Anda di halaman 1dari 185

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 TAHUN 2008


TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
b.

c.

d.
e.

Mengingat :

bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi


pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian
penting bagi ketahanan nasional;
bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan
keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara
demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang baik;
bahwa keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam
mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan
Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan
publik;
bahwa pengelolaan informasi publik merupakan salah satu upaya untuk
mengembangkan masyarakat informasi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk UndangUndang tentang
Keterbukaan Informasi Publik;
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, dan Pasal 28 J UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
M E M U T U S K A N:

Menetapkan : UNDANGUNDANG TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung
nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat,
didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun
nonelektronik.
2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau
diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik
lainnya yang sesuai dengan UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan
dengan kepentingan publik.
3. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat,
dan/atau luar negeri.

4. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UndangUndang


ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan
informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau
ajudikasi nonlitigasi.
5. Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara badan publik dan
pengguna informasi publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan
informasi berdasarkan perundangundangan.
6. Mediasi adalah penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak melalui
bantuan mediator komisi informasi.
7. Ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak yang
diputus oleh komisi informasi.
8. Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau
jabatan tertentu pada badan publik.
9. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah pejabat yang bertanggung jawab
di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi
di badan publik.
10. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum, atau badan publik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
11. Pengguna
Informasi Publik adalah orang yang menggunakan informasi publik
sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini.
12. Pemohon
Informasi Publik adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia
yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Bagian Kesatu
Asas

(1)
(2)
(3)
(4)

Pasal 2
Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna
Informasi Publik.
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan
cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang,
kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang
timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah
dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3

Undang-Undang ini bertujuan untuk:


a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik,
program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan
pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien,
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOHON DAN PENGGUNA INFORMASI
PUBLIK SERTA HAK DAN KEWAJIBAN BADAN PUBLIK
Bagian Kesatu
Hak Pemohon Informasi Publik
Pasal 4
(1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini.
(2) Setiap Orang berhak:
a. melihat dan mengetahui Informasi Publik;
b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi
Publik;
c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan UndangUndang ini; dan/atau
d. menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai
alasan permintaan tersebut.
(4) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila
dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan
ketentuan UndangUndang ini.
Bagian Kedua
Kewajiban Pengguna Informasi Publik

(1)
(2)

Pasal 5
Pengguna Informasi Publik wajib menggunakan Informasi Publik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
Pengguna Informasi Publik wajib mencantumkan sumber dari mana ia memperoleh
Informasi Publik, baik yang digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk keperluan
publikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Ketiga
Hak Badan Publik

(1)
(2)
(3)

Pasal 6
Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan
usaha tidak sehat;
c. informasi yang berkaitan dengan hakhak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.
Bagian Keempat
Kewajiban Badan Publik

(1)
(2)
(3)

Pasal 7
Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik
yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain
informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak
menyesatkan.
Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik
harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk

(4)
(5)
(6)

mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan
mudah.
Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil
untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan
nonelektronik.

Pasal 8
Kewajiban Badan Publik yang berkaitan dengan kearsipan dan pendokumentasian Informasi
Publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan.
BAB IV
INFORMASI YANG WAJIB DISEDIAKAN DAN DIUMUMKAN
Bagian Kesatu
Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala

(1)
(2)

(3)
(4)

(5)
(6)

Pasal 9
Setiap Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala.
Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau
d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Kewajiban memberikan dan menyampaikan Informasi Publik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.
Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa
yang mudah dipahami.
Caracara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan lebih lanjut oleh Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Badan Publik terkait.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Badan Publik memberikan dan menyampaikan
Informasi Publik secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Petunjuk Teknis Komisi Informasi.
Bagian Kedua
Informasi yang Wajib Diumumkan secara Sertamerta

(1)
(2)

Pasal 10
Badan Publik wajib mengumumkan secara sertamerta suatu informasi yang dapat
mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.
Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa
yang mudah dipahami.
Bagian Ketiga
Informasi yang Wajib Tersedia Setiap Saat

(1)

Pasal 11
Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi:
a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak
termasuk informasi yang dikecualikan;
b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;
c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;
d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan
Publik;
e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga;
f. informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang
terbuka untuk umum;

g.

(2)

(3)

prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat;
dan/atau
h. laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam
UndangUndang ini.
Informasi Publik yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme
keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48,
Pasal 49, dan Pasal 50 dinyatakan sebagai Informasi Publik yang dapat diakses oleh
Pengguna Informasi Publik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban Badan Publik
menyediakan Informasi Publik yang dapat diakses oleh Pengguna Informasi Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Petunjuk Teknis Komisi
Informasi.

Pasal 12
Setiap tahun Badan Publik wajib mengumumkan layanan informasi, yang meliputi:
a. jumlah permintaan informasi yang diterima;
b. waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi setiap permintaan informasi;
c. jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi; dan/atau
d. alasan penolakan permintaan informasi.
Pasal 13
(1) Untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik:
a. menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi; dan
b. membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat,
mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik yang
berlaku secara nasional.
(2) Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dibantu oleh pejabat fungsional.
Pasal 14
Informasi Publik yang wajib disediakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara dalam UndangUndang ini
adalah:
a. nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu
pendirian, dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar;
b. nama lengkap pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris
perseroan;
c. laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan laba rugi, dan laporan tanggung jawab
sosial perusahaan yang telah diaudit;
d. hasil penilaian oleh auditor eksternal, lembaga pemeringkat kredit dan lembaga
pemeringkat lainnya;
e. sistem dan alokasi dana remunerasi anggota komisaris/dewan pengawas dan direksi;
f. mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewan pengawas;
g. kasus hukum yang berdasarkan UndangUndang terbuka sebagai Informasi Publik;
h. pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan prinsipprinsip
transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran;
i. pengumuman penerbitan efek yang bersifat utang;
j. penggantian akuntan yang mengaudit perusahaan;
k. perubahan tahun fiskal perusahaan;
l. kegiatan penugasan pemerintah dan/atau kewajiban pelayanan umum atau subsidi;
m. mekanisme pengadaan barang dan jasa; dan/atau
n. informasi lain yang ditentukan oleh UndangUndang yang berkaitan dengan Badan Usaha
Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah.
Pasal 15
Informasi Publik yang wajib disediakan oleh partai politik dalam UndangUndang ini adalah:
a. asas dan tujuan;
b. program umum dan kegiatan partai politik;
c. nama, alamat dan susunan kepengurusan dan perubahannya;
d. pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
e. mekanisme pengambilan keputusan partai;

f.
g.

keputusan partai yang berasal dari hasil muktamar/kongres/munas dan/atau keputusan


lainnya yang menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai terbuka untuk
umum; dan/atau
informasi lain yang ditetapkan oleh UndangUndang yang berkaitan dengan partai politik.

Pasal 16
Informasi Publik yang wajib disediakan oleh organisasi nonpemerintah dalam UndangUndang
ini adalah:
a. asas dan tujuan;
b. program dan kegiatan organisasi;
c. nama, alamat, susunan kepengurusan, dan perubahannya;
d. pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan
masyarakat, dan/atau sumber luar negeri;
e. mekanisme pengambilan keputusan organisasi;
f. keputusankeputusan organisasi; dan/atau
g. informasi lain yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan.
BAB V
INFORMASI YANG DIKECUALIKAN
Pasal 17
Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk
mendapatkan Informasi Publik, kecuali:
a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:
1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;
2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui
adanya tindak pidana;
3. mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencanarencana yang berhubungan dengan
pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
4. membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya;
dan/atau
5. membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.
b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan
perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:
1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan
ancaman dari dalam dan luar negeri;
2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang
berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang
meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;
3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam
penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana
pengembangannya;
4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer;
5. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala
tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan
negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat
rahasia;
6. sistem persandian negara; dan/atau
7. sistem intelijen negara.
d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik,
dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:

1. rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset
vital milik negara;
2. rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan;
3. rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak,
tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya;
4. rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti;
5. rencana awal investasi asing;
6. proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya;
dan/atau
7. hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang.
f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik,
dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri :
1. posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam
hubungannya dengan negosiasi internasional;
2. korespondensi diplomatik antarnegara;
3. sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan
internasional; dan/atau
4. perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri.
g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat
pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
4. hasilhasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi
kemampuan seseorang; dan/atau
5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan
pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.
i. memorandum atau suratsurat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut
sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan UndangUndang.
(1)

(2)

(3)

(4)
(5)

(6)

Pasal 18
Tidak termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan adalah informasi berikut:
a. putusan badan peradilan;
b. ketetapan, keputusan, peraturan, surat edaran, ataupun bentuk kebijakan lain, baik
yang tidak berlaku mengikat maupun mengikat ke dalam ataupun ke luar serta
pertimbangan lembaga penegak hukum;
c. surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan;
d. rencana pengeluaran tahunan lembaga penegak hukum;
e. laporan keuangan tahunan lembaga penegak hukum;
f. laporan hasil pengembalian uang hasil korupsi; dan/atau
g. informasi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf
g dan huruf h, antara lain apabila :
a. pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis; dan/atau
b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatanjabatan publik.
Dalam hal kepentingan pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, Kepala Kepolisian
Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan/atau Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya
yang diberi kewenangan oleh UndangUndang dapat membuka informasi yang
dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, huruf i, dan huruf j.
Pembukaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
dengan cara mengajukan permintaan izin kepada Presiden.
Permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) untuk kepentingan
pemeriksaan perkara perdata yang berkaitan dengan keuangan atau kekayaan negara di
pengadilan, permintaan izin diajukan oleh Jaksa Agung sebagai pengacara negara
kepada Presiden.
Izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diberikan oleh
Presiden kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Komisi

(7)

Pemberantasan Korupsi, Pimpinan Lembaga Negara Penegak Hukum lainnya, atau Ketua
Mahkamah Agung.
Dengan mempertimbangkan kepentingan pertahanan dan keamanan negara dan
kepentingan umum, Presiden dapat menolak permintaan informasi yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 19
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan
pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan saksama dan
penuh ketelitian sebelum menyatakan Informasi Publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh
setiap Orang.
(1)
(2)

Pasal 20
Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f tidak bersifat permanen.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pengecualian diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VI
MEKANISME MEMPEROLEH INFORMASI

Pasal 21
Mekanisme untuk memperoleh Informasi Publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu,
dan biaya ringan.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

(8)

(9)

Pasal 22
Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh
Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis.
Badan Publik wajib mencatat nama dan alamat Pemohon Informasi Publik, subjek dan
format informasi serta cara penyampaian informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi
Publik.
Badan Publik yang bersangkutan wajib mencatat permintaan Informasi Publik yang
diajukan secara tidak tertulis.
Badan Publik terkait wajib memberikan tanda bukti penerimaan permintaan Informasi
Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berupa nomor pendaftaran pada
saat permintaan diterima.
Dalam hal permintaan disampaikan secara langsung atau melalui surat elektronik, nomor
pendaftaran diberikan saat penerimaan permintaan.
Dalam hal permintaan disampaikan melalui surat, pengiriman nomor pendaftaran dapat
diberikan bersamaan dengan pengiriman informasi.
Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang
bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan :
a. informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak;
b. Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang
diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaannya dan
Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang
diminta;
c. penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan yang tercantum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17;
d. dalam hal permintaan diterima seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi
informasi yang akan diberikan;
e. dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat
dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya;
f. alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan; dan/atau
g. biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta.
Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permintaan informasi kepada Badan Publik
diatur oleh Komisi Informasi.

BAB VII
KOMISI INFORMASI
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 23
Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UndangUndang ini dan
peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan
menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 24
(1) Komisi
Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi provinsi, dan jika
dibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/kota.
(2) Komisi
Informasi Pusat berkedudukan di ibu kota Negara.
(3) Komisi
Informasi provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi dan Komisi Informasi
kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Susunan

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Pasal 25
Anggota Komisi Informasi Pusat berjumlah 7 (tujuh) orang yang mencerminkan unsur
pemerintah dan unsur masyarakat.
Anggota Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota berjumlah 5
(lima) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
Komisi Informasi dipimpin oleh seorang ketua merangkap anggota dan didampingi oleh
seorang wakil ketua merangkap anggota.
Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh para anggota Komisi Informasi.
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan musyawarah seluruh
anggota Komisi Informasi dan apabila tidak tercapai kesepakatan dilakukan pemungutan
suara.
Bagian Keempat
Tugas

Pasal 26
(1) Komisi Informasi bertugas :
a. menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi
Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap
Pemohon Informasi Publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini;
b. menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan
c. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
(2) Komisi Informasi Pusat bertugas:
a. menetapkan prosedur pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui Mediasi dan/atau
Ajudikasi nonlitigasi;
b. menerima, memeriksa, dan memutus Sengketa Informasi Publik di daerah selama
Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota belum terbentuk;
dan
c. memberikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya berdasarkan UndangUndang ini
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia setahun sekali
atau sewaktuwaktu jika diminta.
(3) Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota bertugas menerima,
memeriksa, dan memutus Sengketa Informasi Publik di daerah melalui Mediasi dan/atau
Ajudikasi nonlitigasi.

Bagian Kelima
Wewenang
Pasal 27
(1) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi memiliki wewenang:
a. memanggil dan/atau mempertemukan para pihak yang bersengketa;
b. meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh Badan Publik terkait untuk
mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan Sengketa Informasi Publik;
c. meminta keterangan atau menghadirkan pejabat Badan Publik ataupun pihak yang
terkait sebagai saksi dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik;
d. mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam Ajudikasi
nonlitigasi penyelesaian Sengketa Informasi Publik; dan
e. membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga masyarakat dapat menilai
kinerja Komisi Informasi.
(2) Kewenangan Komisi Informasi Pusat meliputi kewenangan penyelesaian Sengketa
Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik pusat dan Badan Publik tingkat provinsi
dan/atau Badan Publik tingkat kabupaten/kota selama Komisi Informasi di provinsi atau
Komisi Informasi kabupaten/kota tersebut belum terbentuk.
(3) Kewenangan Komisi Informasi provinsi meliputi kewenangan penyelesaian sengketa yang
menyangkut Badan Publik tingkat provinsi yang bersangkutan.
(4) Kewenangan Komisi Informasi kabupaten/kota meliputi kewenangan penyelesaian
sengketa yang menyangkut Badan Publik tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan
Bagian Keenam
Pertanggungjawaban

(1)
(2)
(3)
(4)

Pasal 28
Komisi Informasi Pusat bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan
tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Komisi Informasi provinsi bertanggung jawab kepada gubernur dan menyampaikan
laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi yang bersangkutan.
Komisi Informasi kabupaten/kota bertanggung jawab kepada bupati/walikota dan
menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan.
Laporan lengkap Komisi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) bersifat terbuka untuk umum.
Bagian Ketujuh
Sekretariat dan Penatakelolaan Komisi Informasi

(1)
(2)
(3)

(4)
(5)

(6)

Pasal 29
Dukungan administratif, keuangan, dan tata kelola Komisi Informasi dilaksanakan oleh
sekretariat komisi.
Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah.
Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh sekretaris yang ditetapkan oleh Menteri
yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika berdasarkan usulan
Komisi Informasi.
Sekretariat Komisi Informasi provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan
wewenangnya di bidang komunikasi dan informasi di tingkat provinsi yang bersangkutan.
Sekretariat Komisi Informasi kabupaten/kota dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai
tugas dan wewenang di bidang komunikasi dan informasi di tingkat kabupaten/kota yang
bersangkutan.
Anggaran Komisi Informasi Pusat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, anggaran Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Bagian Kedelapan
Pengangkatan dan Pemberhentian

(1)

(2)
(3)
(4)

(1)

(2)
(3)

(1)

(2)
(3)

Pasal 30
Syaratsyarat pengangkatan anggota Komisi Informasi:
a. warga negara Indonesia;
b. memiliki integritas dan tidak tercela;
c. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
5 (lima) tahun atau lebih;
d. memiliki pengetahuan dan pemahaman di bidang keterbukaan Informasi Publik
sebagai bagian dari hak asasi manusia dan kebijakan publik;
e. memiliki pengalaman dalam aktivitas Badan Publik;
f. bersedia melepaskan keanggotaan dan jabatannya dalam Badan Publik apabila
diangkat menjadi anggota Komisi Informasi;
g. bersedia bekerja penuh waktu;
h. berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun; dan
i. sehat jiwa dan raga.
Rekrutmen calon anggota Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah secara terbuka,
jujur, dan objektif.
Daftar calon anggota Komisi Informasi wajib diumumkan kepada masyarakat.
Setiap Orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggota Komisi
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan disertai alasan.
Pasal 31
Calon anggota Komisi Informasi Pusat hasil rekrutmen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia oleh
Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memilih anggota Komisi Informasi Pusat
melalui uji kepatutan dan kelayakan.
Anggota Komisi Informasi Pusat yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia selanjutnya ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 32
Calon anggota Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota hasil
rekrutmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota oleh gubernur dan/atau bupati/walikota paling sedikit 10 (sepuluh) orang
calon dan paling banyak 15 (lima belas) orang calon.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota memilih anggota
Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota melalui uji kepatutan
dan kelayakan.
Anggota Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota yang telah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan/atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kabupaten/kota selanjutnya ditetapkan oleh gubernur dan/atau
bupati/walikota.

Pasal 33
Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk satu periode berikutnya.
Pasal 34
(1) Pemberhentian anggota Komisi Informasi dilakukan berdasarkan keputusan
Informasi sesuai dengan tingkatannya dan diusulkan kepada Presiden untuk
Informasi Pusat, kepada gubernur untuk Komisi Informasi provinsi, dan
bupati/walikota untuk Komisi Informasi kabupaten/kota untuk ditetapkan.
(2) Anggota Komisi Informasi berhenti atau diberhentikan karena:
a. meninggal dunia;
b. telah habis masa jabatannya;
c. mengundurkan diri;
d. dipidana
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun penjara;

Komisi
Komisi
kepada

dengan

e.

sakit jiwa dan raga dan/atau sebab lain yang mengakibatkan yang bersangkutan tidak
dapat menjalankan tugas 1 (satu) tahun berturutturut; atau
f. melakukan tindakan tercela dan/atau melanggar kode etik, yang putusannya ditetapkan
oleh Komisi Informasi.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Keputusan
Presiden untuk Komisi Informasi Pusat, keputusan gubernur untuk Komisi Informasi
provinsi, dan/atau keputusan bupati/walikota untuk Komisi Informasi kabupaten/kota.
(4) Pergantian antarwaktu anggota Komisi Informasi dilakukan oleh Presiden setelah
berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk Komisi
Informasi Pusat, oleh gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi untuk Komisi Informasi provinsi, dan oleh bupati/walikota setelah
berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota untuk
Komisi Informasi kabupaten/kota.
(5) Anggota Komisi Informasi pengganti antarwaktu diambil dari urutan berikutnya berdasarkan
hasil uji kelayakan dan kepatutan yang telah dilaksanakan sebagai dasar pengangkatan
anggota Komisi Informasi pada periode dimaksud.
BAB VIII
KEBERATAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA
MELALUI KOMISI INFORMASI
Bagian Kesatu
Keberatan

(1)

(2)

(1)
(2)
(3)

Pasal 35
Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada
atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan berikut:
a. penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17;
b. tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
c. tidak ditanggapinya permintaan informasi;
d. permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta;
e. tidak dipenuhinya permintaan informasi;
f. pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau
g. penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UndangUndang ini.
Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g dapat
diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah pihak.
Pasal 36
Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1).
Atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) memberikan tanggapan
atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis.
Alasan tertulis disertakan bersama tanggapan apabila atasan pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) menguatkan putusan yang ditetapkan oleh
bawahannya.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Melalui Komisi Informasi

(1)

(2)

Pasal 37
Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan kepada Komisi Informasi Pusat
dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik.
Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).

(1)

(2)

Pasal 38
Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi
kabupaten/kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik
melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
setelah menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
Proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dapat
diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja.

Pasal 39
Putusan Komisi Informasi yang berasal dari kesepakatan melalui Mediasi bersifat final dan
mengikat.
BAB IX
HUKUM ACARA KOMISI
Bagian Kesatu
Mediasi

(1)
(2)
(3)

Pasal 40
Penyelesaian sengketa melalui Mediasi merupakan pilihan para pihak dan bersifat
sukarela.
Penyelesaian sengketa melalui Mediasi hanya dapat dilakukan terhadap pokok perkara
yang terdapat dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf
g.
Kesepakatan para pihak dalam proses Mediasi dituangkan dalam bentuk putusan Mediasi
Komisi Informasi.

Pasal 41
Dalam proses Mediasi anggota Komisi Informasi berperan sebagai mediator.
Bagian Kedua
Ajudikasi
Pasal 42
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Ajudikasi nonlitigasi oleh Komisi Informasi
hanya dapat ditempuh apabila upaya Mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh
salah satu atau para pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang
bersengketa menarik diri dari perundingan.
(1)
(2)
(3)
(4)

Pasal 43
Sidang Komisi Informasi yang memeriksa dan memutus perkara paling sedikit 3 (tiga)
orang anggota komisi atau lebih dan harus berjumlah gasal.
Sidang Komisi Informasi bersifat terbuka untuk umum.
Dalam hal pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumendokumen yang termasuk dalam
pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, maka sidang pemeriksaan perkara
bersifat tertutup.
Anggota Komisi Informasi wajib menjaga rahasia dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Bagian Ketiga
Pemeriksaan

(1)
(2)

(3)

Pasal 44
Dalam hal Komisi Informasi menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi
Publik, Komisi Informasi memberikan salinan permohonan tersebut kepada pihak
termohon.
Pihak termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pimpinan Badan Publik
atau pejabat terkait yang ditunjuk yang didengar keterangannya dalam proses
pemeriksaan.
Dalam hal pihak termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Komisi Informasi dapat
memutus untuk mendengar keterangan tersebut secara lisan ataupun tertulis.

(4)

Pemohon Informasi Publik dan termohon dapat mewakilkan kepada wakilnya yang secara
khusus dikuasakan untuk itu.
Bagian Keempat
Pembuktian

(1)

(2)

Pasal 45
Badan Publik harus membuktikan halhal yang mendukung pendapatnya apabila
menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a.
Badan Publik harus menyampaikan alasan yang mendukung sikapnya apabila Pemohon
Informasi Publik mengajukan permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g.
Bagian Kelima
Putusan Komisi Informasi

(1)

(2)

(3)
(4)
(5)

Pasal 46
Putusan Komisi Informasi tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau
sebagian informasi yang diminta berisikan salah satu perintah di bawah ini:
a. membatalkan
putusan atasan Badan Publik dan memutuskan untuk memberikan
sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik sesuai
dengan keputusan Komisi Informasi; atau
b. mengukuhkan
putusan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
untuk tidak memberikan informasi yang diminta sebagian atau seluruhnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Putusan Komisi Informasi tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g, berisikan salah satu perintah di bawah ini:
a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang ini;
b. memerintahkan Badan Publik untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu
pemberian informasi sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini; atau
c. mengukuhkan pertimbangan atasan Badan Publik atau memutuskan mengenai biaya
penelusuran dan/atau penggandaan informasi.
Putusan Komisi Informasi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali putusan
yang menyangkut informasi yang dikecualikan.
Komisi Informasi wajib memberikan salinan putusannya kepada para pihak yang
bersengketa.
Apabila ada anggota komisi yang dalam memutus suatu perkara memiliki pendapat yang
berbeda dari putusan yang diambil, pendapat anggota komisi tersebut dilampirkan dalam
putusan dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari putusan tersebut.
BAB X
GUGATAN KE PENGADILAN DAN KASASI
Bagian Kesatu
Gugatan ke Pengadilan

(1)
(2)

(1)

(2)

Pasal 47
Pengajuan gugatan dilakukan melalui pengadilan tata usaha negara apabila yang digugat
adalah Badan Publik negara.
Pengajuan gugatan dilakukan melalui pengadilan negeri apabila yang digugat adalah
Badan Publik selain Badan Publik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 48
Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) hanya
dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis
menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut.
Sepanjang menyangkut informasi yang dikecualikan, sidang di Komisi Informasi dan di
pengadilan bersifat tertutup.

(1)

(2)

Pasal 49
Putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dalam penyelesaian
Sengketa Informasi Publik tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh
atau sebagian informasi yang diminta berisi salah satu perintah berikut:
a.
membatalkan putusan Komisi Informasi dan/atau memerintahkan Badan Publik:
1. memberikan sebagian atau seluruh informasi yang dimohonkan oleh Pemohon
Informasi Publik; atau
2. menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh
Pemohon Informasi Publik.
b.
menguatkan putusan Komisi Informasi dan/atau memerintahkan Badan Publik:
1. memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon
Informasi Publik; atau
2. menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh
Pemohon Informasi Publik.
Putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dalam penyelesaian
Sengketa Informasi Publik tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g berisi salah satu perintah berikut:
a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang ini dan/atau
memerintahkan untuk memenuhi jangka waktu pemberian informasi sebagaimana
diatur dalam UndangUndang ini;
b. menolak permohonan Pemohon Informasi Publik; atau
c. memutuskan biaya penggandaan informasi.
b. Pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri memberikan salinan
putusannya kepada para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua
Kasasi

Pasal 50
Pihak yang tidak menerima putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri
dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung paling lambat dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak diterimanya putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 51
Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Informasi Publik secara melawan hukum
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 52
Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak
menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang
wajib diumumkan secara sertamerta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau
Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UndangUndang ini,
dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 53
Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, dan/atau
menghilangkan dokumen Informasi Publik dalam bentuk media apa pun yang dilindungi negara
dan/atau yang berkaitan dengan kepentingan umum dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
(1)

Pasal 54
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh
dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17
huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan

(2)

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh
dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17
huruf c dan huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 55
Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau
menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 56
Setiap pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dalam UndangUndang ini dan juga diancam
dengan sanksi pidana dalam UndangUndang lain yang bersifat khusus, yang berlaku adalah
sanksi pidana dari UndangUndang yang lebih khusus tersebut.
Pasal 57
Tuntutan pidana berdasarkan UndangUndang ini merupakan delik aduan dan diajukan melalui
peradilan umum.
BAB XII
KETENTUAN LAINLAIN
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran ganti rugi oleh Badan Publik negara
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Komisi Informasi Pusat harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya UndangUndang ini.
Pasal 60
Komisi Informasi provinsi harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak
diundangkannya UndangUndang ini.
Pasal 61
Pada saat diberlakukannya UndangUndang ini
kewajibannya berdasarkan UndangUndang.

Badan

Publik

harus

melaksanakan

Pasal 62
Peraturan Pemerintah sudah harus ditetapkan sejak diberlakukannya UndangUndang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
(1)
(2)

Pasal 64
UndangUndang ini mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan.
Penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, petunjuk teknis, sosialisasi, sarana
dan prasarana, serta halhal lainnya yang terkait dengan persiapan pelaksanaan UndangUndang ini harus rampung paling lambat 2 (dua) tahun sejak UndangUndang ini
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 61

PENJELASAN
ATAS
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2008
TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
I. UMUM
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F
disebutkan bahwa setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia. Untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh
Informasi, perlu dibentuk undangundang yang mengatur tentang keterbukaan Informasi
Publik. Fungsi maksimal ini diperlukan, mengingat hak untuk memperoleh Informasi
merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan
bernegara yang demokratis.
Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka
adalah hak publik untuk memperoleh Informasi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hak atas Informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka
penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara tersebut makin
dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi juga relevan
untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan
Informasi Publik.
Keberadaan Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai
landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi;
(2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat,
tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana;
(3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi
sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.
Setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik
yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas. Lingkup Badan Publik
dalam Undangundang ini meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta penyelenggara
negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi
nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti
lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau
menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Melalui mekanisme dan pelaksanaan prinsip

keterbukaan, akan tercipta kepemerintahan yang baik dan peran serta masyarakat yang
transparan dan akuntabilitas yang tinggi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan
demokrasi yang hakiki.
Dengan membuka akses publik terhadap Informasi diharapkan Badan Publik termotivasi
untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaikbaiknya.
Dengan demikian, hal itu dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang
merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan
terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tepat waktu adalah pemenuhan atas permintaan Informasi
dilakukan sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini dan peraturan
pelaksanaannya.
Cara sederhana adalah Informasi yang diminta dapat diakses secara mudah
dalam hal prosedur dan mudah juga untuk dipahami.
Biaya ringan adalah biaya yang dikenakan secara proporsional berdasarkan
standar biaya pada umumnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan konsekuensi yang timbul adalah konsekuensi yang
membahayakan kepentingan yang dilindungi berdasarkan UndangUndang ini
apabila suatu Informasi dibuka. Suatu Informasi yang dikategorikan terbuka atau
tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik. Jika kepentingan publik yang
lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu Informasi, Informasi tersebut
harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan membahayakan negara adalah bahaya terhadap
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
keselamatan bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara. Lebih lanjut mengenai Informasi yang membahayakan negara ditetapkan
oleh Komisi Informasi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur, melawan hukum, atau
menghambat persaingan usaha. Lebih lanjut mengenai Informasi persaingan usaha
tidak sehat ditetapkan oleh Komisi Informasi.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan rahasia jabatan adalah rahasia yang menyangkut tugas
dalam suatu jabatan Badan Publik atau tugas negara lainnya yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau
didokumentasikan adalah Badan Publik secara nyata belum menguasai dan/atau
mendokumentasikan Informasi Publik dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan berkala adalah secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu
tertentu.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Informasi yang berkaitan dengan Badan Publik adalah
Informasi yang menyangkut keberadaan, kepengurusan, maksud dan tujuan,
ruang lingkup kegiatan, dan Informasi lainnya yang merupakan Informasi Publik
yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Huruf b
yang dimaksud kinerja Badan Publik adalah kondisi Badan Publik yang
bersangkutan yang meliputi hasil dan prestasi yang dicapai serta kemampuan
kerjanya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sertamerta adalah spontan, pada saat itu juga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d

Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan:
transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan
dan keterbukaan dalam mengemukakan Informasi materiil dan relevan mengenai
perusahaan;
kemandirian adalah suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak mana pun yang tidak
sesuai dengan peraturan perundangundangan dan prinsip korporasi yang sehat;
akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban organ
perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
pertanggungjawaban adalah kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat;
kewajaran adalah keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak pemangku
kepentingan (stakeholder) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan undang-undang yang berkaitan dengan badan
usaha milik negara/badan usaha milik daerah adalah UndangUndang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UndangUndang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta Undang-Undang
yang mengatur sektor kegiatan usaha badan usaha milik negara/badan
usaha milik daerah yang berlaku umum bagi seluruh pelaku usaha dalam
sektor kegiatan usaha tersebut.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan undangundang yang berkaitan dengan partai
politik adalah UndangUndang tentang Partai Politik.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan organisasi nonpemerintah adalah organisasi baik
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang meliputi perkumpulan,
lembaga swadaya masyarakat, badan usaha nonpemerintah yang sebagian

atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat,


dan/atau luar negeri.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan Informasi yang terkait dengan sistem pertahanan
dan keamanan negara adalah Informasi tentang:
1. infrastruktur pertahanan pada kerawanan: sistem komunikasi
strategis pertahanan, sistem pendukung strategis pertahanan, pusat
pemandu, dan pengendali operasi militer;
2. gelar operasi militer pada perencanaan operasi militer, komando dan
kendali operasi militer, kemampuan operasi satuan militer yang
digelar, misi taktis operasi militer, gelar taktis operasi militer, tahapan
dan waktu gelar taktis operasi militer, titiktitik kerawanan gelar militer,
dan kemampuan, kerawanan, lokasi, serta analisis kondisi fisik dan
moral musuh;
3. sistem persenjataan pada spesifikasi teknis operasional alat
persenjataan militer, kinerja dan kapabilitas teknis operasional alat
persenjataan militer, kerawanan sistem persenjataan militer, serta
rancang bangun dan purwarupa persenjataan militer;
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Yang dimaksud dengan sistem persandian negara adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan pengamanan Informasi rahasia negara
yang meliputi data dan Informasi tentang material sandi dan jaring yang
digunakan, metode dan teknik aplikasi persandian, aktivitas
penggunaannya, serta kegiatan pencarian dan pengupasan Informasi
bersandi pihak lain yang meliputi data dan Informasi material sandi yang
digunakan, aktivitas pencarian dan analisis, sumber Informasi bersandi,
serta hasil analisis dan personil sandi yang melaksanakan.
Angka 7
Yang dimaksud dengan sistem intelijen negara adalah suatu sistem
yang mengatur aktivitas badan intelijen yang disesuaikan dengan strata
masingmasing agar lebih terarah dan terkoordinasi secara efektif, efisien,
sinergis, dan profesional dalam mengantisipasi berbagai bentuk dan sifat
potensi ancaman ataupun peluang yang ada sehingga hasil analisisnya
secara akurat, cepat, objektif, dan relevan yang dapat mendukung dan
menyukseskan kebijaksanaan dan strategi nasional.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Memorandum yang dirahasiakan adalah memorandum atau suratsurat
antarBadan Publik atau intraBadan Publik yang menurut sifatnya tidak

disediakan untuk pihak selain Badan Publik yang sedang melakukan


hubungan dengan Badan Publik dimaksud dan apabila dibuka dapat
secara serius merugikan proses penyusunan kebijakan, yakni dapat:
1. mengurangi kebebasan, keberanian, dan kejujuran dalam pengajuan
usul, komunikasi, atau pertukaran gagasan sehubungan dengan
proses pengambilan keputusan;
2. menghambat kesuksesan kebijakan karena adanya pengungkapan
secara prematur;
3. mengganggu keberhasilan dalam suatu proses negosiasi yang akan
atau sedang dilakukan.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal
22
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan mandiri adalah independen dalam
menjalankan wewenang serta tugas dan fungsinya termasuk dalam
memutuskan Sengketa Informasi Publik dengan berdasar pada
Undang-Undang ini, keadilan, kepentingan umum, dan kepentingan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang dimaksud Ajudikasi nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa
Ajudikasi di luar pengadilan yang putusannya memiliki kekuatan
setara dengan putusan pengadilan.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan prosedur pelaksanaan penyelesaian
sengketa adalah prosedur beracara di bidang penyelesaian
sengketa Informasi yang dilakukan oleh Komisi Informasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan kode etik adalah pedoman perilaku
yang mengikat setiap anggota Komisi Informasi, yang
penetapannya dilakukan oleh Komisi Informasi Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Pejabat pelaksana kesekretariatan adalah pejabat struktural
instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya di bidang
komunikasi dan informatika sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah menteri yang
mempunyai tugas dan fungsi di bidang komunikasi dan
informatika.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Sehat jiwa dan raga dibuktikan keterangan tim penguji ditetapkan
oleh pemerintah.
Yang dimaksud dengan terbuka adalah bahwa Informasi setiap
tahapan proses rekrutmen harus diumumkan bagi publik.
Yang dimaksud dengan jujur adalah bahwa proses rekrutmen
berlangsung adil dan nondiskriminatif berdasarkan UndangUndang
ini.
Yang dimaksud dengan objektif adalah bahwa proses rekrutmen
harus mendasarkan pada kriteria yang diatur oleh UndangUndang
ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan tindakan tercela adalah mencemarkan
martabat dan reputasi dan/atau mengurangi kemandirian dan
kredibilitas Komisi Informasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan penggantian antarwaktu anggota Komisi
Informasi adalah pengangkatan anggota Komisi Informasi baru
untuk menggantikan anggota Komisi Informasi yang telah berhenti
atau diberhentikan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1)
sebelum masa jabatannya berakhir.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Pengajuan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi sekurangkurangnya berisikan
nama dan/atau instansi asal pengguna Informasi,
alasan mengajukan keberatan, tujuan menggunakan Informasi, dan
kasus posisi permintaan Informasi dimaksud. Yang dimaksud
dengan atasan Pejabat Pengelola Informasi
dan Dokumentasi adalah pejabat yang merupakan atasan langsung
pejabat yang bersangkutan dan/atau atasan dari atasan langsung
pejabat yang bersangkutan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ditanggapi adalah respons dari Badan
Publik sesuai dengan ketentuan pelayanan yang telah diatur dalam
petunjuk teknis pelayanan Informasi Publik.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Komisi
Informasi hanya dapat diajukan setelah melalui proses keberatan
kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Gugatan terhadap Badan Publik negara yang terkait dengan
kebijakan pejabat tata usaha negara dilaksanakan oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
UndangUndang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Yang dikenakan sanksi dalam ketentuan ini meliputi setiap orang
perseorangan, kelompok orang, badan hukum, atau Badan Publik
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini.
Pasal 52
Yang dapat dikenakan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
a. badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;
b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau
yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana;
atau
c. kedua-duanya.
Pasal 53

Yang dikenakan sanksi dalam ketentuan ini meliputi setiap orang


perseorangan atau kelompok orang atau badan hukum atau Badan
Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dikenakan sanksi dalam ketentuan ini meliputi setiap orang
perseorangan atau kelompok orang atau badan hukum atau Badan
Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Yang dikenakan sanksi dalam ketentuan ini meliputi setiap orang
perseorangan atau kelompok orang atau badan hukum atau Badan
Publik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini.
Pasal 55
Yang dikenakan sanksi dalam ketentuan ini meliputi setiap orang
perseorangan atau kelompok orang atau badan hukum atau Badan
Publik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4846

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat


merupakan hak asasi setiap warga negara
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
28H Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa
pembangunan
ekonomi
nasional
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diselenggarakan
berdasarkan
prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan;
c. bahwa
semangat
otonomi
daerah
dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah membawa perubahan
hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintah
daerah,
termasuk
di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin
menurun
telah
mengancam
kelangsungan
perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku
kepentingan;
e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan
perubahan
iklim
sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup
karena itu perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
f. bahwa . . .

-2f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum


dan memberikan perlindungan terhadap hak
setiap orang untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,
perlu dilakukan pembaruan terhadap UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk
Undang-Undang
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal
33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN


PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan


semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
2. perlindungan . . .

-32.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup


adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.

3.

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar


dan terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan
untuk
menjamin
keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.

4.

Rencana
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat
potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu.

5.

Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan


hidup
yang
merupakan
kesatuan
utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk
keseimbangan,
stabilitas,
dan
produktivitas lingkungan hidup.

6.

Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah


rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan
daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.

7.

Daya
dukung
lingkungan
hidup
adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antarkeduanya.

8.

Daya
tampung
lingkungan
hidup
adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap
zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya.

9.

Sumber daya alam adalah unsur lingkungan


hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan
nonhayati yang secara keseluruhan membentuk
kesatuan ekosistem.
10. Kajian . . .

-410. Kajian
lingkungan
hidup
strategis,
yang
selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian
analisis yang sistematis, menyeluruh, dan
partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang
selanjutnya
disebut
Amdal,
adalah
kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan
usaha
dan/atau kegiatan.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya
disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan
pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan
yang
tidak
berdampak
penting
terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran
batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui
baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.
15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah
ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat
tetap melestarikan fungsinya.
16. Perusakan . . .

-516. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan


orang yang menimbulkan perubahan langsung
atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan
sumber
daya
alam
untuk
menjamin
pemanfaatannya
secara
bijaksana
serta
kesinambungan ketersediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh
aktivitas
manusia
sehingga
menyebabkan
perubahan komposisi atmosfir secara global dan
selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim
alamiah yang teramati pada kurun waktu yang
dapat dibandingkan.
20. Limbah adalah
kegiatan.

sisa

suatu

usaha

dan/atau

21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya


disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk
hidup lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang
selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.

23. Pengelolaan . . .

-623. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang


meliputi
pengurangan,
penyimpanan,
pengumpulan,
pengangkutan,
pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan.
24. Dumping
(pembuangan)
adalah
kegiatan
membuang,
menempatkan,
dan/atau
memasukkan limbah dan/atau bahan dalam
jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu
dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan
hidup tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang timbul dari
kegiatan
yang
berpotensi
dan/atau
telah
berdampak pada lingkungan hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh
perubahan
pada
lingkungan
hidup
yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok
orang yang terorganisasi dan terbentuk atas
kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya
berkaitan dengan lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang
dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
terhadap
persyaratan
hukum
dan
kebijakan
yang
ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna
asli, serta pola interaksi manusia dengan alam
yang menggambarkan integritas sistem alam dan
lingkungan hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk
antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim
di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan
pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang
kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, dan hukum.
32. Setiap . . .

-7-

32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau


badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah
seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong
Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang
ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak
luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan
keresahan masyarakat.
35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin
usaha dan/atau kegiatan.
36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang
diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan
usaha dan/atau kegiatan.
37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintah daerah.
39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

BAB II . . .

-8BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan
dilaksanakan berdasarkan asas:

lingkungan

hidup

a. tanggung jawab negara;


b. kelestarian dan keberlanjutan;
c.

keserasian dan keseimbangan;

d. keterpaduan;
e.

manfaat;

f.

kehati-hatian;

g. keadilan;
h. ekoregion;
i.

keanekaragaman hayati;

j.

pencemar membayar;

k. partisipatif;
l.

kearifan lokal;

m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan


n. otonomi daerah.

Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. menjamin . . .

-9b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan


manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup
dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai
keserasian,
keselarasan,
keseimbangan lingkungan hidup;

dan

f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa


kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas
lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi
manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam
secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan dan
meliputi:
a. perencanaan;

pengelolaan

lingkungan

hidup

b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f. penegakan hukum.
BAB III
PERENCANAAN
Pasal 5
Perencanaan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan:

a.inventarisasi . . .

- 10 a. inventarisasi lingkungan hidup;


b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH.

Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 6
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas
inventarisasi lingkungan hidup:
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk
memperoleh data dan informasi mengenai sumber
daya alam yang meliputi:
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat
pengelolaan.
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion
Pasal 7
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf
b menjadi dasar dalam penetapan wilayah
ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah
berkoordinasi dengan instansi terkait.
(2) Penetapan . . .

- 11 (2) Penetapan
wilayah
ekoregion
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesamaan:
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat; dan
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Pasal 8
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah
ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung
dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.

Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c terdiri atas:
a. RPPLH nasional;
b. RPPLH provinsi; dan
c. RPPLH kabupaten/kota.
(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a disusun berdasarkan
inventarisasi nasional.
(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:
a. RPPLH nasional;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.

(4) RPPLH . . .

- 12 (4) RPPLH
kabupaten/kota
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun
berdasarkan:
a. RPPLH provinsi;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.

Pasal 10
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
disusun
oleh
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memperhatikan:
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat; dan
f. perubahan iklim.
(3) RPPLH diatur dengan:
a. peraturan
pemerintah
untuk
RPPLH
nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH
provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk
RPPLH kabupaten/kota.
(4) RPPLH memuat rencana tentang:
a. pemanfaatan
dan/atau
pencadangan
sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas
dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. pengendalian,
pemantauan,
serta
pendayagunaan dan pelestarian sumber daya
alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan
iklim.
(5) RPPLH . . .

- 13 (5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat


dalam rencana pembangunan jangka panjang
dan rencana pembangunan jangka menengah.

Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal
10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PEMANFAATAN
Pasal 12
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan
berdasarkan RPPLH.
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber
daya alam dilaksanakan berdasarkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup
dengan memperhatikan:
a. keberlanjutan
proses
dan
fungsi
lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan
hidup; dan
c. keselamatan,
mutu
hidup,
dan
kesejahteraan masyarakat.
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh:
a. Menteri untuk daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup nasional dan
pulau/kepulauan;
b. gubernur . . .

- 14 b. gubernur untuk daya dukung dan daya


tampung lingkungan hidup provinsi dan
ekoregion lintas kabupaten/kota; atau
c.

bupati/walikota untuk daya dukung dan daya


tampung lingkungan hidup kabupaten/kota
dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


penetapan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam peraturan
pemerintah.

BAB V
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan.
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran, dan tanggung jawab
masing-masing.
Bagian Kedua . . .

- 15 Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 14
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan
perundang-undangan
berbasis
lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan
dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membuat KLHS untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi
dasar
dan
terintegrasi
dalam
pembangunan
suatu
wilayah
dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau
evaluasi:
a. rencana . . .

- 16 a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta


rencana rincinya, rencana pembangunan
jangka panjang (RPJP), dan rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM)
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang
berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
risiko lingkungan hidup.
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana,
dan/atau
program
terhadap
kondisi
lingkungan hidup di suatu wilayah;
b. perumusan
alternatif
penyempurnaan
kebijakan, rencana, dan/atau program; dan
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan
keputusan kebijakan, rencana, dan/atau
program yang mengintegrasikan prinsip
pembangunan berkelanjutan.

Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai
lingkungan hidup;
c.

dampak

dan

risiko

kinerja layanan/jasa ekosistem;

d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;


e.

tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi


terhadap perubahan iklim; dan

f.

tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman


hayati.
Pasal 17

(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal


15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan,
rencana, dan/atau program pembangunan
dalam suatu wilayah.
(2) Apabila . . .

- 17 (2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung
dan daya tampung sudah terlampaui,
a. kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan tersebut wajib diperbaiki
sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan
b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah
melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Pasal 18
(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan
masyarakat dan pemangku kepentingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 2
Tata Ruang
Pasal 19
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan keselamatan masyarakat, setiap
perencanaan
tata
ruang
wilayah
wajib
didasarkan pada KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.

Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 20
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan
hidup diukur melalui baku mutu lingkungan
hidup.
(2) Baku mutu . . .

- 18 (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:


a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c.

baku mutu air laut;

d. baku mutu udara ambien;


e.

baku mutu emisi;

f.

baku mutu gangguan; dan

g. baku
mutu
perkembangan
teknologi.

lain
ilmu

sesuai
dengan
pengetahuan dan

(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang


limbah ke media lingkungan hidup dengan
persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
dan
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan
huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f
diatur dalam peraturan menteri.

Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan
lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.

(2) Kriteria . . .

- 19 (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup


meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan
kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim.
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk
produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c.

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup


yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan;

d. kriteria baku kerusakan mangrove;


e.

kriteria baku kerusakan padang lamun;

f.

kriteria baku kerusakan gambut;

g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau


h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya
sesuai
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim didasarkan pada paramater antara lain:
a. kenaikan temperatur;
b. kenaikan muka air laut;
c.

badai; dan/atau

d. kekeringan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria
baku
kerusakan
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5 . . .

- 20 Paragraf 5
Amdal
Pasal 22
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak
kriteria:

penting

ditentukan

berdasarkan

a. besarnya jumlah penduduk yang akan


terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas
dan
berlangsung;

lamanya

dampak

d. banyaknya komponen lingkungan hidup


lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f.

berbalik atau tidak berbaliknya dampak;


dan/atau

g. kriteria
lain
sesuai
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Pasal 23
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan amdal terdiri atas:
a. pengubahan
bentuk
bentang alam;

lahan

dan

b. eksploitasi sumber daya alam, baik


yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan;
c. proses . . .

- 21 c. proses dan kegiatan yang secara


potensial
dapat
menimbulkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup serta pemborosan
dan kemerosotan sumber daya alam
dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya
dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan
sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya
akan
mempengaruhi
pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam
dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan
hayati dan nonhayati;

bahan

h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi


dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan
mempunyai
potensi
besar
untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis
usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.

Pasal 24
Dokumen amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan
keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Pasal 25 . . .

- 22 Pasal 25
Dokumen amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak
usaha dan/atau kegiatan;

rencana

b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana


usaha dan/atau kegiatan;
c. saran
masukan
serta
tanggapan
masyarakat terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta
sifat penting dampak yang terjadi jika
rencana
usaha
dan/atau
kegiatan
tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak
yang terjadi untuk menentukan kelayakan
atau ketidaklayakan lingkungan hidup;
dan
f. rencana pengelolaan
lingkungan hidup.

dan

pemantauan

Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan
berdasarkan prinsip pemberian informasi
yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan
sebelum
kegiatan
dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk
keputusan dalam proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap dokumen amdal.
Pasal 27 . . .

- 23 Pasal 27
Dalam
menyusun
dokumen
amdal,
pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan
kepada pihak lain.

Pasal 28
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27
wajib memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat
kompetensi
penyusun
amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penguasaan metodologi penyusunan
amdal;
b. kemampuan melakukan pelingkupan,
prakiraan, dan evaluasi dampak serta
pengambilan keputusan; dan
c. kemampuan
menyusun
rencana
pengelolaan
dan
pemantauan
lingkungan hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan
oleh
lembaga
sertifikasi
kompetensi
penyusun
amdal
yang
ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
(4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
sertifikasi
dan
kriteria
kompetensi
penyusun amdal diatur dengan peraturan
Menteri.
Pasal 29
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi
Penilai
Amdal
yang
dibentuk
oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Komisi . . .

- 24 (2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi


dari
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
(3) Persyaratan
dan
tatacara
lisensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
(1) Keanggotaan
Komisi
Penilai
Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
terdiri atas wakil dari unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang
terkait dengan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang
terkait dengan dampak yang timbul
dari suatu usaha dan/atau kegiatan
yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi
terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi
Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis
yang terdiri atas pakar independen yang
melakukan kajian teknis dan sekretariat
yang dibentuk untuk itu.
(3) Pakar
independen
dan
sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.
Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai
Amdal,
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
menetapkan
keputusan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32 . . .

- 25 Pasal 32
(1) Pemerintah
dan
pemerintah
daerah
membantu penyusunan amdal bagi usaha
dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah
yang
berdampak
penting
terhadap
lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi,
biaya, dan/atau penyusunan amdal.
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan
golongan ekonomi lemah diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai
dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 6
UKL-UPL
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
tidak termasuk dalam kriteria wajib
amdal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.
(2) Gubernur
atau
bupati/walikota
menetapkan
jenis
usaha
dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan
UKL-UPL.
Pasal 35
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak
wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib
membuat surat pernyataan kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup.
(2) Penetapan . . .

- 26 (2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan kriteria:
a. tidak
termasuk
dalam
kategori
berdampak
penting
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1);
dan
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL
dan
surat
pernyataan
kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup diatur dengan peraturan Menteri.

Paragraf 7
Perizinan
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
wajib memiliki amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan
keputusan kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan
yang
dimuat
dalam
keputusan kelayakan lingkungan hidup
atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya
wajib
menolak permohonan izin lingkungan
apabila permohonan izin tidak dilengkapi
dengan amdal atau UKL-UPL.
(2) Izin . . .

- 27 (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan
apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam
permohonan izin mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan,
serta
ketidakbenaran
dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau
informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat
sebagaimana
tercantum
dalam
keputusan komisi tentang kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam
dokumen amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan
dapat
dibatalkan
melalui
keputusan
pengadilan tata usaha negara.

Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya wajib
mengumumkan setiap permohonan dan
keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang
mudah diketahui oleh masyarakat.

Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan
untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Dalam . . .

- 28 (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin


usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan
mengalami
perubahan,
penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
memperbarui izin lingkungan.

Pasal 41
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
sampai dengan Pasal 40 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 42
(1)

Dalam
rangka
melestarikan
fungsi
lingkungan
hidup,
Pemerintah
dan
pemerintah daerah wajib mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen
ekonomi
lingkungan hidup.

(2)

Instrumen ekonomi lingkungan hidup


sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan
ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.
Pasal 43

(1)

Instrumen perencanaan pembangunan dan


kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan
hidup;
b. penyusunan . . .

- 29 b. penyusunan produk domestik bruto dan


produk domestik regional bruto yang
mencakup penyusutan sumber daya
alam dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme
kompensasi/imbal
lingkungan hidup antardaerah; dan

jasa

d. internalisasi biaya lingkungan hidup.


(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(2) huruf b meliputi:
a.

dana jaminan pemulihan lingkungan


hidup;

b.

dana
penanggulangan
pencemaran
dan/atau kerusakan dan pemulihan
lingkungan hidup; dan

c.

dana amanah/bantuan untuk


konservasi.

(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c
antara lain diterapkan dalam bentuk:
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah
lingkungan hidup;
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi
lingkungan hidup;
c. pengembangan sistem lembaga keuangan
dan pasar modal yang ramah lingkungan
hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin
pembuangan limbah dan/atau emisi;
e. pengembangan sistem pembayaran jasa
lingkungan hidup;
f. pengembangan
hidup;

asuransi

g. pengembangan
sistem
lingkungan hidup; dan

lingkungan
label

ramah

h. sistem penghargaan kinerja di bidang


perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(4) Ketentuan . . .

- 30 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen


ekonomi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat
(1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 9
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 44
Setiap penyusunan peraturan perundangundangan pada tingkat nasional dan daerah
wajib memperhatikan perlindungan fungsi
lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia serta pemerintah daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib
mengalokasikan anggaran yang memadai
untuk membiayai:
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup; dan
b. program pembangunan yang berwawasan
lingkungan hidup.
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran
dana alokasi khusus lingkungan hidup yang
memadai untuk diberikan kepada daerah
yang memiliki kinerja perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Pasal 46 . . .

- 31 Pasal 46
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi
lingkungan hidup yang kualitasnya telah
mengalami pencemaran dan/atau kerusakan
pada saat undang-undang ini ditetapkan,
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengalokasikan anggaran untuk pemulihan
lingkungan hidup.
Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 47
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak penting
terhadap
lingkungan
hidup,
ancaman
terhadap
ekosistem
dan
kehidupan,
dan/atau
kesehatan
dan
keselamatan
manusia wajib melakukan analisis risiko
lingkungan hidup.
(2) Analisis
risiko
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis
risiko lingkungan hidup diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 48
Pemerintah mendorong penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit lingkungan hidup dalam rangka
meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
Pasal 49 . . .

- 32 Pasal 49
(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup
kepada:
a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang
berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup;
dan/atau
b. penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
menunjukkan
ketidaktaatan
terhadap
peraturan
perundang-undangan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
wajib melaksanakan audit lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan
audit
lingkungan
hidup
terhadap kegiatan tertentu yang berisiko
tinggi dilakukan secara berkala.

Pasal 50
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(1), Menteri dapat melaksanakan atau
menugasi pihak ketiga yang independen
untuk melaksanakan audit lingkungan hidup
atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
(2) Menteri
mengumumkan
lingkungan hidup.

hasil

audit

Pasal 51
(1) Audit
lingkungan
hidup
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49
dilaksanakan oleh auditor lingkungan
hidup.
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
sertifikat kompetensi auditor lingkungan
hidup.

(3) Kriteria . . .

- 33 (3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat


kompetensi auditor lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan
tata laksana audit lingkungan hidup;
b. melakukan audit lingkungan hidup
yang meliputi tahapan perencanaan,
pelaksanaan,
pengambilan
kesimpulan, dan pelaporan; dan
c. merumuskan
rekomendasi
langkah
perbaikan sebagai tindak lanjut audit
lingkungan hidup.
(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
kompetensi auditor lingkungan hidup
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 52
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
audit
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 53
(1)

Setiap orang yang melakukan pencemaran


dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib
melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2)

Penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian
informasi
peringatan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian . . .

- 34 b. pengisolasian
pencemaran
kerusakan lingkungan hidup;

dan/atau

c. penghentian
sumber
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
dan/atau
d. cara
lain
yang
sesuai
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 54

(1)

Setiap orang yang melakukan pencemaran


dan/atau perusakan lingkungan hidup
wajib
melakukan
pemulihan
fungsi
lingkungan hidup.

(2)

Pemulihan
fungsi
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran dan
pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e.

(3)

cara
lain
yang
sesuai
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


pemulihan
fungsi
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 55 . . .

- 35 Pasal 55
(1)

Pemegang izin lingkungan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib
menyediakan
dana
penjaminan
untuk
pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(2)

Dana
penjaminan
disimpan
di
bank
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.

(3)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


sesuai
dengan
kewenangannya
dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melakukan
pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan
menggunakan dana penjaminan.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai dana


penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian


pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB VI
PEMELIHARAAN
Pasal 57
(1)

Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan


melalui upaya:
a.

konservasi sumber daya alam;

b.

pencadangan
dan/atau

c.

pelestarian fungsi atmosfer.

sumber

daya

alam;

(2) Konservasi . . .

- 36 (2)

(3)

(4)

Konservasi sumber daya alam sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
kegiatan:
a. perlindungan sumber daya alam;
b. pengawetan sumber daya alam; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam.
Pencadangan
sumber
daya
alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan sumber daya alam yang tidak
dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.
Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim;
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c.

(5)

upaya
asam.

perlindungan

terhadap

hujan

Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi


dan pencadangan sumber daya alam serta
pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VII

PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN


SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan,
memanfaatkan,
membuang,
mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib
melakukan pengelolaan B3.
(2) Ketentuan . . .

- 37 (2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan


B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun


Pasal 59
(1)

Setiap orang yang menghasilkan limbah B3


wajib melakukan pengelolaan limbah B3
yang dihasilkannya.

(2)

Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,
pengelolaannya
mengikuti
ketentuan
pengelolaan limbah B3.

(3)

Dalam hal setiap orang tidak mampu


melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain.

(4)

Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin


dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.

(5)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


wajib
mencantumkan
persyaratan
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan
kewajiban yang harus dipatuhi pengelola
limbah B3 dalam izin.

(6)

Keputusan
diumumkan.

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan


limbah
B3
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah.

pemberian

izin

wajib

Bagian Ketiga . . .

- 38 Bagian Ketiga
Dumping
Pasal 60
Setiap orang dilarang melakukan dumping
limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin.
Pasal 61
(1)

Dumping sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan
izin
dari
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya.

(2)

Dumping sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi
yang telah ditentukan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


dan persyaratan dumping limbah atau
bahan
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 62

(1)

Pemerintah
dan
pemerintah
daerah
mengembangkan
sistem
informasi
lingkungan
hidup
untuk
mendukung
pelaksanaan dan pengembangan kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.

(2)

Sistem
informasi
lingkungan
hidup
dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi
dan
wajib
dipublikasikan
kepada
masyarakat.

(3) Sistem . . .

- 39 (3)

Sistem informasi lingkungan hidup paling


sedikit memuat informasi mengenai status
lingkungan hidup, peta rawan lingkungan
hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem


informasi lingkungan hidup diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB IX

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH


Pasal 63
(1)

Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan
berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria;
c. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH nasional;
d. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
f.

menyelenggarakan inventarisasi sumber


daya alam nasional dan emisi gas rumah
kaca;

g. mengembangkan standar kerja sama;


h. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
i.

menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai sumber daya alam
hayati dan nonhayati, keanekaragaman
hayati, sumber daya genetik, dan
keamanan hayati produk rekayasa
genetik;

j. menetapkan . . .

- 40 j.

menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
mengenai
pengendalian
dampak
perubahan
iklim
dan
perlindungan lapisan ozon;

k. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai B3, limbah, serta
limbah B3;
l.

menetapkan
dan
kebijakan
mengenai
lingkungan laut;

melaksanakan
perlindungan

m. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
mengenai
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas batas negara;
n. melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah,
dan peraturan kepala daerah;
o. melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
terhadap
ketentuan
perizinan
lingkungan dan peraturan perundangundangan;
p. mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi
kerja
sama
dan
penyelesaian
perselisihan
antardaerah
serta
penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan
pengelolaan
pengaduan
masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata
cara
pengakuan
keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan
lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;

u. mengelola . . .

- 41 u. mengelola informasi lingkungan hidup


nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan,
dan menyosialisasikan pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
w. memberikan
pendidikan,
pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan
laboratorium lingkungan hidup;

standar

y. menerbitkan izin lingkungan;


z.

menetapkan wilayah ekoregion; dan

aa.melakukan
penegakan
lingkungan hidup.
(2)

hukum

Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup, pemerintah provinsi
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS
tingkat provinsi;
c. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
d. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.

menyelenggarakan inventarisasi sumber


daya alam dan emisi gas rumah kaca
pada tingkat provinsi;

f.

mengembangkan dan melaksanakan


kerja sama dan kemitraan;

g. mengoordinasikan dan melaksanakan


pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas
kabupaten/kota;
h. melakukan
pembinaan
dan
pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan, peraturan daerah, dan
peraturan
kepala
daerah
kabupaten/kota;
i. melakukan . . .

- 42 i.

melakukan pembinaan dan pengawasan


ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;

j.

mengembangkan dan menerapkan


instrumen lingkungan hidup;

k.

mengoordinasikan dan memfasilitasi


kerja
sama
dan
penyelesaian
perselisihan
antarkabupaten/antarkota
serta
penyelesaian sengketa;

l.

melakukan pembinaan, bantuan teknis,


dan
pengawasan
kepada
kabupaten/kota di bidang program dan
kegiatan;

m.

melaksanakan
minimal;

n.

menetapkan kebijakan mengenai tata


cara
pengakuan
keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan
lokal, dan hak masyarakat hukum
adat
yang
terkait
dengan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
pada
tingkat
provinsi;

o.

mengelola informasi lingkungan hidup


tingkat provinsi;

p.

mengembangkan
dan
menyosialisasikan
pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;

q.

memberikan
pendidikan,
pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;

r.

menerbitkan izin lingkungan


tingkat provinsi; dan

s.

melakukan
lingkungan
provinsi.

standar

penegakan
hidup
pada

pelayanan

pada

hukum
tingkat

(3) Dalam . . .

- 43 (3)

Dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan
kebijakan
kabupaten/kota;

tingkat

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS


tingkat kabupaten/kota;
c.

menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
mengenai
RPPLH
kabupaten/kota;

d. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.

menyelenggarakan inventarisasi sumber


daya alam dan emisi gas rumah kaca
pada tingkat kabupaten/kota;

f.

mengembangkan dan melaksanakan


kerja sama dan kemitraan;

g. mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i.

melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan
terhadap
ketentuan
perizinan
lingkungan dan peraturan perundangundangan;

j.

melaksanakan
minimal;

standar

pelayanan

k. melaksanakan
kebijakan
mengenai
tata
cara
pengakuan
keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan
lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup
pada tingkat kabupaten/kota;
l.

mengelola informasi lingkungan hidup


tingkat kabupaten/kota;

m. mengembangkan
dan
melaksanakan
kebijakan sistem informasi lingkungan
hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan . . .

- 44 n. memberikan
pendidikan,
pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan
tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan
penegakan
lingkungan
hidup
pada
kabupaten/kota.

pada

hukum
tingkat

Pasal 64
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan
dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 65
(1)

Setiap orang berhak atas lingkungan hidup


yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak
asasi manusia.

(2)

Setiap
orang
berhak
mendapatkan
pendidikan
lingkungan
hidup,
akses
informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(3)

Setiap orang berhak mengajukan usul


dan/atau keberatan terhadap rencana
usaha
dan/atau
kegiatan
yang
diperkirakan dapat menimbulkan dampak
terhadap lingkungan hidup.

(4)

Setiap orang berhak untuk berperan dalam


perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.
(5) Setiap . . .

- 45 (5)

Setiap orang berhak melakukan pengaduan


akibat dugaan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 66

Setiap orang yang memperjuangkan hak atas


lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat
secara perdata.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 67
Setiap
orang
berkewajiban
memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan berkewajiban:
a.

memberikan informasi yang terkait dengan


perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara benar, akurat, terbuka, dan
tepat waktu;

b.

menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan


hidup; dan

c.

menaati ketentuan tentang baku mutu


lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga . . .

- 46 Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 69
(1)

Setiap orang dilarang:


a. melakukan
perbuatan
mengakibatkan pencemaran
perusakan lingkungan hidup;

yang
dan/atau

b. memasukkan B3 yang dilarang menurut


peraturan
perundang-undangan
ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c.

memasukkan limbah yang berasal dari


luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke media lingkungan hidup
Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. memasukkan limbah B3 ke dalam


wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
e.

membuang limbah ke media lingkungan


hidup;

f.

membuang B3 dan limbah B3 ke media


lingkungan hidup;

g. melepaskan produk rekayasa genetik


ke media lingkungan hidup yang
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
atau
izin
lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan
cara membakar;
i.

menyusun
amdal
tanpa
memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal;
dan/atau

j.

memberikan
informasi
palsu,
menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar.

(2) Ketentuan . . .

- 47 (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) huruf h memperhatikan dengan sungguhsungguh kearifan lokal di daerah masingmasing.
BAB XI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 70

(1)

Masyarakat memiliki hak dan kesempatan


yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

(2)

Peran masyarakat dapat berupa:


a. pengawasan sosial;
b. pemberian
saran,
pendapat,
keberatan, pengaduan; dan/atau
c.

(3)

penyampaian
laporan.

informasi

usul,

dan/atau

Peran masyarakat dilakukan untuk:


a. meningkatkan
kepedulian
dalam
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;
b. meningkatkan
keberdayaan
kemitraan;
c.

kemandirian,
masyarakat,
dan

menumbuhkembangkan
kemampuan
dan kepeloporan masyarakat;

d. menumbuhkembangkan
ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; dan
e.

mengembangkan dan menjaga budaya


dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.

BAB XII . . .

- 48 BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


sesuai
dengan
kewenangannya
wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atas ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.

(2)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


dapat mendelegasikan kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada
pejabat/instansi teknis yang bertanggung
jawab di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

(3)

Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri,


gubernur, atau bupati/walikota menetapkan
pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional.
Pasal 72

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai


dengan
kewenangannya
wajib
melakukan
pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.
Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap
terjadi pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

PASAL 74 . . .

- 49 -

Pasal 74
(1)

Pejabat
pengawas
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(3) berwenang:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau
membuat catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.

(2)

Dalam melaksanakan tugasnya,


pengawas
lingkungan
hidup
melakukan
koordinasi
dengan
penyidik pegawai negeri sipil.

pejabat
dapat
pejabat

(3)

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan


dilarang menghalangi pelaksanaan tugas
pejabat pengawas lingkungan hidup.
Pasal 75

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


pengangkatan pejabat pengawas lingkungan
hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3),
Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kedua . . .

- 50 Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jika
dalam
pengawasan
ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.

(2)

Sanksi administratif terdiri atas:


a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 77

Menteri dapat menerapkan sanksi administratif


terhadap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah
daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Pasal 78
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung
jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79
Pengenaan
sanksi
administratif
berupa
pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 80 . . .

- 51 Pasal 80
(1)

Paksaan
pemerintah
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b
berupa:
a. penghentian
produksi;

sementara

kegiatan

b. pemindahan sarana produksi;


c. penutupan saluran pembuangan air
limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat
yang
berpotensi
menimbulkan
pelanggaran;
f.

penghentian
kegiatan; atau

sementara

seluruh

g. tindakan lain yang bertujuan untuk


menghentikan
pelanggaran
dan
tindakan
memulihkan
fungsi
lingkungan hidup.
(2)

Pengenaan paksaan pemerintah dapat


dijatuhkan
tanpa
didahului
teguran
apabila
pelanggaran
yang
dilakukan
menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius
manusia dan lingkungan hidup;

bagi

b. dampak yang lebih besar dan lebih


luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya;
dan/atau
c.

kerugian
yang
lebih
besar
bagi
lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan
pencemaran
dan/atau
perusakannya.
Pasal 81

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau


kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dapat dikenai denda atas setiap
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan
pemerintah.
Pasal 82 . . .

- 52 -

Pasal 82
(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


berwenang untuk memaksa penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pemulihan lingkungan hidup
akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya.

(2)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


berwenang atau dapat
menunjuk pihak
ketiga untuk
melakukan pemulihan
lingkungan hidup akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang dilakukannya atas beban biaya
penanggung
jawab
usaha
dan/atau
kegiatan.
Pasal 83

Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi


administratif
diatur
dalam
Peraturan
Pemerintah.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 84
(1)

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup


dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan.

(2)

Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan


hidup dilakukan secara suka rela oleh para
pihak yang bersengketa.

(3)

Gugatan melalui pengadilan hanya dapat


ditempuh
apabila
upaya
penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
atau para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua . . .

- 53 -

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 85
(1)

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di


luar pengadilan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran
dan/atau perusakan;
c.

tindakan tertentu untuk menjamin tidak


akan terulangnya pencemaran dan/atau
perusakan; dan/atau

d. tindakan untuk
dampak negatif
hidup.

mencegah timbulnya
terhadap lingkungan

(2)

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak


berlaku terhadap tindak pidana lingkungan
hidup sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini.

(3)

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan


hidup di luar pengadilan dapat digunakan
jasa mediator dan/atau arbiter untuk
membantu
menyelesaikan
sengketa
lingkungan hidup.
Pasal 86

(1)

Masyarakat dapat membentuk lembaga


penyedia
jasa
penyelesaian
sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.

(2)

Pemerintah dan pemerintah daerah dapat


memfasilitasi
pembentukan
lembaga
penyedia
jasa
penyelesaian
sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.
(3) Ketentuan . . .

- 54 (3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga


penyedia
jasa
penyelesaian
sengketa
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan


Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
(1)

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau


kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang
lain
atau
lingkungan
hidup
wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.

(2)

Setiap
orang
yang
melakukan
pemindahtanganan, pengubahan sifat dan
bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari
suatu badan usaha yang
melanggar
hukum tidak melepaskan tanggung jawab
hukum dan/atau kewajiban badan usaha
tersebut.

(3)

Pengadilan
dapat
menetapkan
pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan
putusan pengadilan.

(4)

Besarnya
uang
paksa
berdasarkan
peraturan
undangan.

diputuskan
perundang-

Paragraf 2 . . .

- 55 Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau
kegiatannya
menggunakan
B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.
Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 89
(1)

Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan


gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang
waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
dihitung sejak diketahui adanya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2)

Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa


tidak
berlaku
terhadap
pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan
yang menggunakan dan/atau mengelola B3
serta menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3.
Paragraf 4

Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah


Pasal 90
(1)

Instansi pemerintah dan pemerintah daerah


yang
bertanggung
jawab
di
bidang
lingkungan hidup berwenang mengajukan
gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
menyebabkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
yang
mengakibatkan
kerugian
lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan . . .

- 56 (2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian


lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Paragraf 5

Hak Gugat Masyarakat


Pasal 91
(1)

Masyarakat berhak mengajukan gugatan


perwakilan kelompok untuk kepentingan
dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan
masyarakat apabila mengalami kerugian
akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.

(2)

Gugatan dapat diajukan apabila terdapat


kesamaan fakta atau peristiwa, dasar
hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil
kelompok dan anggota kelompoknya.

(3)

Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat


dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 6

Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup


Pasal 92
(1)

Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab


perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2)

Hak mengajukan gugatan terbatas pada


tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu
tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali
biaya atau pengeluaran riil.

(3)

Organisasi
mengajukan
persyaratan:

lingkungan
hidup
dapat
gugatan apabila memenuhi

a. berbentuk . . .

- 57 a. berbentuk badan hukum;


b. menegaskan
di
dalam
anggaran
dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan hidup; dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata
sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 (dua) tahun.

Paragraf 7
Gugatan Administratif
Pasal 93
(1)

Setiap orang dapat mengajukan gugatan


terhadap keputusan tata usaha negara
apabila:
a. badan atau pejabat tata usaha negara
menerbitkan izin lingkungan kepada
usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal tetapi tidak dilengkapi dengan
dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara
menerbitkan izin lingkungan kepada
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi
tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c.

(2)

badan atau pejabat tata usaha negara


yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan
izin lingkungan.

Tata cara pengajuan gugatan terhadap


keputusan tata usaha negara mengacu
pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara.

BAB XIV . . .

- 58 BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1)

Selain penyidik pejabat polisi Negara


Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri
sipil
tertentu
di
lingkungan
instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
diberi
wewenang sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk
melakukan
penyidikan
tindak
pidana
lingkungan hidup.

(2)

Penyidik pejabat
berwenang:

pegawai

negeri

sipil

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran


laporan atau keterangan berkenaan
dengan
tindak
pidana
di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap
orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
c.

meminta keterangan dan bahan bukti


dari setiap orang berkenaan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup;

d. melakukan
pemeriksaan
atas
pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
e. melakukan . . .

- 59 e.

melakukan pemeriksaan di tempat


tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti,
pembukuan,
catatan,
dan
dokumen lain;

f.

melakukan penyitaan terhadap bahan


dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka


pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i.

memasuki tempat tertentu, memotret,


dan/atau membuat rekaman audio
visual;

j.

melakukan
penggeledahan
terhadap
badan, pakaian, ruangan, dan/atau
tempat lain yang diduga merupakan
tempat dilakukannya tindak pidana;
dan/atau

k. menangkap dan menahan pelaku tindak


pidana.
(3)

Dalam
melakukan
penangkapan
dan
penahanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai
negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

(4)

Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri


sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat
pegawai negeri sipil memberitahukan kepada
penyidik pejabat polisi Negara Republik
Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia memberikan bantuan
guna kelancaran penyidikan.

(5)

Penyidik pejabat pegawai negeri sipil


memberitahukan
dimulainya
penyidikan
kepada penuntut umum dengan tembusan
kepada penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
(6) Hasil . . .

- 60 (6)

Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh


penyidik pegawai negeri sipil disampaikan
kepada penuntut umum.
Pasal 95

(1)

Dalam rangka penegakan hukum terhadap


pelaku tindak pidana lingkungan hidup,
dapat dilakukan penegakan hukum terpadu
antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian, dan kejaksaan di bawah
koordinasi Menteri.

(2)

Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pelaksanaan penegakan hukum terpadu
diatur
dengan
peraturan
perundangundangan.
Bagian Kedua
Pembuktian
Pasal 96

Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak


pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a.

keterangan saksi;

b.

keterangan ahli;

c.

surat;

d.

petunjuk;

e.

keterangan terdakwa; dan/atau

f.

alat bukti lain, termasuk alat bukti yang


diatur
dalam
peraturan
perundangundangan.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97

Tindak pidana dalam


merupakan kejahatan.

undang-undang

ini

Pasal 98 . . .

- 61 Pasal 98
(1)

Setiap
orang
yang
dengan
sengaja
melakukan
perbuatan
yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan
hidup,
dipidana
dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan
denda
paling
sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).

(2)

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).

(3)

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
Pasal 99

(1)

Setiap orang yang karena kelalaiannya


mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan
hidup,
dipidana
dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila . . .

- 62 (2)

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
dan/atau bahaya kesehatan manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
dan paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).

(3)

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp9.000.000.000,00
(sembilan
miliar
rupiah).
Pasal 100

(1)

Setiap orang yang melanggar baku mutu


air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan dipidana, dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).

(2)

Tindak pidana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) hanya dapat dikenakan
apabila sanksi administratif yang telah
dijatuhkan
tidak
dipatuhi
atau
pelanggaran dilakukan lebih dari satu
kali.
Pasal 101

Setiap orang yang


melepaskan dan/atau
mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 102 . . .

- 63 -

Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan
limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan
tidak melakukan pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah
dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf c dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).

Pasal 106 . . .

- 64 Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp15.000.000.000,00
(lima
belas
miliar
rupiah).
Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang
menurut peraturan perundangundangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran
lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 109 . . .

- 65 Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan
tanpa
memiliki
izin
lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 111
(1)

Pejabat pemberi izin lingkungan yang


menerbitkan
izin
lingkungan
tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama
3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).

(2)

Pejabat pemberi izin usaha dan/atau


kegiatan yang menerbitkan izin usaha
dan/atau
kegiatan
tanpa
dilengkapi
dengan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).

Pasal 112 . . .

- 66 Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja
tidak
melakukan
pengawasan
terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang
mengakibatkan
terjadinya
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
yang
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113
Setiap orang yang memberikan informasi
palsu,
menyesatkan,
menghilangkan
informasi,
merusak
informasi,
atau
memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan
dalam
kaitannya
dengan
pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan
dengan
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 115
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi,
atau
menggagalkan
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan
hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri
sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 116 . . .

- 67 -

Pasal 116
(1)

Apabila tindak pidana lingkungan hidup


dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2)

Apabila tindak pidana lingkungan hidup


sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja
badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan
terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam
tindak
pidana
tersebut
tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri atau bersamasama.
Pasal 117

Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi


perintah
atau
pemimpin
tindak
pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa
pidana penjara dan denda diperberat dengan
sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi
pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang
diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili di dalam dan di luar pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
selaku pelaku fungsional.
Pasal 119 . . .

- 68 Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata
tertib berupa:
a.
b.
c.
d.
e.

perampasan keuntungan yang diperoleh dari


tindak pidana;
penutupan seluruh atau sebagian tempat
usaha dan/atau kegiatan;
perbaikan akibat tindak pidana;
pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan
tanpa hak; dan/atau
penempatan
perusahaan
di
bawah
pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 120

(1)

Dalam
melaksanakan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d,
jaksa berkoordinasi dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melaksanakan eksekusi.

(2)

Dalam
melaksanakan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf e, Pemerintah berwenang untuk
mengelola badan usaha yang dijatuhi
sanksi penempatan di bawah pengampuan
untuk melaksanakan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
BAB XVI

KETENTUAN PERALIHAN

(1)

Pasal 121
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,
dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum memiliki dokumen amdal wajib
menyelesaikan audit lingkungan hidup.
(2) Pada . . .

- 69 (2)

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,


dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah
memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum memiliki UKL-UPL wajib membuat
dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 122

(1)

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,


dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap penyusun amdal wajib memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal.

(2)

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini,


dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap auditor lingkungan hidup wajib
memiliki
sertifikat
kompetensi
auditor
lingkungan hidup.
Pasal 123

Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan


hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam
izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak
Undang-Undang ini ditetapkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 125 . . .

- 70 -

Pasal 125
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 126
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan
dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diberlakukan.

Pasal 127
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar . . .

- 71 Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,

Setio Sapto Nugroho

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

I. UMUM
1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan
seluruh
pemangku
kepentingan
berkewajiban
untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam
pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan
agar
lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan
penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup
lain.

2.

Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang


antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan
cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi
nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai
terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang
besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati
dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi
antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan
wawasan Nusantara.
Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap
dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya
produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya
hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya
permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan
punahnya keanekaragaman hayati.
Ketersedian . . .

-2-

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun


kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan
membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat.
Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat
mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas
lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban
sosial.
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi
dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu,
pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan
kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan
berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap
kearifan lokal dan kearifan lingkungan.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan
konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
3.

Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan


seimbang
dengan
fungsi
lingkungan
hidup.
Sebagai
konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan
pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan
pembangunan berkelanjutan.
Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah
daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis
(KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus
dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program
pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS
menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah
terlampaui,
kebijakan,
rencana,
dan/atau
program
pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan
rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang
telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup tidak diperbolehkan lagi.

4. Ilmu . . .

-34.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas


hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk
berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan
berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya
sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi
lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lain.
Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi
masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara
lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang
apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat
mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun
beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar
wilayah Indonesia.
Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai
konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya
pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif
pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui
peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan
amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan
diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta
dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang
amdal.
Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam
memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum
diperoleh izin usaha.

5.

Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak


lingkungan
hidup
perlu
dilaksanakan
dengan
mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan
perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa
penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang
sudah terjadi.
Sehubungan . . .

-4Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu


sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan
sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan
hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun
hukum
pidana.
Ketentuan
hukum
perdata
meliputi
penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan
kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak
gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan selain
akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan
kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa
pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
6.

Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini


memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping
maksimum,
perluasan
alat
bukti,
pemidanaan
bagi
pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum
pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan
hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas
ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu
air limbah, emisi, dan gangguan.

7.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun


1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan UndangUndang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam
Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata
kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses
perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan
dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.

8. Selain . . .

-58.

9.

Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:


a.

keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;

b.

kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;

c.

penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;

d.

penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau


kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen
kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya
pemantauan
lingkungan
hidup,
perizinan,
instrumen
ekonomi
lingkungan
hidup,
peraturan
perundang-undangan
berbasis
lingkungan
hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko
lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

e.

pendayagunaan
pengendalian;

f.

pendayagunaan pendekatan ekosistem;

g.

kepastian
dalam
merespons
perkembangan lingkungan global;

h.

penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi,


akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan
hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;

i.

penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana


secara lebih jelas;

j.

penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan

k.

penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan


hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

perizinan

sebagai

dan

instrumen

mengantisipasi

Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada


Menteri
untuk
melaksanakan
seluruh
kewenangan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi
lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi
kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah
dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Oleh . . .

-6-

Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja


berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu
organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi
pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi
dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi
kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang
lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk
kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas
pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan
pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang
memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas tanggung jawab negara
adalah:
a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam
akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa depan.
b. negara menjamin hak warga negara atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c. negara
mencegah
dilakukannya
kegiatan
pemanfaatan
sumber
daya
alam
yang
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan
keberlanjutan adalah bahwa setiap orang memikul
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu
generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya
dukung
ekosistem
dan
memperbaiki
kualitas
lingkungan hidup.
Huruf c . . .

-7-

Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
asas
keserasian
dan
keseimbangan adalah bahwa pemanfaatan lingkungan
hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan
serta pelestarian ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau
menyinergikan berbagai komponen terkait.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah bahwa
segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya
alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras
dengan lingkungannya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas kehati-hatian adalah
bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha
dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan
alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi
atau menghindari ancaman terhadap pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi,
maupun lintas gender.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas ekoregion adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam,
ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal.
Huruf i . . .

-8Huruf i
Yang dimaksud dengan asas keanekaragaman hayati
adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk
mempertahankan
keberadaan,
keragaman,
dan
keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas
sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani
yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya
secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas pencemar membayar
adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha
dan/atau
kegiatannya
menimbulkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
wajib
menanggung biaya pemulihan lingkungan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan asas partisipatif adalah bahwa
setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan
aktif dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Huruf l
Yang dimaksud dengan asas kearifan lokal adalah
bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Huruf m
Yang dimaksud dengan asas tata kelola pemerintahan
yang baik adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
Huruf n
Yang dimaksud dengan asas otonomi daerah adalah
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3 . . .

-9Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat
yang diakui oleh DPRD.
Huruf e . . .

- 10 Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pengendalian
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini,
antara lain pengendalian:
a. pencemaran air, udara, dan laut; dan
b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat
perubahan iklim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15 . . .

- 11 Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait
yang
batas
dan
sistemnya
ditentukan
berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek
fungsional.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang
dimaksud meliputi:
a. perubahan iklim;
b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan
keanekaragaman hayati;
c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah
bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau
kebakaran hutan dan lahan;
d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya
alam;
e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan
dan/atau lahan;
f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau
terancamnya
keberlanjutan
penghidupan
sekelompok masyarakat; dan/atau
g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan
keselamatan manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi,
dan konsultasi publik.
Ayat (2) . . .

- 12 -

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan baku mutu air adalah
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus
ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air.
Huruf b
Yang dimaksud dengan baku mutu air limbah
adalah ukuran batas atau kadar polutan yang
ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
Huruf c
Yang dimaksud dengan baku mutu air laut
adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus
ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.
Huruf d
Yang dimaksud dengan baku mutu udara
ambien adalah ukuran batas atau kadar zat,
energi, dan/atau komponen yang seharusnya
ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam udara ambien.
Huruf e
Yang dimaksud dengan baku mutu emisi adalah
ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang
untuk dimasukkan ke media udara.

Huruf f . . .

- 13 Huruf f
Yang dimaksud dengan baku mutu gangguan
adalah ukuran batas unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur
getaran, kebisingan, dan kebauan.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan produksi biomassa
adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya
tanah untuk menghasilkan biomassa.
Yang dimaksud dengan kriteria baku kerusakan
tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran
batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat
ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi
biomassa.
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi
biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan
budi daya dan hutan.

Huruf b . . .

- 14 Huruf b
Yang dimaksud dengan kriteria baku kerusakan
terumbu karang adalah ukuran batas perubahan
fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat
ditenggang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau
lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b . . .

- 15 -

Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Jasad renik dalam huruf ini termasuk produk
rekayasa genetik.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .

- 16 -

Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup
dimaksudkan
untuk
menghindari,
meminimalkan,
memitigasi,
dan/atau
mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan.
Pasal 26
Ayat (1)
Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses
pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka
menjaring saran dan tanggapan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga
penyusun amdal atau konsultan.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31 . . .

- 17 Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rekomendasi UKL-UPL dinilai oleh tim teknis instansi
lingkungan hidup.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39 . . .

- 18 Pasal 39
Ayat (1)
Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan
atas keterbukaan informasi. Pengumuman tersebut
memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang
belum menggunakan kesempatan dalam prosedur
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses
pengambilan keputusan izin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan
dalam ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama
lain seperti izin operasi dan izin konstruksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain,
karena kepemilikan beralih, perubahan teknologi,
penambahan atau pengurangan kapasitas produksi,
dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang
berpindah tempat.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan instrumen ekonomi dalam
perencanaan
pembangunan
adalah
upaya
internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam
perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan
dan kegiatan ekonomi.
Huruf b . . .

- 19 Huruf b
Yang dimaksud dengan pendanaan lingkungan
adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan
dan pengelolaan dana yang digunakan bagi
pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal
dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah,
dan lainnya.
Huruf c
Insentif merupakan upaya memberikan dorongan
atau
daya
tarik secara
moneter dan/atau
nonmoneter
kepada
setiap
orang
ataupun
Pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan
kegiatan yang berdampak positif pada cadangan
sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan
hidup.
Disinsentif merupakan pengenaan beban atau
ancaman
secara moneter dan/atau nonmoneter
kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan
pemerintah daerah agar mengurangi kegiatan yang
berdampak negatif pada cadangan sumber daya
alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan neraca sumber daya alam
adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya
alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik
maupun dalam nilai moneter.
Huruf b
Yang dimaksud dengan produk domestik bruto
adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu negara pada periode tertentu.
Yang dimaksud dengan produk domestik regional
bruto adalah nilai semua barang dan jasa yang
diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu.

Huruf c . . .

- 20 Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
mekanisme
kompensasi/imbal
jasa
lingkungan
hidup
antardaerah adalah cara-cara kompensasi/imbal
yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau
pemerintah
daerah
sebagai
pemanfaat
jasa
lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan
hidup.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
internalisasi
lingkungan hidup adalah memasukkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
dalam perhitungan biaya produksi atau biaya
usaha dan/atau kegiatan.

biaya
biaya
hidup
suatu

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan dana jaminan pemulihan
lingkungan hidup adalah dana yang disiapkan oleh
suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan
kualitas lingkungan hidup yang rusak karena
kegiatannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan dana penanggulangan
adalah dana yang digunakan untuk menanggulangi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan dana amanah/bantuan
adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan
donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan
hidup.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengadaan barang dan jasa
ramah lingkungan hidup adalah pengadaaan yang
memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel
ramah lingkungan hidup.

Huruf b . . .

- 21 Huruf b
Yang dimaksud dengan pajak lingkungan hidup
adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan
sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air
bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak
sarang burung walet.
Yang dimaksud dengan retribusi lingkungan hidup
adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan
sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti
retribusi pengolahan air limbah.
Yang dimaksud dengan subsidi lingkungan hidup
adalah kemudahan atau pengurangan beban yang
diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya
berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sistem lembaga keuangan
ramah lingkungan hidup adalah sistem lembaga
keuangan
yang
menerapkan
persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem
lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan
nonbank.
Yang dimaksud dengan pasar modal ramah
lingkungan hidup
adalah pasar modal yang
menerapkan
persyaratan
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang
masuk pasar modal atau perusahaan terbuka,
seperti penerapan persyaratan audit lingkungan
hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di
pasar modal.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
perdagangan
izin
pembuangan limbah dan/atau emisi adalah jual
beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan
untuk dibuang ke media lingkungan hidup
antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Huruf e . . .

- 22 Huruf e
Yang
dimaksud
dengan
pembayaran
jasa
lingkungan hidup adalah pembayaran/imbal yang
diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup
kepada penyedia jasa lingkungan hidup.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asuransi lingkungan hidup
adalah asuransi yang memberikan perlindungan
pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud dengan sistem label ramah
lingkungan hidup adalah pemberian tanda atau
label kepada produk-produk yang ramah lingkungan
hidup.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan
kawasan koservasi dan penurunan tingkat pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47 . . .

- 23 Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan analisis risiko lingkungan adalah
prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji
pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan
pembersihan (clean up) limbah B3.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam ketentuan ini pengkajian risiko meliputi
seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya,
penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan
penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang
tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan
kesehatan manusia maupun lingkungan hidup.
Huruf b
Dalam ketentuan ini pengelolaan risiko meliputi
evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan
pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko,
pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan
pengimplementasian tindakan yang dipilih.
Huruf c
Yang dimaksud dengan komunikasi risiko adalah
proses interaktif dari pertukaran informasi dan
pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi
yang berkenaan dengan risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan usaha dan/atau kegiatan
tertentu yang berisiko tinggi adalah usaha dan/atau
kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau
keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar
dan luas terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan hidup seperti petrokimia, kilang minyak
dan gas bumi, serta pembangkit listrik tenaga
nuklir.
Dokumen . . .

- 24 Dokumen audit lingkungan hidup memuat:


a. informasi yang meliputi
pelaksanaan audit;

tujuan

dan

proses

b. temuan audit;
c. kesimpulan audit; dan
d. data dan informasi pendukung.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b . . .

- 25 Huruf b
Yang dimaksud dengan remediasi adalah upaya
pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk
memperbaiki mutu lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya
pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan
manfaat
lingkungan
hidup
termasuk
upaya
pencegahan
kerusakan
lahan,
memberikan
perlindungan, dan memperbaiki ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan restorasi adalah upaya
pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau
bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana
semula.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemeliharaan lingkungan hidup
adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang
disebabkan oleh perbuatan manusia.
Huruf a
Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain,
konservasi sumber daya air, ekosistem hutan,
ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan
gambut, dan ekosistem karst.

Huruf b . . .

- 26 Huruf b
Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber
daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang
dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya
alam, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau
pemerintah kabupaten/kota dan perseorangan dapat
membangun:
a. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan
hutan;
b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30%
dari luasan pulau/kepulauan; dan/atau
c. menanam dan memelihara pohon di luar
kawasan hutan, khususnya tanaman langka.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengawetan sumber daya
alam adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan
keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya.

Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan mitigasi perubahan iklim
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca
sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak
perubahan iklim.

Yang . . .

- 27 Yang dimaksud dengan adaptasi perubahan iklim


adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap
perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan
kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan
akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang
ditimbulkan
oleh
perubahan
iklim
dapat
dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat
perubahan iklim dapat diatasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan
upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko
terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan dampak negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan
yang
mencakup
pengurangan,
penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau
pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan usaha
yang melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah
mendapatkan izin.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .

- 28 Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain,
keragaman karakter ekologis, sebaran penduduk,
sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

- 29 Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu
konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas
keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan
meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam
pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka
peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain
yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya
memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti
dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup,
laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup,
baik pemantauan penaatan maupun pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata
ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau
pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan
pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau
gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian
peradilan.

Pasal 67 . . .

- 30 Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
B3 yang dilarang dalam ketentuan ini, antara lain,
DDT, PCBs, dan dieldrin.
Huruf c
Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

- 31 Ayat (2)
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan
maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami
tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat
bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah
sekelilingnya.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini
termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal.

Huruf c
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan pelanggaran yang serius adalah
tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75 . . .

- 32 -

Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ancaman yang sangat
serius adalah suatu keadaan yang berpotensi
sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan
banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat
ditunda.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83 . . .

- 33 Pasal 83
Cukup Jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi
hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa
lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang
ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas
pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti
rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat
pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, misalnya perintah untuk:
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan
hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
c. menghilangkan
atau
memusnahkan
penyebab
timbulnya
pencemaran
dan/atau
perusakan
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3) . . .

- 34 Ayat (3)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk
melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Yang dimaksud dengan bertanggung jawab mutlak atau
strict liability
adalah unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam
gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan
terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut
Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksud dengan sampai batas waktu tertentu
adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia
dana lingkungan hidup.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kerugian lingkungan hidup
adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak
milik privat.
Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta
pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak
akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 91 . . .

- 35 Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan koordinasi adalah tindakan
berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil,
sarana,
dan
prasarana
yang
dibutuhkan
dalam
penyidikan.
Ayat (4)
Pemberitahuan dalam Pasal ini bukan merupakan
pemberitahuan dimulainya penyidikan, melainkan untuk
mempertegas wujud koordinasi antara pejabat penyidik
pegawai negeri sipil dan penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .

- 36 Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
alat bukti lain, meliputi,
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau
yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data,
rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat,
dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau
yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada
tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi
yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau
dibaca.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Yang dimaksud dengan melepaskan produk rekayasa genetik
adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk
rekayasa genetik menjadi varietas unggul dan dapat
disebarluaskan setelah memenuhi persyaratan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Yang . . .

- 37 -

Yang dimaksud dengan mengedarkan produk rekayasa genetik


adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada
masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.

Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113 . . .

- 38 -

Pasal 113
Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk
dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan faktafakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.

Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini
adalah badan usaha dan badan hukum.
Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha
dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan
badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga
pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka
yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan
menerima tindakan pelaku fisik tersebut.
Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini
termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup
melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik,
dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya
tindak pidana tersebut.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.

Pasal 121 . . .

- 39 Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3,
izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air
limbah ke sumber air.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS


NOMOR : 7 TAHUN 2014
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI CIAMIS,
Menimbang :

a.

b.

c.

Mengingat :

bahwa eksplorasi Sumber Daya Alam untuk memenuhi


kebutuhan manusia harus memperhatikan kelestarian
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
bahwa dalam melaksanakan pembangunan di daerah
harus berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan sesuai dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pengendalian
Lingkungan Hidup di wilayah Kabupaten Ciamis
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dewasa ini;

d.

bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai c, maka perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang


Pembentukan
Daerah-daerah
Kabupaten
dalam
Lingkungan Provinsi Djawa Barat (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 1950) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang
Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Subang dengan Mengubah Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Djawa Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2851);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);

2.

3.

4.

Undang-Undang

Nomor

41

Tahun

1999

tentang

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun


1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3910);
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang
Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 113, Tambahan
Lembaran Negara Repubik Indonesia Nomor 3982);
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian
Kerusakan
dan
atau
Pencemaran
Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Repubik
Indonesia Nomor 4076);
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4153);
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5230);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 9

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33.

Tahun 2009 tentang Laboratorium Lingkungan;


Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18
Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29
Tahun
2009
tentang
Pedoman
Konservasi
Keanekaragaman Hayati di Daerah;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30
Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan
Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
Serta
Pengawasan
Pemulihan
Akibat
Pencemaran Limbah Berbahaya dan Beracun oleh
Pemerintah Daerah;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 9
Tahun
2010 tentang Tatacara
Pengaduan
dan
Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12
Tahun
2010
tentang
Pelaksanaan
Pengendalian
Pencemaran Udara di Daerah;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15
Tahun 2011 tentang Pedoman Materi Muatan Rancangan
Peraturan Daerah di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17
Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen
Lingkungan Hidup;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8
Tahun 2013 tentang Tata Laksana Penilaian dan
Pemeriksaan
Dokumen
Lingkungan
Hidup
serta
Penerbitan Izin Lingkungan;
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 142
Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang
Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta
Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau
Sumber Air;
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun
2004 tentang Pengelolaan Kualiatas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2004 Nomor 2 Seri C, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2);
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 8 Tahun
2005 tentang Sempadan Sumber Air (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 Nomor 16 Seri C,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 19);
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun
2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Lembaran

34.

35.

36.
37.
38.

39.

40.

41.

Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 Nomor 1 Seri E,


Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 21);
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 Nomor 8 Seri E,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 27);
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun
2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Penaatan Hukum Lingkungan (Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Barat Tahun 2012 Nomor 1 Seri E, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 115);
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 4 Tahun
2001 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Daerah Kabupaten Ciamis Tahun 2001 Nomor 1);
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 14 Tahun
2001 tentang Garis Sempadan (Lembaran Daerah
Kabupaten Ciamis Tahun 2001 Nomor 14);
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 13 Tahun
2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi
Kewenangan Pemerintah Kabupaten Ciamis (Lembaran
Daerah Kabupaten Ciamis Tahun 2008 Nomor 13);
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 17 Tahun
2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Ciamis (Lembaran Daerah Kabupaten Ciamis Tahun
2008 Nomor 17) sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis
Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis tentang Organisasi
Perangkat Daerah Kabupaten Ciamis (Lembaran Daerah
Kabupaten Ciamis Tahun 2013 Nomor 14);
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
(Lembaran Daerah Kabupaten Ciamis Tahun 2012
Nomor 11);
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 15 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Ciamis Tahun 2011 2031 (Lembaran Daerah Kabupaten
Ciamis Tahun 2012 Nomor 15).
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CIAMIS


dan
BUPATI CIAMIS
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I

DAN

KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Dearah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Ciamis.
2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Ciamis.
4. Bupati adalah Bupati Ciamis.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ciamis.
6. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut BPLH
adalah Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Ciamis.
7. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
8. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
9. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup
yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
10. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.
11. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat
potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan.
13. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
14. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

15. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS,


adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah
dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
16. Baku Mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
17. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan
fungsinya.
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam
untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai
serta keanekaragamannya.
19. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
20. Ekoregion adalah wilayah geografis yang mewakili kesamaan ciri iklim,
tanah, air, flora dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam
yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
21. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
22. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya.
23. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya.
24. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas
sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk
kesatuan ekosistem.
25. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
26. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat,
energi dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan
dan/atau
merusak
lingkungan
hidup,
dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain.
27. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disebut Limbah
B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
28. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak
pada lingkungan hidup.
29. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut
Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau

30.
31.

32.

33.

34.

35.

36.
37.

38.

39.

40.

41.

42.

kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi


proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
Kerangka Acuan adalah ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan
hidup yang merupakan hasil pelingkupan.
Analisis Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Andal,
adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting
suatu rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut RKL,
adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut RPL,
adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena
dampak akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan
pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan
usaha
dan/atau kegiatan.
Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi
teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Usaha dan/atau kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat
menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta
menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai
ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan
hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya
disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi,
masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya
dalam kurun waktu tertentu.
Hukum Lingkungan adalah serangkaian norma yang mengatur kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk
manusia
dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi
kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan dan pengawasan.
Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau
tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan
komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan
variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat
dibandingkan.

43. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan,


penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan,
dan/atau penimbunan.
44. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
45. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi
dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya
berkaitan dengan lingkungan hidup.
46. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup
secara lestari.
47. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan
pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan
hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial dan hukum.
48. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah.
49. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk dan muara.
50. Pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah adalah pemanfaatan air
limbah suatu jenis usaha dan/atau kegiatan, yang pada kondisi tertentu
masih mengandung unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan, sebagai
substitusi pupuk dan penyiraman tanah pada lahan pembudidayaan
tanamanan.
51. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang
dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan
unsur lingkungan hidup lainnya.
52. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan
ekonomi untuk mendorong Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap
orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
53. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap
lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
54. Pemrakarsa adalah setiap orang atau Instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab atas suatu usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilaksanakan.
55. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan,
dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah,
konsentrasi, waktu dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke
media lingkungan hidup tertentu.
56. Laboratorium adalah laboratorium yang mempunyai sertifikat akreditasi
laboratorium pengujian parameter kualitas lingkungan dan mempunyai
identitas registrasi.
57. Pengujian parameter kualitas lingkungan yang selanjutnya disebut
pengujian adalah suatu kegiatan teknis yang terdiri atas penetapan dan
penentuan satu sifat atau lebih parameter kualitas lingkungan sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan.

10

58. Registrasi adalah rangkaian kegiatan pendaftaran dan dokumentasi


terhadap laboratorium yang telah terakreditasi untuk mendapatkan
pengakuan sebagai laboratorium lingkungan.
59. Akreditasi adalah rangakain kegiatan pengakuan formal oleh lembaga
akriditasi yang menyatakan bahwa suatu lembaga/laboratorium telah
memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu.
60. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
61. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti, yang bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan
asas :
a. tanggung jawab;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. keanekaragaman hayati;
i. pencemar membayar;
j. partisipatif;
k. kearifan lokal.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan :
a. melindungi wilayah daerah dari pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan;

11

g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup


sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan;
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi :
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan;
f. penegakan hukum.
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 5
Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pemerintah Daerah
bertugas dan berwenang :
a. menetapkan kebijakan;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat daerah;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH daerah;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai AMDAL, UKL-UPL
dan SPPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca ;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
l. mengelola informasi lingkungan hidup;
m. membangun kesadaran lingkungan bagi masyarakat dalam membantu
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
n. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup;
o. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
p. menerbitkan izin lingkungan tingkat Kabupaten;
q. melakukan penegakan hukum lingkungan;
r. melaksanakan tugas lain sesuai kewenangan Daerah.

12

BAB IV
PERENCANAAN
Pasal 6
Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilaksanakan
melalui tahapan :
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion daerah;
c. penyusunan RPPLH.
Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 7
Inventarisasi Lingkungan Hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan
informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi :
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion Daerah
Pasal 8
(1) Penetapan Wilayah Ekoregion Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal
6 huruf b dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan :
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial dan budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat;
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup Daerah.
(2) Penetapan Wilayah Ekoregion Daerah dilaksanakan dengan mengacu
kepada wilayah ekoregion yang ditetapkan oleh tingkat Pusat dan Provinsi.
(3) Penetapan Wilayah Ekoregion Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c adalah RPPLH
Daerah.
(2) RPPLH Daerah disusun berdasarkan :

13

a. RPPLH Provinsi;
b. Penetapan Wilayah Ekoregion Daerah.
Pasal 10
(1) RPPLH Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Bupati
sesuai kewenangannya.
(2) Penyusunan RPPLH Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
memperhatikan :
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat;
f. perubahan iklim.
(3) RPPLH Daerah memuat rencana tentang :
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan
hidup;
c. pengendalian, pemantauan dan pendayagunaan serta pelestarian
sumber daya alam;
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
(4) RPPLH Daerah menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
Daerah
(RPJPD)
dan
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
BAB V
PEMANFAATAN
Pasal 11
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH Daerah.
(2) Dalam hal RPPLH Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan :
a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup;
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati.
BAB VI
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

hidup

14

(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pencegahan;
b. penanggulangan;
c. pemulihan.

lingkungan

hidup

(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah dan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran dan tanggung jawab masing-masing.
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 13
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. AMDAL;
f. UKL-UPL dan SPPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup;
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 14
(1) Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi
dalam pembangunan daerah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program.
(2) KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.
(3) Pemerintah Daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi :
a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD);
b. kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan
dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
(4) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme :

15

a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan/atau program terhadap


kondisi lingkungan hidup di Daerah;
b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau
program;
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan,
rencana
dan/atau
program
yang
mengintegrasikan
prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Pasal 15
KLHS memuat kajian antara lain :
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan dan/atau jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pasal 16
(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) menjadi dasar
bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan Daerah.
(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan
bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, maka :
a. kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan tersebut wajib
diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS;
b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
Paragraf 2
Tata Ruang
Pasal 17
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, KLHS menjadi dasar perencanaan tata ruang wilayah.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 18
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku
mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi :
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu udara ambien;
d. baku mutu emisi;
e. baku mutu gangguan;
f. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

16

(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan


hidup dengan persyaratan :
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup;
b. mendapat izin dari Bupati sesuai kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan perundangundangan.
Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 19
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku
kerusakan akibat perubahan iklim.
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi :
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan;
c. kriteria baku kerusakan gambut;
d. kriteria baku kerusakan karst;
e. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu dan teknologi.
(4) Kriteria baku kerusakan
parameter antara lain :
a. kenaikan temperatur;
b. badai;
c. kekeringan.

akibat

perubahan

iklim didasarkan

pada

Paragraf 5
Amdal
Pasal 20
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.
(2) Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib sesuai dengan tata ruang daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
kepada peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Dokumen Amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan
lingkungan hidup.
(2) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat :
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. saran, masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan;

17

d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang


terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk
menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup;
f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(3) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya
disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
(4) Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal.
(5) Dalam penyusunan dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat meminta bantuan kepada pihak lain.
Pasal 22
(1) Penyusun Amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusunan Amdal.
(2) Sertifikat kompetensi penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusunan Amdal
yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Pasal 23
(1) Dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Daerah.
(2) Komisi Penilai Amdal Daerah dibentuk oleh Bupati.
(3) Susunan Keanggotaan Komisi Penilai Amdal Daerah, terdiri atas :
a. Ketua;
b. Sekretaris;
c. Anggota.
(4) Ketua Komisi Penilai Amdal Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a, dijabat oleh Pejabat setingkat Eselon II di Instansi Lingkungan
Hidup Daerah.
(5) Sekretaris Komisi Penilai Amdal Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b, dijabat oleh Pejabat setingkat Eselon III yang membidangi
Amdal di Instansi Lingkungan Hidup Daerah;
(6) Susunan Keanggotaan Komisi Penilai Amdal Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c, mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Izin Lingkungan.
Pasal 24
(1) Komisi Penilai Amdal Daerah wajib memiliki lisensi dari Bupati.
(2) Ketentuan persyaratan dan tatacara pemberian lisensi mengacu kepada
Peraturan Menteri.
(3) Komisi Penilai Amdal (KPA) dibantu oleh Tim Teknis dan Sekretariat.
(4) Tim Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas :
a. Ketua merangkap anggota yang secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris
KPA;
b. Anggota yang terdiri atas :
1. ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan;
2. ahli di bidang lingkungan hidup dari instansi lingkungan hidup;
3. ahli di bidang yang berkaitan dengan rencana usaha dan/atau
kegiatan dan dampak lingkungan dari rencana usaha dan/atau
kegiatan;

18

4. instansi Lingkungan Hidup Pusat.


(5) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Pejabat setingkat
eselon III ex-officio yang membidangi Amdal pada Instansi Lingkungan
Hidup di Daerah, dan anggota Sekretariat KPA yang terdiri dari staf pada
Instansi Lingkungan Hidup.
(6) Keanggotan Sekretariat KPA Daerah dapat melibatkan staf pada unit kerja
yang membidangi pelayanan publik.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan tim teknis
sebagaimana pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati.
(8) Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal Daerah, Bupati sesuai
kewenangannya menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup.
Paragraf 6
UKL UPL dan SPPL
Pasal 25
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib
Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) wajib memiliki
UKL UPL.
(2) Bupati menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
UKL-UPL.
Pasal 26
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki UKL UPL wajib
membuat Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup (SPPL).
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria :
a. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting;
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan mengenai UKL UPL dan SPPL diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
Paragraf 7
Perizinan
Pasal 27
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui
tahapan :
a. penyusunan Amdal atau UKL-UPL;
b. penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL-UPL;
c. permohonan dan penerbitan izin lingkungan.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup
atau rekomendasi UKL-UPL.

19

(5) Izin lingkungan diterbitkan oleh Bupati sesuai kewenangannya.


Pasal 28
(1) Permohonan
izin
lingkungan
diajukan
secara
tertulis
oleh
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan selaku pemrakarsa kepada
Bupati sesuai dengan kewenangannya.
(2) Permohonan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Kerangka Acuan
Andal dan Andal serta RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL.
(3) Permohonan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan :
a. dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL;
b. dokumen pendirian usaha dan/atau kegiatan;
c. profil usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 29
(1) Bupati wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan
izin tidak dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dapat
dibatalkan apabila :
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL;
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 30
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), izin
lingkungan dapat dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 31
(1) Bupati wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin
lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
yang mudah diketahui oleh masyarakat.
Pasal 32
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbaharui izin lingkungan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penerbitan izin lingkungan diatur
dalam Peraturan Bupati.

20

(5) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan dan/atau telah
beroperasi wajib memiliki izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 33
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah daerah
wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan
hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup;
c. insentif dan/atau disinsentif.
Pasal 34
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a meliputi :
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan produk domestik regional bruto yang mencakup
penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup ;
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) huruf b meliputi :
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan
lingkungan hidup;
c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk :
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
b. pengembangan sistem lembaga keuangan yang ramah lingkungan
hidup;
c. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
d. pengembangan asuransi lingkungan hidup;
e. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup;
f. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
g. pengembangan sistem lingkungan keuangan.
Paragraf 9
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 35
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai :
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

wajib

21

Paragraf 10
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan
kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia untuk
melakukan analisis risiko lingkungan hidup.
(2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko;
c. komunikasi risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 11
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 37
(1) Pemerintah Daerah mendorong penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan
kinerja lingkungan hidup.
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup.
(3) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang usahanya beresiko tinggi
dan/atau yang menunjukan ketidaktaatan terhadap peraturan perundangundangan untuk melakukan audit lingkungan hidup secara berkala dan
mengacu kepada peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 38
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat

22

Pemulihan
Pasal 39
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tahapan :
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi;
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(3) Pemegang izin lingkungan wajib menyediakan dana penjaminan untuk
pemulihan fungsi lingkungan hidup yang disimpan di Bank Pemerintah
yang ditunjuk oleh Bupati sesuai kewenangannya.
(4) Bupati dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi
lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PEMELIHARAAN
Pasal 40
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya :
a. konservasi sumber daya alam;
b. pencadangan sumber daya alam;
c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi kegiatan :
a. perlindungan sumber daya alam;
b. pengawetan sumber daya alam;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam
jangka waktu tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi :
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
BAB VIII
LABORATORIUM LINGKUNGAN
Pasal 41
(1) Pemerintah Daerah menyediakan laboratorium lingkungan untuk
mendukung lingkungan hidup sesuai kebutuhan daerahnya.
(2) Untuk memperoleh pengakuan sebagai laboratorium lingkungan,
laboratorium wajib memiliki :

23

a. sertifikat akreditasi sebagai laboratorium pengujian dengan lingkup


parameter kualitas lingkungan yang diterbitkan oleh lembaga akreditasi
yang berwenang;
b. identitas registrasi yang diterbitkan oleh Menteri.
(3) Ketentuan
untuk
memperoleh
pengakuan
sebagai
laboratorium
lingkungan, mengacu kepada peraturan perundang-undangan.
BAB IX
PEMANTAUAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Pemantauan Kualitas Air
Pasal 42
(1) Bupati sesuai kewenangannya melasanakan pemantauan kualitas air pada
sumber air yang berada didaerahnya.
(2) Pemantauan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap 6 (enam) bulan.
(3) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

dengan

Bagian Kedua
Pemantauan Kualitas Udara
Pasal 43
(1) Bupati sesuai kewenangannya melaksanakan pemantauan kualitas udara
ambien di daerahnya.
(2) Pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
c. perencanaan;
d. persiapan;
e. pelaksanaan;
f. evaluasi.
(3) Pemantauan kualitas udara ambien, dilakukan dengan pedoman teknis
pemantauan kualitas udara ambien sesuai dengan Peraturan Menteri.
(4) Hasil pemantauan kualitas udara ambien, sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Bupati melaporkan kepada Gubernur dengan tembusan kepada
Menteri, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB X
PENGENDALIAN AIR LIMBAH, PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengendalian Air Limbah
Pasal 44
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang melaksanakan pengendalian air
limbah ke sumber air dan pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada
tanah wajib mendapatkan izin Bupati sesuai dengan kewenangannya.
(2) Tatacara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua

24

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun


Pasal 45
(1) Setiap orang dan/atau pelaku usaha yang menyimpan, memanfaatkan,
membuang, mengolah dan/atau menimbun B3 wajib melakukan
pengelolaan B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pengelolaan B3 diatur dengan
Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 46
(1) Setiap orang dan/atau pelaku usaha yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 telah kedaluwarsa,
pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan
limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
(4) Penyimpanan sementara dan pengumpulan limbah B3 sekala daerah wajib
harus mendapat izin.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk minyak pelumas
dan/atau oli bekas.
(6) Bupati wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus
dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
izin.
(7) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan dan kegiatan pengelolaan B3
diatur dalam Peraturan Bupati.
Bagian Keempat
Dumping
Pasal 47
(1) Setiap orang dan/atau pelaku usaha dilarang melakukan dumping limbah
dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
dengan izin Bupati atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di
lokasi yang telah ditentukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara dan persyaratan dumping
limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup, dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
SISTEM INFORMASI
Pasal 48
(1) Pemerintah Daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup
untuk
mendukung
pelaksanaan
dan
pengembangan
kebijakan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu
terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.

dan

25

(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi


mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan
informasi lingkungan hidup lainnya.
BAB XII
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 49
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan
dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 50
Setiap orang dan/atau yang melakukan usaha berkewajiban memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 51
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban :
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup;
c. mentaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 52
(1) Setiap orang dilarang :
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan
ke dalam wilayah Daerah;
c. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Daerah;
d. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
e. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
f. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan;

26

g. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;


h. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;
i. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g memperhatikan
dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
BAB XIII
PERAN MASYARAKAT
Pasal 53
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa :
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan;
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk :
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan
ketanggapsegeraan
masyarakat
untuk
melakukan pengawasan sosial;
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
BAB XIV
KERJASAMA DAERAH
Pasal 54
(1) Dalam rangka meningkatkan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan
mengatasi permasalahan lingkungan hidup di daerah, Bupati dapat
menyelenggarakan kerjasama daerah.
(2) Kerjasama Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. kerjasama antar daerah secara vertikal maupun horizontal;
b. kerjasama dengan pihak ketiga.
(3) Kerjasama Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, dengan
prinsip kerjasama dan saling menguntungkan.
(4) Kerjasama Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 55

27

(1) Bupati wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggungjawab usaha


dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan jika pelanggaran yang serius
di bidang lingkungan hidup.
(2) Bupati wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
(3) Bupati dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggungjawab di
bidang lingkungan hidup.
(4) Dalam melaksanakan pengawasan, Bupati menetapkan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah.
Pasal 56
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (4) berwenang :
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi;
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat
melakukan koordinasi dengan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi
pelaksanaan tugas Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 57
(1) Bupati berwenang menerapkan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan, jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) berasal dari hasil
kerja pengawas lingkungan hidup dan/atau informasi masyarakat.
Pasal 58
(1) Jenis sanksi administratif, terdiri dari :
a. teguran tertulis;
b. paksaan Pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan;
d. pencabutan izin lingkungan.
(2) Dalam hal pemberian sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
paksaan pemerintah dilaksanakan oleh instansi yang membidangi
lingkungan hidup.

28

(3) Penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
membebaskan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dari
tanggungjawab pemulihan dan pidana.
Pasal 59
(1) Penerapan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin
lingkungan dilakukan apabila penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan paksaan Pemerintah.
(2) Bentuk-bentuk paksaan Pemerintah diberikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(3) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan Pemerintah dapat dikenani denda atas setiap
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan Pemerintah.
(4) Besaran denda keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Bupati berdasarkan
usulan Kepala BPLH.
Pasal 60
(1) Apabila sanksi administratif yang diberikan berupa pembekuan izin
lingkungan, Bupati sesuai kewenangannya wajib menerbitkan keputusan
penghentian sementara usaha dan/atau kegiatan.
(2) Apabila sanksi administratif yang diberikan berupa pencabutan izin
lingkungan, Bupati wajib sesuai kewenangannya menerbitkan keputusan
pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
BAB XVI
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
(1)
(2)
(3)

(4)

Pasal 61
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan.
Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara
sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Ketentuan
mengenai
penyelesaian
sengketa
lingkungan
hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 62
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai :
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran
dan/atau perusakan;
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.

29

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak


pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat
digunakan
jasa
mediator
dan/atau
arbiter
untuk
membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pasal 63
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
(2) Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia
jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan
Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 64
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan
bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar
hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban
badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diputuskan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 65
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi, tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.
Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 66
(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti
tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-

30

Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3
Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah Daerah
Pasal 67
Pemerintah Daerah bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup, berwenang
mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
Paragraf 5
Hak Gugat Masyarakat
Pasal 68
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan, perwakilan kelompok untuk
kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat
apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa,
dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota
kelompoknya.
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat, dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Pasal 69
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila
memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut
didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya
paling singkat 2 (dua) tahun.
Paragraf 7
Gugatan Administratif
Pasal 70

31

(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha
negara apabila :
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan
kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak
dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan
kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan
dokumen UKL-UPL;
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tatacara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara
mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
BAB XVII
PENYIDIKAN
Pasal 71
(1) Selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas
dan tanggungjawab di bidang lingkungan hidup, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan,
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret dan/atau membuat rekaman
audio visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan,
dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya
tindak pidana;

32

k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.


(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf k, Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkoordinasi dengan
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal Penyidik Pegawai Negeri Sipil melakukan penyidikan, Penyidik
Pegawai Negeri Sipil memberitahukan kepada Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada penuntut umum dengan tembusan kepada Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
disampaikan kepada penuntut umum.
BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 72
(1) Setiap orang dan/atau badan usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Selain ketentuan pidana sebagaimana diamaksud pada ayat (1) dapat
dikenakan sanksi pidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 73
(1) Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah
Kabupaten Ciamis Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan
Pengendalian Lingkungan Hidup di Wilayah Kabupaten Ciamis dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, seluruh pelaksanaan yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada, tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
(3) Dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah
mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat Peraturan Daerah
ini ditetapkan, Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk
pemulihan lingkungan hidup.
Pasal 74
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang telah dilaksanakan sebelum
berlakunya Peraturan Daerah ini dapat dilaksanakan sepanjang tidak
mengganggu fungsi lingkungan hidup;
b. kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang ada dan berdampak pada
penurunan fungsi konservasi, harus melakukan rekayasa teknik dan/atau
rekayasa vegatatif untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup;

33

c. perizinan kegiatan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah


diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, tetap berlaku sampai
dengan habis masa berlakunya perizinan tersebut.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 75
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Ciamis.
Ditetapkan di Ciamis
pada tanggal
BUPATI CIAMIS,

H. ENGKON KOMARA
Diundangkan di Ciamis
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN CIAMIS,

H. HERDIAT S.
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2014 NOMOR

34

PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS
NOMOR
TAHUN 2014
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
I.

UMUM
Persoalan pembangunan bukan lagi hanya persoalan terbangunnya
bangunan fisik, infrastruktur dan majunya kegiatan ekonomi yang sifatnya
masal. Persoalanpersoalan dimaksud merupakan persoalan lama atau
klasik. Persoalan pembangunan saat ini amat terkait erat dengan
perlindungan terhadap kondisi lingkungan hidup.
Dalam konteks ini, Kabupaten Ciamis juga tidak terlepas dari
persoalan
pembangunan
dan
perlindungan
lingkungan
hidup.
Perkembangan ekonomi dan kuantitas masyarakat di Kabupaten Ciamis
menjadi salah satu alasan mendasar untuk melihat perkembangan
perlindungan lingkungan hidup di Kabupaten Ciamis.
Selain disebabkan oleh persoalan pembangunan, perlindungan
lingkungan hidup juga didasarkan pada pertimbangan bahwa sumberdaya
alam di wilayah Kabupaten Ciamis dan ekosistemnya mempunyai
kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan masyarakat Ciamis
secara luas. Oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari,
selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Ciamis pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun
masa depan.
Sumber daya alam yang terdapat di Kabupaten Ciamis merupakan
sumberdaya alam strategis yang berhak dikelola oleh unsur pemerintah
daerah dan masyarakat Kabupaten Ciamis. Sumber daya alam tersebut
merupakan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak
dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Ciamis,
sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal dinikmati oleh
seluruh masyarakat Kabupaten Ciamis.
Persoalan lingkungan merupakan persoalan yang berdimensi amat
luas. Persoalan tersebut amat terkait erat dengan bidang sosial, ekonomi,
politik, dan bahkan budaya di Kabupaten Ciamis. Persoalan lingkungan
tidak dapat dipandang hanya dari segi teknis lingkungan saja namun
harus dilihat dalam konsep yang lebih beragam.
Kompleksitas inilah yang menjadikan persoalan lingkungan hidup tidak
dapat hanya diselesaikan hanya dengan satu jenis pendekatan saja.
Namun harus menggunakan banyak pendekatan baik untuk kebutuhan
pengambilan kebijakan hingga kepada implementasi kebijakannya.
Pendekatan-pendekatan perlidungan dan pengelolaan tersebut harus
dituangkan sebaik mungkin dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku diantaranya adalah peraturan daerah Kabupaten Ciamis yang
secara khusus mengatur mengenai perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di wilayah kabupaten Ciamis.
Dalam hal ini, produk hukum nasional yang ada telah cukup
menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai pemeliharaan
lingkungan hidup dan Kabupaten Ciamis amat perlu untuk meyusun
kebijakan di tingkat daerah yang turut berorientasi kepada pemeliharaan
lingkungan hidup di wilayah Kabupaten Ciamis.

35

Penyusunan kebijakan tersebut tidak terlepas dari ruang lingkup


kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada
pemerintah daerah Kabupaten Ciamis untuk mengatur mengenai
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Landasan yuridis yang
paling utama adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur secara cukup
komprehensif mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis mengenai muatan materiL kami
sesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Materi
Muatan Rancangan Peraturan Daerah di Bidang Perlindungan dan
Pengelolalaan Lingkungan Hidup.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini merupakan ketentuan umum yang menjelaskan beberapa istilah
yang dipergunakan dalam peraturan daerah ini dengan maksud agar
terdapat pengertian yang sama sehingga tidak terjadi adanya kesalahan
pemahaman dalam penafsiran.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas tanggung jawab adalah :
a. menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa depan.
b. menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c. mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa
setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan
melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki
kualitas lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa
pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek
seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta
pelestarian ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai
unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah bahwa segala usaha
dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan
potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan

36

kesejahteraan masyarakat
lingkungannya.

dan

harkat

manusia

selaras

dengan

Huruf f
Yang dimaksud dengan asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian
mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan
untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari
ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi,
maupun lintas gender.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas keanekaragaman hayati adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan
keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam
nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur
nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Huruf i
Yang dimaksud dengan asas pencemar membayar adalah bahwa setiap
penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung
biaya pemulihan lingkungan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas partisipatif adalah bahwa setiap anggota
masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan
keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Huruf k
Yang dimaksud dengan asas kearifan lokal adalah bahwa dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas

37

Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf d
Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh
DPRD
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup antara lain pengendalian:
a. pencemaran air, dan udara; dan
b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Melibatkan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi dan konsultasi
publik.
Ayat (3)
Huruf a.
Cukup jelas
Huruf b.
Dampak dan/atau resiko lingkungan hidup yang dimaksud meliputi :
a. perubahan iklim;
b. kerusakan, kemerosotan dan/atau kepunahan kanekaragaman
hayati;
c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir,
longsor,kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;
d. penurunan mutu dan kelimpahan sumberdaya alam;
e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;

38

f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya


keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau
g. peningkatan resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a.
Yang dimaksud dengan Baku Mutu Air adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus
ada , dan/atau unsur pencemar yang ditenggang untuk dimasukkan ke
media air.
Huruf b.
Yang dimaksud dengan Baku Mutu Air Limbah adalah ukuran batas
atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimaksukkan ke media air.
Huruf c.
Yang dimaksud dengan Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas
atau kadar zat,energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada,
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara
ambien
Huruf d.
Yang dimaksud dengan Baku Mutu Emisi adalah ukuran batas atau
kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
Huruf e.
Yang dimaksud dengan Baku Mutu Gangguan adalah ukuran batas
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang emliputi unsur
getaran, kebisingan, dan kebauan.
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Amdal merupakan instrumen untuk merencanakan tindakan preventif
terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang mungkin
ditimbulkan dari aktivitas pembangunan. Mengingat fungsinya sebagai
salah satu instrumen dalam perencanaan usaha dan/atau kegiatan,
penyusunan Amdal tidak dilakukan setelah usaha dan/atau kegiatan

39

dilaksanakan. Penyusunan Amdal yang dimaksud dalam ayat ini dilakukan


pada tahap studi kelayakan atau detil rekayasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ketentuan ini melibatkan masyarakat meliputi :
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga penyusunan
amdal atau konsultan.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Pengumuman dalam pasal ini merupakan pelaksanaan atas keterbukaan
informasi. Pengumuman tersebut memungkinkan peran serta
masyarakat khususnya yang belum menggunakan prosedur keberatan,
dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan
izin.

40

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan dalam ayat ini
termasuk izin yang disebut dengan nama lain seperti izin operasi dan
izin kontruksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan yang dimaksud dengan ayat ini, antara kepemilikan beralih,
perubahan teknologi, penambahan atau pengurangan kapasitas
produksi, dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang berpindah
tempat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain meliputi
izin pengendalian air limbah ke air atau sumber air, izin pemanfaatan air
limbah untuk aplikasi pada tanah, izin pengumpulan limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun (lmbah B3) pada skala Kabupaten kecuali
minyak pelumas/oli bekas, izin pengelohan limbah B3 dan izin
penyimpanan limbah B3 serta izin dumping.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan intrumen ekonomi dalam perencanaan
pembangunan adalah upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke
dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan
ekonomi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pendanaan lingkungan adalah suatu sistem
dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan
bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai sumber, misalnya
pungutan, hibah, dan lainnya.
Huruf c
Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara
moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang atau pemerintah
daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan
sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Disinsentif
merupakan pengenaan beban atau ancaman secara moneter dan/atau
nonmoneter kepada setiap orang atau pemerintah daerah agar
melakukan kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumber
daya alam dan kualitas fungsi lingkungan

41

Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan neraca sumberdaya alam adalah gambaran
mengenai cadangan sumberdaya alam dan perubahannya, baik dalam
satuan fisik maupun moneter.
Huruf b
Yang dimaksud dengan produk domestik bruto adalah nilai semua
barang dan jasa yang diproduksi okleh suatu negara pada periode
tertentu. Yang dimaksud dengan produk domestik regional bruto
adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi suatu daerah pada
periode tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan
hidup antar daerah adalah cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan
oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat
jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup.
Huruf d
Yang dimaksud dengan internalisasi biaya lingkungan hidup adalah
memasukkan biaya pencernaan dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau
kegiatan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan dana jaminan pemulihan lingkungan hidup
adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk
pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan dana penanggulangan adalah dana yang
digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan dana amanah/bantuan adalah dana yang
berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi
lingkungan hidup.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan
hidup adalah pengadaan yang memprioritaskan barang dan jasa yang
berlabel ramah lingkungan hidup.
Huruf b
Yang dimaksud dengan sistem lembaga keuangan ramah lingkungan
hidup adalah sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan
pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan non bank

42

Huruf c
Yang dimaksud dengan pembayaran jasa lingkungan hidup adalah
pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan
hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup.
Huruf d
Yang dimaksud asuransi lingkungan hidup adalah asuransi yang
memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Huruf e
Yang dimaksud dengan sistem label ramah lingkungan hidup adalah
pemberian tanda atau label kepada produk-produk yang ramah
lingkungan hidup.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan analisis risiko lingkungan adalah prosedur yang
antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan dan peredaran produk
rekayasa genetik dan pembersihan (clean up) limbah B3.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam ketentuan ini pengkajian risiko meliputi seluruh proses mulai
dari identifikasi bahaya, penafsiran besarnya konsekuensi atau akibat,
dan penafsiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak
diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun
lingkungan hidup.
Huruf b
Dalam ketentuan ini pengelolaan risiko meliputi evaluasi risiko atau
seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan, identifikasi pilihan
pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan
pengimplementasian tindakan yang dipilih.
Huruf c
Yang dimaksud dengan komunikasi risiko adalah proses interakif dari
pertukaran informasi dan pendapat di antara individu, kelompok, dan
institusi yang berkenan dengan risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas

43

Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan remidiasi adalah upaya pemulihan untuk
pencemaran lingkungan hidup untuk memperbaiki mutu lingkungan
hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya pemulihan untuk
mengembalikan nilai, fungsi dan manfaat lingkungan hidup termasuk
upaya pencegahan kerusakan lahan, memberikan perlindungan, dan
memperbaiki ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan restorasi adalah upaya pemulihan untuk
menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali
sebagaimana semula.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud pemeliharaan lingkungan hidup adalah upaya yang
dilkakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup
yang disebabkan oleh perbuatan manusia.
Huruf a.
Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain konservasi sumber
daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir laut, energi, dan ekosistem
karst.
Huruf b.
Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat
dikelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai dengan
kebutuhan. Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam,
pemerintah dan perseorangan dapat membangun :
a. taman keanekaragaman hayati diluar kawasan hutan;
b. Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luasan wilayah.
c. menanam dan memelihara pohon diluar kawasan hutan.
Huruf c
Cukup jelas

44

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud pengawetan sumber daya alam adalah upaya untuk
menjaga keutuhan dan keaslian sumber daya alam beserta
ekositemnya.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Laboratorium lingkungan merupakan laboratorium yang mempunyai
kemampuan dan kewenangan melaksanakan pengujian parameter
kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
yaitu laboratorium yang telah memiliki sertifikasi akreditasi dari
lembaga akreditasi yang berwenang serta memiliki identitas registrasi
dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya untuk
mengurangi terjadinya kemungkinan resiko terhadap lingkungan hidup
yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup, mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan dampak negatif.

45

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup
pengurangan,
penyimpanan,
pengumpulan,
pengangkutan,
pemanfaatan dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud pihak lain adalah badan usaha yang melakukan
pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Sistem
informasi
lingkungan
hidup
memuat
antara
lain
keanekaragaman karakter ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi
sumberdaya daya alam dan kearifan lokal
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi
logis dari hak berperan dalam pengelolan lingkungan hidup yang
berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan
hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam
pengelolaan lingkungan hidup, disamping akan membuka peluang bagi
masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup

46

yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana


dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan atau informasi
lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk
diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan
hidup, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan
kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
B3 yang dilarang dalam ketentuan ini antara lain DDT, PCBs dan
dieldrin
Huruf c
Yang dilarang dalam ketentuan huruf ini termasuk impor
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Huruf i
Cukup Jelas
Ayat (2)
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar perkepala
keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi
oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah
sekelilingnya
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas

47

Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini termasuk dalam
penyusunan KLHS dan AMDAL
Huruf c
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Yang dimaksud dengan pelanggaran yang serius adalah tindakan
melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan
keperdataan para pihak yang bersengketa.

untuk

melindungi

hak

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk
menjamin kepastian hukum.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas

48

Pasal 64
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam
lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain
diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan
tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
a. memasang atau memperbaiki unit pengolah limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
c. menghilangkan atau memusnahkan timbulnya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi fungsi lingkungan hidup.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 65
Yang dimaksud dengan bertanggung jawab mutlak atau strict liability
adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan malanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan sampai batas
waktu tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/kegiatan yang
bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Yang dimaksud dengan kerugian lingkungan hidup adalah kerugian yang
timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
bukan merupakan hak milik privat. Tindakan tertentu merupakan
tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak
akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Pasal 68
Cukup jelas

49

Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan koordinasi adalah tindakan berkonsultasi guna
mendapatkan bantuan personil, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan
dalam penyelidikan.
Ayat (4)
Pemberitahuaan dalam Pasal ini bukan merupakan pemberitahuan
dimulainya penyelidikan, melainkan untuk mempertegas wujud
koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas

Anda mungkin juga menyukai