Anda di halaman 1dari 18

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

PKMRS

Fakultas Kedokteran

Maret 2015

Universitas Hasanuddin

ALERGI

Oleh:
Nadia Puspita
C11111141
Pembimbing I :
dr. Besse Sarmila
Pembimbing II :
dr. Merdyani Darkuthni
Supervisor :
dr. Bahrul Fikri, M.Kes, Sp.A
Dibuat dalam rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar

2015

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama

: Nadia Puspita

Judul PKMRS

: Alergi

Universitas

: Universitas Hasanuddin

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Maret 2015


Pembimbing I

Pembimbing II

dr. Besse Sarmila

dr. Merdyani Darkuthni

Koas

Nadia Puspita

Supervisor

dr. Bahrul Fikri M.Kes, Sp.A

ALERGI
I.

PENDAHULUAN
Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906
diartikan sebagai reaksi penjamu yang berubah bila terjadi kontak dengan
bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Alergi merupakan suatu reaksi
menyimpang dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap zat/bahan yang secara
normal tidak berbahaya bagi tubuh, dan melibatkan sistem kekebalan tubuh
terutama antibodi imunoglobulin E (IgE). Menurut kamus kedokteran Dorland,
alergi merupakan keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan
terhadap suatu antigen (alergen) tertentu yang menimbulkan reaksi imunologik
berbahaya pada pajanan berikutnya. (1)
Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di
masyrakat. Diperkirakan 10-20 % penduduk pernah atau sedang menderita
penyakit tersebut. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, tetapi organ
yang sering terkena adalah saluran napas, kulit, dan saluran pencernaan. Ketika
kita melakukan kontak dengan zat-zat penimbul alergi (alergen) baik melalui
kulit, saluran napas, makanan, maupun suntikan tubuh kita akan melawan zat
yang dianggap berbahaya tersebut dengan histamin dan antibodi lainnya. Hal
itu membuat tubuh kita kehilangan keseimbangan dan menimbulkan gejala
seperti kulit gatal-gatal, mencret, bersin-bersin, hidung meler, batuk dan
lainnya. (1, 3)
Oleh Coombs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi
empat kelas. Penyakit alergi merupakan hasil dari interaksi antara faktor
predisposisi genetik atopi dengan alergen lingkungan, infeksi dan polutan.
Faktor lingkungan memegang peranan besar pada sensitisasi awal seseorang
yang mempunyai bakat atopi dan akan menentukan perkembangan gejala klinis
serta derajat beratnya penyakit. Perjalanan penyakit alergi merupakan konsep
yang memperlihatkan bahwa penyakit alergi saling berhubungan dan tampilan
penyakit alergi berubah menurut umur. (1, 3-5)

II. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia prevalensi penyakit alergi yang telah diteliti pada
beberapa golongan masyarakat atau rumah sakit menunjukkan variasi,
misalnya data dari Poliklinik Alergi-Imunologi Anak RSCM dari pasien anak
yang menderita alergi, sekitar 2,4% berupa alergi susu sapi. Berdasarkan hasil
suatu penelitian dengan subjek 44 pasien, terdiri dari 28 kasus rinitis alergi
(63,6%), asma bronkial 11 kasus (25,0%), dermatitis atopik 18 kasus (40,9%),
dan konjungtivitis alergi 1 kasus (2,3%). Dari 44 kasus alergi di dapat 24 kasus
pada anak perempuan (54,5%) dan 20 anak laki-laki (45,5%). (alergi anak, sari
pediatri). Penelitian meta-analisi pada 17 studi prospektif menunjukkan
proporsi penderita rawat inap karena alergi obat sekitar 2,1 %, 39,3 %
merupakan reaksi yang mengancam jiwa. Insidens reaksi simpang obat pada
anak yang dirawat di rumah sakit sekitar 9,5 % dan pada penderita rawat jalan
sekitar 1,5 %. (6)
III.

ETIOLOGI
Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi
IgE akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen
yang sama. (3, 5)
Contoh alergen yang bisa menjadi pencetus alergi adalah :

Alergen yang teridentifikasi pada asma adalah debu rumah, ketombe


manusia dan tungau, serta kecoa. Alergen lain adalah bulu anjing dan

alergen makanan berupa coklat dan makanan laut


Indoor allergen banyak ditemui di sekeliling kita misalnya tungau debu
rumah yang banyak terdapat pada karpet, atau tempat tidur (kasur, bantal).
Peran indoor allergen sebagai pemicu asma tidak terlepas dari hubungan
alergen dengan lingkungan, tidak sekedar dosis pajanan (kuantitatif ) atau

lama pajanan.
Pada kasus rinitis alergi, alergen positif adalah debu rumah, tungau,

ketombe manusia, kecoa dan alergen makanan laut.


Untuk kasus dermatitis atopi, alergen yang teridentifikasi berupa debu
rumah dan ketombe manusia, kecoa, tungau, alergen bulu anjing, makanan

laut, telur, serbuk sari bunga, jamur, dan bulu kucing. Alergen hirup
merupakan alergen yang turut berperan dalam dermatitis alergi.(7)
IV.

PATOFISIOLOGI
Reaksi alergi terpicu jika alergen berikatan silang dengan IgE yang
telah terikat sel mast. Sel mast mempunyai reseptor FcR yang dapat mengikat
IgE. Sel mast mempunyai fungsi sebagai pemberi peringatan adanya infeksi
pada daerah dimana sel tersebut berada. Sel mast yang teraktivasi akan
mensekresikan sitokin pro-inflamasi yang tersimpan pada granula dan juga
mensintesis prostagladins, leukotrin, dan sitokin lain. Pada alergi, sel mast
menimbulkan reaksi terhadap antigen yang sebenarnya tidak berbahaya.
Reaksi-reaksi yang berkembang itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan
invader yang seharusnya dieliminasi. Seberapa berat akibat aktivasi sel mast
oleh IgE sangat tergantung dengan banyaknya antigen yang masuk dan juga
rutenya. (4)
Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh
protein alergen kecil yang terhirup dan memicu produksi IgE pada individu
yang peka. Kita sering menghirup berbagai macam protein namun tidak
menginduksi tersintesisnya IgE. Hampir semua alergen berupa partikel kecil,
dan berupa protein mudah terlarut contohnya berupa butir serbuk sari dan
kotoran tungau. Apabila terjadi kontak antara partikel alergen dengan mukosa
pada saluran pernafasan partikel tersebut segera larut dan berdifusi masuk
mukosa. Alergen umumnya dipresentasikan pada sistem imun dalam dosis
yang sangat rendah.(4)
Respon terhadap alergi yang terhirup dapat dibagi menjadi dua fase
yaitu respon fase cepat dan lambat. Respon cepat terjadi grafik puncak
hanya beberapa menit setelah antigen terhirup dan grafiknya segera turun.
Enam sampai delapan jam kemudian setelah paparan antigen juga terdapat
respon seperti yang terjadi pada fase cepat. Reaksi fase cepat disebabkan
oleh aktivitas histamin, prostaglandin, dan mediator lain yang telah
terbentuk sebelumnya ataupun disintesis dengan sangat cepat yang

meningkatkan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Reaksi fase


lambat yang terjadi pada sekitar 50% pasien yang sebelumnya telah
mengalami reaksi fase cepat, disebabkan oleh induksi sintesis dan
pelepasan mediator seperti leukotrin, kemokin, prostaglandin, dan sitokin
seperti IL-5 dan IL-13 yang berasal dari aktivasi basofil dan sel mast..
Reaksi wheal and flare, yaitu pembengkaan dan warna merah terjadi satu
hingga dua menit setelah injeksi antigen pada epidermis dan berakhir
setelah 30 menit. (4). Semua rangkaian reaksi di atas akan menyebabkan
perekrutan sel-sel leukosit termasuk limfosit TH2 dan eosinofil menuju
daerah yang mengalami inflamasi. Respon akut pada alergi asma
menyebabkan inflamasi kronik saluran pernafasan yang dimediasi oleh
TH2. Pada individu yang peka, ikatan silang pada permukaan sel mast
antara IgE spesifik dengan alergen yang terhirup akan memicu sel mast
untuk mensekresi mediator inflamasi yang menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos bronkus, dan meningkatkan
sekresi mukus. Dalam kaitan ini juga terjadi penetrasi sel-sel penyumbang
terjadinya inflamasi termasuk eosinofil dan TH2 dari darah. Sel mast dan
TH2 yang teraktivasi mensekresi sitokin yang meningkatkan aktivasi dan
degranulasi eosinofil yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih parah
dan semakin banyak pula sel-sel penyumbang inflamasi yang masuk ke
daerah tersebut. Akibat serangkaian peristiwa di atas adalah terjadinya
inflamasi kronik, yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki pada saluran pernafasan.(4)
Manifestasi Klinis Alergi :
1. Anafilaksis
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi
imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang
dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi 30 menit setelah
pemberian obat. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok

yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan


pertolongan cepat dan tepat. Beberapa faktor yang diduga dapat
meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat,
riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen
yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan,
sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacangkacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1,
asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan
fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis. (1,6)
2. Alergi makanan
Alergi makanan (food hypersensitivity) perlu dibedakan dengan
intoleransi makanan( food

intolerance atau food sensitivity). Alergi

makanan adalah reaksi terhadap makanan yang dapat berulang,


mempunyai latar belakang reaksi imunologik abnormal. Makanan yang
sering menimbulkan reaksi alergi pada anak adalah berbagai jenis protein,
seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan, kedelai, dan gandum (85%)
Di lain pihak, pada intoleransi makanan, terdapat faktor makanan itu
sendiri, seperti kontaminasi toksin bakteri, kandungan farmakologik
(seperti tiramin yang terdapat pada keju yang telah lama), atau kelainan
metabolik (seperti defisiensi enzim laktase). Intoleransi makanan bertalian
dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal terhadap makanan atau
bahan pelengkap makanan. Termasuk dalam kategori ini ialah reaksi
idiosinkratik (misal intoleransi laktosa)(13)
Alergi susu sapi adalah reaksi simpang terhadap protein susu sapi
yang diperantarai reaksi imunologi. Alergi susu sapi yang tidak
diperantarai IgE lebih sering mengenai saluran cerna, kulit dan saluran
napas serta berhubungan dengan resiko tinggi timbulnya alergi saluran
napas. Edema dan gatal pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika

makanan kontak dengan mukosa. Muntah dan/atau diare , terutama pada


bayi, bisa ringan, melanjut atau intractable dan dapat berupa muntah atau
buang air besar berdarah. Jika hipersensitivitas berat, dapat terjadi kerusakan
mukosa usus, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan berat
badan. (6)
3. Alergi obat
Alergi obat adalah suatu reaksi simpang obat yang diperantarai oleh
mekanisme imunologi. Mekanisme yang mendasari alergi obat dapat berupa
reaksi hipersensitivitas tipe 1, 2, 3 atau 4. Alergi obat memerlukan paparan
sebelumnya dengan obat yang sama atau terjadi akibat reaksi silang. Pemberian
parenteral dan topical lebih sering menyebabkan sensitisasi. Infeksi virus tertentu
seperti HIV, Herpes, EBV, dan CMV dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya alergi obat (2)

4. Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh
alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), 2001, rhinitis alergi adalah
kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh Ig E. (1,6)
5. Asma Bronkial
Asma merupakan salah satu penyakit alergi yang cukup berat.
Kejadian asma dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel mast
submukosal pada saluran pernafasan bagian bawah. Kejadian tersebut
dapat berlangsung cepat dalam hitungan detik ketika alergen telah
memapar. Alergen tersebut dapat menyebabkan kontraksi bronkus dan juga
dapat meningkatkan sekresi cairan dan mukus, menyebabkan bernafas
makin sulit oleh karena udara yang masuk tertambat pada paru. Pasien
penderita alergi umumnya perlu treatment dan serangan asma dapat
menyebabkan kematian. Alergen yang menimbulkan alergi rinitis dan
konjungtivitis umumnya dapat menimbulkan serangan asma. Akibat
8

penting asma adalah terjadinya inflamasi kronik saluran pernafasan, yang


ditandai dengan meningkatnya limfosit TH2, eosinofil, neutrofil, dan
leukosit yang lain. Keberadaan dan peningkatan sel-sel darah putih
tersebut pada penyakit asma berlangsung dalam waktu yang panjang.
Keberadaan sel-sel darah putih akan menyebabkan terjadinya perubahan
anatomi sistem pernafasan. Perubahan itu di antaranya adalah terjadinya
penebalan dinding saluran pernafasan oleh akibat hiperplasia dan
hipertropi pada lapisan otot polos dan kelenjar mukosa, yang akhirnya
terjadi fibrosis. Perubahan anatomi itu (remodeling) dapat menyebabkan
terjadinya penyempitan secara permanen saluran pernafasan yang disertai
peningkatan sekresi mukus, dan hal tersebut yang dianggap bertanggung
jawab pada kejadian

asma. Pada

asma kronik, respon sel-sel

imunokompeten yang berlebihan dan juga hiperreaktif saluran pernafasan


terhadap zat-zat non-alergen meningkat.(1,4)
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas
saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini
hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. (9)
6. Urtikaria dan Angioedema
Urtikaria adalah erupsi kulit menyeluruh, menonjol, berbatas tegas,
umumnya berbentuk bulat, gatal, eritematus dan berwarna putih di bagian
tengah bila ditekan. Angioedema adalah pembengkakan asimetris, non
pitting, dan umunya tidak gatal. Penyebab urtikaria terbanyak adalah
degranulasi sel mast dengan akibat munculnya urtika dan kemerahan
karena lepasnya prefromed mediator, histamin, juga newly formed
mediator. Pada anak, hal ini terutama terjadi akibat paparan terhadap
alergen. Sumber utama alergen yang mencetuskan urtikaria dengan
perantaraan IgE adalah makanan dan obat. (10)

VI.

DIAGNOSIS
IV.1Anamnesis
Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-hal seperti berikut :
a. Kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak atau berangsur.
Umur permulaan timbulnya gejala dapat menuntun kita untuk
membedakan apakah kondisi tersebut diperantarai IgE atau tidak.
b. Karakter, lama, frekuensi dan beratnya gejala. Urtikaria akut lebih
mungkin disebabkan oleh alergen dibanding urtikaria yang kronik.
c. Saat timbulnya gejala. Apakah keluhan paling hebat di waktu pagi,
siang, malam atau tidak menentu. Alergi dapat intermitten setiap
tahun atau berhubungan dengan musim.
d. Pekerjaan dan hobi. Keluhan pasien dapat saja timbul saat berada di
rumah, di sekolah, atau di tempat kerja. Sekitar 5% kasus asma
berhubungan dengan tempat kerja.
e. Pada pasien asma atau alergi saluran napas lain ditanyakan juga
tentang dahak: jumlahnya ( banyak, sedang, sedikit), warnanya (putih,
kuning, hijau) kekentalan (encer, kental)
f. Pengaruh terhadap kualitas hidup
g. Riwayat alergi dalam keluarga. (1,10)
IV.2Pemeriksaan Fisis
a. Kulit
Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada perdangan kronik seperti
ekskoriasi, bekas garukan terutama lipatan-lipatan kulit daerah
fleksor. Lihat pula apakah terdapat lesi urtikaria, angioedema,
dermatitis, dan likenifikasi. Likenifikasi yang sering tampak pada pasien
dermatitis atopik; allergic shiners, siemen grease.

b. Mata
Diperiksa terhadap hiperemis konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shirnes, yaitu
di bawah palbebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak
c. Telinga
Lakukan pemeriksaan membran timpani untuk mencari otitis media
d. Hidung
Allergic salute: Pasien dengan menggunakan telapak tangan
menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa

10

gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang


akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi-geligi. Bagian
dalam diperiksa dengan menggunakan spekulum hidung dengan
bantuan senter untuk menilai warna mukosa, jumlah dan bentuk
sekret, edema, polip hidung, dan abnormalitas anatomi seperti deviasi
septum.
e. Mulut dan orofaring
Pemeriksaan ditujukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsil,
post nasal drip. Pada rinitis alergi, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema, atau keduanya.
f. Dada
Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi baik
terhadap organ paru maupun jantung. Pada waktu serangan asma
kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernapasan
V.

dan mengi. (1,10,12,)


PEMERIKSAAN PENUNJANG
5.1 Pemeriksaan in vitro
a. Hitung eosinofil total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk
menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi.
Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450
eosinofil/L. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat
dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi
dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-40%)
didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat,
keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang
berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva. Dibandingkan
IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan
sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah dapat
berkurang akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid secara
sistemik. Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang
lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah

11

eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian


kortikosteroid secara sistemik.
b. Hitung eosinofil dalam sekret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung
merupakan indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia
darah tepi, dan dapat membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat
penyebab lain. Meskipun demikian tidak dapat menentukan alergen
penyebab yang spesifik. Esinofilia nasal pada anak apabila ditemukan
eosinofil lebih dari 4% dalam apusan sekret hidung, sedangkan pada
remaja dan dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung juga
dapat memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung
topikal. Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus
dan konjungtiva.
c. Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit
alergi sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis
penyakit alergi.(1,2) Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE
tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi
dibandingkan rinitis alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien
alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun
adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan non-alergi
menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah.(1,5) Kadar IgE total
didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat
pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi,
keganasan).
d. Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu
dapat dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro
dengan metode RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzymelinked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim(2,5). Kelebihan
metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak
dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi

12

cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas
RAST lebih rendah.
5.2 Pemeriksaan in vivo
a. Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu
berlekatan dengan reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien
dengan alergi. Kontak sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang
alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang antara
alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan
aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai preformed dan newly
generated mediator. Histamin merupakan mediator utama dalam
timbulnya reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji
kulit positif). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai
puncak dalam waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30 menit.
Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih lugas dengan batas
yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan
berakhir setelah 24 jam (fase lambat). Terdapat 3 cara untuk
melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (skin prick
test/SPT), dan uji gores (scratch test).
Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen
disuntikkan ke dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung
berdiameter 3 mm. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi
10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm. Teknik uji kulit intradermal
lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT), namun tidak
direkomendasikan untuk alergen makanan karena dapat mencetuskan
reaksi anafilaksis.
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena
kurang akurat.
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan
pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan.
Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak
minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak

13

alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan


superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus
untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm.
Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan -agonis
dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan
sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah pasien
berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT terhadap alergen makanan lebih
rendah dibanding alergen hirup. Dibanding uji intradermal, SPT
memiliki sensitivitas yang lebih rendah namun spesifisitasnya lebih
tinggi dan memiliki korelasi yang lebih baik dengan gejala yang
timbul.
b. Uji provokasi
Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara
paparan alergen dengan gejala pada berbagai organ (kulit,
konjungtiva, saluran cerna, paru), maka dapat dilakukan uji
provokasi.
Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan konsentrasi yang
makin tinggi dihirup melalui nebulizer untuk melihat obstruksi
jalan napas. Atkins dalam penelitian menunjukkan bahwa uji
provokasi bronkial berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji
alergi in vitro.
Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan
yang dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap
makanan tersebut. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka,
single-blind, double-blind, atau double-blind placebo-controlled.
Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan
meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat dilakukan
setelah melakukan diet eliminasi selama tiga minggu. Pada uji
provokasi susu sapi dilakukan dengan memberikan susu sapi mulai
dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15 menit, dan bila telah
mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka pasien dapat
mengkonsumsi susu sapi.

14

Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada kasus


dermatitis kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit dan
hasil positif berupa reaksi eksatema dalam 48-72 jam. Selain pada
dermatitis kontak, uji tempel juga dilakukan untuk mendiagnosis
alergi makanan pada anak dengan dermatitis atopi dan esofagitis
eosinofilik. Dijumpai 67% anak dengan uji provokasi susu sapi
yang positif menunjukkan hasil SPT (reaksi alergi tipe cepat) yang
positif, sedangkan uji tempel menunjukkan hasil yang negatif.
Sebaliknya, uji tempel positif pada 89% anak dengan reaksi alergi
tipe lambat (25-44 jam). Dikatakan bahwa kombinasi uji tusuk dan
uji tempel memiliki nilai prediksi positif tertinggi dan dapat
VI.

menggantikan uji provokasi makanan. (1,11)


PENATALAKSANAAN
a. Menghindari alergen spesifik (menghidari makanan penyebab, hentikan
pemakaian obat, dan alergen lainnya). Untuk urtikaria kronik pasien
menghindari penyebab yang dapat menimbulkan urtikaria, seperti: Kondisi
yang terlalu panas, stres, alkohol, dan agen fisik; Penggunaan antibiotik
penisilin, aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor ; agen lain yang diperkirakan
dapat menyebabkan urtikaria. (1, 10)
b. Memelihara dan meningkatkan kebugaran jasmani
c. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot
hidung.

Obat

yang

biasa

digunakan

adalah

oxymetazolin

atau

xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai


beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa.
d. Urtikaria akut, atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat
terjadi obstruksi saluran napas. Bila disertai obstruksi saluran napas,
diindikasikan pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan dengan
pemberian kortikosteroid. Prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis
diturunkan 5-10 mg/hari.
d. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai

15

adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid,

flunisolid,

flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.


e. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang
bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.
f. Terapi oral sistemik
1). Antihistamin
Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.
Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
Untuk urtikaria :

Antihistamin (AH) oral nonsedatif, misalnya Loratadin 10 mg/hari


pemakaian 1 x sehari selama 1 minggu.

Bila tidak berhasil dikombinasi dengan Hidroksizin 3 x 25 mg atau


diphenhydramine 4 x 25-50 mg / hari selama 1 minggu.

Apabila urtikaria karena dingin, diberikan Siproheptadin (3 x 4 mg)


lebih efektif selama 1 minggu terus menerus.

Antipruritus topikal: cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol


1% atau 2% selama 1 minggu terus menerus.

Apabila terjadi angioedema atau urtikaria generalisata, dapat diberikan


Prednison oral 60-80 mg mg per hari dalam 3 kali pemberian selama 3
hari dan dosis diturunkan 5-10 mg/hari.

2). Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai


dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
g. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan
anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi. (1, 6, 10)
VII.

PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya bonam dengan tetap menghindari faktor
pencetus.(1)

16

DAFTAR PUSTAKA
1.

Azhar Tanjung EY, Iris Rengganis, Samsuridjal Djauzi , Heru Sundaru, Dina
Mahdi, Nanang Sukmana. Alergi Imunologi Klinik : Prosedur Diagnostik
Penyakit Alergi, Alergi makanan, Alergi obat, RA. Aru W. Sudoyo BS, Idrus
Alwi, Marcellis Simadibrata, Siti Setiati, editor. Jakarta: Interna Publishing;
2009. p377-92 p.

2.

Antonius H Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handraystuti, Nikmah Salamia Idris,


Ellen P Gandaputra, Eva Devita Harmoniati. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2009; p1-4

3.

Donald Y.M. Leung. Allergic Disorders. In: Robert M. Kliegman, Richard E.


Behrman, Hal B. Jenson, Stanton. BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.
18 th ed. Philadelphia: Elseiver; 2007. p. p2184-94.

4.

Muhaimin Rifai PMS. Diktat Alergi dan Hipersensitif. Malang: Universitas


Brawijaya; 2011. p1-48 p.

17

5.

Irsa L. Penyakit Alergi Saluran Napas yang Menyertai Asma. Sari Pediatri.
2005;Vol.7 No.1:p19-24.

6.

Nafsiah Mboi. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer. Jakarta: Menteri Kesehatan RI; 2014.

7.

Wistiani HN. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi pada


Anak. Sari Pediatri. 2011;Vol 13 No. 3:p185-9.

8.

Lie T Merijanti S. Peran Sel Mast dalam Reaksi Hipersensitivitas Tipe I


Jurnal Kedokteran Trisakti. 1999;Vol. 18 No. 3:p145-53.

9.

Eddy Surjanto JP. Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ SMF
ParuRSUD Dr Moewardi Surakarta. Diakses pada 22 November 2014.

10. EM. Dadi Suyoko SPS, Sumadino, Ketut Dewi Kumara. Alergi obat, Alergi
susu sapi, Urtikaria dan Angioedema. Antonius H. Pudjadi BH, Setyo
Handryastuti, Nikmah Salamia Idris, editor: IDAI 2009. p1-9 p.
11. Ni Putu Sudewi NK, EM Dadi Suyoko, Zakiudin Munasir, Arwin AP Akib.
Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi.
Sari Pediatri. 2009;Vol.11(3):p1-5.
12. Sjawitri P Siregar. Alergi makanan pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri. Desember
2001; Vol. 3 No. 3:p168 - 174
13. Anton Christanto, Tedjo Oedono. Manifestasi Alergi Makanan pada Telinga, Hidung,
dan Tenggorok. Continuing Medical Education. 2011;Vol 38 No.6:p410-415

18

Anda mungkin juga menyukai