Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Penyakit Benigna Prostat Hipertrofi


2.1.1 Pengertian
Benigna Prostat Hipertrofi (BPH) adalah pembesaran kelenjar
dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan
perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Prostat adalah
kelenjar yang berlapis kapsula dengan berat kira-kira 20 gram, berada
di sekeliling uretra dan di bawah leher kandung kemih pada pria. Bila
terjadi pembesaran lobus bagian tengah kelenjar prostat akan menekan
dan uretra akan menyempit (Suharyanto, Toto. 2009).
Menurut Yuliana Elin (2011), Benigna Prostat Hipertrofi (BPH)
adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan
dan pengendalian hormon prostat (Amin H. N. & Hardhi K. 2013).
Sedangkan menurut Lab/UPF Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Soetomo Surabaya (1994: 193), Benigna Prostat Hipertrofi
(BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh
karena hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan

kelenjar/jaringan

fibromuskuler

yang

menyebabkan

penyumbatan uratra pars prostatika (Sugeng Jitowiyono. 2010).

Pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada


pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Marilynn E. 2000).
Menurut Kimberly A. J. Bilotta (2012), Deskripsi Benigna
Prostat Hipertrofi, di antaranya:
a. Pembesaran kelenjar prostat yang dapat menekan uretra, sehingga
menyebabkan obstruksi kemih berat.
b. Dapat diatasi secara pembedahan atau simtomatik, bergantung pada
ukuran prostat, usia dan kesehatan pasien, serta derajat obstruksi.
c. Disingkat dengan BPH (Benigna Prostat Hipertrofi).
Pada banyak pasien dengan usia di atas 50 tahun, kelenjar
prostatnya mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium
uretra. Kondisi ini di kenal sebagai Benigna Prostat Hipertrofi (BPH),
pembesaran, atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patologis yang
paling umum pada pria lansia dan penyebab ke dua yang paling sering
untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Smeltzer,
Suzanne C. 2002).

2.1.2

Anatomi Fisiologi Kelenjar Prostat

a. Anatomi Kelenjar Prostat


Prostat adalah kelenjar yang berlapis kapsula dengan berat
kira-kira 20 gram, berada di sekeliling uretra dan di bawah leher
kandung kemih pada pria (Suharyanto, Toto. 2009).

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Prostat (Medical Review. 2013).


Prostat dipertahankan posisinya oleh:
1) Ligamentum puboprostatika
2) Lapisan dalam diafragma urogenitalis
3) M. levator ani pars anterior
4) M. levator prostat bagian dari M. levator ani
Pembuluh darah dan saraf untuk glandula prostat meliputi
arteri pudenda interna, arteri sesikalis inferior, arteri haemoroidalis
medialis. Vena akan membentuk fleksus di sekitar sisi dan basis

10

glandula prostat dan berakhir di vena hipogastrika. Nervus


merupakan cabang dari fleksus pelvis.
Sebagian bersifat glandular dan sebagian lagi bersifat otot.
Glandula prostat terdapat di bawah orifisium uretra interna dan
sekeliling permukaan uretra, melekat di bawah vesika urinaria
dalam rongga pelvis di bawah simfisis pubis posterior. Prostat
merupakan suatu kelenjar yang mempunyai empat lobus, yaitu
posterior, anterior, lateral, dan medial (Syaifuddin, H. 2012)
b. Fisiologi Kelenjar Prostat

Gambar 2.2 Enzim Pada Prostat (Youzdha. 2012).

11

Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang


mengandung ion sitrat, kalsium, ion fosfat, enzim membeku, dan
profibrinolisin.

Selama

pengisian,

sampai

kelenjar

prostat

berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan


seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah lebih
banyak lagi jumlah semen. Sifat yang sedikit basa dari cairan prostat
mungkin penting untuk suatu keberhasilan fertilisasi ovum, karena
cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil
akhir metabolisme sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat
fertilisasi sperma. Juga, sekret vagina bersifat asam (pH 3,5 sampai
4,0). Sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH sekitarnya
meningkat kira-kira 6 sampai 6,5. Akibatnya, merupakan suatu
kemungkinan bahwa cairan prostat menetralkan sifat asam dari
cairan lainnya setelah ejakulasi dan juga meningkatkan motilitas dan
fertilisasi sperma (Guyton & Hall. 1997).
Kelenjar

prostat

menghasilkan

cairan

yang

banyak

mengandung enzim yang berfungsi untuk pengenceran sperma


setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang
membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar
prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra.
Sel-sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui
uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10-30 % dari
ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses

12

reproduksi adalah peradangan (prostatitis). Kelainan yang lain


seperti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun
ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi
tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing.
Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada
laki-laki usia lanjut (Jitowiyono, Sugeng. Dkk. 2010).
Bila terjadi pembesaran lobus bagian tengah kelenjar prostat
akan menekan dan uretra akan menyempit (Suharyanto, Toto. 2009).

Gambar 2.3 Prostat Normal dan Pembengkakan Prostat (Herbal Ace Maxs. 2014)

2.1.3

Etiologi
Penyebab Benigna Prostat Hipertrofi belum diketahui secara
pasti, tetapi dapat dikaitkan dengan keberadaan hormonal yaitu hormon
laki-laki (androgen yaitu testosteron). Diketahui bahwa hormon

13

estrogen juga ikut berperan sebagai penyebab Benigna Prostat


Hipertrofi. Hal ini, didasarkan pada fakta bahwa Benigna Prostat
Hipertrofi terjadi ketika seorang laki-laki kadar hormon estrogen
meningkat dan kadar hormon testosteron menurun, dan ketika jaringan
prostat menjadi lebih sensitive terhadap estrogen serta kurang
responsive terhadap Dihydrotestosteron (DHT), yang merupakan
testosteron eksogen. Hasil riset di China menunjukkan bahwa laki-laki
di daerah pedesaan sangat rendah terkena Benigna Prostat Hipertrofi
dibanding dengan laki-laki yang hidup di daerah perkotaan. Hal ini
terkait dengan gaya hidup seseorang. Laki-laki yang bergaya hidup
seperti orang barat berisiko lebih tinggi terkena gejala Benigna Prostat
Hipertrofi dibanding dengan laki-laki yang bergaya hidup tradisional
atau pedesaan (Suharyanto, Toto. 2009).

2.1.4

Patofisiologi dan Clinical Pathway


a. Patofisiologi
Menurut Basuki (2000: 76), sejalan dengan pertambahan
umur, kelenjar prostat akan mengalami hyperplasia, jika prostat
membesar akan meluas ke atas (bladder) di dalam mempersempit
saluran uretra prostatika dan menyumbat aliran urin. Keadaan ini
dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi
terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli

14

berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar.


Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi
dari buli-buli berupa: Hipertrofi otot destrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran
kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS
(Jitowiyono, Sugeng. Dkk. 2010).
Sedangkan menurut Sunaryo, H. (1999: 11), pada fase-fase
awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi
tidak banyak berubah. Lama kelamaan kemampuan kompensasi
menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan
serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak
adekuat sehingga tersisalah urin di dalam buli-buli saat proses miksi
berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini
dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan)
sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid
puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya
melakukan ekspulsi urin dan terjadinya retensi urin, keadaan ini
disebut

sebagai

Prostat

Hyperplasia

Dekompensata.

Fase

dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam


beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urin
secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan,

15

sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli


tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan
kompensasi adalah ketidakmampuan otot destrusor memompa urin
dan menjadi retensi urin. Retensi urin yang kronis dapat
mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Jitowiyono, Sugeng.
Dkk. 2010).
b. Clinical Pathway

Estrogen dan
testosterone
tidak seimbang

Growth faktor

Sel prostat
umur panjang

Proliferasi
abnormal sel
strem

Sel stroma
pertumbuhan
berpacu

Sel yang mati


kurang

Produksi sel
stroma dan epitel
berlebihan

Prostat membesar

(TURP)

Pemasangan DC

Penyempitan
lumen posterior

obstruksi

Pk Perdarahan

Iritasi mukosa
kandung kencing/
terputusnya jaringan

Rangsangan saraf
diameter kecil

luka

Kurangnya informasi
terhadap pembedahan

Tempat masuknya
mikroorganisme
Cemas

Retensi Urin

Resiko Infeksi

16

Nyeri Akut

Gate kontrol terbuka

Saraf aferen
GangguanEli
minasi Urin

Disfungsi
Seksual
Cortex cerebri

Nyeri Akut

Gambar 2.4 Clinical Pathway (Amin H. N. & Hardhi K. 2013).

2.1.5

Tanda dan Gejala


Gejala-gejala Benigna Prostat Hipertrofi dapat diklasifikasikan
karena obstruksi dan iritasi. Gejala-gejala obstruksi meliputi hesitansi,
intermitten, pengeluaran urin yang tidak tuntas, aliran urin yang buruk,
dan retensi urin (Suharyanto, Toto. 2009).
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif (disebut prostatisme)
mencakup peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-ayangan, abdomen tegang, volume urin menurun dan
harus mengejan saat berkemih, aliran urin tidak lancar, dribbling
(dimana urin terus menetes setelah berkemih), rasa seperti kadung
kemih tidak kosong dengan baik, retensi urin akut (bila lebih dari 60 ml
urin tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih), dan
kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi
azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan

17

retensi urin kronis dan volume residu yang besar. Gejala generalisata
juga tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer, Suzanne C. 2002).
Gejala-gejala iritasi meliputi sering berkemih, sering berkemih
di malam hari (nokturia), dan urgency (dorongan ingin berkemih).
Dengan adanya stasis urin di dalam kandung kemih akan berisiko
terjadinya infeksi saluran kemih dan batu kandung kemih. Batu
kandung kemih terbentuk dari kristalisasi dari garam-garam di dalam
urin residu (Suharyanto, Toto. 2009).
Manifestasi klinis pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi
(Suharyanto, Toto. 2009) adalah:
1) Poliuria (sering buang air kemih), karena kandung kemih hanya
mampu mengeluarkan sedikit air kemih.
2) Aliran air kemih menjadi terhambat, karena terjadi penyempitan
uretra.
3) Hematuria (air kemih mengandung darah), akibat kongesti basis
kandung kemih.
4) Retensi urin.
5) Hidronefrosis dan kegagalan ginjal, terjadi akibat tekanan balik
melewati ureter ke ginjal.

18

Tabel 2.1 Kategori Keparahan Benigna Prostat Hipertrofi Berdasarkan Gejala


Dan Tanda (Amin H. N. & Hardhi K. 2013)
Keparahan
penyakit
Ringan

Sedang
Parah

2.1.6

Kekhasan Gejala dan Tanda


Asimtomatik, kecepatan urinary puncak <10 mL/s, volume
urin residual setelah pengosongan >25-50 mL,
peningkatan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin
serum.
Semua tanda di atas ditambah obstruktif penghilangan
gejala dan iritatif penghilangan gejala (tanda dari destrusor
yang tidak stabil).
Semua yang di atas ditambah satu atau dua lebih
komplikasi Benigna Prostat Hipertrofi.

Pemeriksaan Penunjang
Penyakit lain yang juga bisa menyebabkan obstruksi urin perlu
disingkirkan seperti kanker prostat, kontraktur leher vesika urinaria,
batu kandung kemih, penyempitan uretra, kanker vesika urinaria, dan
neurogenik kandung kemih (Mary Baradero, dkk. 2007).
Berikut

pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

dilakukan

(Suharyanto, Toto. 2009):


a. Pemeriksaan rectum: yaitu melakukan palpasi pada prostat melalui
rectum atau rectal toucher, untuk mengetahui pembesaran prostat.
b. Pemeriksaan laboratorium (darah): yaitu untuk mengetahui adanya
peningkatan kadar Prostat Specific Antigen (PSA). Dan urinalisis
dilakukan untuk mendeteksi adanya protein atau darah dalam air
kemih, berat jenis dan osmolalitas, serta pemeriksaan mikroskopik
air kemih.

19

c. Cystoscopy: untuk melihat gambaran pembesaran prostat dan


perubahan dinding kandung kemih.
d. Transrectal

ultrasonography:

dilakukan

untuk

mengetahui

pembesaran dan adanya hidronefrosis.


e. Intravenous pyelography (IVP): untuk mengetahui struktur kaliks,
pelvis dan ureter. Struktur ini akan mengalami distorsi bentuk
apabila terdapat kista, lesi dan obstruksi.

2.1.7

Penatalaksanaan
Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk rumah sakit dalam
keadaan darurat karena ia tidak dapat berkemih, maka kateterisasi
segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas
untuk dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih. Dalam
kasus seperti ini, kabel kecil yang disebut stylet dimasukkan (oleh ahli
urologi) ke dalam kateter untuk mencegah kateter kolaps ketika
menemui tahanan. Pada kasus yang berat, mungkin digunakan kateter
logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke
dalam kandung kemih (sistostomi suprapubik) untuk drainase yang
adekuat (Smeltzer, Suzanne C. 2002).

20

Meskipun prostatektomy (diuraikan di bawah) untuk membuang


jaringan prostat yang mengalami hiperplastik sering dilakukan, terdapat
juga pengobatan lain. Pengobatan ini mencakup watch-ful waiting,
insisi Trans Uretral Reseksi Prostat (TURP), dilatasi balon, penyekat
alfa,

dan

inhibitor

5--reduktase.

Watch-ful

waiting

adalah

pengobatan yang sesuai bagi banyak pasien karena kecenderungan


progresi penyakit atau terjadinya komplikasi tidak diketahui. Pasien
dipantau secara periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan uji urologi diagnostik. Penyekat reseptor
alfa-1-adrenergik (mis., terazosin) melemaskan otot halus kolum
kandung kemih dan prostat. Meskipun kemanjuran jangka panjang
preparat ini tidak diketahui, preparat ini benar dapat menurunkan gejala
pada banyak pasien. Riset tentang kegunaan jangka panjang preparat ini
terus dilakukan (Smeltzer, Suzanne C. 2002).
Karena telah diidentifikasi adanya komponen hormonal pada
hipertrofi prostatik jinak, salah satu metode pengobatan mencakup
manipulasi hormonal dengan preparat antiandrogen seperti finasteride
(Proscar). Pada penelitian klinis, inhibitor 5--reduktase seperti
finasteride terbukti efektif dalam mencegah perubahan testosteron
menjadi

hidrotestosteron.

Menurunnya

kadar

hidrotestosteron

menunjukkan supresi aktivitas sel glandular dan penurunan ukuran


prostat. Efek samping dari medikasi ini termasuk ginekomastia

21

(pembesaran payudara), disfungsi erektil, dan wajah kemerahan


(Smeltzer, Suzanne C. 2002).
Amin H. N. & Hardhi K. (2013) berpendapat, jenis penanganan
pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat gejala
kliniknya. Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Seperti
yang tercantum dalam bagan berikut ini:
Tabel 2.2 Berat Derajat Klinik Berdasarkan Penemuan Pada Colok Dubur Dan
Sisa Volume Urin (Amin H. N. & Hardhi K. 2013)
Derajat
I
II
III
IV

Colok Dubur
Penonjolan Prostat, batas atas mudah diraba
Penonjolan Prostat jelas, batas atas dapat dicapai
Batas atas Prostat tidak dapat diraba
Batas atas Prostat tidak dapat diraba

Volume
<50 ml
50-100 ml
>100 ml
Retensi urin total

Penanganan yang dilakukan adalah sebagai berikut (Amin H. N.


& Hardhi K. 2013):
1. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi
pengobatan konservatif.
2. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (Trans
Uretral Reseksi Prostat/TURP).
3. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya

22

dengan

pembedahan

terbuka,

melalui

trans

vesical

retropubic/perianal
4. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien
dari retensi urin total dengan pemasangan kateter.
Selain itu, penatalaksanaan untuk penderita Benigna Prostat
Hipertrofi menurut Suharyanto, Toto. (2009) & Kimberly A. J. Bilotta.
(2012) antara lain:
a. Perubahan gaya hidup
Yaitu mengurangi minum-minuman beralkohol dan yang
mengandung kafein.
b. Pengobatan
1) Alpha blockers, suatu 1 adrenergic receptor antagonists
(misalnya: Doxazosin, Terazosin, Alfuzosin, dan Tamsulosin),
dapat memperbaiki gejala-gejala Benigna Prostat Hipertrofi.
Alpha blockers dapat merelaksasi otot pada prostat dan leher
kandung kemih, dan menurunkan derajat hambatan aliran urin.
2) 5 reductase inhibitors (misalnya: finasteride dan
dutasteride). Ketika digunakan bersamaan dengan alpha
blockers dapat menurunkan progresifitas pembesaran prostat.
3) Antibiotik, seperti sefepim dan levofloksasin, bila muncul
infeksi.

23

c. Kateterisasi
d. Pembedahan
Prostatektomy adalah pembedahan dengan mengeluarkan
seluruh atau sebagian dari kelenjar prostat. Abnormalitas prostat,
seperti sebuah tumor atau apabila kelenjar prostat membesar
karena berbagai alasan dapat mengahambat aliran urin.
Pembedahan dilakukan untuk menangani retensi urin akut,
hidronefrosis, hematuria berat, dan ISK rekuren atau untuk terapi
paliatif gejala yang tidak dapat ditoleransi.
Terdapat beberapa bentuk operasi pada prostat (Suharyanto, Toto.
(2009), diantaranya:
1) Trans Uretral Reseksi Prostat (TURP)
Suatu alat sistoscopy dimasukkan melalui uretra ke
prostat, dimana jaringan disekeliling di eksisi.
TURP adalah suatu pembedahan yang dilakukan
pada Benigna Prostat Hipertrofi dan hasilnya sempurna
dengan tingkat keberhasilan (80-90)%.
2) Open prostatektomy
Open

prostatektomy

adalah

suatu

prosedur

pembedahan dengan melakukan insisi pada kulit dan

24

mengangkat adenoma prostat melalui kapsula prostat


retropubic prostatectomy (RPP) atau melalui kandung
kemih suprapubic prostatektomy (SPP).
Open prostatektomy diindikasikan apabila prostat
lebih dari 60 gram.
3) Laparoscopy prostatektomy
Suatu laparoscopy atau tempat insisi kecil dibuat di
abdomen dan seluruh prostat dikeluarkan secara hati-hati
dimana saraf-saraf lebih mudah rusak dengan teknik
retropubic atau suprapubic.
Laparoscopy prostatektomy lebih menguntungkan
dibandingkan

dengan

pembedahan

radical

perineal

prostatektomy atau retropubic prostatektomy dan lebih


ekonomis dibandingkan teknik bantuan robot.
4) Robotic-assisted prostatektomy
Robotic-assisted prostatektomy atau pembedahan
dengan bantuan robot. Tangan-tangan robot laparoscopy
dikendalikan oleh seorang ahli bedah. Robot memberikan
ahli

bedah

laparoscopy

lebih

banyak

konvensional

keterampilan
dengan

dari

pada

menawarkan

keuntungan-keuntungan yang lebih dari pada

open

25

prostatektomy, diantaranya insisi lebih kecil, nyeri ringan,


perdarahan

sedikit,

resiko

infeksi

rendah,

waktu

penyembuhan lebih cepat, dan perawatan lebih pendek.


5) Radical perineal prostatektomy
Radical perineal prostatektomy adalah suatu insisi
dibuat pada perineum ditengah-tengah antara rectum dan
skrotum, dan kemudian prostat dikeluarkan.
6) Radical retropubic prostatektomy
Radical retropubic prostatektomy adalah suatu insisi
yang dibuat di abdomen bawah, dan kemudian prostat
dikeluarkan (diangkat) melalui belakang tulang pubis
(retropubic).
Radical prostatektomy adalah salah satu tindakan
kunci pada kanker prostat.

2.1.8

Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomy bergantung
pada jenis pembedahan dan mencakup hemoragi, pembentukan bekuan,
obstruksi kateter, dan disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomy tidak menyebabkan impotensi
(meskipun prostatektomy perineal dapat menyebabkan impotensi akibat
kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan

26

kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8


minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah ejakulasi,
maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan
diekskresikan bersama urin. (perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrograde). Vasektomi mungkin dilakukan
selama pembedahan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra
prostatik melalui vas deferens dan ke dalam epididimis.
Setelah prostatektomy total (biasanya untuk kanker), hampir
selalu terjadi impotensi. Bagi pasien yang tidak ingin untuk kehilangan
aktivitas seksualnya, implant prostatik penis mungkin digunakan untuk
membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual
(Smeltzer, Suzanne C. 2002).
Sedangkan, menurut Kimberly A. J. Bilotta (2012), komplikasi
yang dapat ditemukan antara lain:
a. Stasis urin, infeksi saluran kemih (ISK), atau kalkuli renal
b. Trabekulasi dinding kandung kemih
c. Hipertrofi otot detrusor
d. Divertikula kandung kemih dan sakula
e. Stenosis uretra
f. Hidronefrosis
g. Inkontinensia paradoksikal (aliran berlebih)
h. Gagal ginjal akut atau kronis

27

i. Diuresis pascaobstruktif akut.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benigna Prostat
Hipertrofi (BPH)
Proses keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang
sistematik untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang
melibatkan lima fase, yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi.
Pendekatan penyelesaian masalah membuat asuhan berfokus pada
kebutuhan individu pasien. Individualisasi asuhan dapat dianggap sebagai
salah satu tujuan proses keperawatan yang paling penting, dalam rangka
mencapainya, perawat harus melakukan aktivitas kerja sama aktif dengan
pasien sebagai berikut: mengumpulkan semua fakta (data) yang relevan,
menganalisis data yang menandakan adanya masalah kesehatan dan
menguatkan efek perawatan diri dan perawatan suportif, identifikasi masalah
keperawatan, merumuskan tujuan keperawatan dan kriteria evaluasi yang
sesuai, menentukan prioritas dalam intervensi dan tanggung jawab
keperawatan, implementasi tindakan keperawatan, evaluasi asuhan yang
diberikan (Basford, Lynn. 2006).
Langkah-langkah dalam proses keperawatan meliputi:
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian dan pengumpulan informasi adalah fase pertama
proses keperawatan. Jika data dikumpulkan secara tidak benar, pasien

28

dapat mengalami komplikasi yang besar pada tahap akhir. Masalah


kesehatan mungkin diidentifikasi secara tidak tepat, dan akan sulit untuk
membuat rencana keperawatan yang tepat atau memberikan asuhan
keperawatan yang efektif. Pengumpulan informasi yang tidak benar
memiliki konsekuensi dengan pencapaian jauh dalam rangkaian tahap
proses keperawatan.
Elemen yang paling penting pada fase pengkajian adalah
mengawali hubungan perawatan yang berarti, pengumpulan yang benar,
pemilihan dan pengaturan data, serta verifikasi, analisis dan laporannya
(Basford, Lynn. 2006).
Perawat mengkaji bagaimana hipertrofi prostatik benigna
mempengaruhi gaya hidup pasien beberapa bulan yang lalu. Apakah
pasien cukup aktif utuk usianya? Apa bentuk masalah urinaria pasien
(uraikan dalam kata-kata pasien)? Apakah terjadi penurunan dorongan
aliran urin, penurunan kemampuan untuk dapat berkemih, keinginan
untuk berkemih, sering berkemih, nokturia, disuria, retensi urin,
hematuria? Apakah pasien melaporkan masalah-masalah yang berkaitan
seperti nyeri pinggang, nyeri punggung, dan rasa tidak nyaman pada
abdomen dan suprapubis? Apabila pasien melaporkan ketidaknyamanan
tersebut, kemungkinan penyebabnya adalah infeksi, retensi, dan
kemungkinan kolik renal.
Perawat mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang riwayat
keluarga pasien mengenai kanker dan penyakit jantung serta ginjal,

29

termasuk hipertensi. Apakah pasien mengalami penurunan berat badan?


Apakah pasien tampak pucat? Dapatkah pasien turun dari tempat tidur
dan kembali ke tempat tidur tanpa bantuan? Informasi tersebut dapat
membantu dalam menentukan seberapa cepat pasien akan kembali ke
aktivitas normalnya setelah prostatektomy. (Smeltzer, Suzanne C. 2002).
a. Identitas klien
Yang terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, alamat, dan sebagainya.
b. Status kesehatan saat ini
Berikut keluhan utama seperti sulit berkemih. Keluhan
lain/penyerta seperti nokturia, nyeri pinggang, nyeri punggung, rasa
tidak nyaman pada abdomen dan suprapubis, retensi urin, penurunan
kemampuan dan dorongan aliran urin.
c. Riwayat kesehatan terdahulu
1. Penyakit yang pernah dialami
Seperti,
hematuria
dan
atau

pernah

menjalankan

operasi/kecelakaan.
2. Alergi
alergi pada obat, makanan, plester, atau yang lainnya.
3. Kebiasaan
sering ejakulasi, meminum alkohol dan yang mengandung kafein.
d. Riwayat keluarga
Adanya penyakit bawaan seperti kanker, hipertensi, diabetes,
dan lain-lain.
e. Riwayat lingkungan
Berikut bagaimana lingkungan rumah dan lingkungan
pekerjaan mengenai kebersihan, pencahayaan, dan sebagainya.
f. Pola aktivitas latihan
Bagaimana aktivitas sehari-hari di rumah dan di Rumah Sakit
seperti makan / minum, mandi, toileting, berjalan, mobilitas di
tempat tidur, dan sebagainya.
g. Pola nutrisi metabolik

30

Menjelaskan bagaimana diit yang di jalankan di rumah dan di


Rumah Sakit sehari-hari, seperti berapa kali makan dan minum
sehari, berapa kali buang air besar dan buang air kecil sehari, dan
sebagainya.
h. Pola eliminasi
Menjelaskan bagaimana pola eliminasi di rumah dan di
rumah sakit baik buang air besar dan buang air kecil klien berikut
frekwensinya, konsistensinya, bau, volume dan warna. Khusus pada
kasus benigna prostat hipertrofi kemungkinan akan di temukan
permasalahan pada elimiasi urin diantaranya seperti, hematuria (urin
berwarna merah karena bercampur darah), selain itu akan terjadi
disuria, nokturia, retensi urin, sulit memulai berkemih, pancaran urin
terhenti-henti, penurunan kemampuan dan dorongan aliran urin,
sering berkemih dan hesitansi (keengganan untuk berkemih).
i. Pola tidur istirahat
Kemungkinan akan mengalami gangguan istirahat tidur
akibat pengaruh dari nokturia.
j. Pola kebersihan diri
Berikut menjelaskan frekwensi mandi, keramas, gosok gigi,
memotong kuku, dan sebagainya terkait dengan hygiene personal
klien selama di rumah dan di Rumah Sakit.
k. Pola toleransi-koping stress
Menjelaskan mengenai bagaimana perasaan klien selama di
rawat di rumah sakit dan harapan klien.
l. Pola peran hubungan
Berisi tentang bagaiamana hubungan klien dengan keluarga.
m. Pola komunikasi
Menjelaskan bagaimana pola komunikasi klien seperti bahasa
yang digunakan, intonasi suara jelas atau tidak, dan lain-lain.
n. Pola seksualitas

31

Masalah dalam pola seksualitas kemungkinan terjadinya


disfungsi seksual.
o. Pola nilai dan kepercayaan
Berisi tentang bagaimana kegiatan ibadah selama di rumah
dan di rumah sakit berikut jenis dan frekwensinya. Serta bagaimana
harapan klien.
p. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum yang terdiri dari: kesadaran, tanda-tanda vital,
tinggi badan, dan berat badan.
2) Kepala dan leher
a. Kepala, pengkajian pada: bentuk, adanya massa, distribusi
rambut, warna kulit kepala dan keluhan klien.
b. Mata, pengkajian pada: bentuk, konjungtiva, pupil (reaksi
terhadap cahaya, isokor, miosis, pint point, midriasis),
tanda-tanda radang, fungsi penglihatan, dan penggunaan
alat bantu. Pemeriksaan mata terakhir dan riwayat operasi.
c. Hidung, pengkajian pada: bentuk, warna, pembengakan,
nyeri tekan, perdarahan, sinus, riwayat alergi, cara
mengatasi, dan penyakit yang pernah terjadi.
d. Mulut dan tenggorokan, pengkajian pada: warna bibir,
mukosa, ulkus, lesi, massa, warna lidah, perdarahan gusi,
karies, kesulitan menelan, gigi geligi, sakit tenggorokan,
gangguan bicara, dan pemeriksaan gigi terakhir.
e. Telinga, pengkajian pada: bentuk, warna, lesi, massa, nyeri,
fungsi pendengaran, alat bantu dengar, masalah yang pernah
terjadi, dan upaya untuk mengatasi.

32

f. Leher, pengkajian pada: kekakuan, nyeri/nyeri tekan,


benjolan/massa, keterbatasan gerak, vena jugularis, tiroid,
limfe, trakhea, keluhan, dan upaya untuk mengatasi.
3) Dada
Fokus pengkajian pada: bentuk, pergerakan dada, nyeri,
massa, taktil fremitus, pola nafas. Pada Jantung (dengan
inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi) dan Paru (dengan
inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultas).
4) Payudara dan Ketiak
Pengkajian seperti, adanya benjolan/massa, nyeri/nyeri
tekan, bengkak, dan kesimetrisan.
5) Abdomen
Pengakajian dengan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.
6) Punggung
Pengkajian seperti, adanya benjolan/massa, nyeri/nyeri
tekan, bengkak, dan kesimetrisan.
7) Genetalia
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi. Fokus pada
pada pria (keluhan yang di miliki terkait dengan genetalia) dan
dengan palpasi dapat di temukan masa medial yang tampak di
atas simfisis pubis dari kandung kemih yang terdistensi. dan
pembesaran prostat pada pemeriksaan rectal digital.
8) Ekstremitas

33

Yang perlu di kaji kekuatan otot, kontraktur, pergerakan,


deformitas, pembengkakan, edema, nyeri/nyeri tekan, refleksrefleks,

sensasi,

bisep,

raba/sentuhan,

trisep,

panas,

brakhioradialis, dingin, patelar, tekanan/tusuk, achiles.


9) Kulit dan kuku
a) Kulit, pengkajian pada: warna, jaringan parut, lesi, tekstur,
dan turgor.
b) Kuku, pengkajian pada: warna, bentuk, lesi, dan pengisian
kapiler.
q. Hasil pemeriksaan menurut Kimberly A. J. Bilotta (2012):
1) Laboratorium
a) Peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum menunjukkan
gangguan fungsi ginjal
b) Hitung bakteri melebihi 100.000/mm3 menunjukkan hematuria,
piuria, dan ISK
2) Pencitraan
Urografi ekskretori dapat mengindikasikan obstruksi saluran
kemih, hidronefrosis, kalkuli atau tumor, dan defek pengisian dan
pengosongan kandung kemih.

3) Prosedur diagnostik
Sistouretrokopy menentukan intervensi pembedahan terbaik
dan menunjukkan pembesaran prostat, perubahan dinding kandung
kemih, kalkuli, dan pembesaran kandung kemih.
4) Pemeriksaan lain

34

International Prostat Symptom Score menggolongkan derajat


keparahan penyakit.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut Pusdiklat DepKes (1997), diagnosis keperawatan
adalah pernyataan yang jelas, singkat dan pasti tentang masalah pasien
serta pengembangannya yang dapat diatasi atau diubah melalui tindakan
keperawatan (Ali, Zaidin. 2009).
Sedangkan, menurut American Nursing Association (ANA)
diagnosis keperawatan adalah respon individu terhadap masalah
kesehatan yang aktual dan potensial. Masalah aktual adalah masalah
yang ditemui saat pengkajian. Masalah potensial adalah masalah yang
mungkin timbul kemudian (Ali, Zaidin. 2009).

Diagnosa

keperawatan

yang

mungkin

muncul

menurut

Doengoes, Marilynn E. (2000), adalah sebagai berikut:


1. Gangguan eleminasi urin
Dapat dihubungkan dengan:
a. Obstruksi mekanikal: bekuan darah, edema, trauma, prosedur
bedah.

35

b. Tekanan dan iritasi kateter/balon.


c. Hilang tonus kandung kemih sehubungan dengan distensi
berlebihan pra operasi atau dekompresi kontinu.
Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Frakuensi, urgensi, keragu-raguan, disuria, inkontinensia,
retensi.
b. Kandung kemih penuh; ketidaknyamanan suprapubik.
2. Infeksi, resiko tinggi terhadap
Faktor resiko meliputi:
a. Prosedur invasive: alat selama pembedahan, kateter, irigasi
kandung kemih sering.
b. Trauma jaringan, insisi bedah (contoh perineal).
Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Tidak dapat diterapkan; adanya tana-tanda dan gejala-gejala
membuat diagnosa aktual.

3. Nyeri (akut)

36

Dapat dihubungkan dengan:


a. Iritasi

mukosa

kandung

kemih;

refleks

spasme

otot

sehubungan dengan prosedur bedah dan/atau tekanan dari


balon kandung kemih (traksi).
Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Keluhan nyeri spasme kandung kemih.
b. Wajah meringis, melindungi daerah yang sakit, gelisah.
c. Respons otonomik.
4. Disfungsi seksual, resiko terhadap
Faktor resiko meliputi:
a. Situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urin setelah
pengangkatan kateter, keterlibatan area genital).
b. Ancaman konsep diri/perubahan status kesehatan.
Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala
membuat diagnosa actual.

2.2.3

Rencana Keperawatan

37

Dalam penentuan rencana tindakan terdapat beberapa instruksi


tindakan keperawatan yang merupakan suatu bentuk tindakan yang
menunjukkan perawatan dan pengobatan khusus, dimana perawat
mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan pada pasien
tertentu. Perawatan dan pengobatan dirancang untuk membantu
pencapaian satu atau lebih dari tujuan perawatan sehingga dapat
mengurangi, mencegah atau menghilangkan dari masalah pasien.
Langkah dalam tahap perencanaan ini dilaksanakan setelah
menentukan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan dengan
menentukan rencana tindakan apa yang akan dilaksanakan dalam
mengatasi masalah pasien.
Tujuan merupakan hasil yang ingin dicapai untuk mengatasi
masalah diagnosis keperawatan dengan kata lain tujuan merupakan
sinonim dari kriteria hasil yang mempunyai komponen sebagai berikut:
S (Sujek), P (Predikat), K (Kriteria), K (Kondisi), W (Waktu).
Kriteria hasil merupakan standar evaluasi yang merupakan
gambaran tentang faktor-faktor yang dapat memberi petunjuk bahwa
tujuan telah tercapai dan digunakan dalam membuat pertimbangan
(Aziz Alimul Hidayat. 2004).
Berikut rencana keperawatan menurut Doengoes, Marylinn E.
(2000):
1. Gangguan eleminasi urin
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi-pasien akan:
a. Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
b. Menunjukkan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung
kemih/urinaria.

38

INTERVENSI

RASIONAL

(1)

(2)

Mandiri
1. Kaji haluaran urin dan system
kateter/drainase,
khususnya
selama irigasi kandung kemih.
2. Bantu pasien memilih posisi
normal untuk berkemih, contoh
berdiri, berjalan ke kamar
mandi, dengan frekuensi sering
setelah kateter dilepas.
3. Perhatikan
waktu,
jumlah
berkemih, dan ukuran aliran
setelah
kateter
dilepas.
Perhatikan keluhan rasa penuh
kandung
kemih;
ketidakmampuan
berkemih,
urgensi.
4. Dorong pasien untuk berkemih
bila terasa dorongan tetapi tidak
lebih dari 2-4 jam per protocol.

5. Ukur volume residu bila ada


kateter suprapubik.
6. Instruksikan pasien untuk latihan
perineal, contoh mengencangkan
bokong, menghentikan dan
memulai aliran urin.

Kolaborasi
7. Pertahankan irigasi kandung
kemih kontinu (continuous
bladder irrigation [CBI]) sesuai
indikasi pada periode
pascaoperasi dini.

1. Retensi dapat terjadi karena edema


area bedah, bekuan darah, dan
spasme kandung kemih.
2. Mendorong pasase urin dan
meningkatkan rasa normalitas.

3. Kateter biasanya dilepas 2-5 hari


setelah bedah, tetapi berkemih
dapat berlanjut menjadi masalah
untuk beberapa waktu karena
edema uretral dan kehilangan
tonus.
4. Berkemih
dengan
dorongan
mencegah retensi urin batasan
berkemih untuk tiap 4 jam (bila
ditoleransi) meningkatkan tonus
kandung kemih dan membantu
latihan ulang kandung kemih.
5. Mengawasi
keefektifan
pengosongan kandung kemih.
6. Mempertahankan hidrasi adekuat
dan perfusi ginjal aliran urin.
penjadwalan masukan cairan
menurunkan
kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama
malam hari.
7. Mencuci kandung kemih dari
bekuan darah dan debris untuk
mempertahankan
patensi
kateter/aliran urin.

39

2. Infeksi, resiko tinggi terhadap


Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi-pasien akan:
a. Mencapai waktu penyembuhan
b. Tak mengalami tanda infeksi

INTERVENSI

RASIONAL

(1)
(2)
Mandiri
1. Pertahankan system kateter 1. Mencegah pemasukkan bakteri dan
steril; berikan perawatan kateter
infeksi/sepsis lanjut.
regular dengan sabun dan air,
berikan salep antibiotik di
sekitar sisi kateter.
2. Ambulasi
dengan
kantung 2. Menghindari refleks balik urin,
drainase dependen.
yang dapat memasukkan bakteri ke
dalam kandung kemih.
3. Awasi tanda vital, perhatikan 3. Pasien yang mengalami sistoskopi
demam ringan, menggigil, nadi
dan/atau TURP beresiko untuk
dan pernafasan cepat, gelisah,
syok bedah/septik sehubungan
peka, disorientasi.
dengan manipulasi/instrumentasi.
4. Observasi drainase dari luka, 4. Adanya drain, insisi suprapubik
sekitar kateter suprapubik.
meningkatkan resiko untuk infeksi,
yang diindikasikan dengan eritema,
drainase purulen.
5. Ganti balutan dengan sering 5. Balutan basah menyebabkan kulit
(insisi supra/retropubik dan
iritasi dan memberikan media
perineal), pembersihan dan
untuk
pertumbuhan
bakteri,
pengeringan kulit sepanjang
peningkatan resiko infeksi luka.
waktu.
Kolaborasi
6. Berikan
indikasi.

antibiotik

sesuai 6. Mungkin
diberikan
secara
profilaktik sehubungan dengan
peningkatan resiko infeksi pada
prostatektomy.

40

3. Nyeri (akut)
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi-pasien akan:
a. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol
b. Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
c. Tampak rileks, tidur/istirahat dengan tepat.

INTERVENSI
(1)
Mandiri
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi,
intensitas (skala 0-10)

2.

3.

4.
5.

RASIONAL
(2)

1. Nyeri tajam, intermitten dengan


dorongan berkemih/pasase urin
sekitar kateter menunjukkan
spasme kandung kemih, yang
cenderung lebih berat pada
pendekatan suprapubik atau TUR
(biasanya menurun setelah 48
jam).
Pertahankan potensi kateter dan
2. Mempertahankan fungsi kateter
system drainase. Pertahankan
dan drainase system, menurunkan
selang bebas dari lekukan dan
resiko distensi/spasme kandung
bekuan.
kemih.
Tingkatkan pemasukan sampai
3. Menurunkan iritasi dengan
3000 ml/hari sesuai toleransi.
mempertahankan aliran cairan
konstan ke mukosa kandung
kemih.
Berikan pasien informasi akurat
4. Menghilangkan ansietas dan
tentang kateter, drainase, dan
meningkatkan kerja sama dengan
spasme kandung kemih.
prosedur tertentu.
Berikan tindakan kenyamanan
5. Menurunkan tegangan otot,
(sentuhan terapeutik, pengubahan
memfokuskan kembali perhatian,
posisi, pijatan punggung) dan
dan dapat meningkatkan

41

aktivtas terapeutik. Dorong


penggunaan teknik relaksasi,
termasuk latihan nafas dalam,
visualisasi, pedoman imajinasi.

kemampuan koping.

(1)
Kolaborasi
6. Berikan antispasmodik, contoh:
Oksibutinin klorida (Ditropan);
supositoria; Propantelin bromide
(Pro-Bantanin)

(2)
6. Merilekskan otot polos, untuk
memberikn penurunan spasme dan
nyeri. Menghilangkan spasme
kandung kemih oleh kerja
antikolinergik. Biasanya
dihentikan 24-48 jam sebelum
perkiraan pengangkatan kateter
untuk meningkatkan kontrol
kontraksi kandung kemih.

4. Disfungsi seksual, resiko terhadap


Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi-pasien akan:
a. Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai
tingkat dapat diatasi.
b. Menyatakan pemahaman situasi individual.
c. Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.

INTERVENSI

RASIONAL

(1)

(2)

Mandiri
1. Berikan keterbukaan pada
pasien/orang terdekat untuk
membicarakan tentang masalah
inkontinensia dan fungsi seksual.

1. Dapat mengalami ansietas tentang


efek bedah dan dapat
menyembunyikan pertanyaan
yang diperlukan. Ansietas dapat
mempengaruhi kemampuan untuk
menerima informasi yang
diberikan sebelumnya.

42

2. Berikan informasi akurat tentang


harapan kembalinya fungsi
seksual.

2. Impotensi fisiologis terjadi bila


saraf perineal dipotong selama
prosedur radikal; pada pendekatan
lain, aktivitas seksual dapat
dilakukan seperti biasa dalam 6-8
minggu. Catatan: prostese penis
dapat di anjurkan setelah prosedur
perineal radikal.

(1)
3. Diskusikan dasar anatomi. Jujur
dalam menjawab pertanyaan
pasien.

(2)
3. Saraf pleksus mengontrol aliran
secara posterior ke prostat melalui
kapsul. Pada prosedur yang tidak
melibatkan kapsul prostat,
impoten dan sterilitas biasanya
tidak menjadi konsekuensi.
Prosedur bedah mungkin tidak
memberikan pengobatan
permanen, dan hipertrofi dapat
berulang.

Kolaborasi
4. Rujuk ke penasehat seksual
sesuai indikasi

2.2.4

4. Masalah menetap/tidak teratasi


memerlukan intervensi
professional.

Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan langkah keempat dalam
proses

keperawatan

dengan

melaksanakan

berbagai

strategi

keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam


rencana tindakan keperawatan.
Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal
diantaranya bahaya-bahaya fisik dan pelindungan pada pasien, teknik
komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman
tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat
perkembangan pasien (Aziz Alimul Hidayat. 2004)

43

2.2.5

Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terrakhir dari proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak.
Evaluasi keperawatan dicatat disesuakan dengan setiap diagnosa
keperawatan. Evaluasi untuk setiap diagnosa keperawattan meliputi
data subjektif (S) data obyektif (O), analisa permasalahan (A) pasien
berdasarkan S dan O, serta perencanaan ulang (P) berdasarkan analisa
data diatas. Evaluasi ini juga disebut evaluasi proses (Aziz Alimul
Hidayat. 2004)
Menurut Hidayat, A. A. (2001), dalam mengevaluasi pasien ada
catatan perkembangan yang harus didokumentasikan adalah sebagai
berikut :
S

: Data Subyektif
Perkembangan keadaan didasarkan pada apa yang dirasakan,
dikeluhkan, dan dikemukakan pasien.

: Data Obyektif
Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau
tim kesehatan lain.

44

: Analisis
Kedua jenis data tersebut, baik subjektif maupun objektif dinilai
dan dianalisis, apakah berkembang ke arah perbaikan atau
kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan sampai dimana
masalah yang ada dapat diatasi atau adakah perkembangan
masalah baru yang menimbulkan diagnosa keperawatan baru.

: Perencanaan
Rencana penanganan pasien dalam hal ini didasarkan pada hasil
analisis di atas yang berisi melanjutkan rencana sebelumnya
apabila keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat
rencana baru bila rencana tidak efektif.

: Implementasi
Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana.

: Evaluasi
Evaluasi berisi penilaian tentang sejauh mana rencana tindakan
dan evaluasi telah dilaksanakan dan sejauh mana masalah pasien
teratasi.

: Reassesment
Bila hasil evaluasi menunjukkan masalah belum teratasi,
pengkajian ulang perlu dilakukan kembali melalui pengumpulan
data subjektif, data objektif, dan proses analisisnya.

2.2.6

Dokumentasi Keperawatan

45

Dokumentasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan


yang merupakan pencatatan atau pembukuan proses keperawatan yang
pernah dilakukan dari melakukan anamnesa/pengkajian hingga
evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai