PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hirschsprungs (PH) adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional yang berupa
aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal dengan panjang segmen
tertentu, setidak tidaknya melibatkan sebagian rektum. Penyakit Hirschprung (PH) ditandai
dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus auerbach dan meissner.1
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana
Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini
disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Risiko
tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga penyakit Hirschsprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rektosigmoid
paling sering terkena, sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau kolon transversum pada 17%
kasus. Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya penyakit
Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu
aganglionosis dibandingkan oleh ayah.1
Insiden PH pada bayi aterm dan cukup bulan diperkirakan sekitar 1:5000 kelahiran dan lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1.1-4 Risiko
tertinggi terjadinya PH biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga PH dan pada
pasien penderita Down Syndrome.1,2
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering dialami oleh
neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus Hirschsprung terdiagnosis pada bayi, walaupun
beberapa kasus baru dapat terdiagnosis hingga usia remaja atau dewasa muda (Izadi M,
2007). Terdapat kecenderungan bahwa penyakit Hirschsprung dipengaruhi oleh riwayat atau
latar belakang keluarga dari ibu. Angka kejadian penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara
4400 sampai 7000 kelahiran hidup, dengan rata-rata 1:5000 kelahiran hidup. Dengan
mayoritas penderita adalah laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1.1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai penyebab tersebut
yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi ke
dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum.
Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. sehingga
menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat
serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian
proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus
yang mengalami aganglion.2,3
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m
yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus
kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat dengan anus diameternya pun
semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua
atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum
ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam
usus halus. 3,4
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon membentuk
kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut dengan fleksura
hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk
lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid
bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan
membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir
dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan
internus. 3
Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).21 Usus besar memiliki
berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar
yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai
reservoir yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya
defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari dengan berat akhir feses yang
dikeluarkan adalah 200 gram dan 80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari residu
makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak
terabsorpsi.4
2.3 Klasifikasi
a) Penyakit Hirschprung short segment
Segmen aganglionosis muali dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus
penyakit hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dianding anak
perempuan.4
b) Penyakit Hirschprung long segment
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon dan usus
halus. Ditemukan sama banyak baik laki-laki maupun perempuan.4
c) Penyakit Hirschprung ultra short segment
Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rectum. 4
2.4 Patofisiologi
Istilah congenital aganglionik mega kolon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan
tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir
selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalanatau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan
tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega
Kolon.5
Isi usus mendorong ke segmen aganglionic dan feses terkumpul di daerah tersebut,
menyebabkan terdilatsinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi
obstruksi dan menyebabkan di bagian Colon tersebut melebar.5
Aganglionic mega colon atau hirshchprung dikarenakan karena tidak adanya ganglion
parasimpatik di submukosa (meissher) dan menterik (aurbach) tidak ditemukan pada satu
atau lebih bagian dari kolon menyebabkan peristaltik usus abnormal. Peristaltik usus
abnormal menyebabkan konstipasi dan akumulasi sisa pencernaan di kolon yang berakibat
timbulnya dilatasi usus sehingga terjadi megakolon dan pasien mengalami distensi abdomen.
Aganglionosis mempengaruhi dilatasi sfingter ani interna menjadi tidak berfungsi lagi,
mengakibatkan pengeluaran feses, gas dan cairan terlambat. Penumpukan sisa pencernaan
yang semakin banyak merupakan media utama berkembangnya bakteri, Iskemia saluran
cerna berhubungan dengan peristaltik yang abnormal mempermudah infeksi kuman ke lumen
usus dan terjadilah enterocolitis. Apabila tidak segera ditangani anak yang mrngalami hal
tersebut dapat mengalami kematian.5,6
Pada bayi yang baru lahir manifestasi PH yang khas biasanya terjadi pada neonatus cukup
bulan dengan keterlambatan pengeluaran mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan
distensi abdomen, dan muntah hijau atau fekal. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium
pertama keluar dalamm usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus PH
mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit
lengket dan dalam jumlah cukup. Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya, yang
merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam
pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis PH. Pada
beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterokolitis.7
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan makan, distensi
abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. PH dapat juga menunjukkan gejala lain
seperti adanya fekal impaction, demam, diare yang menunjukkan adanya tanda-tanda
enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh kembang.
konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi
dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan
pada minggu atau bulan pertama kehidupan. Beberapa anak yang lebih besar mengalami
konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola makan dari ASI menjadi susu pengganti
atau makanan padat. Pasien didiagnosis dengan PH karena adanya riwayat konstipasi,
distensi abdomen dan gelombang peristaltik dapat terlihat, sering dengan enterokolitis, dan
dapat terjadi gangguan pertumbuhan.7
Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong. Tandatanda edema, bercakbercak kemerahan khusus di sekitar umbilikus, punggung, dan disekitar
genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis. Umumnya diare ditemukan
pada bayi dengan PH yang berumur kurang dari 3bulan. Bila ditemukan harus dipikirkan
gejala enterokolitis yang merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Enterokolitis
terjadi pada 12-58% pada pasien dengan PH. Hal ini karena stasis feses menyebabkan
iskemia mukosal dan invasi bakteri juga translokasi. Selain itu disertai perubahan komponen
musim dan pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas
prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau Rotavirus.7
Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala walaupun telah
dilakukan kolostomy. Enterokolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang
mengancam jiwa. Enterokolitis ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang
menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada
mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus
dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi spontan terjadi
pada 3% pasien dengan PH. Ada hubungan erat antara panjang colon yang aganglion dengan
perforasi.7,8
Diagnosis dini PH dan penanganan yang tepat sebelum terjadinya komplikasi merupakan hal
yang penting dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini.7
2.6 Determinan Penyakit Hirschsprung
Faktor Bayi
a)Umur Bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan terkena penyakit
Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah satu penyebab paling umum
obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).6,7
b)Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat (sedarah)
seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan pariban dapat disebut
sebagai perkawinan hubungan darah atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada
kesehatan fisik yang sangat berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan
kongenital.6,7
2.7 Komplikasi
Menurut Corwin (2001:534) komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan elektrolit dan
perforasi usus apabila distensi tidak diatasi.
kompikasi penyakit hirschsprung adalah:7
a. Pneumatosis usus
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.7
b. Enterokolitis nekrotiokans
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.7
c. Abses peri kolon
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.7
d. Perforasi
Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.7
e. Septikemia
Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin karena
iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dinding usus.7
Sedangkan komplikasi yang muncul pasca bedah antara lain:
a. Gawat pernafasan (akut)
Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru-paru sehingga mengganggu
ekspansi paru.7,8
b. Enterokolitis
Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin.7
2.8 Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus. Gejala
konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya pengeluaran mekonium dalam waktu
24 jam setelah lahir. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan
pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia
lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya yang harus
diperhatikan adalah didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare
yang massif, kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Faktor genetik adalah faktor
yang harus diperhatikan pada semua kasus.8,9
Pemeriksaan penunjang
Diagnostik pada PH dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada penyakit Hirschsprung.
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium
merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit Hirschsprung
secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk membedakan usus halus dan usus
besar.Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa penyakit
Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda khas yaitu adanya
daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi, terdapat
daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi, serta
terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari foto barium enema
tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto
retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses.
Gambaran khasnya adala terlihatnya barium yang membaur dengan feses ke arah proksimal
kolon. Sedangkan pada penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.8
a. Foto polos abdomen
Gambar 1c. Foto retensi barium 24 jam menunjukan rettensi barium dengan zona transisi
pada fleksura splenik pada bayi berumur 10 hari.9
2. Anorectal manometry
Dilakukan pertama kali oleh Swenson pada tahun 1949 dengan memasukkan baln kecil
dengan kedalaman yang berbedabeda dalam rektum dan kolon.1 Alat ini melakukan
pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan
spingter anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang
sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti
poligraph atau komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit
Hirschsprung adalah :8
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi9
2. Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;
Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan
intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.9
3. Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang. Tidak
dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses. Tidak
dijumpai relaksasi spontan.8
Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan apabila hasil
pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya pada kasus PH ultra
pendek. Laporan positif palsu hasil pemeriksaan manometri berkisar antara 0-62% dan hasil
negatif palsu 0-24%. 1 Pada literature disbutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75100% dan spesifisitasnya 85-95 %. Hal serupa hamper tidak jauh beda dengan hasil
penelitian lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas
sebesar 95%.7 Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus prematur atau neonatus
aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12 hari. Keuntungan metode
pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak invasif dan dapat segera dilakukan
sehingga pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.10,11
Gambar 2a: Manometri anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya.
Padapenderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi sfingter ani.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat dikerjakan dengan
open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang normal menampilkan adanya sel
ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis
histopatologi PH didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus tersebut.
Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatis).
Akurasi
pemeriksaan
akan
semakin
tinggi
apabila
menggunakan
pengecatan
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti
dengan adanya perdarahan.9,10
Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan enolase
spesifik neuron dan. pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase yang
dapat memudahkan penegakan diagnosis PH.1,8 Swenson pada tahun 1955 mempelopori
pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk
mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan
sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan
ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif selanjurnya.9,11
Disamping itu juga teknik ini dapat menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan
rektum, dan infeksi. Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan
menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga
dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan lebih sederhana,
aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi pemeriksaan yang mencapai
100%.11
Akan tetapi, menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap
rektum bergantung pada specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang
diperiksa dan keahlian dari spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut
dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%.9 Untuk pengambilan sampel
biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan sel
ganglion Meisner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsi isap
meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.11
Gambar 3a: Pengecatan Acetylcholinesterase dari biopsy hisap rectum. Normal rektum
menunjukan minimal aktivitas Acetylcholinesterase dari lamina propia dan ganglion
submukosa.10
2.9 Penatalaksanaan
Medis
Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk
membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan mortilitas usus besar sehingga normal dan
juga fungsi spinkter ani internal.11
Ada 2 tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu:
a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen agangglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar
untuk mengembalikan ukuran normalnya.11
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak
mencapai sekitar 9kg (20pounds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama.11
Secara klasik, dengan melakukan inisisi di bagian kiri bawah abdomen kemudian dilakukan
identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy seromuskuler.11
Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschsprung ada 3 metode :
1. Metode Sweson
Pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani interna dan dilakukan
anastomosis coloanalpada perineum.11
2. Metode Duhamel
Daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang ganglionik ditarik ke bagian
belakang ujung daerah aganglioner. Stapler GIA kemudian dimasukkan melalui
anus.11
3. Teknik Soave
Pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal aganglioner.11
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschsprung biasanya berhasil baik, walaupun
terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah tersering pada
pascaoperasi.11