2.4
Kejahatan Seksual
2.4.1 Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejahatan merupakan perilaku yang bertentangan
dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Seksual adalah (1)
Berkenaan dengan seks (jenis kelamin). (2) Berkenaan perkara persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan. Jadi kejahatan seksual adalah perilaku yang bertentangan dengan hukum-hukum
yang mengatur mengenai seksualitas.
Definisi lain dari kejahatan seksual adalah semua tindakan seksual, percobaan tindakan
seksual, komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan paksaan,
ancaman, paksaan fisik oleh siapapun saja tanpa memandang hubungan dengan korban, dalam
situasi apa saja, tidak terbatas pada rumah dan pekerjaan.
Kejahatan seksual dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Kejahatan Seksual
Non Senggama:
Senggama:
Selingkuh
Senggama dengan
wanita tidak berdaya
Senggama dengan
wanita di bawah
umur
Incest
Perkosaan
Perbuatan
Cabul
tidak legal dimana syarat senggama legal (tidak melanggar hukum) adalah dilakukan dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
Wanita tersebut sudah cukup umur, sehat akalnya, tidak sedang dalam keadaan terikat
perkawinan dengan lelaki lain dan bukan anggota keluarga dekat.
Kejahatan seksual kategori senggama dalam hukum dapat didefinisikan sebagai berikut:
a. Selingkuh
Dalam kamus besar bahasa indonesia, selingkuh adalah (1) tidak berterus terang. (2)
tidak jujur atau serong. (3) suka menyembunyikan sesuatu. (4) korup atau menggelapkan
uang. (5) memudah-mudahkan perceraian. Syarat disebut selingkuh adalah baik wanita atau
pria tersebut sudah terikat dalam hubungan pernikahan, tetapi melakukan senggama dengan
orang lain yang bukan merupakan pasangan suami atau istrinya.
Pada KUH Pidana pasal 284 ayat (1) menentukan bahwa perzinahan dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan:
1) a. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan perzinahan, sedang diketahuinya
bahwa pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan perzinahan.
2) a. seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan tersebut, sedang diketahuinya
bahwa orang yang turut bersalah telah kawin;
b. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan tersebut,
sedang diketahuinya bahwa orang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 Burgerlijk
Wetboek berlaku baginya.
b. Senggama dengan wanita tidak berdaya
Wanita tidak berdaya yang dimaksudkan di sini adalah adalah wanita yang pingsan,
memiliki kecacatan mental, atau gangguan jiwa, atau dibuat tidak berdaya dengan cara dibius.
Pada KUHP pasal 286, tertulis bahwa barang siapa bersetubuh dengan wanita di luar
perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
c. Senggama dengan wanita di bawah umur
Terdapat tiga batasan umur mengenai senggama dengan wanita di bawah umur, yaitu:
Kurang dari usia 12 tahun: apapun alasannya dalam melakukan senggama, merupakan
tindakan pidana.
Usia 12-15 tahun: boleh melakukan senggama asal kedua orang tua menyetujuinya.
Lebih dari usia 15 tahun: orang tua sudah tidak memiliki kewenangan, anak sudah
dianggap mampu memberikan consent.
Batasan umur tersebut berdasarkan atas KUHP pasal 287 ayat 1, yang berbunyi barang
siapa bersetubuh dengan wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum 15 tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa
belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Wanita yang belum genap 15 tahun, secara hukum belum diperbolehkan memberikan ijin
(consent) sendiri, jadi wanita tersebut masih dianggap di bawah asuhan dari orang tuanya.
Hal ini disebabkan karena wanita tersebut dinilai belum mampu memahami segala risiko
yang timbul dari perbuatan senggama.
Pada KUHP pasal 287 ayat 2, dijelaskan lebih lanjut apabila wanita tersebut berumur
kurang dari 12 tahun, tidak perlu menunggu adanya aduan agar bisa dikatakan tindak pidana,
sedangkan apabila berumur lebih dari 12 tahun diperlukan adanya aduan untuk dapat
memprosesnya.
d. Incest
Incest merupakan senggama yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga
atau kekerabatan yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan
anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri.
Dalam pasal 294 ayat (1) KUHPidana, menurut terjemahan Tim Penerjemah Badan
Pembinaan Hukum Nasional, ditentukan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan cabul
dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharannya, pendidikan atau
penjagannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
e. Perkosaan
Dalam pasal 285 KUHP, ditentukan bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancama
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Kejahatan seksual yang dimasukkan ke dalam kategori non senggama adalah perbuatan
cabul, dimana cabul adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang dilakukan dengan
perbuatan-perbuatan. Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadapa
kesusilaan yang diatur dalam bab XIV Buku ke dua KUHP tentang kejahatan kesusilaan.
Pengertian perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau
perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya
mencium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada. Pencabulan diatur dalam
Pasal 289 sampai Pasal 294 KUHPidana. Menurut Pasal 289, barangsiapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar
kesusilaan atau membiarkan orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar
kesusilaan, karma salahnya telah melakukan perbuatan merusak kesusilaan, dengan hukuman
penjara selama-lamanya 9 tahun.
Pemerkosaan adalah jenis kekerasan seksual biasanya melibatkan hubungan seksual, yang
diprakarsai oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain tanpa persetujuan yang
bersangkutan. Seseorang yang melakukan perbuatan pemerkosaan dikenal sebagai
pemerkosa. Tindakan itu dapat dilakukan dengan kekuatan fisik, pemaksaan, penyalahgunaan
wewenang atau dengan orang yang tidak mampu persetujuan yang valid. Korban perkosaan
dapat mengalami trauma akibat serangan itu dan mungkin mengalami kesulitan berfungsi
serta mereka telah digunakan untuk sebelum serangan, dengan gangguan konsentrasi, pola
tidur dan kebiasaan makan (Bureau of Justice, 2014).
2.4.2
Epidemiologi
Sepanjang tahun 1998 hingga 2011 ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan mencatat terdapat 400.939 kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari
jumlah itu, 93.960 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual, dengan perkosaan
menempati jumlahterbanyak, 4.845 kasus. Komnas Perempuan mencatat, dari 93.960 kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan, hanya 8.784 kasus yang datanya terpilah. Sisanya adalah
gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Sementaradari 8.784
kasus kekerasan seksual yang datanya telah terpilah, perkosaan menempati urutan pertama
(4.845), berikutnya perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (1.359), pelecehan seksual
(1.049), dan penyiksaan seksual (672). Sisanya antara lain berupa eksploitasiseksual, perbudakan
seksual, hingga pemaksaan perkawinan.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
sejak tahun 1998 hingga 2010 hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah
kasus kekerasan seksual, atau tercatat 91.311 kasus kekerasan seksual dari 295.836 total kasus
kekerasan terhadap perempuan. Selama 2010 tercatat 1.751 korban kekerasan seksual. Pasienpasien yang >orens ke bagian gawat darurat sesudah kekerasan seksual memberikan tantangan
khusus bagi dokter yang menanganinya. Pasien mungkin malu atau tidak ingin mengingat
kembali riwayat peristiwa yang dialami, ketepatan waktu dalam mengumpulkan data riwayat
peristiwa sangat penting untuk penanganan tepat waktu dan dokumentasi >orensic.
Perkosaan merupakan suatu peristiwa yang sulit dibuktikan walaupun pada kasus tersebut
telah dilakukan pemeriksaan dan pengumpulan barang bukti yang lengkap. Pasal 285 tentang
pemerkosaan berbunyi : Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa orang perempuan di luar perkawinan bersetubuh dengan dia karena salahnya
perkosaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. Jadi harus
dibuktikan terlebih dahulu adanya suatu persetubuhan. Bila persetubuhan tidak >ore dibuktikan,
maka janggal bila dikatakan suatu perkosaan. Suatu pembuktian yang jelas bahwa telah terjadi
suatu persetubuhan secara medis adalah mendapatkan sperma laki-laki di liang senggama wanita
yang dimaksud. Beberapa hal yang perlu diketahui adalah bahwa: (a) sperma hidup dapat
bertahan selama 3x24 jam dalam rongga rahim; (b) sperma mati dapat bertahan selama 7x24 jam
dalam rongga rahim. Dapat dibayangkan adanya kesulitan bila terjadi suatu overspel, maksudnya
antara persetubuhan yang diduga dan waktu pemeriksaan terdapat lagi persetubuhan dengan
suaminya sendiri, sehingga sperma yang ditemukan tidak diketahui milik siapa. Dalam kasuskasus seperti ini, ilmu forensik dapat digunakan untuk mengungkap pelaku kejahatan seksual
(Amelia Kalangit et al 2010).
Sweden
Korea
New Zealand
United States
Belgium
Zimbabwe
United Kingdom
Countries With Lowest Rape Rates
Egypt
Azerbaijan
Armenia
Syrian Arab Republic
Turkey
Sierra Leone
Canada
Ukraine
Kenya
Belarus
53.2
33.7
30.9
28.6
26.3
25.6
23.2
Rate / 100,000
0.1
0.3
0.6
0.7
1.4
1.4
1.5
1.9
1.9
2.5
germo, para calo, dan pelacur sedangkan pengguna jasa seks komersial sendiri sama sekali tidak
ada pasal yang mengaturnya. Sebuah penelitian oleh Candra dkk, 2014 pengaturan hukum positif
di Indonesia terhadap pengguna jasa belum berlaku efektif dalam menjerat dan menanggulangi
prostitusi online, karena sama sekali tidak mengatur mengenai pengguna jasa dalam tindak
pidana prostitusi online. Tinjauan yuridis terhadap pengguna jasa prostitusi online berdasarkan
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang Nomor
44 Tahun 2008 tentang Pornografi tidak menyebutkan ketentuan mengenai pengguna jasa
prostitusi online secara khusus, sehingga kedua undang-undang inipun tidak dapat menjerat
pengguna jasa dalam praktek prostitusi online.