 2.000 Kkal/kapita/hari
64,21%
(1990)
60,03%
(2011)
35,32%
BPS, Susenas
35.0
27.7
Kekurangan Gizi
26.1
23.2
21.7
24.5
21.6
18.4
5.0
17.9
11.9
13.0
13.0
14.8
15.5
5.4
9.7
14.6
8.6
14.8
13.2
8.4
8.1
7.2
10.0
12.3
15.0
11.3
15.4
20.0
3.6
23.8
25.0
Gizi Buruk
29.8
4.9
31.0
30.0
1989 1992 1995 1998 2000 2002 2005 2007 2010 2013 2015
| 28
Dari sisi lain, meskipun telah menunjukkan penurunan proporsi penduduk dengan asupan kalori di
bawah tingkat konsumsi minimum, namun upaya yang lebih keras dan cerdas masih harus dilakukan
untuk mempercepat penurunan proporsi tersebut pada tahun 2015. Proporsi penduduk dengan
asupan kalori harian di bawah 2.000 Kkal. dan 1.400 Kkal. per hari secara nasional masing-masing
adalah 60,03 persen dan 14,65 persen berdasarkan Susenas 2011.
10
70.97
70.48
70.33
25.56
34.43
18.92
17.84
35.74
68.37
66.83
66.71
66.58
28.16
17.49
13.68
19.26
65.35
64.29
64.04
15.16
62.68
26.28
16.09
14.65
20.9
62.08
60.03
59.76
59.48
15.16
23.45
8.67
14.74
15.98
13.68
15.02
13.82
14.34
13.59
14.41
16.17
14.79
14.57
11.05
11.44
9.74
9.59
20
7.6
30
59.22
58.88
58.59
58.44
58.06
57.99
57.62
57.05
56.36
56
54.55
52.3
50.78
40
12.84
50
50.54
49.94
45.28
60
51.62
70
80
65.55
Mengingat bahwa kekurangan asupan gizi ini sangat berdampak pada tingkat kesehatan dan
produktifitas penduduk, maka upaya tersebut perlu difokuskan pada peningkatan asupan kalori bagi
penduduk yang selama ini hanya memiliki asupan harian di bawah 1.400 Kkal. per kapita per hari.
Berdasarkan kenyataan bahwa proporsi penduduk dengan asupan kalori serendah ini sangat
beragam, maka perhatian perlu lebih difokuskan pada daerah-daerah dengan proporsi penduduk
dengan asupan gizi dibawah 1.400 Kkal. per kapita per hari yang masih tinggi, seperti provinsi
Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Maluku.
Kalimantan Timur
Maluku Utara
Papua
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Gorontalo
Papua Barat
DKI Jakarta
Jawa Timur
Jawa Tengah
Kepulauan Riau
Maluku
Sulawesi Tenggara
INDONESIA
Aceh
Kalimantan Barat
Banten
Sulawesi Barat
Jambi
Lampung
Bengkulu
Jawa Barat
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Riau
Sulawesi Tengah
Sumatera Selatan
Kalimantan Tengah
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Kalimantan Selatan
Bali
Gambar 1.9. Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < 1.400 Kkal dan < 2.000 Kkal Tahun 2011
Sumber: BPS, Susenas 2011
TUJUAN 2:
MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR
UNTUK SEMUA
| 30
| 31
TUJUAN 2:
MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR
UNTUK SEMUA
TARGET 2A
Acuan
dasar
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
*BPS, Susenas
2.1
88,70%
(1992)*
95,55 %
(2011)**
100,00%
2.2.
62,00%
(1990)
96,58 %
(2011)
100,00%
Kemdikbud
2.3
96,60%
(1990)
100,00%
BPS, Susenas
98,78 %
(2011)
F: 98,75 %
M: 98,80 %
**Kemdikbud
| 32
Fenomena early entry yang telah berlangsung beberapa tahun belakangan ini berkontribusi pada
sulitnya pencapaian target APM 100 persen pada jenjang SD/MI karena terdapat sebagian anak usia
6 tahun ke bawah sudah mulai bersekolah di SD/MI dan bahkan sebagian anak usia 12 tahun sudah
berada di jenjang SMP/MTs. Untuk itu, dalam mengukur pencapaian partisipasi pendidikan
penduduk usia 7-12 tahun digunakan juga indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS). Menurut data
Susenas 2011 (BPS), APS usia 7-12 tahun telah mencapai 97,58 persen. Capaian ini menunjukkan
hanya 2,42 persen penduduk usia 7-12 tahun yang belum bersekolah.
Gambar 2.1. Perkembangan APM dan APK Jenjang SD/MI dan SMP/MTs tahun 1992-2011
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Sangat tajamnya perbedaan antara APK dan APM untuk SD/MI/setara apalagi untuk
SMP/MTs./setara menunjukkan banyaknya murid-murid yang terlambat menyelesaikan sekolah di
SD/MI/setara, karena sekali terlambat menyelesaikan SD/MI/setara dampaknya akan sampai ke
tingkat SMP/MTs/setara. Namun demikian, selain keterlambatan tersebut ada juga masalah lain,
dalam kadar yang lebih serius, yaitu anak-anak yang putus sekolah, terutama di SD/MI/setara,
karena sekali berhenti di jenjang ini maka pendidikan anak tersebut tidak akan sampai ke
SMP/MTs/setara.
Selain itu, indikator proporsi murid kelas I yang berhasil menamatkan sekolah dasar juga
menunjukkan capaian yang berarti. Pada tahun 2011, 96,58 persen murid kelas I mampu bertahan
dan berhasil menamatkan jenjang SD/MI, yang mengalami peningkatan dari 62,00 persen pada
tahun 1990. Data menurut provinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2011 disparitas capaian antara
provinsi sudah semakin menyempit, yaitu berkisar antara 95,11 persen di Provinsi Papua sampai
dengan 96,88 persen di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Capaian tersebut menggambarkan terjadinya
perbaikan efisiensi internal pendidikan, yang ditandai dengan menurunnya angka putus sekolah dan
meningkatnya angka melanjutkan. Namun demikian, masih ada upaya yang perlu dilaksanakan untuk
meningkatkan angka bertahan terutama pada provinsi-provinsi yang masih berada di bawah rerata
nasional.
| 33
96.58
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
Papua Barat
Aceh
Sulawesi Barat
Papua
Maluku
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
Riau
Sumatera Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Lampung
Indonesia
Jambi
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sulawesi Tenggara
Banten
Kalimantan Tengah
Jawa Barat
Bengkulu
Kalimantan Timur
Sumatera Barat
Kep. Riau
DI Yogyakarta
Maluku Utara
DKI Jakarta
Bangka Belitung
Bali
Gambar 2.2. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, Tahun 2011
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Di pihak lain, kemampuan keberaksaraan juga terus membaik yang dapat dilihat melalui indikator
angka melek huruf. Perkembangan angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun perempuan dan
laki-laki menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun. Menurut data Susenas, angka melek huruf
meningkat dari 96,60 persen pada tahun 1990 menjadi 98,78 persen pada tahun 2011, yaitu laki-laki
98,80 persen dan perempuan 98,75 persen (Gambar 2.3).
98.80
98.75
99.46
99.53
99.55
99.40
99.38
99.54
98.92
98.76
98.73
98.80
98.78
98.71
98.50
98.90
98.40
98.70
98.60
98.80
98.10
98.50
98.20
98.70
100
75
50
25
Laki-laki
Perempuan
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 2.3. Perkembangan proporsi melek huruf perempuan dan laki-laki umur 15-24 tahun,
2000-2011
Sumber: BPS, Susenas 2000-2011
Keberhasilan pencapaian ini didukung oleh dua upaya penting. Upaya pertama adalah penyediaan
layanan pendidikan di tingkat SD/MI yang telah mencapai angka partisipasi kasar setinggi 102,58
persen pada tahun 2011. Penyediaan layanan pendidikan dasar secara besar-besaran melalui
program wajib belajar tersebut telah mendorong peningkatan kemampuan penduduk dalam
membaca, menulis, dan berhitung. Upaya kedua adalah peningkatan angka bertahan, yaitu proporsi
murid kelas I SD yang mampu bertahan sampai dengan kelas VI dalam sistem pendidikan.
| 344
Masih tersisanya setengah persen penduduk umur 15-24 tahun terjadi karena pada waktu mereka
berumur antara 7-12 tahun, yaitu antara tahun 1993-2002 penyediaan kesempatan memperoleh
pendidikan di tingkat SD/MI/setara belum sebesar sekarang dan juga angka bertahan kasar masih
rendah. Dengan demikian penduduk umur 15-24 tahun yang masih buta huruf pada tahun 2011
tersebut sebagian memang tidak pernah bersekolah sama sekali dan sebagian lainnya putus sekolah
yang karena tidak ada upaya pemeliharaan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung menjadi
buta huruf kembali (relapse illiteracy).
Kondisi pada tingkat wilayah menunjukkan disparitas antarprovinsi untuk kemampuan
keberaksaraan yang ditandai oleh angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun relatif merata,
kecuali di Provinsi Papua yang baru mencapai 74,57 persen pada tahun 2011 (Gambar 2.4). Dengan
demikian, peningkatan partisipasi pada jenjang pendidikan dasar telah mendorong peningkatan
kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis.
120
98.78
100
80
60
40
20
Banten
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
Kepulauan Riau
Aceh
Jawa Barat
Kalimantan Tengah
Riau
Kalimantan Timur
Lampung
Jawa Tengah
Jambi
Sulawesi Utara
Jawa Timur
Kalimantan Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Bengkulu
Bangka Belitung
INDONESIA
Sumatera Utara
Bali
Maluku
Maluku Utara
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Papua
Papua Barat
Gambar 2.4 : Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15-24 Tahun Menurut Provinsi, 2011
Sumber: BPS, Susenas 2011
| 35
Untuk mendorong agar siswa miskin dapat terus bersekolah, pemerintah juga telah menerapkan
kebijakan pro-poor secara penuh melalui pemberian subsidi siswa miskin di semua jenjang
pendidikan yang pada tahun 2011 hampir mencapai 8,2 juta siswa. Sekitar 6,67 juta diantaranya
merupakan siswa jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing sebesar 4.553.604 siswa dan
2.124.657 siswa. Melalui program ini, diharapkan tidak saja dapat membantu meringankan biaya
pendidikan siswa miskin tetapi juga dapat menarik kembali siswa miskin yang terlanjur putus
sekolah.
Untuk menunjang peningkatan mutu dan pemerataan kesempatan belajar yang adil, merata, dan
terjangkau bagi seluruh anak Indonesia, pemerintah juga memberikan dukungan sarana dan
prasarana pendidikan melalui program Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi jenjang SD/SDLB dan
SMP/SMPLB yang dilaksanakan sejak tahun 2003. Dengan total anggaran sebesar Rp10.041,3 milyar
pada tahun 2011, kegiatan DAK bidang pendidikan antara lain mencakup pembangunan Ruang Kelas
Baru (RKB) beserta pengadaan meubelair, pembangunan perpustakaan dan pengadaan meubelair,
rehabilitasi Ruang Kelas (RK) rusak berat dan sedang, pembangunan ruang belajar lainnya dan
peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan di 491 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada
tahun 2011, melalui alokasi APBN telah dibangun 450 SD-SMP satu atap khususnya di daerah
terpencil, tertinggal, dan perbatasan untuk menjangkau siswa yang selama ini belum terjangkau oleh
layanan pendidikan. Selain itu, pada bulan September yang lalu atas arahan Bapak Presiden telah
diluncurkan Gerakan Nasional Penuntasan Rehabilitasi Gedung SD dan SMP Tahun 2011 dengan
jumlah sasaran 21.500 sekolah jenjang SD/SMP dan 3.030 sekolah jenjang MI/MTs. Dengan adanya
inisiasi ini, diharapkan sudah tidak ada lagi ruang kelas rusak berat di jenjang SD/SMP pada tahun
2012 dan jenjang MI/MTs pada tahun 2014.
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
telah mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat
pendidik. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2011 telah dilaksanakan sertifikasi bagi
1.020.824 guru sekolah umum. Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang bertugas di
daerah terpencil pemerintah juga telah menyediakan tunjangan khusus bagi 44.000 guru pada tahun
2011 untuk semua jenjang pendidikan. Melalui upaya peningkatan kompetensi dan kesejahteraan
guru ini diharapkan dapat diikuti dengan peningkatan kinerja, profesionalisme guru, dan perbaikan
proses belajar mengajar.
Selanjutnya dalam rangka memperbaiki asupan gizi peserta didik, pemerintah melalui Inpres No. 1
Tahun 2010 telah berupaya melaksanakan kegiatan Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah
(PMT-AS) yang melibatkan lintas sektoral. Pada tahun 2011, jumlah sasaran kegiatan ini adalah
sebesar 1.200.000 siswa TK dan SD dan 180.000 siswa RA dan MI yang diprioritaskan pada 27
kabupaten di daerah tertinggal, terisolir, terpencil, perbatasan, di pulau-pulau kecil, dan/atau
terluar, serta di daerah pedalaman. Melalui program PMT-AS ini diharapkan mampu menjadi
jembatan dalam upaya meningkatkan kecukupan gizi dan ketahanan fisik anak sekolah.
| 36
Kotak 2.1.
| 37
TUJUAN 3
MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
| 38
| 39
TUJUAN 3:
MENDORONG KESETARAAN GENDER
DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
TARGET 3A
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
100,27
(1993)
98,80
(2011)
100,00
99,86
(1993)
103,45
(2011)
100,00
93,67
(1993)
101,40
(2011)
100,00
74,06
(1993)
97,82
(2011)
100,00
98,44
(1993)
99,95
(2011)
100,00
3.2
29,24%
(1990)
36,67 %
(2011)
Meningkat
BPS, Sakernas
3.3
12,50%
(1990)
18,40%
(2011)
Meningkat
KPU
Indikator
3.1
3.1a
Sumber
BPS, Susenas
| 40
10
3.
45
10
2.
02
10
1.
4
10
0.
37
10
3.
7
10
1.
6
10
2.
6
103.51
10
0
10
4.
2
110
102.11
100
100.1
99.98
98.8
97.82
97
.1
99
.5
1
98
.9
100
99.86
99.3
10
0
100.3
96
.0
4
95.6
92.8
90
89.9
2002
2005
2007
2010
2011
2013
2015
99.03
96.75
100
94.09
69.04
79.46
97.25
97.97
99.35
98.83
98.58
96.54
99
99.42
98.63
99.44
99.7
98.8
99.22
99.45
99.39
99.08
99.68
99.42
99.23
99.46
98.67
99.49
99.03
99.25
99.13
97.85
99.4
99.27
98.35
97.26
96.99
98.45
50
25
60
40
20
Papua
Papua Barat
Sulawesi Tengah
Bangka Belitung
Maluku Utara
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
Kalimantan Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
INDONESIA
Jawa Timur
Riau
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Aceh
Banten
Sulawesi Utara
Jawa Barat
Maluku
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Lampung
Jambi
Kalimantan Barat
DI Yogyakarta
Kalimantan Tengah
Bali
Gorontalo
Sulawesi Selatan
Bengkulu
98.53
97.02
98.25
98.08
96.14
99.05
98.7
98.47
99.35
99.63
99.14
98.75
99.41
99.4
99.12
99.79
99.46
99.34
99.59
99.68
98.82
99.23
99.47
99.42
98.14
99.69
99.59
97.75
98.94
97.9
96.66
80
75
95.57
100
99.49
86.88
99.42
99.17
99.5
99.63
99.59
99.69
99.84
99.91
99.92
99.93
99.95
99.96
100.01
100.04
100.04
100.11
100.12
100.13
100.15
100.19
100.21
100.22
100.29
100.3
100.3
100.51
100.32
100.61
100.94
101.15
125
101.06
Sementara itu, sasaran MDGs untuk rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki di Indonesia
pada kelompok umur 15-24 tahun juga telah tercapai. Rasio melek huruf perempuan terhadap lakilaki di tingkat nasional mencapai 99,95 pada tahun 2011 (Gambar 3.2). Keragaman IPG melek huruf
antarprovinsi berkisar antara 86,88 (Papua) sampai 101,15 (Nusa Tenggara Timur). Keberhasilan
pencapaian sasaran di bidang ini ditunjang oleh pemilihan strategi penghapusan buta aksara yang
tepat, yaitu pendidikan keaksaraan fungsional. Melalui pendidikan keaksaraan fungsional, warga
diajarkan kemampuan keaksaraan yang berfungsi untuk menunjang kehidupannya sehari-hari.
| 41
Di bidang ketenagakerjaan, Indonesia telah mengikuti sasaran MDG untuk meningkatkan kontribusi
perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian. Kontribusi perempuan dalam
pekerjaan upahan di sektor nonpertanian telah meningkat dari 29,24 persen pada tahun 1990
menjadi 36,67 persen pada tahun 2011. Walaupun demikian, perhatian nasional masih dicurahkan
pada keragaman antarprovinsi pada tingkat kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor
nonpertanian tersebut. Terdapat 20 provinsi dengan kontribusi perempuan di sektor nonpertanian
yang lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi dengan kontribusi perempuan terendah adalah
Kalimantan Timur (26,50 persen), Papua Barat (28,41 persen) dan Papua (29,67 persen); sedangkan
kontribusi perempuan tertinggi adalah Gorontalo sebesar 44,62 persen (Gambar 3.3).
Gambar 3.3. Keragaman kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian
antarprovinsi, 2011
Sumber: BPS, Sakernas 2011
Selain itu, upaya ke arah kesetaraan gender di bidang politik yang dilaksanakan selama ini juga telah
menampakkan hasilnya. Peran serta perempuan dalam bidang politik, sebagaimana ditunjukkan oleh
proporsi kursi DPR yang diduduki oleh perempuan, telah meningkat secara signifikan.Proporsi ini
telah meningkat dari 12,50 persen pada tahun 1990 menjadi 18,40 persen pada tahun 2011.
| 42
dalam sistem perencanaan dan penganggaran, yang memuat kebijakan, indikator, dan sasaran yang
terpilah gender dari berbagai kementerian dan lembaga. Hal ini ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan,
Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran 2010, dan dilanjutkan dengan PMK No.
104/PMK.02/2010 tentang perihal yang sama untuk Tahun Anggaran 2011, serta PMK No.
93/PMK.02/2011, yang turut mempercepat pelaksanaan PPRG.
Pada tahun 2010, ARG diujicobakan pada tujuh kementerian dan lembaga pilot. Setiap
kementerian/lembaga pelaksana menyusun kerangka acuan kegiatan (TOR) dan gender budget
statement (GBS), yang merupakan dokumen akuntabilitas spesifik-gender yang disusun oleh K/L
untuk menginformasikan bahwa suatu kegiatan sudah responsif gender. Pada tahun 2011, ARG
diperluas penerapannya di berbagai bidang prioritas pembangunan, dan diarahkan pula untuk
mendukung Rencana Aksi Daerah dalam rangka Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Millennium (RAD MDGs). Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasikan isu gender di seluruh tujuan
MDGs (tidak hanya pada Tujuan 3 saja), dan mengintegrasikan perspektif gender dalam rangka
perencanaan dan penganggaran daerah, yang mendukung pelaksanaan kegiatan-kegiatan daerah
tersebut dalam rangka percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium.
Di samping itu, sejak pertengahan tahun 2011 telah disusun Strategi Nasional (Stranas) Percepatan
PUG melalui PPRG. Stranas tersebut disusun oleh 4 Kementerian/Lembaga, yaitu Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, dan Kementerian Dalam Negeri, yang merupakan motor penggerak PPRG. Strategi Nasional
Percepatan PUG melalui PPRG ini dimaksudkan untuk percepatan pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender sesuai RPJMN 2010-2014, yang sekaligus menunjang pencapaian kepemerintahan yang baik
(good governance), pembangunan yang berkelanjutan, serta pencapaian target-target MDGs. Di
samping itu, Stranas ini disusun agar pelaksanaan PPRG menjadi lebih terarah, sistematis, dan
sinergis, baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi.
Kotak 3.1.
Upaya Percepatan Penerapan Pengarusutamaan Gender (PUG) di Indonesia
Sebagai tindak lanjut dari penerapan PPRG, pada tahun 2011 Bappenas telah melaksanakan
Evaluasi Ujicoba Pelaksanaan PPRG 2009-2010, pada 7 K/L uji coba (Kemkeu, Bappenas, KPP&PA,
Kemendikbud, Kemenkes, Kementan, dan Kementerian PU) dan 4 pemerintah provinsi yang telah
menerapkan PPRG atas inisiatif sendiri, yaitu: Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur. Lingkup evaluasi meliputi enam prasyarat PUG, yaitu: dasar hukum; komitmen dan
kelembagaan; instrumen PPRG, termasuk di dalamnya program dan kegiatan; kapasitas SDM; data
dan informasi; dan pendanaan.
Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa ke-7 K/L uji coba dan setiap SKPD di 4 provinsi telah
berhasil menyusun minimal 1 GBS, seperti yang ditargetkan. Bahkan beberapa K/L telah melebihi
target yang ingin diujicobakan, seperti Kementerian PU. Kementerian PU tergolong pendatang
baru dalam pengadopsian kesetaraan gender dan pelaksanaan PUG, dengan komitmen yang
cukup kuat. Komitmen ini tercermin dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PU Tahun
2010-2014 yang telah mengedepankan aspek kesetaraan gender, serta dalam tataran
implementasi telah diatur melalui SK Menteri PU No. 363/KPTS/M/2009 tentang Pembentukan Tim
Pengarusutamaan Gender Departemen PU. SK ini telah diperbaharui melalui SK Menteri PU No.
134/KPTS/M/2011 tentang Perubahan Keputusan Menteri PU No. 363/KPTS/M/2009 tentang
Pembentukan Tim Pengarusutamaan Gender Kementerian PU. Komitmen yang sama tercermin
pada tingkat eselon 1 dengan disusunnya Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam
LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 43
Perencanaan Program dan Anggaran di Kementerian PU, oleh Sekretariat Jenderal PU pada tahun
2009. Kemudian, idealnya, pelaksanaan PPRG dilaksanakan oleh setiap unit perencana teknis, dan
dikoordinasi langsung oleh Biro Perencanaan dan KLN, bukan oleh Sekretariat PUG. Hal ini telah
diakomodasi dalam SK Menteri PU No. 134/KPTS/M/2011. Anggota Pokja PUG dapat memberikan
dukungan dalam hal pembekalan konsep gender dan PUG, termasuk dalam rangka penyusunan
analisis dan/atau GBS. Hal ini memudahkan pengintegrasian perspektif gender secara meluas di
lingkungan Kementerian PU.
Sementara itu, PUG juga telah dilaksanakan di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah.
Pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Provinsi Jawa Tengah mulai dilaksanakan secara
intensif dan berkelanjutan sejak tahun 2002 hingga saat ini. Program yang dilaksanakan adalah
peningkatan kapasitas Pengarusutamaan Gender (PUG) bagi seluruh pemangku kepentingan dan
uji coba implementasi PUG pada satuan pendidikan formal, informal, maupun nonformal di seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah.
Keberhasilan implementasi PUG pendidikan di Jawa Tengah didukung oleh beberapa hal, antara
lain adalah sebagai berikut: (i) Peningkatan kapasitas dan advokasi PUG pendidikan yang dilakukan
secara terus-menerus, mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten/kota; (ii) Regulasi
percepatan pelaksanaan PUG di Jawa Tengah yang dituangkan dalam RPJMD 2008-2013, dan
kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya SE Gub No. 903/13113 tahun 2010 tentang
Pedoman Penyusunan RKA-SKPD, RKA-PPKD dan RBA-RSD Provinsi Jawa Tengah TA 2011 dan
tahun-tahun selanjutnya; (iii) Sinergi antara Dinas Pendidikan sebagai implementor PUG dengan
Pusat Studi Wanita/Gender sebagai pusat kepakaran gender di Jawa Tengah dan LSM serta
lembaga driver PUG, yaitu Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga
Berencana (BP3AKB) dan Bappeda; (iv) Optimalisasi pemanfaatan dana block-grant PUG
pendidikan dari Kemdikbud dengan dana APBD tingkat provinsi; dan (v) Tersedianya block-grant
dana PUG dari provinsi ke kabupaten/kota, dilanjutkan dengan fasilitasi dan monitoring
pelaksanaan PUG pada tingkat satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Saat ini, beberapa satuan pendidikan sudah mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender,
baik di lingkungan sekolah, pada visi dan misi sekolah, pada materi bahan ajar, maupun fasilitas
pendidikan yang memperhatikan perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Bahkan kini PUG
pendidikan tidak hanya dikelola melalui Pokja PUG Pendidikan, tetapi sudah terintegrasi di dalam
Program Pendidikan Dasar melalui Program Uji Coba Anggaran Responsif Gender Bidang
Pendidikan.
| 44
| 45
TUJUAN 4
MENURUNKAN ANGKA
KEMATIAN ANAK
| 46
| 47
TUJUAN 4:
MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN
ANAK
TARGET 4A
Acuan
dasar
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
4.1
97
(1991)
44
( 2007)
32
4.2
68
(1991)
34
(2007)
23
4.2a
32
(1991)
19
(2007)
Menurun
4.3
44,50%
(1991)*
87,30 %
(2011)**
Meningkat
Sumber
BPS, SDKI
*BPS, SDKI
**BPS, Susenas
AKB
AKBa
AK-Neonatal
97
81
80
68
57
60
58
46
40
32
30
46
35
44
34
32
26
20
20
19
2003
2007
23
0
1991
1995
1999
2015
Namun demikian, jika dibandingkan hasil SDKI 2002-2003 dengan SDKI 2007 penurunan kematian neonatal,
bayi maupun balita cenderung stagnan. Penyebab utama kematian balita adalah masalah neonatal (asfiksia,
berat badan lahir rendah, dan infeksi neonatal), penyakit infeksi (utamanya diare dan pneumonia) serta
terkait erat dengan masalah gizi (gizi buruk dan gizi kurang). Masalah lain adalah disparitas angka kematian
neonatal, kematian bayi dan angka kematian balita yang cukup tinggi, antarprovinsi. Kondisi ini disebabkan
oleh masalah akses dan kualitas pelayanan kesehatan, masalah sosial ekonomi dan budaya, pertumbuhan
infrastruktur serta kerterbukaan wilayah tersebut akan pembangunan ekonomi dan pendidikan.
| 48
Upaya membaiknya tingkat kesehatan anak dipengaruhi oleh meningkatnya cakupan pelayanan yang
diterima sejak anak berada dalam kandungan melalui: pelayanan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas,
persalinan oleh tenaga kesehatan utamanya di fasilitas kesehatan, pelayanan neonatal (melalui kunjungan
neonatal), cakupan imunisasi utamanya cakupan imunisasi campak, penanganan neonatal, bayi dan balita
sakit sesuai standar baik di fasilitas kesehatan dasar dan fasilitas kesehatan rujukan dan meningkatnya
pengetahuan keluarga dan masyarakat akan perawatan pada masa kehamilan, pada masa neonatal, bayi dan
balita, serta deteksi dini penyakit dan care seeking behaviour ke fasilitas kesehatan.
Membaiknya tingkat kesehatan anak tersebut terkait dengan upaya-upaya pencegahan penyakit, termasuk
pemberian imunisasi. Imunisasi dasar lengkap bagi anak meliputi BCG sebanyak 1 kali, DPT-HB 3 kali, polio 4
kali, dan campak 1 kali. Secara rerata 77,90 persen anak umur 12-23 bulan telah memperoleh imunisasi BCG,
74,40 persen memperoleh imunisasi campak, 66,70 persen memperoleh imunisasi polio, dan 61,90 persen
memperoleh imunisasi DPT-HB (Riskesdas 2010).
Keragaman pemberian jenis imunisasi bagi anak usia 12-23 bulan menurut provinsi (Gambar 4.2) adalah BCG
dari 53,60 persen (Papua) sampai 100 persen (DI Yogyakarta); campak dari 47,10 persen (Papua) sampai
96,40 persen (DI Yogyakarta); polio dari 40,50 persen (Papua) sampai 96,40 persen (DI Yogyakarta), dan DPTHB dari 35,70 persen (Sulawesi Barat) sampai 96,40 persen (DI Yogyakarta).
Gambar 4.2 menunjukkan keragaman pemberian imunisasi. Pertama, pemberian imunisasi DPT-HB di masingmasing provinsi merupakan yang terendah di antara keempat imunisasi dasar, disusul secara berurutan oleh
imunisasi polio, kemudian imunisasi campak, dan yang tertinggi adalah pemberian imunisasi BCG. Kedua,
kecenderungan pemberian imunisasi berbeda antara imunisasi DPT-HB, polio, dan BCG di satu sisi dan
campak di sisi yang lain. Ketiga, sesuai dengan kecenderungan pertama dan ke dua tersebut, terdapat 17
provinsi dengan proporsi anak usia 12-23 bulan adalah di bawah rerata nasional dalam penerimaan imunisasi.
Selanjutnya terdapat 4 provinsi yang memiliki proporsi cakupan imunisasinya jauh lebih rendah dari rerata
nasional, bahkan merupakan yang terendah di seluruh Indonesia, yaitu Papua, Sulawesi Barat, Aceh, dan
Sumatera Utara.
100,0
89,7
96,4
86,7
70,0
59,2
79,5
90,1
83,6
80,6
90,1
77,5
72,7
72,9
81,0
62,8
83,3
83,0
74,2
77,6
70,5
57,8
87,1
72,4
61,9
41,9
45,5
61,4
62,5
77,9
75,2
72,1
65,2
53,9
80,9
74,2
51,6
78,6
76,3
65,7
76,3
60,0
72,2
57,7
52,2
65,3
71,8
51,6
44,9
64,3
57,1
56,7
57,3
60,0
44,6
40,2
63,3
63,9
57,7
43,3
35,7
25
30,5
50
50,0
60,7
53,6
75
56,9
76,7
100
89,3
125
BCG
DPT-HB
Polio
Campak
Gambar 4.2. Keragaman pemberian imunisasi dasar bagi anak usia 12-23 bulan, 2010
Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2010, Kementerian Kesehatan
DI Yogyakarta
Sulawesi Utara
Kepulauan Riau
Jawa Tengah
Bali
Lampung
Kalimantan Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Bangka Belitung
INDONESIA
Papua Barat
Sumatera Selatan
Bengkulu
Jawa Barat
Jambi
Kalimantan Selatan
Banten
Gorontalo
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Aceh
Sulawesi Tengah
Riau
Kalimantan Barat
Sumatera Utara
Papua
Sulawesi Barat
| 49
Dengan memperhatikan keragaman tersebut, pemberian imunisasi kepada anak, setidaknya dipengaruhi oleh
dua faktor, yaitu ketersediaan vaksin dan faktor orang tua. Pendidikan kepala keluarga dan tingkat
kemampuan ekonomi keluarga menunjukkan korelasi positif yang sangat jelas, di mana makin tinggi jenjang
pendidikan kepala keluarga dan makin tinggi kemampuan ekonomi keluarga maka cenderung makin tinggi
pula kemungkinan si anak memperoleh imunisasi. Selanjutnya, secara nasional terdapat kecenderungan
bahwa anak-anak yang tinggal di perkotaan mempunyai kemungkinan memperoleh imunisasi yang lebih
tinggi dibanding dengan yang tinggal di perdesaan.
Selanjutnya data Susenas tahun 2011 menunjukkan persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak
87,30 persen. Acuan dasar indikator tersebut adalah SDKI tahun 1991 (44,50 persen), namun demikian data
SDKI terakhir adalah tahun 2007 (67,00 persen). Untuk tahun 2007 juga terdapat data Susenas (BPS) yaitu
84,67 persen. Analisis tingkat provinsi menunjukkan terdapat 18 provinsi dengan cakupan imunisasi campak
lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi yang cakupan imunisasinya terendah adalah Papua (69,62
persen), Sulawesi Barat (76,02), dan Sumatera Utara (78,29). Sedangkan provinsi dengan cakupan imunisasi
tertinggi adalah DI Yogyakarta dengan cakupan 98,31 persen (Gambar 4.3).
94.26
94.27
94.54
95.22
96.05
98.31
Bengkulu
Jawa Tengah
Kepulauan Riau
Bali
DI Yogyakarta
90.1
Lampung
92.92
89.62
Jawa Timur
87.45
Bangka Belitung
92.01
87.4
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
87.3
INDONESIA
86.77
Jawa Barat
92
86.76
Maluku Utara
90.53
86.01
Gorontalo
85.14
Papua Barat
90.37
84.95
Sulawesi Tenggara
DKI Jakarta
84.28
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
83.54
82.67
Jambi
82.56
Riau
Kalimantan Selatan
81.81
Kalimantan Barat
79.7
Maluku
80.56
79.16
Sumatera Barat
Banten
78.58
Aceh
Kalimantan Tengah
78.29
Sumatera Utara
80.02
76.02
80
69.62
100
Sulawesi Barat
120
60
40
20
Sulawesi Tengah
Papua
Gambar 4.3. Persentase anak usia 1 tahun yang pernah mendapatkan imunisasi campak, 2011
Sumber: BPS, Susenas 2011
| 50
disebabkan oleh diare dan pneumonia, mengurangi dan menanggulangi gizi kurang dan gizi buruk serta
meningkatkan cakupan imunisasi campak.
Upaya menurunkan angka kematian neonatal dilakukan dengan meningkatkan persalinan oleh tenaga
kesehatan dan utamanya di fasilitas kesehatan, meningkatkan pelayanan kunjungan neonatal oleh
tenaga kesehatan menjadi 3 kali (6-48 jam setelah persalinan, hari ke-3 sampai ke-7 serta hari ke-8
sampai ke-28), ketersediaan pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar di Puskesmas PONED
(minimal 4 Puskesmas PONED per kabupaten/kota), serta pelayanan obstetrik neonatal emergensi
komprehensif di RS PONEK (minimal 1 RS PONEK perkabupaten/kota). Sejak tahun 2010 pemerintah
mencanangkan program Jampersal (jaminan persalinan nasional) merupakan salah satu terobosan untuk
percepatan menurunkan kematian ibu dan neonatal. Jaminan persalinan bertujuan melindungi dan
menyelamatkan ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir dari komplikasi dan resiko kematian.
Jaminan persalinan ini memberikan jaminan pelayanan pemeriksaan kehamilan, persalinan, pelayanan
ibu nifas dan bayi baru lahir bagi semua ibu dan bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan kesehatan.
Untuk mengendalikan kasus dan kematian karena diare sebagai penyebab terbanyak kematian setelah
masalah neonatal maka ketersedian dan distribusi oralit dan zinc yang merata baik di level masyarakat
maupun fasilitas pelayanan kesehatan menjadi penting disamping keberhasilan ASI Eksklusif,
ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban keluarga, hygiene dan sanitasi serta tatalaksana diare
sesuai standar. Untuk mengendalikan kasus dan kematian karena pneumonia sebagai penyebab ketiga
kematian pada bayi dan balita maka ketersedian dan distribusi antibiotika di fasilitas pelayanan
kesehatan menjadi penting disamping keberhasilan ASI Eksklusif, imunisasi dasar lengkap, hygiene dan
sanitasi, mencegah indoor dan outdoor polution serta tatalaksana pneumonia sesuai standar.
Upaya meningkatkan cakupan imunisasi campak selain ketersediaan dan distribusi yang merata vaksin
dan rantai dingin maka meningkatkan sosialisasi terkait imunisasi menjadi sangat penting melalui media
baik media elektrolik maupun media cetak, serta dilakukan pendekatan khusus pada daerah sulit akses
karena masalah geografi maupun masalah cuaca dengan pendekatan Sustainable Outreach Services
(SOS).
Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk menurunkan kematian neonatal, bayi, dan balita adalah
intervensi baik di tingkat keluarga dan masyarakat, di tingkat pelayanan kesehatan dasar maupun di
tingkat pelayanan kesehatan rujukan. Adapun intervensi di tingkat keluarga dan masyarakat antara lain;
penerapan Buku KIA bahkan hingga di fasilitas kesehatan rujukan, penguatan Posyandu, meningkatkan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, imunisasi dasar lengkap, pemberian
Vitamin A pada bayi dan balita, pemberian besi folat ibu hamil, pemberian oralit dan zinc bila diare,
penyuluhan PHBS termasuk cuci tangan dengan sabun, kegiatan kelas ibu balita, deteksi dini bayi dan
balita sakit termasuk deteksi dini bayi dan balita gizi kurang dan gizi buruk, community feeding centre
serta kunjungan rumah.
Adapun intervensi di tingkat pelayanan dasar dan rujukan meliputi pemeriksaan kehamilan yang
berkualitas dan terintegrasi, persalinan ditolong tenaga kesehatan utamanya di fasilitas pelayanan
kesehatan, penanganan kasus emergensi melalui Puskesmas PONED dan RS PONEK, pelayanan pasca
salin bagi ibu nifas dan bayi baru lahir, pelayanan KB dan pelayanan rujukan KB, penanganan neonatal,
bayi dan balita sakit sesuai standar (antaralain Manajemen Terpadu Balita Sakit), penanganan balita gizi
kurang dan buruk (Terapeutik Feeding Centre) dan pelayanan rujukan kasus gizi buruk dengan
komplikasi, serta pelayanan rujukan bayi dan balita sakit.
| 51
Agar pelayanan tersebut di atas dapat terlaksana maka ketersediaan tenaga kesehatan menjadi sangat
penting baik dari segi jenis dan kompetensi yang dimiliki (bidan, perawat, tenaga gizi lapangan dan
nutrisionist, dokter, dr Spesialis Anak, dr Spesialis Obgyn serta dr Spesialis Anestesi). Bagi daerah yang
memiliki masalah dengan ketersediaan dan kesinambungan keberadaan tenaga kesehatan tersebut
maka dilakukan beberapa strategi antara lain; program (program pendidikan dokter spesialis (PPDS),
dokter dengan kewenangan tambahan, penempatan resident senior, penugasan khusus perorangan
(resident dan D3 tenaga kesehatan), penugasan khusus tim (contracting in dan contracting out). Bagi
daerah yang sulit akses maka perlu pendekatan khusus untuk memberikan pelayanan, metode
Sustainable Out Services (SOS), peningkatan komptensi kader tidak hanya dalam deteksi dini tapi juga
memberikan pertolongan pertama atau pendekatan lain yang dianggap lebih sesuai mulai diujicobakan
di daerah Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Buru.
Tidak kalah pentingnya ketersediaan dan distribusi obat-obatan dan peralatan medis yang lengkap dan
siap digunakan sangat mendukung pelayanan sesuai standar disamping supervisi fasilitatif yang
dilaksanakan secara berkala.
Keberhasilan pelayanan kesehatan juga tidak terlepas dari membaiknya infrastruktur, transportasi yang
semakin membaik, peran dari profesi dan perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat dan
donor agencies dalam mendukung pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Kotak 4.1.
Pelaksanaan MTBS di Puskesmas Sei Malang Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan
Selatan
Penyebab utama kematian balita di Indonesia adalah
karena masalah pada neonatal (asfiksia, bayi berat
lahir rendah dan infeksi), penyakit infeksi (diare dan
pneumonia) serta masalah gizi kurang dan gizi buruk.
Bank Dunia melaporkan bahwa Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) bilamana diterapkan secara benar
dan luas merupakan intervensi yang cost effective
untuk mengatasi masalah kematian balita yang
disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut,
diare, campak, malaria, kurang gizi, atau kombinasi
dari keadaan-keadaan tersebut. Sebagian besar
penyebab kematian tersebut dapat dicegah dengan
teknologi sederhana di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar. Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan
pemberian pelayanan kepada balita sakit secara
komprehensif dan integratif yang meliputi: menilai, membuat klasifikasi, menentukan tindakan,
memberi pengobatan, konseling bagi ibu dan pelayanan tindak lanjut. Beberapa keuntungan dari
MTBS: balita sakit dinilai disemua aspek termasuk kelengkapan layanan essensial balita (pemberian ASI
ekslusif, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), vitamin A, status imunisasi), pemantauan status gizi,
pemberian obat rasional, serta follow up sampai bayi dan balita sembuh.
| 52
Puskesmas Sei Malang menerapkan MTBS sejak
tahun 2003 dan sampai saat ini, pelaksanaannya
telah dilakukan setiap hari untuk semua balita
sakit. Puskesmas Sei merupakan puskesmas induk
yang memiliki 5 pustu dan 4 poskesdes, 49 orang
tenaga. Luas wilayah kerja 64,5 km2, yang terdiri
dari 2 kelurahan dan 19 desa (2 desa termasuk
kategori sangat tertinggal) dan jumlah penduduk
31.214 jiwa. Tenaga terlatih MTBS di puskesmas ini
bertambah dari 1 dokter dan 1 bidan pada tahun
2003 menjadi 2 dokter umum, 3 bidan, dan 1
perawat. Untuk membantu penerapan MTBS di
wilayah kerjanya, puskesmas telah melakukan
kalakarya bagi bidan, bidan desa, dan perawat
pustu.
Foto 4.1. Kegiatan Puskesmas Sei Malang
Sumber: Kementerian Kesehatan
Hasil penerapan MTBS di Puskesmas Sei Malang tahun 2009 dan 2010; grafik di atas menunjukan
cakupan penemuan penderita pneumonia meningkat, untuk diare meskipun menurun tetapi
penemuan penderita juga masih tinggi. Kasus kematian penderita diare menurun dari tahun 2009
(1 kematian) dan tahun 2010 tanpa kematian, demikian juga tidak ada kasus kematian penderita
pneumonia tahun 2009 dan 2010.
Dampak MTBS terhadap pemberian imunisasi pada balita, menunjukkan terjadinya peningkatan
cakupan UCI Desa dari 38 persen pada tahun 2009 menjadi 57 persen pada tahun 2010. Kemudian
untuk program gizi balita, menunjukkan terjadinya peningkatan temuan kasus balita kurus dan
sangat kurus, yaitu; dari 66 kasus pada tahun 2009 menjadi 72 kasus balita kurus pada tahun 2010;
dan dari 0 kasus pada tahun 2009 menjadi 1 kasus balita sangat kurus pada tahun 2010. Hasil ini
menunjukkan bahwa penerapan MTBS memberikan dampak positif dalam peningkatan deteksi dini,
penanganan dan rujukan segera sehingga apabila MTBS diterapkan secara kontinyu dengan baik
dan benar diharapkan dapat memberikan dampak penurunan kesakitan dan kematian balita .
TUJUAN 5:
MENINGKATKAN KESEHATAN IBU
| 54
| 55
TUJUAN 5:
MENINGKATKAN KESEHATAN IBU
TARGET 5A
TARGET 5B
Indikator
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015
5.1
390
(1991)
228
(2007)
102
BPS, SDKI
5.2
40,70%
(1992)
81,25 %
(2011)
Meningkat
BPS, Susenas
Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015
5.3
5.3a
49,70%
(1991)
47,10%
(1991)
61,34 %
(2011)
**
Meningkat
60,42 %
(2011)
**
Meningkat
67
(1991)
35 (2007)
Menurun
75,00%
(1991)
*
92,70 %
(2010)
**
- 4 kunjungan:
56,00%
(1991)
*
61,40 %
(2010)
**
12,70%
(1991)
9,10 %
(2007)
5.4
5.5
5.6
*BPS, SDKI
**BPS, Susenas
Meningkat
Menurun
BPS, SDKI
*BPS, SDKI
**Kemenkes,
Riskesdas
BPS, SDKI
| 56
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN
450
390
400
334
350
307
300
228
250
200
150
102
100
50
0
1991
1997
2003
2007
2011
2015
Gambar 5.1. Angka kematian ibu dari Tahun 19912007 dan target MDG tahun 2015
Sumber: BPS, SDKI berbagai tahun
90
80
70
50
64.1
60.17
60
46.13
50.01
53.87
67
74.86
77.34
79.82 81.25
51.81
40
30
20
10
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
Gambar 5.2. Kemajuan dalam penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan, 1995-2011
Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun
Proporsi persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan terlatih meningkat dengan signifikan
(Gambar 5.2). Persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan terlatih secara nasional meningkat dari
46,13 persen pada tahun 1995 menjadi 81,25 persen pada tahun 2011. Data Riskesdas 2010
menunjukkan proporsinya 82,20 persen. Namun demikian, persalinan di fasilitas kesehatan masih
rendah, yaitu 55,40 persen (Riskesdas, 2010). Fasilitas kesehatan yang mampu melaksanakan pelayanan
obstetri dan neonatal emergensi dasar (PONED) dan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi
komprehensif (PONEK) terus ditingkatkan. Persentase Puskesmas perawatan yang melaksanakan PONED
| 57
54,00 persen (Profil Kesehatan 2010) sedangkan rumah sakit kabupaten/kota yang telah melaksanakan
PONEK mencapai 87,61 persen (Kemenkes, 2011).
Perkotaan
70
65.48
Perdesaan
62.00
60
50
40
30
28.07
24.86
20
10
9.12
9.15
0.54 0.78
0
Dokter
Bidan
Selanjutnya, dokter merupakan penolong persalinan dengan proporsi kedua tertinggi di perkotaan,
namun proporsi kedua tertinggi di perdesaan adalah bukan-tenaga kesehatan. Seperempat dari
persalinan di perkotaan ditolong oleh dokter, sementara itu hampir sepertiga dari persalinan di
perdesaan ditolong oleh bukan-tenaga kesehatan, seperti dukun beranak, keluarga, dan lainnya.
Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan antardaerah masih besar. Hasil Susenas 2011
menunjukkan bahwa keberadaan bidan dan dokter merupakan dua tenaga penting dalam pertolongan
persalinan. Pada gambar 5.3. menunjukkan bahwa proporsi pertolongan persalinan oleh dokter di
daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di daerah perdesaan, yaitu 24,86 persen di perkotaan dan
9,15 persen di perdesaan. Selanjutnya, sebagian besar pertolongan persalinan (di atas 60,00 persen)
dilakukan oleh bidan. Tidak terdapat perbedaan proporsi yang cukup besar antara perdesaan dan
perkotaan.
| 58
90.00
Dokter
Bidan
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
16.88
18.75
30.00
0.66
20.00
10.00
Aceh
Jawa Tengah
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Bengkulu
Jawa Timur
Kalimantan Selatan
Lampung
Sumatera Selatan
Riau
INDONESIA
Kalimantan Timur
Jambi
Jawa Barat
Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Maluku
Sulawesi Barat
Papua
Maluku Utara
0.00
Gambar 5.4. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan bukan-tenaga kesehatan, 2011
Sumber: BPS, Susenas 2011
Selanjutnya data Susenas tersebut juga menunjukkan bahwa tingginya tingkat pertolongan persalinan
oleh bukan-tenaga kesehatan, termasuk oleh dukun bersalin dan bahkan anggota keluarga sendiri,
cenderung disebabkan oleh tidak adanya tenaga kesehatan terlatih. Proporsi pertolongan persalinan
oleh bukan-tenaga kesehatan terlatih yang tertinggi terjadi di Sulawesi Barat dan Maluku Utara. Pada
kedua provinsi ini lebih dari separuh persalinan ditolong oleh bukan-tenaga kesehatan terlatih. Peran
bukan-tenaga kesehatan terendah dalam pertolongan persalinan terjadi di DI Yogyakarta, Bali, dan DKI
Jakarta.
70
54.7
60
57.4
60.3
61.4
56.7
57.4
49.7
50
40
52.1
54.7
47.1
Semua Cara
Cara Modern
30
Cara Tradisional
20
10
2.6
2.7
2.7
3.6
1991
1994
1997
2002/3
2007
| 59
Angka pemakaian kontrasepsi juga bervariasi antarprovinsi (Gambar 5.6), yaitu dari 24,57 persen
(Papua) sampai 71,79 persen (Kalimantan Tengah). Selanjutnya, proporsi pemakaian kontrasepsi cara
modern yang jauh lebih rendah dibanding semua cara di Papua, menunjukkan bahwa angka proporsi
pemakaian kontrasepsi cara tradisional adalah yang tertinggi dibandingkan dengan 32 provinsi lainnya.
Sangat rendahnya tingkat pemakaian kontrasepsi cara modern dan tingginya proporsi pemakaian
kontrasepsi tradisional menjadikan provinsi ini memerlukan perhatian khusus.
71.79
70.41
69.12
68.05
67.45
67.03
66.91
66.07
64.89
64.88
64.52
63.95
63.45
63.13
61.34
60.9
60.52
59.32
57.25
55.21
53.95
53.71
51
50.74
50.66
50.25
70.61
70.63
69.97
68.36
67.58
67.05
66.34
66.57
64.93
64.12
64.55
63.18
63.28
63
62.48
60.42
60.3
57.81
59.34
58.86
56.32
53.64
52.98
51.15
50.75
49.86
49.7
48.95
49.47
48.19
39.76
39.91
35.38
10
15.53
20
24.57
30
41.89
38.1
40
41.59
49.2
50
51.49
60
61.12
70
71.33
80
Semua Cara
Kalimantan Tengah
Bengkulu
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
Jambi
Kalimantan Barat
Sumatera Selatan
Lampung
Bangka Belitung
Jawa Timur
Jawa Barat
Bali
Banten
Jawa Tengah
Gorontalo
INDONESIA
Kalimantan Timur
DI Yogyakarta
Sulawesi Tengah
Riau
DKI Jakarta
Sumatera Barat
Maluku Utara
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Kepulauan Riau
Aceh
Sumatera Utara
Sulawesi Barat
Maluku
Papua
Papua Barat
Cara Modern
| 60
Penurunan angka kelahiran pada remaja perempuan umur 15-19 tahun juga menunjukkan
perkembangan positif. Remaja perempuan pada kelompok umur ini merupakan kelompok yang rawan
terhadap keselamatan bayi yang dilahirkan. Riskesdas 2010 menemukan bahwa perempuan menikah
umur 15-19 tahun memiliki tingkat kematian bayi tertinggi, yaitu 3,30 persen sementara rerata status
anak terakhir yang dilahirkan oleh perempuan umur 10-59 tahun hanya 1,30 persen (yaitu status anak
terakhir yang dilahirkan lima tahun sebelum survai). Perkembangan positif tersebut ditunjukkan oleh
angka kelahiran remaja perempuan untuk setiap seribu perempuan pada kelompok umur tersebut.
Angka kelahiran ini menurun tajam hampir separuhnya dalam kurun waktu 16 tahun sejak tahun 1991
(SDKI 2007).
Ibu hamil memerlukan pelayanan antenatal, yaitu pelayanan kesehatan kepada ibu selama masa
kehamilannya yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan sesuai standar. Indikator yang digunakan adalah
kunjungan pertama (K1) dan kunjungan ke empat (K4). Layanan antenatal kepada ibu-ibu selama masa
kehamilannya meningkat (Gambar 5.7). Layanan 1 kunjungan meningkat dari 75,00 persen pada tahun
1991 menjadi 92,70 persen pada tahun 2010. Sedangkan ibu-ibu yang mendapat layanan paling sedikit 4
kali juga meningkat, yaitu dari 56,00 persen pada tahun 1991 menjadi 61,40 persen pada tahun 2010.
120
21,7
19,8
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Kalimantan Tengah
Papua
Jambi
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Riau
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
Banten
Sumatera Barat
Bengkulu
Kalimantan Timur
Lampung
Aceh
INDONESIA
Jawa Barat
Bangka Belitung
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
DI Yogyakarta
77,9
K4
82,1
88,3
24,6
81,3
83,1
28,5
34,2
32,6
72,0
85,1
35,1
35,6
77,2
75,7
79,0
39,4
44,1
41,8
93,1
44,4
46,6
48,4
50,4
52,4
50,7
52,8
53,5
54,6
54,8
56,1
58,3
20
59,7
61,2
61,3
67,4
67,4
73,7
74,4
77,7
77,1
84,5
40
89,5
60
85,5
94,9
76,9
89,8
88,2
91,7
88,8
93,7
93,2
92,1
89,8
94,7
91,9
93,5
95,5
92,8
98,1
94,6
96,6
98,4
98,0
96,4
80
100,0
K1
100
| 61
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN
Dalam rangka mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi ibu-ibu dalam persalinan antara lain
dikembangkan tiga program penting, yaitu Jaminan Persalinan, Kelas Ibu Hamil, dan Rumah Tunggu Ibu
Hamil. Selain itu penurunan angka kematian ibu diperkuat oleh program keluarga berencana.
| 62
Kelas Ibu Hamil
Kelas ini dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku ibu dan keluarga.
Dengan itu semua diharapkan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan selama kehamilan, bersalin
dan nifas menjadi meningkat dan mereka mengetahui upaya peningkatan kesehatan. Kelas ini adalah
kelompok belajar ibu-ibu hamil yang dilakukan mulai dari awal kehamilan dengan jumlah peserta 10
orang. Selain ibu hamil, suami atau anggota keluarga lain diharapkan dapat mengikuti kelas ini minimal
satu kali pertemuan sehingga dapat memahami berbagai materi penting, misalnya persiapan
persalinan. Tujuan umum kelas ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, merubah sikap dan
perilaku ibu agar memahami tentang kehamilan, perubahan tubuh dan keluhan selama kehamilan,
perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, KB pasca persalinan, perawatan bayi baru lahir,
mitos/kepercayaan/adat istiadat setempat, penyakit menular dan akte kelahiran.
| 63
Berdasarkan lokasi dan fungsinya, Rumah
Tunggu Kelahiran dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu sebagai berikut:
(i) Rumah Tunggu
Poskesdes, yaitu rumah tunggu yang berada
dekat Poskesdes, digunakan bagi ibu hamil yang
non-risiko; (ii) Rumah Tunggu Puskesmas, yaitu
rumah tunggu yang berada dekat Puskesmas,
digunakan bagi ibu hamil yang non-risiko atau
yang memiliki risiko yang dapat ditangani sesuai
kemampuan Puskesmas; (iii) Rumah Tunggu
Rumah Sakit, yaitu rumah tunggu yang berada
dekat rumah sakit, digunakan bagi ibu hamil
dengan risiko tinggi.
| 64
Data Mini Survey BKKBN tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi peserta KB aktif cara modern telah
mencapai 67,5 persen. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan dan strategi RPJMN 2010-2014 yang
mengarahkan revitalisasi program KB pada pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian
penduduk yang responsif gender. Pelaksanaan kebijakan ini telah berhasil dilaksanakan oleh Kabupaten
Situbondo dalam meningkatkan kesertaan KB pada pria.
Kotak 5.1.
Kelas Ibu Hamil Puskesmas Jembatan Kembar, Lombok Barat, NTB
Kelas ibu hamil di Puskesmas ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2009. Didasari oleh masih adanya
kasus-kasus komplikasi maternal yang terlambat dirujuk ke fasilitas kesehatan, masih rendahnya
persalinan di tenaga kesehatan, dan tingginya kasus kematian ibu pada tahun 2010, Kepala Dinas
Kesehatan Lombok Barat membuat kebijakan bahwa semua ibu hamil wajib mengikuti kegiatan kelas
ibu hamil. Kegiatan ini dilaksanakan disemua desa dengan lokasi pelaksanaan beragam seperti di
Puskesmas, Poskesdes, rumah kader, kantor desa, balai dusun, berugak dan lain-lain yang mudah
diakses oleh ibu hamil. Kegiatan dilakukan dalam 4 kali pertemuan, lama pertemuan disepakati selama
2 jam, dan diakhiri dengan senam ibu hamil. Sumber dana yang digunakan bermacam-macam yaitu
dari Jamkesmas, BOK, NICE dan Indocement. Jumlah kelas ibu yang terbentuk pada tahun 2009
sebanyak 60, tahun 2010 sebanyak 100 kelas, dan tahun 2011 sebanyak 102 kelas.
Salah satu hasil yang terlihat dari pelaksanaan kelas ibu hamil di Lombok Barat adalah meningkatnya
cakupan program dan turunnya angka kematian ibu, dari 131/100.000 kelahiran hidup (tahun 2010)
menjadi 74/100.000 kelahiran hidup (tahun 2011). Kelas Ibu Hamil ini memerlukan dukungan lintas
sektor terkait supaya tujuan yang diharapkan menjadi lebih optimal.
105%
100%
95%
90%
85%
80%
75%
JL. Raya Lembar, Jembatan Kembar Kec. Lembar, Kode Pos. 83364 Telp. (0370) 681055
Sertifikat
No : 445.1 / PKM-JK /
Nama
..
Alamat
..
Dusun
..
TELAH MENGIKUTI KEGIATAN KELAS IBU DESA SEKOTONG TIMUR KECAMATAN LEMBAR
Yang dilaksanakan pada tanggal 3 s/d 6 Mei 2011 di POSKESDES DESA SEKOTONG TIMUR.
DI KELUARKAN DI JEMBATAN KEMBAR
Kepala Puskesmas Jembatan Kembar
K4
91.80%
Pn
95.20%
2010 100.50%
95.80%
87.00%
2011 103.00%
100.00%
96.30%
2009
/ 2011
Dengan ini Kepala Puskesmas Jembatan Kembar Kecamatan Lembar, memberikan penghargaan kepada :
K1
97%
SARJIYANTO, SKM. MM
NIP. 19640101 1988031 060
Gambar 5.8. Data Cakupan K1, K4 dan Pn tahun 2009, 2010 , dan 2011 Puskesmas Jembatan Kembar
Sumber: Kementerian Kesehatan
| 65
Kotak 5.2.
Rumah Tunggu Kelahiran Mitra Sehat Desa Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten
Merangin, Provinsi Jambi
Desa yang memiliki luas wilayah 10.000 km2 dengan kepadatan penduduk 35 jiwa/km2 ini memiliki
kondisi geografis yang cukup sulit berupa bukit dan lembah dan terletak sekitar 27 km. dari ibukota
Kecamatan Lembah Masurai dan 85 km. dari ibukota Kabupaten Merangin. Untuk mencapai fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 1-6 jam. Menyadari
kondisi yang menyulitkan ibu hamil tersebut pemerintah bersama masyarakat Desa Nilo Dingin
berinisiatif menyediakan Rumah Tunggu yang pada awalnya dilakukan dengan menyewa rumah
penduduk di sekitar Polindes. Selanjutnya didirikan bangunan rumah khusus menggunakan dana
mandiri atas persetujuan rapat desa. Kapasitas rumah tunggu ini adalah 20 kamar untuk 20 ibu hamil.
Jumlah ibu hamil yang memanfaatkan rumah tunggu ini meningkat dari tahun ke tahun.
Kotak 5.3.
Kesuksesan Pemerintah Sitobondo dalam Meningkatkan Peserta KB Pria
Kabupaten Situbondo tercatat mampu meningkatkan jumlah peserta KB baru MOP secara fenomenal
dan luar biasa pada tahun 2010. Pada tahun 2009 jumlah peserta KB MOP hanya mencapai 248
peserta, meningkat signifikan menjadi 1.552 peserta (2010), dan mencapai 1.848 peserta (2011).
Peningkatan yang spektakuler ini tidak terlepas dari komitmen, upaya, dan kerja keras dari Kepala SKPD
KB beserta seluruh mitra kerja terkait. Berbagai permasalahan yang menghambat pencapaian KB MOP
di Kab. Situbondo meliputi (1) terbatasnya akses informasi mengenai efek samping KB, efektifitas,
tempat pelayanan, dan manfaat KB; (2) terbatasnya tenaga medis dan tempat untuk pelayanan KB
MOP; (3) belum optimalnya kondisi sosial budaya masyarakat termasuk Toga dan Toma; (4) adanya
penafsiran agama (halal dan haram) penggunaan MOP; dan (5) rendahnya motivasi kerja petugas KB di
lini lapangan pasca otonomi daerah.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, strategi yang dilakukan meliputi (1) pemetaan dan
analisis terhadap kondisi pencapaian KB, meliputi data program, dukungan APBN-APBD, SDM dan
tenaga lini lapangan KB (PLKB, PPLKB, dan PPKBD); (2) pendekatan kultur sosial kepada Toga dan
Toma; (3) membangun dan memperkuat kemitraan yang berkesinambungan baik dengan individu
maupun institusi lainnya (Pemerintah, Toga/Toma, LSM); (4) meningkatkan kemampuan SDM
pelaksana KB mencakup petugas medis dan penyuluh KB dalam rangka melakukan pelayanan dan KIE
KB, khususnya MOP; (5) menggerakkan individu dan komunitas yang telah menjadi peserta MOP untuk
menjadi ujung tombak dalam menarik akseptor baru MOP; (6) menjalin kerja sama dengan media
massa baik cetak maupun elektronik untuk meningkatkan KIE program MOP; dan (7) menyusun
mekanisme penyelesaian komplikasi pasca pelayanan.
Upaya tersebut berhasil menggerakkan komitmen berbagai pihak terhadap KB MOP sehingga
berdampak pada suksesnya KB pria di Situbondo, mencakup antara lain (1) meningkatnya komitmen
Bupati, Camat, Koramil dan Ramil dalam meningkatkan peserta KB MOP dengan dikeluarkannya surat
Wakil Bupati yang menetapkan target sebanyak 50 akseptor MOP/kecamatan; (2) meningkatnya
dukungan APBD dengan dibangunnya gedung pelayanan KB; (3) meningkatnya komitmen camat untuk
selalu mensosialisasikan MOP di setiap forum pertemuan masyarakat; (4) meningkatnya dukungan
TOGA dan TOMA dengan dikeluarkannya keputusan ulama tentang KB MOP dalam pandangan hukum
Islam; (5) meningkatnya ketersediaan SDM pelayanan KB MOP; dan (6) meningkatnya akses Informasi
dan pelayanan program KB MOP melalui radio.
| 66
TUJUAN 6:
MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA
DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA
Peresmian Malaria Center di Maluku Utara oleh dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH (alm.), 2010
Sumber: Kementerian Kesehatan
| 68
| 69
TUJUAN 6:
MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN
PENYAKIT MENULAR LAINNYA
TARGET 6A
TARGET 6B
Indikator
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDs hingga tahun 2015
6.1
6.2
6.3
12,80%
(2002/03)*
0,30% (2011)
Menurun
Perempuan:
35% (2011)**
Meningkat
Laki-laki: 14%
(2011) **
11,40 % (2010)
Meningkat
Kemenkes 2011
*BPS, SKRRI
** Kemenkes,
Surveilans
Terpadu Biologis
dan Perilaku
(STBP)
Kemenkes,
Riskesdas 2010
Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV DAN AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan
tahun 2010
6.5
84,10% (2011)
Meningkat
Kemenkes
| 70
6000
KASUS AIDS SAMPAI 2011
5117
5000
4598
4449
3939
4000
3000
2000
2428
1602
1269
874
1000
705
536 515
428 408 404 361
338 290 260
219 195 192 156 149
122
94
90
58
27
17
14
13
12
| 71
47
42
16 14 13
12 10 10
11
Gambar 6.3. AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan 2011
Sumber: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes 2011
Berdasarkan angka kumulatif kasus per 100.000 penduduk (AIDS case rate) dibandingkan dengan
jumlah kumulatif kasus AIDS menunjukkan keadaan yang berbeda karena sebaran jumlah penduduk
per provinsi yang sangat beragam. Papua menduduki urutan pertama, sedangkan DKI Jakarta dengan
angka kumulatif yang jauh lebih besar menduduki urutan ke dua setelah Papua. Sementara itu
Sulawesi Utara dengan hanya 261 kasus kumulatif menduduki urutan ke sembilan, lebih tinggi
dibanding dengan Jawa Tengah dengan 1.602 kasus.
Untuk mengendalikan laju penularan kasus HIV dan AIDS, telah dilakukan berbagai upaya
pencegahan. Salah satu upaya tersebut yakni penggunaan kondom pada hubungan seksual yang
berisiko tinggi menularkan HIV dan AIDS. Namun demikian, upaya tersebut belum menunjukkan hasil
yang memuaskan. Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011
menunjukkan bahwa penggunaan kondom baru mencapai 35 persen pada pekerja seks komersial
(PSK) dan 14 persen pada pelanggan PSK. Survei tersebut dilakukan di 16 Kabupaten/Kota di 10
provinsi dengan responden PSK dan dilakukan di 12 Kabupaten/Kota di 10 provinsi dengan
responden pelanggan PSK. Upaya pencegahan lainnya yakni peningkatan pengetahuan penduduk
melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) terkait dengan pencegahan penularan HIV dan AIDS.
Upaya ini masih perlu ditingkatkan mengingat capaian persentase penduduk usia 15-24 tahun yang
memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS masih cukup rendah, yakni 11,40 persen.
Dalam rangka upaya pengobatan terhadap penduduk yang terinfeksi HIV tingkat lanjut, telah
diberikan pengobatan antiretroviral (ARV). Pada tahun 2009, proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut
yang tercakup dalam Antiretroviral Theraphy (ART) sebesar 76,50 persen (19.572 ODHA) dan
meningkat menjadi 84,10 persen (24.410 ODHA) pada tahun 2011. Jumlah ODHA yang mendapatkan
ART semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah fasilitas Konseling dan Tes (KT) serta
layanan pengobatan ARV.
| 72
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN
Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun. Dengan
memperhitungkan masa inkubasi sejak terinfeksi hingga berkembang menjadi AIDS sekitar 5-10
tahun dan persentase pengetahuan komprehensif terkait HIV dan AIDS yang dimiliki remaja pada
kelompok umur 15-24 tahun baru mencapai 11,40 persen (Riskesdas, 2010), maka kelompok remaja
merupakan kelompok usia yang paling berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV dan AIDS.
Dalam rangka mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS,
diperlukan upaya khusus yang difokuskan pada kelompok remaja. Upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan remaja terkait HIV dan AIDS melalui kampanye "Aku Bangga Aku Tahu"
(ABAT). Kampanye ABAT merupakan sosialisasi mengenai perilaku seksual yang harus dihindari
sebelum ada komitmen yaitu pernikahan dan penyadaran tentang cara penularan penyakit HIV dan
AIDS. Kegiatan kampanye untuk tahap pertama dilaksanakan di 10 provinsi terpilih, yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi dan
Papua. Selanjutnya, akan diperluas untuk seluruh Provinsi di Indonesia. Dengan demikian
diharapkan, pemerintah, dunia usaha, masyarakat, khususnya generasi muda, dapat lebih mengenal
HIV dan AIDS, dapat melindungi diri dan orang lain dari risiko penularan HIV dan AIDS.
Upaya lainnya yakni peningkatan akses masyarakat terhadap pengobatan dan penyediaan layanan
terpadu/komprehensif HIV dan AIDS. Dengan upaya penyediaan layanan terpadu tersebut, upaya
pencegahan, perawatan, dan pelayanan kasus HIV dan AIDS termasuk layanan konseling dan tes,
layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, serta pengurangan dampak buruk dapat dilakukan
di satu titik layanan. Upaya terpadu ini disepakati akan diterapkan di seluruh ASEAN. Di Indonesia,
pilot percontohan untuk menerapkan upaya terpadu ini telah diterapkan di Bogor, Tangerang dan
Singkawang. Selain itu, jumlah layanan kesehatan untuk konseling dan tes telah ditingkatkan dari
156 pada tahun 2009 menjadi 500 layanan pada tahun 2011. Perawatan, dukungan dan pengobatan
(care, support and treatment) telah ditingkatkan dari 163 menjadi 303 rumah sakit yang terdiri dari
235 RS indukdan 68 rumah sakit satelit.
Penguatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS telah dilakukan melalui penerbitan berbagai
peraturan daerah tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Hingga awal tahun 2011,
telah terbit 10 Peraturan Daerah tingkat provinsi, 1 Peraturan Gubernur, 13 Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota terkait penanggulangan HIV dan AIDS. Peraturan-peraturan di tingkat provinsi
tersebut antara lain : Perda Provinsi Jawa Timur No. 05 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Timur, Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Provinsi Riau No. 4 Tahun 2006, Perda Provinsi NTT No. 03
Tahun 2007, Perda Provinsi DKI No. 05 Tahun 2008, Peraturan Gurbernur DKI Jakarta No. 78 Tahun
2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Provinsi NTB No. 11 Tahun
2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Provinsi Kalimantan Barat No. 2
Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat,
Perda Provinsi Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
AIDS, Perda Provinsi Sulawesi Selatan No. 04 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV dan AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan, dan Perda Provinsi DI Yogjakarta No. 12 Tahun 2010
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS serta Perda No. 8 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV DAN AIDS.
Selanjutnya, untuk peraturan daerah di tingkat Kabupaten/Kota antara lain : Perda Kabupaten
Merauke No. 05 Tahun 2003, Perda Kabupaten Jayapura No. 20 Tahun 2003, Perda Kabupaten
Nabire No. 18 Tahun 2003, Perda Kota Sorong No. 41 Tahun 2006, Perda Kabupaten Banyuwangi No.
06 Tahun 2007, Perda Kabupaten Gianyar No. 15 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS,
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 73
Perda Kabupaten Buleleng No. 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Kota
Tarakan No. 06 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda
Kabupaten Jembrana No. 01 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Kabupaten
Badung No. 01 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Kabupaten Malang No. 14
Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Malang, Perda Kabupaten
Indramayu No. 08 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten
Indramayu, dan Perda Kota Cirebon No. 1 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV
dan AIDS.
Kotak 6.1.
Desentralisasi Obat Antiretroviral (ARV)
Desentralisasi obat ARV saat ini sedang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dalam upaya
meningkatkan pengelolaan supply chain management obat ARV sehingga diperoleh persediaan
obat ARV yang cukup dalam jumlah, waktu dan tempat yang tepat, serta didukung oleh kualitas
pelaporan yang baik dan akurat. Dalam pelaksanaan desentralisasi, dinas kesehatan provinsi
bertanggung jawab terhadap manajemen pelaporan rumah saki dan distribusi obat ARV
didaerahnya. Stok obat dan buffer obat akan ditempatkan di dinas kesehatan provinsi sehingga
mempermudah proses distribusi dan redistribusi ARV di dalam wilayah provinsi. Model
desentralisasi yang dikembangkan di setiap daerah berbeda tergantung karakteristik masingmasing daerah.
Desentralisasi obat ARV dimulai tahun 2010 dan saat ini ada 5 provinsi yang telah melakukan
desentralisasi obat ARV antara lain; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua. Melalui
desentralisasi, dinas kesehatan provinsi mengetahui dan mampu mengatur distribusi ARV di
wilayahnya. Selain itu, pelaksanaan desentralisasi jugameningkatkan akurasi laporan di RS,
mencegah terjadinya stock out, serta mengurangi waktu lead time distribusi ARV dari 5 hari
menjadi 2-3 hari. Desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antara institusi terkait
dan mempermudah evaluasi provinsi terhadap masalah-masalah yang ada di daerahnya khususnya
dalam masalah manajemen pelaporan dan pengelolaan logistik obat ARV.
| 74
TARGET 6C
Indikator
Target
MDGs 2015
Saat ini
Status
Sumber
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya
hingga tahun 2015
Angka kejadian dan tingkat kematian
akibat malaria
6.6
66.a
4,68
(1990)
1,75
(2011)
Menurun
Kementerian
Kesehatan 2011
6.7
16,50%
(2010)
Meningkat
Kemenkes, Riskesdas
2010
6.8
34,70%
(2010)
Meningkat
Riskesdas 2010
75.000
69
.4
6
66 5
.5
77
Upaya pengurangan angka kejadian malaria sudah menunjukkan keadaan yang positif. Terjadi
penurunan yang signifikan dari tahun 1990 sampai 2011, yaitu dari 4,68 per 1.000 penduduk
beresiko menjadi 1,75 per 1.000 penduduk. Menurut hasil Riskesdas 2010 Angka Kejadian Malaria
sebesar 2,40 persen yang diperoleh dengan wawancara. Namun demikian, dalam angka mutlak
cukup besar, yaitu 256.592 orang penderita dan hanya Provinsi DKI Jakarta yang tidak ditemukan
kejadiannya. Keragaman angka kejadian malaria sangat besar, namun terkonsentrasi pada 3 provinsi
endemik, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Angka kejadian malaria berkisar dari
yang terendah, yaitu Bali dengan hanya 7 kejadian dan tertinggi adalah 3 provinsi, yaitu Nusa
Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat dengan masing-masing 69.645, 66.577, dan 25.287
kejadian. Pada ketiga provinsi ini proporsinya sudah mencakup hampir 63 persen dari seluruh
kejadian pada tahun 2011.
25
.2
87
50.000
14
DI Yogyakarta
45
Jawa Timur
88
Banten
8.
61
3
8.
61
3
7.
91
4
6.
66
3
6.
66
1
6.
35
6
6.
35
5
6.
17
5
5.
02
8
3.
74
4
3.
52
3
3.
14
0
3.
13
6
2.
66
7
2.
45
0
2.
35
2
2.
33
1
2.
24
7
2.
04
5
1.
97
3
1.
43
0
95
7
74
3
51
7
19
6
25.000
DKI Jakarta
Bali
Jawa Tengah
Jawa Barat
Riau
Sumatera Barat
Aceh
Sumatera Selatan
Gorontalo
Sulawesi Barat
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Bangka Belitung
Sulawesi Tenggara
Lampung
Sulawesi Selatan
Jambi
Kalimantan Timur
Bengkulu
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Kalimantan Tengah
Maluku
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Papua
Papua Barat
| 75
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN
Di Indonesia kejadian penyakit malaria dan Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria sangat berkaitan erat
dengan beberapa hal sebagai berikut: yaitu (i) Adanya perubahan lingkungan yang berakibat
meluasnya tempat perindukan nyamuk penular malaria; (ii) Mobilitas penduduk yang cukup tinggi;
(iii) Perubahan iklim yang menyebabkan musim hujan lebih panjang dari musim kemarau; (iv) Situasi
ekonomi yang berkepanjangan memberikan dampak pada daerah-daerah tertentu dengan adanya
masyarakat yang mengalami masalah gizi sehingga lebih rentan untuk terserang malaria; (v) Tidak
efektifnya pengobatan karena terjadi resisten klorokuin dan meluasnya daerah resisten; (vi)
Menurunnya perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap upaya penanggulangan malaria secara
terpadu.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009
tentang Eliminasi Malaria di Indonesia maka dalam upaya mencapai tujuan Eliminasi Malaria pada
tahun 2030 terdapat delapan kegiatan utama. Kegiatan pertama adalah peningkatan kualitas dan
akses terhadap penemuan dini dan pengobatan malaria. Kedua, menjamin kualitas diagnosis malaria
melalui pemeriksaan laboratorium maupun Rapid Diagnostic Test (RDT). Ketiga, perlindungan
terhadap kelompok rentan terutama ibu hamil dan balita di daerah endemis tinggi. Keempat,
penguatan penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan surveilans kasus malaria. Kelima,intervensi
vektor termasuk surveilans vektor. Keenam, penguatan sistem pengelolaan logistik Malaria. Ketujuh,
penguatan SDM. Kedelapan, penelitian operasional.
Dalam upaya mengurangi angka kejadian malaria terutama di daerah endemis tinggi,upaya
pencegahan dan pengobatan merupakan kunci utama. Salah satu upaya pencegahan
penyebarluasan malaria adalah mengurangi penularan malaria melalui perlindungan kepada
kelompok usia rentan, yaitu bayi, anak-anak usia balita, serta ibu hamil dari gigitan nyamuk penular
malaria dengan penggunaan kelambu berinsektisida. Berdasarkan data yang ada proporsi balita pada
kelompok ini mengalami peningkatan menjadi 16,50 persen. Sedangkan upaya penyembuhan anak
balita dengan positif malaria yang diobati dengan obat anti-malaria yang tepat mencapai 34,70
persen pada tahun 2010.
Kotak 6.2.
Upaya Malaria Center di Maluku Utara memerangi malaria dalam rangka percepatan pencapaian
Goal 6 MDG dan menuju eliminasi 2020
Wilayah Maluku Utara 76,27 persen berupa perairan dan sebagian besar penduduk bermukim di
daerah pesisir, yang kebanyakan adalah bekas rawa dengan banyak genangan air. Situasi ini ideal
bagi kembang biak nyamuk malaria. Tak heran bila banyak daerah di Maluku Utara, termasuk
Halmahera Selatan menjadi daerah endemis Malaria. Malaria merupakan permasalahan utama
kesehatan masyarakat di Maluku Utara khususnya Halmahera Selatan. Kejadian Luar Biasa akibat
serangan malaria di Halmahera Selatan terjadi pada tahun 2003 hingga 2007 dengan jumlah
kematian sebesar 268 jiwa. Bahkan pada tahun 2005, Halmahera Selatan mengalami angka insiden
tahunan malaria tertinggi, yaitu 80,2 permil.
Masalah malaria tersebut telah menjadi masalah sosial kemasyarakatan sehingga menjadi
tanggung jawab lintas sektor dan seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, diperlukan wadah untuk
menghimpun dan menggerakkan, mengkoordinasikan serta mensinergikan segenap potensi dan
sumber daya yang dibutuhkan untuk menanggulangi malaria yang melahirkan ide pembentukan
Malaria Center atau Pusat Pengendalian Malaria. Ide pembentukan Malaria Center dicetuskan
oleh Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara, yang langsung ditindaklanjuti dengan dukungan
Instruksi Gubernur Maluku Utara No. 3 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 76
Malaria (Malaria Center) di wilayah Provinsi Maluku Utara. Malaria Center merupakan lembaga
koordinatif dibawah koordinasi Kepala Daerah/Bupati untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawab pemerintahan daerah dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang
terbebas dari penularan malaria. Di Halmahera Selatan, Malaria Center dibentuk pada tanggal 8
Desember 2004 dengan Keputusan Bupati Halmahera Selatan No. 168 Tahun 2004, Peresmian
gedung Malaria Centre dilakukan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 24 April 2010.
Dalam melakukan kegiatan pengendalian malaria maka pendekatan yang dilakukan di Malaria
Center menuntut keterlibatan dari masyarakat pada seluruh proses dengan berasaskan partisipasi
merupakan kunci untuk memenangkan perang terhadap malaria. Program ini melatih dua kader
pejuang malaria dari setiap desa untuk mengenal apa itu malaria, melakukan musyawarah
penyusunan Rencana Kegiatan Masyarakat dalam memerangi malaria dan membentuk Komite
Malaria Desa. Dengan cara ini masyarakat desa mendapatkan edukasi tentang malaria dan
selanjutnya dapat melakukan pemberantasan malaria berbasis masyarakat sekaligus meningkatkan
kualitas kehidupan mereka menjadi lebih sehat. Selain itu pemerintah daerah juga memberi
dukungan melalui Alokasi Dana Desa Khusus Malaria.
Selain itu, Malaria Center juga difungsikan sebagai pendukung pelayanan kesehatan bagi balita.
Bekerjasama dengan posyandu di tingkat desa dan dibantu oleh kader-kader posyandu, center ini
melakukan pemeriksaan berkala dan diagnosis cepat malaria bagi ibu hamil dan balita,
memasyarakatkan penggunaan kelambu berinsektisida bagi ibu hamil dan anak yang telah
menerima imunisasi lengkap. Integrasi pencegahan dan pengobatan malaria dengan layanan
kesehatan ibu dan balita adalah keunikan Malaria Center.
Di Maluku Utara terjadi penurunan kesakitan malaria yang cukup signifikan. Angka insiden malaria
tahunan turun dari 80 per 1.000 (tahun 2005) menjadi 40,2 per 1.000 pada tahun 2010. Selain itu
angka parasit malaria pada anak usia kurang dari 9 tahun (parasite rate) juga mengalami
penurunan dari 58,70 persen (2007) menjadi 41,50 persen (2010). Selanjutnya kematian akibat
malaria turun dari 205 orang (2003) menjadi 1 orang korban meninggal pada tahun 2010.
| 77
TARGET 6C
Acuan
dasar
Saat ini
Target
MDGs
2015
Status
Sumber
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya
hingga tahun 2015
6.9
6.9a
343
(1990)
189
(2011)
6.9b
443
(1990)
289
(2011)
6.9c
92
(1990)
27
(2011)
6.10
6.10a
20,0%
(2000)*
(2011)**
6.10b
87,0%
(2000)*
83,48%
90,3%
(2011)**
Dihentikan,
mulai
berkurang
Laporan TB Global
WHO, 2011
70,0%
85,0%
*Laporan TB Global
WHO, 2009
**Laporan Kemenkes
2011
| 78
CDR & Success Rate Kasus TB Paru BTA Positif, Indonesia 1996-2011*)
100
91.00
90
87.00
81.00
80
86.00
86.10
89.50
86.70
91.00
91.00
91.00
91.00
91.20
90.3
83.5
73.80
70
60
54.00
78.3
75.7
58.00
69.8
68
50
72.8
73.1
2008
2009
54
40
30
37.6
30.6
20
19
20
21
1999
2000
2001
10
0
4.6
1996
7.5
1997
12
1998
2002
2003
2004
SR
2005
2006
2007
2010
2011*)
CDR
92.10
111.04
94.90
75.90
83.40
89.00
93.60
86.40
94.60
88.50
94.30
78.00
84.60
87.40
93.10
90.90
92.90
88.00
93.90
87.30
88.90
88.80
89.10
53.30
69.50
79.50
90.60
82.90
87.80
81.60
89.10
85.80
91.50
85.60
90.60
89.40
93.50
74.00
87.60
85.80
92.30
89.30
94.40
88.30
94.40
87.40
96.20
85.70
93.20
83.70
90.30
72.60
89.80
70.00
82.60
86.20
83.47
84.31
80.56
79.17
77.93
77.67
75.94
68.38
67.43
64.66
59.74
57.83
57.70
57.00
56.83
54.98
52.45
51.95
50.73
50.15
49.33
48.70
46.04
44.10
75.80
41.49
56.90
63.80
66.00
77.40
39.10 47.30
20.00
38.18
40.00
35.58
76.60
73.30
35.25
60.00
33.07
80.00
40.44
100.00
39.14
42.20
120.00
87.20
82.30
76.80
92.00
80.90
Hasil kegiatan TB di tingkat provinsi sangat beragam (Gambar 6.4). Keragaman ini terjadi pada baik
pada tingkat penemuan kasus baru maupun pada keberhasilan pengobatan dan kesembuhannya
antarprovinsi. Angka penemuan kasus baru pada tahun 2011 beragam dari 33,1 persen (terjadi di
Kalimantan Tengah) sampai tiga kali lipat yaitu 111,0 persen di Sulawesi Utara. Selanjutnya, angka
keberhasilan pengobatan beragam dari 56,9 persen (Papua Barat) sampai hampir semuanya
berhasil, yaitu 96,2 persen (Gorontalo). Sementara itu, angka kesembuhan berkisar dari 42,2 persen
(Papua Barat) sampai lebih dari dua kali lipat, yaitu 92,2 persen (Sulawesi Utara).
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Riau
Nusa Tenggara Barat
Maluku Utara
Papua Barat
Kepulauan Riau
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Lampung
DI Yogjakara
Aceh
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Bangka Belitung
Papua
Bengkulu
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Sulawesi Barat
Jawa Timur
Jambi
Bali
Jawa Barat
Sumatera Utara
Banten
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Indonesia
Maluku
DKI Jakarta
Sulawesi Utara
0.00
Cured Rate
Succed Rate
Gambar 6.6. Keragaman angka penemuan kasus baru Tuberkulosis, keberhasilan pengobatan dan
kesembuhan, 2011.
Sumber : Laporan Kementerian Kesehatan 2011
| 79
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN
Berbagai upaya penting telah dilaksanakan dalam menurunkan angka kesakitan TB, yaitu dengan
peningkatan penemuan kasus dan memastikan kesembuhan dari kasus yang ditemukan tersebut.
Upaya-upaya tersebut diwujudkan dalam upaya terobosan, antara lain: (i) Memasukkan strategi
DOTS dalam Akreditasi Rumah Sakit dan pelaksanaan Surat Tanda Register (STR) atau Surat Ijin
Praktik (SIP) oleh IDI dan SIPA oleh IAI sebagai unsur penilaian, untuk 33 provinsi; (ii) Inisiasi
penggunaan Rapid Diagnostic Test dalam pemeriksaan TB, dengan Implementasi metode Line Probe
Assay (LPA)/HAIN test di Laboratorium Mikrobiologi FKUI dan Laboratorium Mikrobiologi RS Dr.
Soetomo serta RS Labuang Baji Makassar; (iii) Penetapan dan pelaksanaan 3 laboratorium National
Tuberculosis Referral Laboratory (NTRL (iv) Pengajuan prakualifikasi obat TB ke WHO; (v) Inisiasi
penerapan tes tuberkulin untuk mendukung diagnosis TB pada anak di 33 provinsi; (vi) Penggunaan
17 GeneXpert sebagai salah satu Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV secara bertahap di
RS Adam Malik, Lab Mikro UI, RS Persahabatan, RS Cipinang, RS Hasan Sadikin, BLK Bandung, RS
Moewardi Solo, RS Karjadi, Laboratorium Mikro FK UGM, RS Dr. Soetomo, RS Syaiful Anwar, RS
Labuan Baji, BBLK Surabaya, RS Sanglah, BLK Jayapura, Lab NECHRI FK Unhas, RSU Cilacap; (vii)
Kerjasama dengan Asuransi Kesehatan dengan penggagasan penerapan standar pengobatan TB
dengan DOTS bagi seluruh pasien TB yang ditangani serta pengembangan skema pembiayaan
berbasis asuransi bagi pasien TB (bersama Jamsostek, Jamkesmas, Jamkesda) dengan melibatkan 3
BUMN; (viii) Pelaksanaan Survei Nasional Prevalens TB di 33 provinsi; (ix) Perluasan pelayanan
Pasien TB resistan obat ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap; (x) Penyusunan exit strategy
program pengendalian TB untuk mengurangi ketergantungan terhadap dana donor.
Selain itu, ditetapkan juga Strategi Nasional Pengendalian TB yang merupakan upaya untuk
mencapai semua tujuan dengan penjabaran strategi pada Rencana Aksi Nasional. Pertama,
meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu. Kedua, menangani TB, MDR-TB, TB anak,
dan masyarakat miskin serta rentan lainnya. Ketiga, melibatkan seluruh penyedia pelayanan
kesehatan milik pemerintah, masyarakat, dan swasta mengikuti International Standards of TB Care.
Keempat, memberdayakan masyarakat dan pasien TB. Kelima, memperkuat sistem kesehatan,
termasuk pengembangan SDM dan manajemen program pengendalian TB. Keenam, meningkatkan
komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. Ketujuh, mendorong penelitian,
pengembangan dan pemanfaatan informasi strategik.
Pada dasarnya upaya pengendalian penyakit menular khususnya TB di Indonesia dilaksanakan
dengan menggunakan dana APBN dan APBD, akan tetapi seringkali dana yang tersedia tidak
mencukupi. Oleh karena itu, dana tersebut ditambah atau dilengkapi dengan dana bantuan luar
negeri yang berupa hibah (grant) atau pinjaman (loan). Pada masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu I
(2004-2009) dan Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), kebijakan Kementerian Kesehatan adalah
tidak menerima bantuan berupa pinjaman, hal tersebut didasarkan dengan beberapa pertimbangan
yang dirasakan akan memberatkan pemerintah jika pinjaman tersebut diterima.
Untuk bantuan hibah ada beberapa yang diterima di Indonesia untuk mendukung pelaksanaan
Program Pengendalian TB diantaranya adalah dari The Global Fund ATM, Pemerintah Amerika
(USAID), Pemerintah Canada (CIDA) dll. Sampai dengan saat ini The Global Fund (TGF) merupakan
salah satu donor yang mendukung pendanaan kegiatan pengendalian TB, dan manfaat dukungan
dari TGF tersebut terlihat dalam pencapaian hasil kegiatan. Pencapaian CDR tahun 2000 hanya 20
persen dan meningkat seiring dengan adanya dukungan dana dari TGF ataupun donor yang lain
(USAID dan CIDA), dukungan dana yang komprehensif tersebut untuk mendukung kegiatan
penemuan dan pengobatan kasus TB sesuai strategi DOTS, CDR bisa meningkat cukup signifikan
sampai mencapai target global yaitu diatas 70 persen pada tahun 2005. Adanya dukungan dana
tersebut juga secara perlahan mendorong peningkatan kontribusi pendanaan pemerintah, sehingga
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 80
pada tahun 2010 pemerintah pusat mampu menyediakan dana 100 persen kebutuhan obat lini
pertama, tahun 2011 mulai ada alokasi dukungan untuk pengadaan reagensia Ziehl Neelsen yang
mengcover sekitar 20 persen dari total kebutuhan nasional.
Hibah TGF-ATM untuk Pengendalian TB di Indonesia dimulai pada tahun 2003. Indonesia telah
mendapat dana hibah TGF-ATM komponen TB untuk 3 proyek yaitu (1) Ronde 1 : Strengthening
DOTS Expansion in Indonesia (tahun 2003); (2) Ronde 5 : Equitable Quality DOTS for all (tahun 2007);
(3) Ronde 8 : Consolodating Progress and Ensuring DOTS for All(tahun 2009). Total dana yang
didapatkan dari 3 ronde tersebut adalah USD 113,858,142. Untuk Ronde 8, penerima dana hibah GFATM Komponen TB terdiri dari : Kementrian Kesehatan RI, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia (FKM UI) sebesar USD 6,200,769 dan Aisyiyah sebesar USD 5,816,935.
Pemanfaatan dana hibah GF ATM Komponen TB : Ronde 1. Kegiatan utama adalah : (1)
Mempromosikan Strategi DOTS; (2) Memperkuat sistem manajemen di tingkat provinsi dan
kab/kota; (3) Meningkatkan kapabilitas unit kesehatan untuk mengimplementasikan DOTS; (4)
Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM; (5) Memperkuat kemitraan; (6) Mengembangkan
laboratorium TB dan jejaringnya; (7) Memperkuat manajemen OAT; (8) Membangun kemitraan dan
memperkuat CBA; (9) Membangun hubungan antar fasyankes; (10) Mendukung implementasi survei
resistensi obat (DRS); (11) Memperluas PPM untuk meningkatkan aksesibilitas pasien ke pelayanan
DOTS; (12) Memperbaikin pencatatan dan pelaporan dengan meningkatkan supervisi dan
monitoring; (13) Mengembangkan kolaborasi TB HIV; dan (14) Mendukung riset operasional.
Ronde 5. Kegiatan utama adalah : (1) Memperkuat sistem manajemen di tingkat provinsi dan
kab/kota; (2) Pengembangan Rencana kerja tahunan dan anggaran; (3) Meningkatkan program HDL;
(4) Supervisi dan monitoring terhadap semua kegiatan prgram; (5) Perbaikan dan peningkatan
manajemen kasus; (6) Penguatan jejaring laboratorium; (7) DRS; (8) Memperluas DOTS ke area
terpencil dan kelompok rentan; (9) Tatalaksana TB anak; (10) Penanganan TB Resistan Obat dan
pelaksanaan DOTS Plus; (11) Meningkatkan kegiatan Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
(AKMS); (12) Melakukan survei seroprevalens; (13) Meningkatkan kolaborasi TB HIV; dan (14)
Mengembangkan koordinasi dan kemitraan.
Ronde 8. Kegiatan utama adalah : (1) Penguatan Manajemen program di tingkat Pusat, Provinsi dan
Kab/Kota; (2) Pertemuan Monitoring dan Evaluasi program di tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota;
(3) Kunjungan supervisi; (4) Penilaian jaga mutu eksternal untuk lab TB; (5) Pelatihan supervisor TB
dan petugas kesehatan di semua fasyankes; dan (6) Survey pengetahuan, sikap dan perilaku.
| 81
Kotak 6.3.
Peran serta masyarakat dalam pengendalian TB melalui Pos TB desa
Foto 6.2. Kader kesehatan di Kabupaten Maumere (Provinsi NTT) dan Kabupaten Sentani
(Provinsi Papua) sedang berdiskusi dengan petugas kesehatan untuk kegiatan layanan
TB Desa yang merupakan bagian kegiatan UKBM.
Beberapa tahun terakhir ini, pengendalian TB di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup
pesat, hal ini antara lain dibuktikan dengan tercapainya banyak indikator penting dalam
pengendalian TB. Faktor keberhasilan tersebut antara lain: akses pelayanan kesehatan semakin
baik, pendanaan semakin memadai, dukungan pemerintah pusat dan daerah, peran serta
masyarakat dan swasta semakin meningkat, serta semakin banyak upaya inovatif yang dilakukan.
Salah satu upaya inovatif adalah Integrasi layanan TB pada Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat (UKBM). Kegiatan ini merupakan salah satu sarana mendekatkan akses pelayanan TB
yang berkualitas untuk masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat di desa. Kegiatan
dilaksanakan di Poskesdes, sebagai koordinator UKBM, dan menjadi bagian dari kegiatan Desa
Siaga/Desa Sehat. Kegiatan-kegiatan pelayanan TB yang dapat dilakukan melalui UKBM,
diantaranya adalah: penyuluhan TB, identifikasi suspek TB, rujukan suspek TB ke fasilitas
pelayanan kesehatan, pengawasan pengobatan pasien TB, pelacakan kasus mangkir, pemberian
(penyimpanan obat TB), pencatatan dan pelaporan sederhana, pemetaan pasien TB di wilayah
Desa Siaga, serta pemitraan, pelibatan sektor lain, dll. Saat ini integrasi pelayanan TB melalui
UKBM telah dilaksanakan di Provinsi Lampung, Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat, Jambi dan
Papua. Pada tahun 2012 ini diperluas ke Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, NTT, dan
Gorontalo.
| 82
| 83
TUJUAN 7:
MEMASTIKAN KELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
| 84
| 85
TUJUAN 7:
MEMASTIKAN KELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
TARGET 7A
Acuan dasar
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan dan program nasional
serta mengurangi kerusakan pada sumberdaya lingkungan
7.1
7.2
7.2a
59,97%
(1990)
52,52%
(2010)
Meningkat
Kementerian
Kehutanan
1.377.983
Gg CO2e
(2000)
1.791.372
GgCO2e (2005)
Berkurang
26% dari
BAU (2020)
Kementerian
Lingkungan
Hidup
2,64 BOE
(1991)
4,95 (2010)
Menurun
dari kondisi
BAU 6,99
5,28 SBM/
USD 1,000
(1990)
0,98 (1991)
7.2b
Intensitas energi
7.2c
Elastisitas energi
7.2d
7.3
7.4
7.5
7.6
Kementerian
Energi dan
Sumber
Daya
Mineral
Menurun
1,6 (2010)
Menurun
3,5% (2000)
5,00 % (2010)
8.332,7
metrik ton
BPO (1992)
0 CFC, Halon,
CTC, TCA, me-til
bromida
6.689,21 metrik ton HCFC
(2010)
0 CFCs
dengan
mengurangi
HCFCs
Kementerian
Lingkungan
Hidup
66,08%
(1998)
98,86 %
(2011)
Tidak
melebihi
batas
Kementerian
Kelautan &
Perikanan
26,40%
(1990)
27,54%
(2010)
Meningkat
0,14%
(1990)
*
4,97%
(2011)**
Meningkat
Kementerian
Kehutanan
*
Kementerian
Kehutanan
**
Kementerian
Kelautan &
Perikanan
Pada laporan MDGs 2010, acuan dasar dan data terbaru dari indikator jumlah emisi karbon dioksida merupakan data
sementara, yaitu acuan dasar 1.416.074 Gg CO2e (2000) dan data terbarunya 1.711.626 Gg CO2e (2008). Pada laporan
MDGs 2011 ini, acuan dasar yang paling baru adalah 1.377.983 Gg CO2e (2000) dan data terbarunya adalah 1.791.372
GgCO2e (2005).
Pada tahun 1992 BPO meliputi CFC, Halon, CTC, TCA, metil bromida. Target 2015: mengurangi konsumsi HCFC hingga
10% dari acuan dasar (tingkat konsumsi 2009-2010)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 86
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN
Kelestarian lingkungan hidup merupakan prasyarat utama bagi kesejahteraan dan keberlangsungan
kehidupan manusia. Kesejahteraan manusia dipenuhi melalui pembangunan, namun pembangunan
itu harus dilaksanakan dengan tidak merusak lingkungan. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan dapat mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan
yang dapat berdampak pada menurunnya kapasitas pemenuhan kebutuhan manusia untuk
kesejahteraan. Untuk menjaga keberlanjutan kesejahteraan manusia, diperlukan upaya
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang
dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan tiga pilar pembangunan (sosial, ekonomi, dan
lingkungan).
Dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan berbagai
kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang
selaras dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Melalui kebijakan tersebut diharapkan
pembangunan yang dilaksanakan pada saat ini tetap dapat memberikan manfaat bagi generasi
mendatang. Untuk itu, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah diarusutamakan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004-2009 dan 2010-2014. Selain itu, upaya pengembangan kapasitas sumber
daya manusia untuk pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik juga terus diupayakan. Salah
satunya melalui pendidikan lingkungan untuk generasi muda melalui Pendidikan untuk
Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development).
Keberhasilan dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan
nasional antara lain ditunjukkan oleh indikator-indikator seperti luas kawasan yang masih tertutup
pepohonan, intensitas penangkapan ikan, emisi karbon dioksida, pemakaian energi dan bahan
perusak ozon. Luas kawasan yang masih tertutup pepohonan diindikasikan oleh rasio luas kawasan
tersebut terhadap luas daratan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara.
Pemakaian energi diindikasikan oleh jumlah konsumsi energi primer per kapita, intensitas energi,
elastisitas energi, dan bauran energi untuk energi terbarukan.
75%
59,97%
48,97%
50%
49,98%
52,43%
52,52%
25%
0%
1990
2010
| 87
Selain berbagai upaya tersebut telah dilakukan pula pengetatan standar gas buang dan berbagai
upaya penyadaran para pemangku kepentingan dan masyarakat terhadap pentingnya mengurangi
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) utamanya karbon dioksida. Upaya-upaya tersebut telah berhasil
menurunkan intensitas pemakaian energi secara bertahap. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya
rasio pemakaian energi terhadap PDB dari 5,28 SBM per US$ 1.000 PDB pada tahun 1990 menjadi
4,61 SBM per US$ 1.000 pada tahun 2010. Walaupun Indonesia telah berhasil meningkatkan efisiensi
pemakaian energi dalam pembangunan, namun jumlah pemakaian energi primer per kapita ternyata
telah meningkat hampir dua kali lipat. Konsumsi energi primer tersebut meningkat pesat dari 2,64
BOE per kapita pada tahun 1991 menjadi 4,95 BOE pada tahun 2010.
Hasil inventarisasi emisi GRK menunjukkan peningkatan emisi dari 1.377.983 Gg CO2e pada tahun
2000, menjadi 1.791.372 GgCO2e di tahun 2005. Sementara itu, dengan tanpa memasukkan emisi
dari sektor kehutanan (Land use, land use change and forestry LULUCF), total emisi GRK dari tiga
jenis GRK utama (CO2, CH4, N2O) pada tahun 2000 telah mencapai 556.728,78 Gg CO2e. Emisi GRK
terdistribusi tidak merata antara ketiga jenis GRK utama. Emisi CO2 sebesar 1.112.878,82 Gg,
mewakili 80,80 persen emisi GRK nasional; emisi metana (CH4) sebesar 236.617,97 Gg (CO2e) atau
17,20 persen, dan emisi dinitro oksida (N2O) sebesar 28.341,02 Gg (CO2e) atau 2,00 persen. Sektor
pengemisi GRK utama adalah alih guna lahan dan kehutanan, diikuti oleh energi, emisi dari
kebakaran gambut, limbah, pertanian dan industri. Upaya penurunan emisi GRK ini terus diupayakan
di tahun-tahun mendatang dengan pelaksanaan pembangunan rendah karbon berdasarkan Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK) yang telah ditetapkan berdasarkan Perpres No. 61
Tahun 2011.
Tabel 7.1 Ringkasan emisi GRK nasional tahun 2000 (dalam Gg CO2e)
CO2
Energy
Industrial Process
Agriculture
LUCF
Waste
Total
CH4
N2O
PFC
247.522,25
30.174,69
3.240,64
40.342,41
2.422,73
133,22
2.178,30
50.800,18
821.173,35
56,35
1.662,49
1.112.878,82
NO
Total
280.937,58
145,15
43.043,52
22.441,25
NO
75.419,73
24,47
NO
821.254,17
153.164,02
2.501,45
NO
236.617,97
28.341,02
145,15
157.327,96
1.377.982,95
Sumber: Indonesia Second National Communication under the UNFCCC (KLH, 2010)
Tabel 7.2 Ringkasan emisi GRK tahun 2000-2005 untuk semua sector (dalam Gg CO2e)
Sumber
Energy
2000
280.937,58
2001
306.774,25
2002
327.910,62
2003
333.950,21
2004
372.123,28
2005
369.799,88
Industrial Process
43.043,52
49.810,15
43.716,26
47.901,63
47.985,20
48.733,38
Agriculture
75.419,73
77.500,80
77.029,94
79.828,80
77.862,54
80.179,31
LUCF
649.254,17
560.546,00
1.287.494,79
345.489,33
617.423,23
674.828,00
Peat Fire
172.000,00
194.000,00
678.000,00
246.000,00
440.000,00
451.000,00
Waste
157.327,96
160.817,76
162.800,37
164.073,89
165.768,82
166.831,32
1.791.371,89
665.543,89
| 88
Konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) diatur dalam kesepakatan internasional melalui Konvensi Wina
dan Protokol Montreal yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada Juni 1992. Indonesia
diklasifikasikan sebagai Article-5 pada Protokol Montreal berdasarkan perhitungan Konsumsi BPO
hanya 0,3 kg per kapita. Sebagai Negara Article-5, Indonesia memiliki kewajiban menghapuskan
penggunaan BPO sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh Protokol Montreal. Indonesia telah
berhasil memenuhi komitmen untuk menghapus impor beberapa BPO, yaitu Chlorofluorocarbons
(CFCs), Halon, Carbon tetrachloride (CTC), Methyl chloroform (TCA), Methyl bromide (untuk
nonkarantina dan pra-pengapalan) pada akhir 2007, atau dua tahun lebih awal dari jadwal
penghapusan negara Article-5.
Negara pihak Protokol Montreal melalui sidang Negara Pihak ke-19 sepakat untuk mempercepat
jadwal penghapusan konsumsi Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) yang merupakan bahan alternatif
pengganti CFCs sesuai dengan keputusan XIX/6. Negara Article-5 memiliki kewajiban untuk
memenuhi target pembekuan pada tahun 2013 yaitu kembali ke angka baseline. Angka baseline
merupakan rata-rata konsumsi tahun 2009 dan 2010, diikuti dengan pengurangan konsumsi HCFCs
10,00 persen pada tahun 2015, pengurangan 35,00 persen pada tahun 2020, pengurangan 67,50
persen pada tahun 2025 dan penghapusan konsumsi 97,50 persen pada tahun 2030 serta
diperbolehkan untuk mengkonsumsi HCFCs 2,50 persen jika diperlukan untuk kegiatan servis
peralatan yang masih menggunakan HCFCs sampai dengan tahun 2040.
Dari sisi lain, dalam kerangka menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada
pembangunan nasional, proporsi tangkapan ikan harus dipertahankan untuk berada dalam batasan
biologis yang aman. Walaupun proporsi tersebut mengalami kenaikan, namun masih dapat
dikendalikan untuk tidak melebihi 100 persen dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total
Allowable Catch/TAC). Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sumber daya perikanan
tangkap tahun 2011 diperkirakan 6,4 juta ton per tahun, sedangkan potensi yang dapat
dimanfaatkan (Total Allowable Catch/jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB)) adalah 80 persen
dari MSY atau sebesar 5,12 juta ton. Proporsi tangkapan ikan tersebut meningkat dari 66,08 persen
pada tahun 1992 menjadi 98,86 persen pada tahun 2011.
Dalam pengelolaan sumber daya ikan, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 11 Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP). Walaupun secara total produksi perikanan tidak melampaui TAC, ada
beberapa WPP telah mengalami over exploitation, sehingga prinsip kehati-hatian tetap akan menjadi
pedoman dalam setiap pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya di laut.
Pemastian kelestarian lingkungan hidup juga harus dilakukan dengan terus meningkatkan rasio
kawasan lindung baik di darat maupun di perairan laut. Hal ini dilakukan untuk selain melindungi
kawasan dari perubahan penggunaan ke arah eksploitasi namun juga untuk melestarikan fungsi
ekosistem kawasan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kelestarian lingkungan hidup
di darat diindikasikan oleh rasio luas kawasan hutan lindung terhadap total luas kawasan hutan
untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, sedangkan di laut diindikasikan oleh rasio
kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial.
Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup telah
menunjukkan hasil yang nyata. Di tengah gempuran upaya untuk mengubah hutan lindung menjadi
kawasan yang lebih produktif untuk kepentingan saat ini, rasio luas kawasan hutan lindung terhadap
total luas kawasan hutan telah meningkat. Rasio tersebut meningkat dari 26,40 persen pada tahun
1990 menjadi 27,54 persen pada tahun 2010. Angka 27,54 persen tersebut adalah rasio luas
kawasan lindung terhadap total luas daratan, bukan terhadap total luas kawasan hutan
| 89
Sementara itu, rasio kawasan konservasi/lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial juga
meningkat dengan cepat. Rasio tersebut yang semula 0,14 persen pada tahun 1990 meningkat
menjadi 4,97 persen pada tahun 2011 atau menjadi seluas 15,41 juta hektar. Tabel luasan kawasan
konservasi perairan dapat dilihat dalam tabel 7.3. Peningkatan kawasan hutan lindung dan kawasan
konservasi perairan ini merupakan bentuk komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk mendukung
MDGs dan pembangunan berkelanjutan.
Tabel 7.3. Kawasan Konservasi Perairan Tahun 2011
No
A
Kawasan Konservasi
Jumlah Kawasan
32
4.694.947,55
4.043.541,30
14
491.248,00
5.678,25
154.480,00
71
10.720.117,91
3.521.130,01
Suaka Perairan
453,23
445.630,00
1.541.040,20
2.085,90
56
5.209.778,57
103
15.415.065,46
Luas (Ha)
Pemerintah Daerah
Jumlah Total
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
| 90
Kotak 7.1.
Indonesia HCFC Phase-Out Management Plan (HPMP)
Konvensi Wina dan Protokol Montreal merupakan kesepakatan internasional yang mengatur
konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO). Setelah Negara Pihak berhasil menghapuskan CFCs,
penggunaan CFCs digantikan dengan bahan kimia Hydrocholorfluorocarbons (HCFCs). Salah satu
BPO yang diatur produksi dan konsumsinya saat ini adalah HCFCs karena bahan kimia ini selain
memiliki dampak merusak lapisan ozon juga berkontribusi terhadap pemanasan global. Proposal
HCFC Phase-out Management Plan Stage-1 Indonesia telah disetujui pada pertemuan Executive
Committee for the Implementation of the Montreal Protocol yang ke 64 bulan Juli 2011. Dalam
proposal tersebut telah disepakati strategi penghapusan HCFCs pada sektor Air Conditioning,
refrigerasi, dan foam untuk tahap pertama tahun 2011-2018. Jenis HCFC yang menjadi prioritas
penghapusan di Indonesia adalah HCFC-22 dan HCFC-141b.
Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan upaya yang signifikan untuk menekan lajunya
pertumbuhan konsumsi HCFCs yang dapat mendukung pencapaian target penurunan emisi gas
rumah kaca sebesar 26,00 persen dari level business as usual pada tahun 2020. Berbagai upaya
yaitu menetapkan regulasi dan kebijakan dengan interaksi reguler dengan kementerian terkait,
perwakilan industri, dan lembaga pelaksana untuk pengawasan dan pengendalian jumlah BPO
yang masuk ke Indonesia dapat diimplementasikan dengan menetapkan kuota impor BPO.
Indonesia telah mengatur kuota impor bahan perusak ozon jenis CFCs, yaitu dengan ketentuan
Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/M-DAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan
Perusak Lapisan Ozon. Dengan adanya target baru yaitu penghapusan konsumsi HCFCs pada tahun
2015, Pemerintah Indonesia kemudian memperbaiki ketentuan yang ada untuk dapat
mengendalikan impor HCFCs ke Indonesia yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Menteri
Perdagangan No. 03/M-DAG/PER/1/2012 dan telah diimplementasikan mulai 15 Januari 2012.
Perubahan mendasar pada peraturan menteri perdagangan ini adalah ditetapkannya Harmonised
System Code (HS Code) yang lebih rinci untuk bahan perusak ozon kategori HCFC, sehingga pada
tahun 2012 masuknya HCFC melalui impor dapat dipantau dan diawasi dengan lebih baik untuk
meminimalkan perdagangan ilegal dan melakukan pelatihan sebagai upaya peningkatan kapasitas
petugas bea cukai.
Pengaturan kuota merupakan salah satu cara untuk mencapai target penghapusan BPO secara
bertahap. Dalam upaya penghapusan HCFC ini, Indonesia juga akan melakukan alih teknologi HCFC
menjadi non-HCFC dengan bantuan dana hibah dari Multilateral Fund for the Implementation of
the Montreal Protocol (MLF) untuk memastikan pencapaian target penghapusan BPO yang telah
ditetapkan oleh Protocol Montreal. Selain itu, langkah yang dilakukan juga mencakup beberapa
kegiatan penyadaran masyarakat dan kampanye untuk mempromosikan perlindungan lapisan ozon
ditingkat konsumen, pemerintah daerah dan insitusi pemerintah lainnya yang terkait. Strategi
penghapusan HCFCs juga perlu memperhatikan upaya peningkatan efisiensi penggunaan energi,
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pada akhirnya memiliki kontribusi kepada Ekonomi
Hijau.
| 91
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN
Dalam rangka meningkatkan rasio luas kawasan tertutup pepohonan dan rasio luas kawasan lindung,
Pemerintah Indonesia telah melakukan kegiatan prioritas rehabilitasi hutan dan lahan kritis,
termasuk hutan mangrove, pantai, gambut dan rawa pada Daerah Aliran Sungai prioritas di seluruh
Indonesia dengan target pada periode 2010-2014 seluas 2,5 juta hektar. Selain itu, dilakukan pula
berbagai upaya perbaikan pengelolaan kawasan hutan di tingkat tapak berupa percepatan
penyelesaian tata batas kawasan hutan dan percepatan beroperasinya Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Lebih lanjut, berbagai upaya penurunan jumlah titik api (hotspot) dan luas kawasan hutan yang
terbakar terus dilakukan untuk menekan laju kebakaran hutan.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan bauran energi untuk energi terbarukan yang bersumber
dari panas bumi, upaya penting yang dilakukan adalah melakukan nota kesepahaman bersama
Kementerian Kehutanan dengan tujuan mempercepat proses perijinan pengusahaan panas bumi di
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, serta mempersiapkan langkah-langkah agar
kegiatan panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi dengan tetap
mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi. Selain itu, juga dilakukan upaya revisi harga
pengusahaan panas bumi melalui penyempurnaan Permen ESDM No. 2 Tahun 2011 untuk
penerapan feed-in tariff dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber energi untuk pembangkit
listrik yang ada di suatu daerah dan daya dukung lingkungannya.
Angka intensitas dan elastisitas energi menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan energi. Semakin
kecil intensitas dan elastisitas energi maka semakin efisien penggunaan energi yang ada. Untuk
mencapai penggunaan energi yang semakin efisien, upaya yang dilakukan adalah melalui konservasi
energi dengan menerapkan penghematan energi dan audit energi. Upaya-upaya tersebut dilakukan
melalui: (i) peningkatan kesadaran publik; (ii) bimbingan teknis penghematan energi; (iii)
pelaksanaan program kemitraan konservasi energi melalui layanan audit energi kepada industri dan
bangunan; (iv) penerapan manajer energi menjadi standar kompetensi kerja nasional; (v) pemberian
labelisasi tanda tingkat hemat energi; (vi) pemantauan pelaksanaan Inpres No. 13 Tahun 2011; dan
(vii) penerapan SNI konservasi energi di bidang bangunan gedung.
Pemerintah Indonesia menempatkan perhatian yang sangat tinggi terhadap isu perubahan iklim.
Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada bulan September 2009, mencetuskan komitmen
target sukarela Indonesia untuk menurunkan emisi GRK, beragam persiapan terus bergulir, termasuk
penyiapan instrumen regulasi sebagai infrastruktur kebijakan dalam pencapaian target tersebut.
Presiden telah menerbitkan Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dalam Perpres tersebut, diamanatkan pula kepada Pemerintah
Daerah Provinsi untuk menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK)
sebagai kontribusi daerah dalam menurunkan emisi GRK dan memberikan arah pembangunan
rendah karbon di daerah. Untuk itu, telah diterbitkan Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang ditujukan untuk memberikan panduan kepada
pemerintah daerah dalam menyusun rencana aksi daerah pada 5 (lima) sektor, yaitu kehutanan dan
lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah.
Selain itu, sejalan dengan Perpres No. 61 Tahun 2011 mengenai RAN-GRK, Presiden juga telah
menerbitkan Perpres tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca melalui Perpres No. 71
Tahun 2011. Melalui Perpres ini maka Kementerian/Lembaga terkait, Gubernur, dan
Bupati/Walikota ditugaskan untuk menyelenggarakan inventarisasi GRK di lingkup atau wilayahnya
masing-masing. Kedua Perpres tersebut sangat penting dalam mewujudkan target sukarela
Indonesia untuk menurunkan emisi 26,00 persen di bawah tingkat business as usual pada tahun
2020, dengan memenuhi prinsip yang diakui secara internasional, yaitu measurable, reportable dan
verifiable (MRV).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 92
Dalam rangka kegiatan perlindungan lapisan ozon, pemerintah Indonesia memiliki strategi
pelaksanaan penghapusan penggunaan BPO yaitu:
(i) Pengembangan regulasi dan kebijakan, meliputi:
a. Penetapan sistem kuota impor HCFC untuk pengendalian impor HCFC oleh ImportirTerdaftar
dan Importir Produsen BPO;
b. Regulasi pelarangan impor barang yang mengandung HCFC ;
c. Regulasi pelarangan penggunaan HCFC pada industri manufaktur;
d. Pengawasan penggunaan dan impor BPO untuk meminimalkan perdagangan ilegal.
(ii) Melakukan kegiatan penghapusan BPO dengan bantuan dana hibah dari Multilateral Fund for
the Implementation of the Montreal Protocol, meliputi:
a. Pelaksanaan alih teknologiHCFC menjadi non-HCFC pada industri manufaktur sektor Air
Conditioning (AC), refrigerasi dan foam;
b. Pelaksanaan regulasi pelarangan impor bahan perusak ozon jenis CFCs, CTC, TCA, Methyl
bromide (non karantina dan pra-pengapalan) sejak akhir tahun 2007;
c. Pelaksanaan pelarangan impor barang yang mengandung CFCs dan Halon ke Indonesia sejak
tahun 1998;
d. Pelaksanaan Sertifikasi teknisi dan kompetensi pelaksanaan retrofit dan recycle pada sistem
pendingin;
e. Peningkatan efektifitas penggunaan fasilitas destruksi BPO, daur ulang bahan pendingin dan
pengelolaan Halon; serta
f. Melakukan pengawasan dan peredaran penggunaan Methyl bromide untuk keperluan
karantina dan pra-pengapalan.
(iii) Peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, meliputi:
a. Melakukan pelatihan, penyebaran informasi dan interaksi regularterkait program
perlindungan lapisan ozon kepada pemerintah daerah, kementerian/terkait,
industripengguna, konsumen dan masyarakat;
b. Melakukan workshop alih teknologi pengganti BPO kepada pada industri pengguna;
c. Mempromosikan penggunaan barang, bahan non BPO dan teknologi ozone-friendly kepada
pemerintah daerah, kementerian/terkait, industri pengguna, konsumen dan masyarakat.
Pada tahun 2011 pemerintah Indonesia telah melaksanakan serangkaian kegiatan dalam rangka
peningkatan kualitas sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain Penebaran Benih Ikan di Laut
Teritorial dan Perairan Kepulauan melalui kegiatan One Man One Thousand Fries yang
dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, dilakukan Pembangunan
Rumah Ikan yang merupakan bagian dari strategi pemulihan sumberdaya ikan dan pengkayaan
stock.
Kawasan Konservasi Perairan direncanakan akan diperluas menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020.
Indonesia juga akan bekerja sama dengan 6 negara yang tergabung dalam Coral Triangle
Initiative/CTI, yaitu : Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste, sebagai
sebuah upaya untuk melestarikan kekayaan sumber daya laut di kawasan ini. Upaya-upaya untuk
meningkatkan kelestarian lingkungan pesisir dan laut terus dilakukan baik melalui kegiatan
rehabilitasi maupun konservasi untuk habitat dan peningkatan status dan upaya perlindungan untuk
spesies atau jenis biota perairan. Peningkatan luasan kawasan konservasi tersebut juga dibarengi
dengan upaya menuju pengelolaan yang efektif. Pada tahun 2011 telah disusun rancangan alat
penilaian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan Indonesia.
| 93
TARGET 7C
Indikator
Target 7C:
Saat ini
Target
MDGs
2015
Status
Sumber
Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air
minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015
7.8
37,73%
(1993)
42,76%
(2011)
68,87%
7.8a
Perkotaan
50,58%
(1993)
40,52%
(2011)
75,29%
7.8b
Perdesaan
31,61%
(1993)
44,96%
(2011)
65,81%
7.9
24,81%
(1993)
55,60 %
(2011)
62,41%
7.9a
Perkotaan
53,64%
(1993)
72,54 %
(2011)
76,82%
7.9b
Perdesaan
11,10%
(1993)
38,97 %
(2011)
55,55%
BPS, Susenas
44,2
62,4
55,6
35,0
38,1
35,6
35,6
32,7
34,3
28,9
32,6
25,2
27,5
27,5
21,9
42,8
44,2
47,7
46,5
37,5
24,8
48,3
47,8
47,6
48,8
47,7
48,3
48,7
42,2
42,0
38,0
37,7
37,7
25
42,7
41,3
50
48,6
51,2
55,5
75
2015
2013
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
| 94
Kecenderungan penurunan ini disebabkan karena meningkatnya penggunaan air kemasan dan air isi
ulang sebagai sumber air minum yaitu dari 10,35 persen pada tahun 2009 menjadi 19,37 persen
pada tahun 2010 (BPS, 2011). Sementara itu, air kemasan dan air isi ulang tidak termasuk sebagai
sumber air minum layak. Peningkatan penggunaan air kemasan dan air isi ulang menjadi salah satu
penyebab turunnya akses terhadap sumber air minum layak pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan
pendataan yang dilakukan saat ini hanya memotret akses terhadap sumber air yang dipergunakan
untuk minum belum memperhatikan kondisi ketika rumah tangga memiliki lebih dari satu sumber air
yang layak untuk diminum. Rumah tangga di Indonesia, khususnya di perkotaan, menggunakan air
kemasan dan air isi ulang sebagai sumber air minum karena mudah didapatkan, praktis dan tidak
perlu dimasak. Sementara itu, untuk keperluan masak dan mandi, cuci, kakus (MCK), umumnya
masyarakat menggunakan air yang bersumber dari ledeng (perpipaan), sumur bor/pompa, atau
sumur dangkal. Hal ini menyebabkan belum utuhnya potret yang dihasilkan dalam mengukur upaya
yang telah dilakukan dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber air minum layak
terutama melalui penyediaan air ledeng (perpipaan) dan sumber air minum terlindungi lainnya.
Penyediaan infrastruktur air minum yang belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk
dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, baik karena faktor urbanisasi maupun peningkatan
konsumsi juga menjadi penyebab turunnya akses terhadap sumber air minum layak. Selain itu,
permasalahan pada tingkat operator air minum yang berkontribusi terhadap penurunan akses
adalah minimnya biaya operasional dan pemeliharaan, rendahnya tarif air minum, terbatasnya SDM
yang kompeten dan pengelolaan yang kurang efisien. Di perdesaan, peningkatan akses terhadap
sumber air minum layak utamanya dilakukan melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS)
Berdasarkan olahan data BPS oleh Kementerian Pekerjaan Umum, proporsi rumah tangga dengan
akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak pada tahun 2011 adalah 55,04 persen. Angka
tersebut merupakan kondisi yang telah memperhitungkan (i) rumah tangga yang memiliki lebih dari
satu sumber air minum yaitu kombinasi antara rumah tangga yang mempergunakan air kemasan, air
isi ulang dengan ledeng meteran, sumur bor/pompa dan/atau sumur terlindung dan (ii) jarak aman
antara sumur bor/pompa dan sumur terlindung dengan tangki septik yaitu lebih atau sama dengan
10 meter. Dari hasil analisa tersebut, diketahui terdapat 12,28 persen rumah tangga yang memiliki
alternatif sumber air minum selain air kemasan dan air isi ulang. Dengan demikian, akses
berkelanjutan terhadap sumber air minum layak 42,76 persen dapat dikoreksi capaiannya pada
tahun 2011 menjadi 55,04 persen.
Dengan menggunakan data dasar akses terhadap sumber air minum layak tahun 2009 (47,71 persen)
dan angka koreksi tahun 2011 (55,04 persen), maka terdapat penambahan akses terhadap sumber
air minum layak 7,33 persen dalam periode tahun 2010 dan 2011.
41,27
31,88
30,69
48,38
47,36
47,34
46,68
44,67
44,33
43,81
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Gorontalo
Sumatera Barat
Lampung
Kalimantan Barat
Papua
Kalimantan Tengah
23,8217,82
8,73
39,22
Bengkulu
24,31
18,57
39,23
33,72
48,92
56,61
74,16
73,36
68,12
72,38
77,86
74,43
67,23
64,59
58,08
72,43
70,7
75,01
75,8
75,16
72,59
89,47
84,09
81,94
84,41
100
26,84
35,33
32,2
43,4
Sulawesi Barat
Papua Barat
29,89
34,63
39,93
60,84
71,5
72,54
72,78
72,51
81,3
82,1
82,37
83,12
80,62
89,35
41,61
40,52
37,35
38,5
50,47
50,44
50,11
49,86
46,18
45,17
44,32
43,15
42,76
42,31
41,73
40,72
40,45
40,39
Kalimantan Barat
Maluku
Bali
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Sumatera Selatan
Jambi
Nusa Tenggara Barat
INDONESIA
Sulawesi Selatan
Sumatera Utara
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Papua Barat
32,29
32,19
34,23
33,72
Kalimantan Tengah
Jawa Barat
23,64
29,3
28,65
24,29
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
20,86
22,12 21,56
23,31
26,28
Papua
Banten
23,53
26,85
Bengkulu
40,2
41,54
40,19
34,47
35,64
34,6
45,76
38,16
36,47
30,62
46,2
41,87
44,94
42,54
37,15
44,64
24,29
22,39
18,31
33,18
25,92
23,86
30,24
Sulawesi Barat
Bangka Belitung
Aceh
34,27
30,05
34,44
Sumatera Barat
25,89
Kalimantan Timur
37,44
Riau
30,48
35,81
40,37
38,82
44,96
45,39
46,76
41,15
46,61
49,07
42,18
38,04
37,05
37,82
Lampung
38,2
43,31
51,22
Jawa Timur
Sulawesi Utara
42,81
53,19
75,42
58,05
61,33
66,5
64,73
66,74
57,52
62
56,84
55,96
49,71
40,8
53,69
Sulawesi Tenggara
40,13
46,81
46,11
57,32
Jawa Tengah
52,86
56,93
56,72
62,66
DI Yogyakarta
20
34,35
40,13
32,52
40,01
48,39
Aceh
40,45
37,27
50,1
50,65
39,4
37,48
39,42
Sulawesi Tengah
50,75
Jambi
52,5
Jawa Barat
Maluku
52,53
Maluku Utara
51,43
53,29
Riau
Sulawesi Tenggara
38,92
54,21
Jawa Timur
35,42
38,97
INDONESIA 55,6
41,64
56,47
29,09
Sumatera Utara
Banten
49,36
64,15
Kalimantan Timur
54,62
48,63
66,56
Sulawesi Utara
52,91
50
59,42
67,23
Bangka Belitung
25
36,22
75
62,02
67,64
Kepulauan Riau
66,09
90,73
40
Jawa Tengah
73,01
71,45
60
Sulawesi Selatan
82,15
DI Yogyakarta
83,26
Bali
| 95
80
Perkotaan + perdesaan
Perkotaan
Perdesaan
Gambar 7.3. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak,
perkotaan, perdesaan, serta perkotaan dan perdesaan, Tahun 2011
Sumber: BPS, Susenas, 2011
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum yang layak
antarprovinsi pada tahun 2011 memiliki disparitas dari 20,86 sampai 62,66 persen (Gambar 7.3).
Sebanyak 13 dari 33 provinsi memiliki proporsi di atas rerata nasional dan provinsi dengan proporsi
tertinggi adalah DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara, sedangkan provinsi dengan
proporsi terendah adalah Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, dan Papua.
Perkotaan + perdesaan
Perkotaan
Perdesaan
Gambar 7.4. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar
layak, perkotaan, perdesaan, serta perkotaan dan perdesaan), Tahun 2011
Sumber : BPS, Susenas 2011
| 96
Akses rumah tangga terhadap fasilitas sanitasi dasar layak secara nasional terus meningkat, tapi
secara umum masih terdapat variasi antar provinsi. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap
fasilitas sanitasi dasar layak beragam dari 22,97 persen hingga 84,57 persen, dengan rerata nasional
55,60 persen pada tahun 2011 (Gambar 7.4). Peningkatan terjadi jauh lebih tinggi di perdesaan
dibandingkan perkotaan. Pada tahun 2011, proporsi rumah tangga di perkotaan yang memiliki akses
terhadap fasilitas sanitasi dasar layak meningkat dari 53,64 persen pada tahun 2009 menjadi 72,54
persen, sedangkan di perdesaan meningkat dari 11,10 persen pada tahun 2009 menjadi 38,97
persen.
Pada Gambar 7.4, terlihat sebanyak 10 dari 33 provinsi memiliki proporsi rumah tangga dengan
akses terhadap fasilitas sanitasi dasar layak di atas rerata nasional dan provinsi dengan proporsi
tertinggi adalah Bali, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau. Sedangkan provinsi dengan proporsi
terendah adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Kalimantan Tengah.
| 97
Kotak 7.2
Terobosan Pendanaan bagi Penyediaan Air Minum
Saat ini telah dikembangkan beberapa opsi pendanaan diluar mekanisme APBN dalam rangka
mendukung penyediaan air minum bagi masyarakat khususnya MBR, yaitu :
1. Program Hibah Air Minum: Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat yang paling rentan
dengan tidak adanya akses air minum adalah MBR. Hal ini terutama disebabkan karena
keterbatasan keuangan untuk membayar biaya Sambungan Rumah (SR) baru yang relatif
mahal. Mengingat hal tersebut, Pemerintah mengupayakan berbagai program subsidi air
minum dalam rangka meringankan biaya pemasangan SR bagi MBR yang dikenal dengan
Program Hibah Air Minum. Program ini diberikan sebagai kompensasi atas dasar kinerja
(output based aid) Pemerintah Daerah dalam menyediakan SR kepada MBR dengan nilai
penggantian yang diberikan sebesar Rp.2-3 juta per SR. Pemasangan SR tersebut dilakukan
oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan biaya dari Pemerintah Daerah melalui
mekanisme penyertaan modal. Penggantian dana kepada Pemerintah Daerah kemudian
diberikan setelah SR berfungsi baik selama 2 (dua) bulan yang dilakukan melalui verifikasi
teknis dan rekening pembayaran air. Program ini telah meningkatkan jumlah SR bagi MBR
sebanyak 77.000 SR dari kurun waktu 2010-2011 di 34 kabupaten/kota. Program ini akan
dilanjutkan hingga tahun 2014 dengan target subsidi kurang lebih 280.000 SR.
2. Pinjaman Perbankan bagi PDAM: Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2009 Tentang Pemberian
Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat merupakan kebijakan alternatif pendanaan
melalui lembaga perbankan nasional dalam rangka pengembangan SPAM. Jaminan Pemerintah
Pusat diberikan 70,00 persen dari jumlah pokok kredit investasi yang telah jatuh tempo kepada
Perbankan dan pemberian subsidi bunga oleh Pemerintah setinggi-tingginya 5 persen atas
bunga kredit investasi. PDAM yang dapat memanfaatkan fasilitas ini adalah PDAM yang tidak
memiliki tunggakan utang kepada Pemerintah dan memiliki kinerja sehat berdasarkan hasil
audit BPKP serta telah menerapkan full cost recovery tariff. Terdapat 5 Bank Nasional dengan
total alokasi kredit investasi Rp.4,22 Trilyun yang telah menandatangani Perjanjian Kerjasama
Pendanaan (PKP) dengan Kementerian PU, yaitu BRI, BNI, Bank Jabar Banten, Bank Mandiri
dan Bank Kalsel. Hingga saat ini terdapat 3 PDAM yang telah melakukan penandatangan
perjanjian kredit dengan Menteri Keuangan yaitu PDAM Kabupaten Bogor dengan BRI, PDAM
Kabupaten Ciamis dengan Bank Jabar dan PDAM Kabupaten Lombok Timur dengan BNI,
dengan total pinjaman Rp.50 Milyar.
3. Program Nasional-Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS):
PAMSIMAS bertujuan untuk meningkatkan akses layanan air minum dan sanitasi serta
meningkatkan praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat di perdesaaan atau
pinggiran kota (peri-urban) melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk memahami
permasalahan air minum dan sanitasi, menumbuhkan prakarsa dalam merencanakan,
melaksanakan, mengoperasikan dan memelihara sarana yang akan dibangun serta
kemampuan dalam melanjutkan dan memperluas layanan sarana air minum dan sanitasi
secara mandiri oleh masyarakat. PAMSIMAS dimulai sejak tahun 2008 dengan target sasaran
hingga tahun 2013 sebanyak 5.500 desa di 110 kabupaten/kota di 15 provinsi. Hingga tahun
2011 telah terjadi peningkatan terhadap akses air minum layak bagi 3,82 juta penduduk dan
terhadap akses sanitasi layak bagi 2,65 juta jiwa.
4. Corporate Social Rensponsibility (CSR): Pembiayaan lainnya yang saat ini juga tengah
dikembangkan adalah melalui Bina Usaha Swasta (BUS) yang saluran pembiayaannya dapat
dilakukan melalui program seperti CSR. Potensi CSR diharapkan dapat dimanfaatkan dengan
optimal dalam bentuk kerjasama kemitraan multi pihak dimana berbagai pihak berkomitmen
memberikan kontribusinya sesuai dengan peran dan kemampuannya untuk mencapai target
MDGs 2015. Pada 10 Februari 2012 lalu telah ditandatangani perjanjian pembangunan
prasarana dan sarana Bidang Cipta Karya melalui Kerjasama Kemitraan Multi Pihak di
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Balangan oleh para Bupati,
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 98
Presiden Direktur PT. Adaro Indonesia, Direktur Bina Program, Ditjen Cipta Karya- Kementerian
PU dan Ketua Umum Corporate Forum for Community Development (CFCD) dengan total dana
CSR bagi sektor air minum hingga tahun 2014 sebesar Rp. 21,3 Milyar. Dana tersebut
selanjutnya diusulkan untuk mendanai kegiatan potensial pembangunan air minum baik untuk
pembangunan SPAM-IKK, pembuatan menara sumur bor, pembangunan intake dan IPA di
PDAM, pemasangan SR dan pembangunan SPAM di desa rawan air dan desa tertinggal di KAT.
Kotak 7.3
Pelaksanaan STBM di Kabupaten Sumedang untuk mencapai target MDGs 7C
Dalam upaya pencapaian target RPJMN dan Renstra 2010 2014, Kementerian Kesehatan
meluncurkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sebagai kegiatan prioritas
nasional dalam upaya preventif dan promotif pengendalian penyakit berbasis lingkungan.
Kegiatan ini menjadi salah satu program yang mendukung pencapaian target MDGs sesuai
Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 dan dipantau secara periodik oleh UKP4.
Kabupaten Sumedang merupakan salah satu dari 221 Kabupaten/Kota di 31 provinsi yang
melaksanakan STBM tahun 2010-2014. Berdasarkan Peraturan Bupati No. 10 Tahun 2008 tentang
Forum Delegasi Musrenbang, Peraturan Bupati No. 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur
Budaya Sunda, dan Peraturan Bupati No. 30 Tahun 2010 tentang STBM, PNPM Perdesaan yang
bersifat open menu disinergikan dengan program 5 pilar STBM dalam rangka mencapai
target Sumedang Sehat 2013, yang salah satu implementasinya disebut Program Sauyunan
(Sasarengan Urang Guyubkeun Pangwangunan). Program yang dilaksanakan sejak tahun 2010
tersebut merupakan upaya untuk mengintegrasikan sistem pembangunan partisipatif ke dalam
sistem pembangunan daerah dan mendorong penyelarasan perencanaan teknokratik, politis
dengan partisipatif yang dilakukan melalui dua agenda besar yaitu peningkatan kapasitas
masyarakat dan penguatan pemerintah lokal dalam penyelenggaraan pembangunan berbasis
pemberdayaan masyarakat. Dari pagu indikatif SKPD per program yang biasanya hanya berkisar
Rp.5 juta/tahun untuk monitoring kualitas air sederhana di 32 Puskesmas, naik menjadi Rp.28
juta, dan terus meningkat menjadi sekitar Rp.200 juta sampai Rp 300 juta, hingga pada tahun
2012 mencapai Rp 1,8 M. Anggaran tersebut dialokasikan untuk percepatan STBM bagi 175
desa/kelurahan yang belum mencapai Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) serta penguatan
implementasi 4 pilar STBM lainnya di 104 desa yang telah Stop BABs di tahun 2011. Pelaksanaan
STBM juga didukung dengan dana BOK Puskesmas dimana STBM telah dijadikan sebagai salah
satu indikator capaian pengembangan manajemen faktor resiko/klinik sanitasi di Puskesmas yang
tertuang dalam Petunjuk Teknis BOK 2012. Saat ini dana BOK kurang lebih Rp.100 juta tersebar di
32 Puskesmas.
Pada tataran operasional, disyaratkan adanya perencanaan pembangunan mulai dari tingkat
desa/kelurahan (RPJM Desa dan RKP Desa) melalui Musrenbang hingga tingkat kecamatan dan
kabupaten. Dengan demikian, dibutuhkan fasilitasi efektif untuk memastikan pemerintah desa
membentuk peraturan desa, menetapkan APBDesa partisipatif dan pertanggungjawaban Kepala
Desa (LKPj Desa). Dalam memastikan hal tersebut, Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan (Pokja AMPL) sebagai lembaga ad-hoc pelaku pembangunan air minum dan sanitasi
berkoordinasi mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai pengawasan dan
pertanggungjawaban, sehingga tercapai optimalisasi manajemen pembangunan. Melalui STBM
yang menerapkan prinsip Comunity Led Total Sanitation (CLTS) masyarakat terus dipicu
kesadarannya untuk mau berubah perilakunya dari tidak sehat menjadi sehat. Selain itu,
pembenahan dan penguatan kelembagaan internal baik SDM maupun dukungan kelembagaan
lainnya seperti regulasi dan juga sistem (manajemen) juga terus dilakukan.
| 99
Foto 7.1. Berbagai kegiatan STBM dan penandatanganan Deklarasi Stop BABS oleh Bupati
Sumedang
Sumber: Kementerian Kesehatan
Dalam implementasi Pilar 1 (stop BABs), telah terdapat 104 desa dan 4 kecamatan pada tahun
2011 yang telah mencapai Stop BABS (SBS) atau Open Defecation Free (ODF). Selain bersinergi
dengan PNPM, dalam pelaksanaan Pilar 4, Kabupaten Sumedang juga melakukan pelatihan
Biogreen untuk komposting sampah organik di Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong dan
desa Cipaku Kecamatan Darmaraja.
Kotak 7.4
Upaya Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman
Permasalahan sanitasi permukiman di Indonesia masih terlihat dari masih rendahnya kualitas dan
tingkat pelayanan sanitasi - baik di perkotaan maupun di perdesaan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut diperlukan suatu terobosan di sektor sanitasi. Terobosan tersebut adalah
melalui suatu strategi dan program pembangunan yang komprehensif, terintegrasi, jangka
panjang, dan melibatkan berbagai pihak. Dalam rangka memperbaiki kualitas sanitasi
permukiman sekaligus mengejar ketertinggalan pembangunan di sektor sanitasi, Pemerintah
Indonesia melaksanakan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) melalui:
1. Advokasi dan kampanye ke seluruh stakeholder pembangunan sanitasi permukiman
2. Koordinasi dan sinergi antar instansi, stakeholder dan antar tingkatan pemerintah (pusat,
provinsi, kabupaten/kota)
3. Pembentukan regulasi pendukung pembangunan sanitasi permukiman
4. Pendampingan pelaksanaan di provinsi dan kabupaten/kota
5. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia stakeholder
6. Peningkatan kapasitas perencanaan, implementasi dan monitoring evaluasi pembangunan
sanitasi permukiman
7. Harmonisasi program pembangunan sanitasi permukiman
Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) diselenggarakan dengan 2 (dua)
tahapan kegiatan, yaitu:
1. Tahap Pertama yang utamanya merupakan penyiapan kebijakan program PPSP secara
keseluruhan, dan sekaligus untuk meraih dukungan dari berbagai pihaknya, seperti untuk
dukungan politis dan administratif, serta persiapan pendanaan dari berbagai sumber. Tahapan
ini dilaksanakan pada tahun 2009.
2. Tahap Kedua merupakan tahapan pelaksanaan program PPSP, yang meliputi kegiatan
persiapan dan pelaksanaan selama periode 2009-2014. Kegiatan ini meliputi:
Kegiatan Persiapan yang meliputi penyelenggaraan Lokarya Nasional dalam rangka
penjaringan kabupaten/kota peserta Program PPSP, Road Show di beberapa wilayah
(regional), penyiapan fasilitator, Lokakarya Pembentukan Pokja (Kelompok Kerja),
pengembangan kelembagaan dan peraturan.
Kegiatan Pelaksanaan yang meliputi penyusunan Strategi Sanitasi Kota/Kab (SSK),
penyusunan Memorandum Program, implementasi, pemantauan, pembimbingan, evaluasi
dan pembinaan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011
| 100
Program PPSP yang dilaksanakan dalam kurun waktu tahun 2010-2014 diharapkan dapat
menambah layanan jaringan air limbah terpusat sampai dengan 5 persen dari jumlah penduduk
perkotaan (5 juta penduduk, 16 kota) dan pembangunan Sanimas di 226 kota prioritas serta dapat
terlaksananya pelaksanaan praktek 3R untuk mengurangi timbulan sampah sebesar 20 persen dan
perbaikan manajemen pelayanan persampahan di 240 kota prioritas. Pelaksanaan Program PPSP
ini ditargetkan pada kota-kota metropolitan, besar, dan sedang; kota-kota yang merupakan
ibukota provinsi, kota-kota yang berstatus otonom, serta kawasan perkotaan di wilayah
kabupaten/kota yang kondisi sanitasinya rawan. Diharapkan pada akhir tahun 2014, 330
kabupaten/kota telah mempunyai Strategi Sanitasi dan 160 kabupaten/kota di antaranya telah
mulai melaksanakan pembangunan fisiknya.
Hingga kini, tercatat sejumlah 120 kabupaten/kota telah berhasil menyusun SSK nya selama tahun
2010-2011. Sementara pada tahun 2012 sejumlah 103 kabupaten/kota kini tengah menyusun SSK
dan sejumlah 181 kabupaten/kota lainnya kini tengah bersiap untuk mengikuti program PPSP
pada tahun 2013 nanti. Sejak tahun 2010, telah dilakukan pembangunan fisik di kabupaten/kota
dengan dana dari berbagai sumber. Dari data yang ada, hingga tahun 2012 telah terbangun
sejumlah 13 Instalasi Pengolah Air Limbah off-site skala kota, 66 lokasi Sanimas pada tahun 2011
dan 75 lokasi Sanimas diharapkan dapat terbangun pada tahun 2012.
Lewat PPSP ini kabupaten/kota telah berhasil meningkatkan peluangnya untuk mendapatkan
pendanaan sanitasi permukiman melalui APBN maupun APBD hingga sumber pendanaan lainnya
seperti dari donor, Corporate Social Resposibility (CSR) dan Dana Alokasi Khusus, dimana salah
satu produk PPSP yaitu Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK) telah menjadi satu prasyarat dalam
penilaian kelayakan untuk mendapatkan dana-dana tersebut. Adapun sumber-sumber pendanaan
dimaksud antara lain :
1. Program Hibah Sanitasi: sAIIG (Australia Indonesia Infra-Structure Grants for Sanitation) dan
Sanitation Hibah. sAIIG merupakan program hibah untuk kegiatan sektor air limbah dan
persampahan dengan didasarkan pada kinerja yang terukur (output-based) dari Pemerintah
Daerah untuk pekerjaan di Tahun 2012 hingga 2014. Lingkup kegiatannya adalah penerusan
hibah dari Pemerintah Australia melalui Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk
sektor air limbah dan persampahan.
Sanitation Hibah merupakan program hibah dengan fokus kepada pengembangan Sambungan
Rumah (SR) pelayanan air limbah sistem terpusat skala kota bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah. Program ini juga didasarkan pada kinerja yang terukur (output-based) dari Pemerintah
Daerah dengan nilai penggantian sebesar Rp 5 juta / SR. Penggantian dana kepada Pemerintah
Daerah kemudian diberikan setelah SR berfungsi baik selama 2 (dua) bulan yang dilakukan
melalui verifikasi teknis dan rekening pembayaran pelayanan sambungan air limbah.
2. Pinjaman Luar Negeri: Solusi pembiayaan lain bagi penyediaan infrastruktur sanitasi adalah
melalui pinjaman luar negeri. Alternatif ini ditujukan terutama untuk pengembangan
pengelolaan air limbah terpusat skala kota yang membutuhkan dana yang relatif besar.
Pinjaman luar negeri untuk kegiatan air limbah digunakan untuk kegiatan Metropolitan
Sanitation Management and Health Project (MSMHP) dan Denpasar Sewerage Development
Project (DSDP). Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan tersebut, dapat terbangun Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan jaringan perpipaan skala kota yang dapat melayani
kebutuhan pelayanan air limbah bagi penduduk perkotaan.
3. Corporate Social Rensponsibility (CSR): Pembiayaan lainnya yang saat ini juga tengah
dikembangkan adalah melalui Bina Usaha Swasta (BUS) yang saluran pembiayaannya dapat
dilakukan melalui program seperti CSR. Potensi CSR diharapkan dapat dimanfaatkan dengan
optimal dalam bentuk kerjasama kemitraan multi pihak dimana berbagai pihak berkomitmen
memberikan kontribusinya sesuai dengan peran dan kemampuannya untuk mencapai target
MDGs 2015.
Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011
| 101
4. Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK diselenggarakan dalam rangka memenuhi standar pelayanan
minimum di dalam penyediaan infrastruktur, DAK juga dialokasikan untuk pemenuhan targettarget MDGs, air minum dan sanitasi selain pembangunan infrastruktur jalan. Hal tersebut
sesuai dengan PP No. 14 Tahun 2009, dimana ada persyaratan atau sasaran minimum yang
harus di layani oleh pemerintah untuk mengoptimalkan pelayanan masyarakat, terutama di
bidang PU maupun permukiman. PPSP akan menjadi prasyarat untuk mendapatkan pendanaan
dari DAK. Kabupaten/kota yang tidak/belum mengikuti program Percepatan Pembangunan
Sanitasi Permukiman (PPSP) akan berkurang peluangnya dalam mendapatkan Dana Alokasi
Khusus (DAK) sanitasi.
| 102
Target 7D: Mencapai Peningkatan yang Signifikan Dalam Kehidupan Penduduk Miskin di
Permukiman Kumuh (Minimal 100 Juta) Pada Tahun 2020
Acuan
dasar
Indikator
Saat ini
Target
MDGs
Status
Sumber
Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di
permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020
7.10
20,75%
(1993)
12,57%
(2011)
6%
(2020)
BPS, Susenas
6,00
1)
Penurunan proporsi rumah tangga yang menempati hunian dan lingkungan tidak layak di perkotaan
akan sejalan dengan penurunan jumlah rumah tangga miskin. Namun demikian, dari sisi ekonomi,
peningkatan pendapatan rumah tangga miskin tidak akan serta merta mendorong mereka untuk
segera memperbaiki kondisi hunian yang ditempati mengingat sangat besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan luasan hunian yang ditempati. Rumah tangga miskin
akan lebih memprioritaskan peningkatkan pendapatan mereka untuk konsumsi lainnya seperti
makanan dan pakaian.
Untuk memperbaiki kondisi huniannya, rumah tangga miskin, khususnya di perkotaan, memerlukan
lompatan pendapatan yang besar dalam hidupnya. Pada sisi lainnya, peningkatan harga bahan
bangunan dan keterbatasan lahan di perkotaan turut mempersulit masyarakat miskin untuk
menempati hunian yang layak tanpa intervensi pemerintah.
Indikator yang digunakan untuk mengestimasi rumah tangga kumuh perkotaan adalah tidak adanya akses sumber air minum layak, tidak
adanya akses sanitasi dasar yang layak, luas minimal lantai hunian per kapita dan daya tahan material hunian.
Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011
| 103
30
25
20
15
10
5
Jawa Timur
D.I. Yogyakarta
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Lampung
Banten
Kepulauan Riau
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Kalimantan Timur
Ri a u
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Sumatera Utara
Indonesia
Aceh
Sulawesi Selatan
Kalimantan Tengah
Ba l i
Sulawesi Barat
Jawa Barat
Sulawesi Utara
Bangka Belitung
Jawa Tengah
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Bengkulu
Ja m b i
Nusa Tenggara Barat
Maluku
Papua
Nusa Tenggara Timur
DKI Jakarta
Papua Barat
Gambar 7.6. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan per propinsi 2011
Sumber : Susenas (BPS), 2011
| 104
Tabel 7.4. Capaian Pelaksanaan Program Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh
PROGRAM
P2KP / PNPM Mandiri
Perkotaan
TAHUN
PELAKSANAAN
1999 saat ini
Pada 33 Provinsi,
268 Kota/Kabupaten dan
10.923 Kelurahan/Desa
USSP
2005 2010
2000 2003
12 Kota
Pembangunan Rusunawa
A. Peningkatan kualitas
lingkungan (Infrastruktur)
PENCAPAIAN
Penerima Manfaat:
14.805.923 KK
B. Peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia dan
Kesehatan
Pada 32 Kota/Kabupaten
1353 Kelurahan
Co BILD
KOMPONEN KEGIATAN
C. Peningkatan aksesibilitas
terhadap kegiatan usaha
A. Peningkatan kualitas
lingkungan (Infrastruktur)
B. Peningkatan aksesibilitas
terhadap sumber daya
keuangan
C. Peningkatan kualitas hunian
D. Peningkatan akses
masyarakat terhadap
kepastian kepemilikan lahan
E. Pembangunan unit
Rusunawa (TB)
Penerima Manfaat:
1.226.817 KK
Luas: 7.608 Ha
Penerima Manfaat:
10.000 KK
Penerima Manfaat:
13.720 KK
F. Pembangunan PSD
penunjang Rusunawa
PLP2K-BK
2010 - 2011
D. Peningkatan Prasarana,
Penerima Manfaat:
Sarana dan utilitas umum
33.000 KK
Pada 20 Provinsi
(PSU) lingkungan
31 kota/kabupaten
Luas:
E. Peningkatan kualitas
33 lokasi
165 Ha
lingkungan
F. Peningkatan aksesibiltas
kegiatan perekonomian.
Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat, 2011
| 105
Kotak 7.5
Kontribusi PNPM Perkotaan dalam Pencapaian MDGs
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah dilakukan sejak
tahun 2007 menjadi salah satu cluster dari empat cluster strategi penanggulangan kemiskinan
untuk pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014. Untuk wilayah
perkotaan, pemerintah menetapkan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
sebagai PNPM Mandiri Perkotaan.
PNPM Mandiri Perkotaan, berbasis pendekatan pemberdayaan masyarakat, diarahkan untuk
mendukung upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian sasaran
Millennium Development Goals (MDGs) mengurangi penduduk miskin 50,00 persen di tahun 2015.
Sesuai prinsip Pendekatan Pemberdayaan, Melalui PNPM Mandiri Perkotaan, masyarakat
didorong untuk mampu merumuskan sendiri kebutuhan pembangunan wilayahnya melalui proses
perencanaan partisipatif. Masyarakat kemudian juga membentuk Organisasi Masyarakat, yang
secara generik disebut dengan Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM), yang
diharapkan menjadi motor penggerak masyarakat untuk membangun wilayahnya secara mandiri
dan berkelanjutan.
Dalam kurun 2007-2011, Dana BLM PNPM Mandiri Perkotaan yang disalurkan ke masyarakat
adalah sejumlah Rp 6,36 Trilyun. Dana tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan dan
rehabilitasi infrastruktur pemukiman telah dirasakan manfaatnya oleh hampir 11 juta KK, dengan
perincian sebagai berikut :
Tabel 7.5 Pembangunan dan Rehabilitasi Infrastruktur Permukiman
No
1
2
3
4
5
7
8
Jenis Kegiatan
Volume
Pemanfaat (KK)
Jalan
23.755.722 meter
8.678.900
Jembatan
220.439 meter
737.178
Perbaikan/Pembangunan
92.976 unit
215.467
Rumah Tidak Layak
MCK
64.377 unit
729.660
Air Bersih
A. Perpipaan
1.282.505 meter
199.125
B. Bangunan Air Bersih
27.755 unit
577.758
Irigasi
C. Saluran irigasi
179.372 meter
83.249
D. Bangunan irigasi
227 unit
8.888
Sarana kesehatan
5.182 unit
292.344
Sarana pendidikan
5.868 unit
97.470
Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum, 2011
| 106
Kotak 7.6
Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK)
Meluasnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh khususnya di perkotaan telah menimbulkan
banyak dampak antara lain bencana kebakaran dan banjir, konflik sosial, menurunnya tingkat
kesehatan masyarakat serta kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman. Kondisi ini perlu
segera ditangani untuk mewujudkan permukiman yang layak huni dalam suatu lingkungan yang
sehat, aman, serasi dan teratur. Oleh karena itu, mulai tahun 2010 dilaksanakan program
Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) dengan
pendekatan kawasan yang terpadu. Target PLP2K-BK sampai akhir 2014 adalah 655 hektar.
Rp. 280 M
Rp. 288 M
Rp. 240 M
300
Rp. 160 M
200
Rp. 75 M
100
0
50 ha
100 ha
150 ha
175 ha
180 ha
2010
2011
2012
2013
2014
Gambar 7.7 Target Rencana dan ALokasi PLP2K-BK Tahun 2010 2014
PLP2K-BK pada prinsipnya adalah suatu upaya untuk menata dan meningkatkan kualitas lingkungan
perumahan kumuh dan permukiman kumuh secara berkelanjutan dengan pendekatan tridaya
melalui perbaikan dan penyediaan prasarana, sarana dan ulitilitas umum (PSU) yang memadai
untuk mendukung penghidupan dan kehidupan lingkungan menjadi layak dan produktif. Objek
penanganan PLP2K-BK adalah perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang sesuai dengan
peruntukkannya sebagai perumahan dalam rencana tata ruang wilayah kota/kabupaten setempat,
dengan kriteria lokasi: 1) mengelompok minimal 10 hektar; 2) ditetapkan oleh pemerintah daerah
sebagai lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dan 3) memiliki intensitas kekumuhan
dan permasalahan sosial kemasyarakatan.
PLP2K-BK memiliki beberapa komponen kegiatan utama yang satu dengan yang lainnya saling
terintegrasi, antara lain: 1) penyusunan rencana PLP2K-BK; 2) pembentukan tenaga penggerak
masyarakat (TPM); 3) penyusunan rencana tindak komunitas; 4) penyusunan detailed engineering
design; 5) pembangunan stimulan fisik; 6) supervisi pembangunan stimulan fisik; dan 7) monitoring
dan evaluasi. Seluruh kegiatan tersebut diawali dengan verifikasi lokasi berdasarkan usulan lokasi
dari pemerintah daerah, dengan melakukan pengecekan kesesuaian lokasi dengan kriteria lokasi
PLP2K-BK, hingga kemudian pembangunan stimulan fisik PSU sesuai dengan kebutuhan masyarakat
(parcipatory planning) melalui rembug warga.
Kabupaten/kota yang telah mendapat bantuan penanganan perumahan kumuh dan permukiman
kumuhnya melalui PLP2K-BK pada tahun 2010-2011, yaitu sebanyak 33 lokasi pada 31
kabupaten/kota. Wilayah perencanaan pada masing-masing lokasi memiliki luasan yang berbedabeda, tergantung dengan permasalahan dan interaksi dengan sistem perkotaannya. Hingga tahun
2011 perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang telah ditangani oleh PLP2K-BK seluas 165
hektar atau sekitar 25 persen dari target Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat, dengan
jumlah penduduk yang mendapatkan manfaat 33.000 kepala keluarga (KK).
Sumber : Kementerian Perumahan Rakyat, 2011
TUJUAN 8
MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL
UNTUK PEMBANGUNAN
| 108
| 109
TUJUAN 8:
MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL
UNTUK PEMBANGUNAN
TARGET 8A
Indikator
Saat ini
Target
MDGs 2015
Status
Sumber
Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi
dan tidak diskriminatif
8.6a
41,60%
(1990)*
45,00%
(2011)**
Meningkat
8.6b
45,80%
(2000)*
78,80%
(2011)**
Meningkat
8.6c
101,30%
(2003)*
107,60 %
(2011)**
Meningkat
* BPS &
Bank Dunia
** Kemendag &
BPS
*Laporan
Perekonomian
BI 2008, 2009
**Statistik
Perbankan
Indonesia,
BI
(2011)
900
90%
800
80%
700
70%
600
60%
500
50%
40%
30%
45.0%
41.4%
400
300
20%
200
10%
100
0%
Miliar USD
100%
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
| 110
Ekspor
Impor
Gambar 8.1. Perkembangan Impor, Ekspor, Pertumbuhan PDB dan Rasio Ekspor dan Impor
terhadap PDB
Indikator keterbukaan ekonomi yang dihitung sebagai rasio ekspor dan impor nasional terhadap PDB
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan (lihat Gambar 8.1). Pengkajian data indikator
keterbukaan mengungkapkan bahwa selama dekade terakhir indikator ini tercatat berkisar 45,00
persen. Namun demikian, dalam jangka panjang, ada peningkatan dari 41,30 persen pada tahun 1990
menjadi 41,40 persen pada tahun 2010, dan 45,00 persen pada tahun 2011. Krisis keuangan di
negara maju yang berdampak pada daya beli dan semakin menguatnya proteksionisme di beberapa
negara memberi tantangan ke depan pada pencapaian indikator ini.
Pertumbuhan perekonomian nasional juga perlu didukung dengan sistem keuangan yang handal.
Berbagai upaya pembenahan menyeluruh sektor keuangan terutama perbankan setelah krisis
ekonomi berdampak pada membaiknya ketahanan perbankan yang pada gilirannya berhasil menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Ketahanan perbankan tercermin pada
beberapa indikator antara lain adalah kondisi rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio CAR)
yang menunjukkan bahwa secara umum perbankan nasional memiliki kemampuan yang cukup kuat
untuk menghadapi potensi risiko ke depan. Membaiknya ketahanan perbankan berdampak pada
terjaganya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya dana pihak ketiga dan penyaluran pinjaman (kredit) kepada pihak ketiga. Ketahanan
perbankan juga dapat dilihat dari fungsi intermediasi perbankan yang tetap menjaga prinsip kehatihatian dengan pengelolaan kualitas kredit yang tercermin dari peningkatan rasio pinjaman terhadap
simpanan (Loan to Deposit Ratio LDR) dan penurunan rasio kredit bermasalah (Non-Performing
Loans/NPL) selama 2 tahun terakhir (lihat Tabel 8.1).
Tabel 8.1. Beberapa Indikator Terpilih kondisi Bank Umum di Indonesia, 2010-2011
Indikator
2010
2011
3.008,90
3.652,80
2.338,90
2.784,90
1.765,80
2.200,10
75,20
78,80
2,90
3,00
2,40
2,00
17,20
16,00
| 111
Rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) di bank umum dan BPR meningkat
secara signifikan pascakrisis ekonomi 1998. Peningkatan LDR bank umum ditunjukkan oleh
pertumbuhan kredit selama tahun 2011 sebesar 24,50 persen serta pertumbuhan dana pihak ketiga
dalam beberapa tahun terakhir. Selain dipengaruhi kondisi perekonomian Indonesia yang kondusif,
pesatnya pertumbuhan kredit juga merupakan hasil dari kebijakan GWM LDR1 oleh Bank Indonesia
yang efektif mulai Maret 2011, dimana LDR perbankan ditetapkan dalam suatu kisaran yang
dipandang mampu mendorong fungsi intermediasi (batas bawah 78,00 persen dan batas atas 100,00
persen). Dengan perkembangan tersebut, maka LDR bank umum terus meningkat menjadi 75,20
persen pada akhir tahun 2010 dan 78,80 persen pada akhir tahun 2011. Sementara rasio pinjaman
BPR juga meningkat menjadi 107,60 persen pada 2011. Dari sisi pembiayaan, tercatat pertumbuhan
kredit BPR 21,44 persen pada 2011 dengan nilai nominal saat ini mencapai Rp 41 triliun.
1
GWM LDR merupakan kebijakan mengenai simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia
sebesar persentase yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh Bank dengan LDR target.
| 112
Kotak 8.1
Generic Model Apex BPR untuk Mengoptimalkan Peran BPR dalam Pembiayaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM)
Model Apex BPR, yang telah diterapkan di Jerman, Hungaria, Ghana, Brazil, dan India, ini diadopsi
untuk menguatkan pertumbuhan perekonomian melalui optimalisasi kontribusi perbankan dalam
membiayai seluas mungkin pelaku usaha terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
UMKM, yang jumlahnya mencapai 51,3 juta, merupakan unit bisnis yang mendominasi dunia
usaha di Indonesia, namun baru sekitar 40,00 persen yang terlayani oleh perbankan. Pelaku
perbankan yang selama ini mengutamakan layanan pembiayaan usaha mikro dan kecil adalah
Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan terbatasnya kemampuan BPR dibandingkan dengan bank
umum, maka keberadaan BPR perlu dilindungi. Untuk itu diperlukan kerjasama antar-BPR dan
sinergi antara BPR - dengan bank umum guna mengoptimalkan pembiayaan kepada UMKM.
Kerjasama Apex-BPR, yang merupakan kerjasama Bank Umum yang berperan sebagai bank induk
dengan BPR sebagai anggota, dapat menjadi solusi terhadap hal itu (Apex, bahasa Yunani berarti
pengayom). Apex-BPR berfungsi untuk, (i) mengelola pooling of funds dan membantu BPR dalam
mengatasi kesulitan likuiditas akibat mismatch; (ii) melakukan kerjasama pembiayaan (seperti
linkage program); (iii) memfasilitasi BPR dalam mencari sumber-sumber dana lain, dan (iv)
memberikan bantuan teknis pengembangan Teknologi Informasi (TI), pengembangan produk,
pelatihan, dan jasa sistem pembayaran. Apex terdiri dari tiga bagian yaitu Bank Umum sebagai
Apex (mempersiapkan infrastruktur yang mendukung pelaksanaan operasional Apex), BPR
(anggota Apex), dan Komite Apex (beranggotakan perwakilan bank umum, serta DPD dan dewan
pengurus komisariat Perbarindo).
Dengan kerjasama ini BPR (anggota Apex) memiliki lembaga pendukung finansial (khususnya
dalam kondisi mismatch) dan bantuan teknis, dimilikinya layanan jasa sistem pembayaran dalam
pemindahan dana antar nasabah BPR anggota Apex, kerjasama pemanfaatan produk/jasa
berbasis TI (seperti ATM) dan pemasaran produk/jasa lainnya, serta layanan lain seperti
pendampingan dan pelatihan. Bank umum (Apex-BPR) dapat menjadikan BPR sebagai
perpanjangan tangan untuk melayani wilayah dan masyarakat, menciptakan produk dan jasa
bersama untuk menjangkau nasabah yang lebih luas, memanfaatkan pooling idle funds BPR
sebagai sumber dana kelolaan, dan peluang untuk menghasilkan fee-based income dari
pemanfaatan transaksi oleh BPR melalui jaringan ATM bank umum.
Pada tahap awal, Model Apex BPR diterapkan pada interaksi BPR dengan Bank Pembangunan
Daerah (BPD) yang bertindak sebagai Apex. Ini sebagai tindak lanjut atas pencanangan program
BPD Regional Champion (BRC) pada tanggal 21 Desember 2010 dimana peran BPD terus
ditingkatkan untuk menjadi agent of regional development dimana salah satu kriterianya BPD
menjadi Apex BPR.
| 113
Gambar 8.2 Model Kerjasama Apex BPR
| 114
TARGET 8D
Acuan
dasar
Saat ini
Target
MDGs
2015
Status
Sumber
Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat
mengelola utang dalam jangka panjang
8.12
24,59%
(1996)
8,28%
(2011)
Berkurang
8.12a
51,00%
(1996)
21,10%
(2011)
Berkurang
Kementerian
Keuangan
Statistik Utang
Luar
Negeri
Indonesia
| 115
Sejalan dengan perekonomian nasional yang terus membaik dan peningkatan kepercayaan kreditor
internasional kepada Indonesia, utang luar negeri sektor swasta mengalami peningkatan dari waktu
ke waktu. Namun demikian, peningkatan utang luar negeri swasta juga diiringi dengan penurunan
risiko, sebagaimana terlihat pada peningkatan porsi perusahaan asing dan campuran dalam struktur
debitor utang luar negeri swasta. Pada tahun 2011, porsi utang luar negeri swasta dari kelompok
debitor perusahaan asing dan campuran tercatat 49,30 persen, meningkat dibandingkan tahun 2006
yang tercatat 42,00 persen. Hal ini mencerminkan membaiknya fleksibilitas pembayaran utang luar
negeri sektor swasta.
Aliran modal masuk diperkirakan masih akan terus meningkat sehingga berpotensi meningkatkan
jumlah utang luar negeri swasta. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh pertama, push
factors, yang dipengaruhi oleh belum terselesaikannya krisis utang di Eropa, krisis fiskal AS, kondisi
sosial politik Timur Tengah dan perlambatan ekonomi global mengakibatkan sebagian investor
mengalihkan dananya ke emerging markets. Kedua, pull factors, yaitu kepercayaan investor/kreditur
terhadap perekonomian domestik cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang
positif, peningkatan cadangan devisa, kondisi perbankan yang relatif kuat dan kondisi sosial politik
yang stabil, serta perolehan investment grade.
Gambar 8.3. Perkembangan Total Utang, Rasio Total Utang terhadap PDB (Debt to GDP Ratio), dan
Rasio Pembayaran Pokok Utang dan Bunga Utang Luar Negeri terhadap Penerimaan
Hasil Ekspor (DSR)
Debt t o GDP
DSR
%
Jut a USD
250,000
160
140
120
100
80
60
40
20
0
200,000
150,000
100,000
50,000
2011* * *
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
| 116
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs
Untuk mengelola utang dengan baik, pemerintah menyusun strategi pengelolaan utang negara
jangka menengah dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan utang, untuk
meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Dalam Strategi Pengelolaan Utang
Negara tahun 2010-2014 antara lain disebutkan strategi umum pengelolaan utang adalah sebagai
berikut:
a. Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan Surat
Berharga Negara (SBN) Rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri;
b. Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih
berbagai instrumen yang lebih sesuai, cost-efficient dan risiko yang minimal;
c. Pengadaan pinjaman luar negeri dilakukan sepanjang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan prioritas, memberikan terms and conditions yang wajar (favourable) bagi
Pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditor;
d. Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka
menengah;
e. Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal, terutama
dalam rangka mendorong upaya financial market deepening; dan
f. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka
meningkatkan efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating.
Selain itu, pemerintah secara konsisten juga berupaya melakukan pengendalian utang untuk
menjaga kesinambungan fiskal pemerintah melalui penetapan target rasio total utang terhadap PDB
(debt to GDP ratio) sebesar 22,00 persen pada akhir 2014. Dari sisi pinjaman, pengendalian utang
diwujudkan melalui penerapan kebijakan net negative flow Pinjaman Luar Negeri yaitu pinjaman
yang ditarik diupayakan lebih rendah dari pinjaman yang jatuh tempo. Selain itu, upaya
pengendalian pinjaman juga dilakukan melalui penyusunan Batas Maksimum Pinjaman Luar Negeri
sebagai pelaksanaan dari amanat Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
| 117
TARGET 8F
Target
MDGs
Status
Sumber
2015
Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan
komunikasi
Proporsi penduduk yang memiliki jaringan
4,02%
3,60%
Mening8.14
PSTN (kepadatan fasilitas telepon per
(2004)
(2010)
kat
Kemkominfo
jumlah penduduk)
Proporsi penduduk yang memiliki telepon
14,79%
103,9 %
8.15
100,00%
seluler
(2004)
(2010)
Proporsi rumah tangga dengan akses
26,21%
8.16
50,00%
BPS, Susenas
internet
(2011)
Proporsi rumah tangga yang memiliki
12,30%
Mening8.16a
BPS, Susenas
komputer pribadi
(2011)
kat
Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus
Indikator
Acuan
dasar
Saat ini
| 118
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi juga dapat dilihat dari proporsi rumah tangga yang
memiliki komputer pribadi dan proporsi rumah tangga dengan akses internet. Proporsi rumah
tangga yang memiliki komputer pribadi mencapai 10,20 persen pada tahun 2009 dan mengalami
peningkatan pada tahun 2011 menjadi 12,30 persen. Masih rendahnya kepemilikan komputer
pribadi oleh rumah tangga mengindikasikan belum siapnya masyarakat kita memasuki era
knowledge based economy and society. Di sisi lain, tingkat sebaran kepemilikan komputer pribadi
antar daerah memiliki ketimpangan yang cukup besar. Sebagai ilustrasi proporsi rumah tangga yang
memiliki komputer pribadi di DKI Jakarta mencapai 25,69 persen sementara di provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) hanya 5,34 persen saja.
Namun demikian, penggunaan internet mengalami peningkatan pesat sejalan dengan semakin
terjangkaunya harga layanan dan perangkat untuk mengakses internet. Proporsi rumah tangga
dengan akses internet mencapai 11,60 persen pada tahun 2009, 23,46 persen pada tahun 2010, dan
meningkat menjadi 26,21 persen pada tahun 2011. Sesuai dengan tingkat mobilitas masyarakat yang
semakin tinggi dan perangkat pintar (smart devices) yang semakin banyak dan terjangkau, internet
saat ini tidak saja dapat diakses melalui akses internet yang bersifat fixed seperti akses di rumah,
tetapi juga mobile internet melalui handphone dan laptop. Selain itu, inisiasi penyediaan jasa akses
internet berbasis komunal seperti warung internet juga dilakukan oleh UKM dan individu.
| 119
Kotak 8.2.
Program Desa Berdering dan Desa Pinter
Desa berdering merupakan layanan telepon dasar (basic telephony), yaitu layanan telepon dan SMS
(short message service) bagi daerah-daerah terpencil, daerah perintisan, daerah perbatasan, dan
daerah yang tidak layak secara ekonomis serta wilayah yang belum terjangkau akses dan layanan
telekomunikasi. Penyediaan Desa Dering di Wilayah Barat Indonesia saat ini sudah selesai
seluruhnya, sedangkan untuk Wilayah Timur (Sulawesi, Maluku dan Papua) diharapkan dapat
diselesaikan pada April 2012. Program ini ditujukan untuk membuka aksesibilitas layanan
komunikasi dan informasi di daerah terpencil dengan harga yang terjangkau. Saat ini layanan Desa
Berdering telah tersedia di 30.413 desa (97,3 persen) dari target 33.184 desa. Teknologi yang
digunakan merupakan teknologi netral dengan perangkat minimal yang harus di ada di fasilitas
telekomunikasi dimaksud yaitu antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Adapun Desa Pinter (desa punya internet) dimaksudkan untuk menghilangkan kesenjangan
informasi dan pendidikan, karena dengan adanya komputer yang dilengkapi akses internet,
masyarakat dapat mengakses informasi apapun termasuk dunia pendidikan dan pengetahuan
lainnya. Pelayanan Desa Pinter dilengkapi dengan komputer beserta peripheral serta akses internet
yang memiliki kemampuan kecepatan transfer data (throughput) minimal 56 Kbps dari CPE ke
perangkat operator, Latency : Maks 750 ms dari CPE ke IIX dan Packet Loss : 2,00 persen dari CPE
(Customer Premises Equipment) ke IIX (Indonesia Internet Exchange).
Program yang merupakan Pilot Project pemanfaatan internet di daerah perdesaan, ini dimaksudkan
untuk mengetahui tingkat antusias dan kebutuhan masyarakat akan komunikasi dan
informasi.Target penyediaan Desa Pinter ini sebanyak 131 Satuan Sambungan Layanan (SSL) di 32
Propinsi di Indonesia. Sebanyak 100 SSL telah sedangkan sisanya sebanyak 31 SSL diharapkan dapat
diselesaikan pada akhir 2012. Pelaksanaan kedua program ini mengacu pada Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika No. 32/PER/M.KOMINFO/10/2008 tentang Kewajiban Pelayanan
Universal.
| 120
| 121
Daftar Pustaka
Tujuan 1
------------ Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
------------ Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Menengah 2010-2014.
------------ Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 23/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang
Perubahan atas Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 28/KEP/MENKO/KESRA/XI/2006 tentang Tim
Pengendali Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.
Badan Pusat Statistik (2010). Survei Tenaga Kerja Nasional 2010. Jakarta: BPS.
---------- (2011). Survei Tenaga Kerja Nasional 2011. Jakarta: BPS.
---------- (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2011). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989,
1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011. Jakarta: BPS.
Bappenas (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta:
Bappenas.
---------- (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Bappenas, PNPM Support Fasility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM
Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/Desinventar/about
Kementerian Kesehatan (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Kementerian
Kesehatan
---------- (2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra.
Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Kota
(KWK) Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
------------ (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Desa (KWD) Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional.
Purwadi, A. (2010). Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi: Program Mahasiswa Wirausaha 2009.
Jakarta: Kemdiknas.
------------ (2010). Pendidikan Kewirausahaan pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Kemdiknas.
| 122
Tujuan 2
---------- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pedoman
Penyediaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah.
---------- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 36 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk
Peningkatan Mutu Pendidikan di SD/SDLB.
---------- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis
Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk
Peningkatan Mutu Pendidikan di SMP/SMPLB.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta:
Bappenas.
---------- (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2011). Survei Sosial Ekonomi Nasional
1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011. Jakarta: BPS.
Kementerian Agama (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin untuk, MI, MTs., dan MA.
Jakarta: Kemenag.
---------- (2011). Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Madrasah Negeri 2011. Jakarta:
Kemenag.
---------- (2011). Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Madrasah Negeri Swasta.
Jakarta: Kemenag
Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Rencana Strategis 2010-2014. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (1990, 2010). Data Internal Angka Bertahan 1990, 2010. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (2011). Pedoman Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2011. Jakarta: Kemdiknas.
---------- (2011). Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah. Jakarta:
Kemdiknas.
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Dasar. Jakarta:
Kemdiknas.
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Pertama.
Jakarta: Kemdiknas
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Atas.
Jakarta: Kemdiknas
---------- (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin (BSM) Sekolah Menengah Kejuruan.
Jakarta: Kemdiknas
---------- (2011). Panduan Gerakan Nasional Penuntasan Rehabilitasi Gedung SD dan SMP 2011.
Jakarta: Kemdiknas
Kemdiknas dan Unicef (2007). Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM). Jakarta:
Balitbang Kemdiknas dan Unicef.
---------- (2011). Studi Anak di Luar Sekolah (SALSA). Jakarta: Balitbang Kemdiknas dan Unicef.
The World Bank (2003). Gender Equality and tje Millenium Development Goals. Washington: the
World Bank.
Unicef dan Unesco Institute for Statistics (2010). Global Initiative on Out-of-School Children. Jakarta:
UNICEF.
| 123
Tujuan 3
---------- Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
---------- Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional No. Kep. 30 /M.PPN/HK/03/2009 tentang Pembentukan
Tim Pengarah dan Tim Teknis Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender.
---------- Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan
Pelaksanaan DIPA tahun anggaran 2010.
---------- Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan
Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan
Pelaksanaan DIPA tahun anggaran 2011.
---------- Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No.
Badan Pusat Statistik (1993, 2011). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 1993 dan2010.
Jakarta: BPS.
---------- (1993, 2011). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1993 dan2010. Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006). Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender di Sembilan Sektor. Jakarta: Bappenas.
---------- (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2005). Parameter Gender dalam
peraturan Perundang-undangan 2005. Jakarta: Kementerian PP dan PA.
---------- (2010). Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Daerah.
Jakarta: Kementerian PP dan PA.
---------- (2011). Statistik Gender 2011. Jakarta: Kementerian PP dan PA.
---------- (2011). Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian PP dan PA.
Komisi Pemilihan Umum (2011). Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan: Data Internal KPU.
Tujuan 4
---------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
---------- (2008). Pengembangan Database Pembangunan Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Dokumen
internal.
---------- (2008). Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia, Laporan Kajian. Jakarta: Bappenas.
---------- (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan.
Jakarta: Bappenas.
---------- (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan.
Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dan UNFPA (2006). Keluarga Berencana, Kesehatan
Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan. Jakarta: BKKBN dan UNFPA.
Badan Pusat Statistik (1992, 2011, 2012). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1991, 2010, dan
2011. Jakarta: BPS.
---------- (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI),
1991, 1995,1997 2002/03, 2007. Jakarta: BPS.
---------- (2011). Profil Statistik Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: BPS.
| 124
Kementerian Kesehatan (2008). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
---------- (2008). Profil Kesehatan 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
---------- (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, 2002-2003 and 2007. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
---------- (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
World Health Organization. (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child
Count. Geneva: WHO.
---------- (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research
Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of theTask
Force on Health Systems Research, 2005.
---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal
Coverage. Geneva: WHO.
Badan Pusat Statistik (1995-1998). % Balita yang pernah Menerima Imunisasi Campak.
www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=30¬ab=33
Tujuan 5
Adam Wagstaff , Mariam Claeson, Robert M. Hecht, Pablo Gottret, and Qiu Fang. (2004).
MillenniumDevelopment Goals for Health: What Will It Take to Accelerate Progress?.
Ahrizal Ahnaf. (2006). Angka Kematian Ibu di Indonesia Kecenderungan dan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh. Dipresentasikan pada Workshop Prakarsa Strategis Percepatan Penurunan AKI, di
Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Badan Pusat Statistik (1992, 2002, 2004-2012). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1991,
2001, 2003-2011. Jakarta: BPS.
---------- (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI),
1991, 1995,1997 2002/03, 2007. Jakarta: BPS.
---------- (2011). Profil Statistik Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: BPS.
Kementerian Kesehatan (2008). Profil Kesehatan 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
---------- (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, 2002-2003 and 2007. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
---------- (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
World Health Organization (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child
Count. Geneva: WHO.
---------- (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research
Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of theTask
Force on Health Systems Research, 2005
---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal
Coverage. Geneva: WHO.
| 125
Tujuan 6
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1507/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan
Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Councelling and Test).
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1508/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka
Menengah perawatan, Dukungan, dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV/AIDS
tahun 2005-2009.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197/MENKES/SK/XI/2007 tentang Kelompok Kerja
Penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 043/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Pengobatan
Malaria.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di
Indonesia.
---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB).
---------- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum
Pembentukan Komisi Penangggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka
Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah.
20th Meeting of The National AIDS Programme Managers; 2-4 Desember 2008: Recommendations to
the Member Countries.
Andy Barraclough, Malcolm Clark, et all. (2008). Report of HIV/AIDS Commodities Survey and Supply
Chain Status Assessment in Tanah Papua: A survey of HIV/AIDS Commodities Situation in Tanah
Papua. Februari.
ASAP UNAIDS (2008). Preparing National HIV/AIDS Strategies and Action Plans - Lessons
ofExperience. www.worldbank.org/asap.
Badan Pusat Statistik (2003, 2007). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/03,
2007. Jakarta: BPS.
---------- (2011). Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indoensia(SKRRI). Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas.
Bappenas (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Kementerian Kesehatan (1995-2011). CDR dan Success Rate Kasus TB Paru BTA Positif, 1995-2011.
Dokumen Internal
---------- (2002). Laporan Eksekutif Menteri Kesehatan RI tentang Penanggulangan HIV/AIDS Respon
Menangkal Bencana Nasional apda Sidang Kabinet Maret 2002. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
---------- (2007). Pedoman Nasional terapi Antiretroviral: panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIVpada
Orang Dewasa dan Remaja . Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2008). Pedoman Perluasan Jejaring Perawatan, Dukungan dan Pengobatan. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.
---------- (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
---------- (2008). Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2010). Profi l Penyakit Menular 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2011). Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2011). Prevalensi HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2011). Angka Kejadian dan Tingkat Kematian Akibat Malaria. Dokumen internal.
---------- (2011). Proporsi Jumlah Kasus Tuberkulosis yang Terdeteksi dan Terobati. Dokumen
internal.
| 126
---------- (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014: Terobosan Menuju
Akses Universal. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2008). Country report on the Follow up to the Declaration
ofCommitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period 2006-2007Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional. (2007). HIV and AIDS Response Strategies2007-2010.
---------- (2010). Rencana Aksi dan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS,2010-2014.
---------- (2010). Country report on the Follow up to the Declaration ofCommitment on HIV/AIDS,
(UNGASS) Reporting Period 2008-2009.
World Health Organization (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without
New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions.
Report of theTask Force on Health Systems Research, 2005.
---------- (2010). Global Tuberculosis Control 2009: Epidemiology Strategy Financing. Geneva: WHO.
---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal
Coverage. Geneva: WHO.
---------- (2012). Global Tuberculosis Control 2011. Geneva: WHO.
Yayasan Spiritia (2005). Protokol Penanggulangan terapi Antiretroviral. Diambil dari the PIH Guide
to the Community-Based Treatment of HIV in Resources-Poor Setting, July 2004. Jakarta:
Yayasan Spiritia
Tujuan 7
---------- Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan.
--------- Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca.
--------- Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah
Kaca
--------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang
Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
---------- Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/MDAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor
Bahan Perusak Ozon
---------- Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/MDAG/PER/1/2012 tentang Impor Bahan Perusak
Lapisan Ozon
---------- Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
--------- Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
--------- Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
--------- Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbanagn Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Badan Pusat Statistik (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. Jakarta: BPS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004). Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Menengah 2004-2009. Jakarta: Bappenas.
------------ (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas.
------------ (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta:
Bappenas.
------------ (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta:
Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Bappenas, PNPM Support Fasility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM
Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/Desinventar/about
Bsdan Pusat Statistik (1993 - 2011). Survai Sosial Ekonomi Nasional , 1993 - 2011. Jakarta: BPS
| 127
HCFC Phase-out Management Plans.
www.undp.org/content/undp/en/home/ourwork/environmentandenergy/focus_area/ozone_a
nd_climate/hcfc_phase-out_managementplans/
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (1990 dan 2010). Buku Data Statistik Ekonomi Energi
Indonesia, 1990 dan 2010. Jakarta: Kementerian ESDM .
Kementerian Kehutanan (1990 dan 2010). Luas Kawasan Tertutup Hutan, 1990 dan 2010.
Dokumen internal.
----------- (1990 dan 2010). Rasio Luas Kawasan Lindung untuk Menjaga Kelestarian
Keanekaragaman Hayati terhadap Total Luas Kawasan Hutan, 1990 dan 2010. Dokumen
internal.
----------- (1990, 2002, 2005, 2008 dan 2010). Persentase Tutupan Hutan dari Luas Daratan, 1990,
2002, 2005, 2008 dan 2010. Dokumen internal.
----------- (1990 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial,
1990 dan 2010. Dokumen internal.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (1998 dan 2010). Proporsi Tangkapan Ikan yang Berada
dalam Batasan Biologis yang Aman, 1998 dan 2010. Dokumen internal.
----------- (1998 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial,
1998 dan 2010. Dokumen internal.
---------- (2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 2010.
Dokumen internal.
Kementerian Kesehatan (2008). Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan & WSP-EAP. (2008). Mobilisasi Pendanaan Guna Mendukung
PengembanganSanitasi. Jakarta
---------- (2008). Pendekatan Strategis Pengembangan Sanitasi di Indonesia.Jakarta.
---------- (2008). Peranserta Swasta Dalam Peningkatan Layanan Sanitasi.Jakarta.
---------- (2008). Public-Private Partnership in Handwashing with Soap (PPPHWWS)For Diarrheal
Diseases Prevention in Indonesia. Fact Sheets. Jakarta.
---------- (2008). SPM Sebagai Target Pencapaian Pengembangan Sanitasi.Jakarta.
---------- (2008). Strategi Sanitasi melalui Pendekatan Pengembangan Kelembagaan. Jakarta.
---------- (2010). Renstra Kementerian Kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra.
Kementerian Lingkungan Hidup (1992 dan 2010). Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO), 1992
dan 2010. Dokumen internal.
----------- (2000 dan 2005). Emisi Karbon, 2000 dan 2005. Dokumen internal.
----------- (2007). National Action Plan Adressing Climate Change. Jakarta: Kementerian Kesehatan
---------- (2010). Indonesia Second National Communication under the UNFCCC. Jakarta:
Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Pendidikan Nasional (2004). Rencana Strategis 2004-2009. Jakarta: Kemdiknas.
Multilateral Fund for the Implementation of the Montreal Protocol. www. multilateral fund.org
PEACE (2007). Indonesia and Climate Change. Current Status and Policies. Jakarta: 2007.
Penataan Hukum terhadap Penggunaan dan Perdagangan Bahan Perusak Ozon (BPO).
www.menlh.go.id/ penataan-hukum-terhadap-penggunaan-dan-perdagangan-bahan-perusakozon-bpo/
The Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Montreal Conference, 16
September 1987 beserta amadenen-amandemennya.
untreaty.un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html
UNDP (2007). The Other Half of Climate Change Why Indonesia Must Adapt to Protect Its Poorest
People. New York: UNDP.
| 128
Vienna Convention for Protection of the Ozone Layer. Vienna Conference, 22 Maret 1985.
untreaty.un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html
WHO and UNICEF (2006). Meeting the MDG drinking water and sanitation target. New York: WHO
and Unicef.
Tujuan 8
----------- Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
----------- Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
----------- Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang
Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi.
BPS dan Bank Dunia. Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB. Jakarta: BPS dan Bank Dunia.
Bank Indonesia (2003 dan 2011). Statistik Perbankan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
---------- (1990 dan 2010). Laporan Perekonomian Indonesia 1990 dan 2010. Jakarta: Bank Indonesia.
---------- (2011). Neraca Pembayaran Indoensia, Triwulan I, II, III, IV Tahun 2011. Jakarta: Bank
Indonesia.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas.
------------ (2009). The Jakarta Commitment: Indonesia Roadmap to 2014. Jakarta: Bappenas
------------ (2010). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta:
Bappenas.
------------ (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta:
Bappenas.
Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas.
Badan Pusat Statistik (2011). Survai Sosial Ekonomi Nasional 2011. Jakarta: BPS.
------------ (2012). Statistik Perekonomian Indonesia 2011. Jakarta: BPS.
International Telecomunication Union. (2011). Yearbook of Statistics: Telecommunication /ICT
Indicators 2001-2010. Geneve: ITU.
------------ (2011). M-Governmennt Mobile Technologies for Responsive Governments and Connected
Societies. Geneve: ITU.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (1997 dan 2012). Statistik Utang Luar Negeri, 1996 dan
2011. Jakarta: Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki
Jaringan PSTN, 2004 dan 2010. Dokumen internal.
------------ (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Telepon Seluler, 2004 dan 2010.
Dokumen internal.
------------ (2010). Komunikasi dan Informatika White Paper 2010. Jakarta: Kemkominfo.
Kementerian Perdagangan (2011). Neraca Perdagangan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian
Perdagangan
Menteri Kominfo: Insya Allah Tahun Ini Seluruh Desa Berdering.
http://inet.detik.com/read/2011/12/18/191529/1793991/328/menteri-kominfo-insya-allahtahun-ini-seluruh-desa-berdering
Pangestu, Mari (2009). Statement on Plenary Session of 7th WTO Ministerial Meeting. Geneva. 30th
November 2009.
Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK). www.gatra.com/home/gatra-images/berita-foto/pusatlayanan-internet-kecamatan-plik
Universal Service Obligation (USO) Telekomunikasi. universal-service-obligation-uso-telekomunikasi
---oleh-eddy-satriya_20081123135217_7-2.pdf Adobe reader