Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Hemoptisis merupakan batuk darah yang berasal dari saluran nafas di bawah
laring. Dengan kata lain, hemoptisis merupakan batuk darah yang berasal dari
saluran nafas bagian bawah. Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari
suatu penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak
bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan
dan lokasi perdarahan. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari
penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih
teliti. Penyebab hemoptisis bervariasi mulai dari bronkitis yang sederhana hingga
emboli paru yang mengancam jiwa.1,2 Batuk darah cukup menakutkan bagi pasien
sehingga pasien dengan gejala ini umumnya segera datang untuk berobat.
Hemoptisis lebih sering terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan
kejadian hemoptisis antara laki-laki dan perempuan berturut-turut adalah 60:40.
Hemoptisis dapat terjadi pada semua kelompok usia.1
Penyebab kematian pada kasus hemoptisis kebanyakan adalah karena
asfiksia, bukan karena banyaknya perdarahan. Angka kematian hemoptisis masif
yang tidak ditangani dengan baik adalah lebih dari 50%, sehingga pengenalan dini
hemoptisis yang berat dan identifikasi penyebabnya sangat ditekankan agar terapi
yang adekuat dapat segera dilakukan dan untuk mencegah terjadinya komplikasi
yang fatal.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Vaskularisasi Paru


Paru merupakan sepasang organ berbentuk seperti kerucut pada rongga
thorax. Keduanya dipisahkan oleh jantung dan struktur lainnya di mediastinum,
yang membagi rongga thorax menjadi dua ruang anatomi yang berbeda. Paru
memanjang dari diafragma hingga sedikit di atas klavikula dan dibatasi oleh
costae pada bagian anterior dan posteriornya. Paru kanan terdiri atas 3 lobus,
sedangkan paru kiri terdiri atas 2 lobus. Pada tiap lobus menerima cabang
bronkus sekunder (lobar). Bronkus primer kanan bercabang menjadi 3 cabang
bronkus sekunder yang disebut bronkus sekunder superior, media, dan inferior.
Bronkus primer kiri bercabang menjadi bronkus sekunder superior dan inferior.
Bronkus sekunder selanjutnya bercabang menjadi bronkus tersier (segmental),
yang asal usul dan distribusinya konstan (terdapat 10 bronkus tersier pada masingmasing paru. Bagian jaringan paru yang disuplai oleh masing-masing bronkus
tersier disebut sebagai segmen bronkopulmoner. Tiap segmen bronkopulmoner
memiliki banyak kompartemen kecil yang disebut lobulus yang dibungkus oleh
jaringan ikat dan mengandung pembuluh limfe, arteriol, venula dan cabang dari
bronkiolus terminal. Bronkiolus terminal dibagi lagi menjadi bronkus
mikroskopik yang disebut bronkiolus respiratorik. Bronkiolus respiratorik
menembus lebih dalam ke dalam paru, sehingga lapisan epitel berubah dari
kuboid selapis menjadi skuamosa selapis. Bronkiolus respiratorik dibagi lagi
menjadi beberapa duktus alveolaris.4

Gambar 1. Anatomi Paru4,5

Paru menerima darah melalui dua perangkat arteri, yaitu arteri pulmonalis
dan arteri bronkialis. Darah yang terdeoksigenasi mengalir melalui trunkus
pulmonalis yang kemudian terbagi menjadi arteri pulmonalis kiri yang masuk ke
paru kiri, dan arteri pulmonalis kanan yang masuk ke paru kanan. Darah yang
teroksigenasi kembali ke jantung melalui empat buah vena pulmonalis yang
kemudian disalurkan ke atrium kiri. Arteri bronkialis yang merupakan cabang dari
aorta mengantarkan darah teroksigenasi ke paru. Darah ini terutama mengaliri
dinding muskularis bronkus dan bronkiolus. Terdapat hubungan antara cabang
arteri bronkialis dan cabang arteri pulmonalis. Sebagian besar darah kembali ke
jantung melalui vena pulmonalis. Sebagian darah mengalir ke vena bronkialis,
cabang dari sistem azigos, dan kembali ke jantung melalui vena cava superior.4

Gambar 2. Sirkulasi pulmonal4

Gambar 3. Skema sirkulasi bronkial dan anastomase sirkulasi


bronkial dan sirkulasi pulmonal

Arteri bronkialis merupakan sumber utama hemoptisis. Mencari asal arteri


bronkialis sebelum terapi cukup membantu sebelum dilakukan terapi hemoptisis,
karena sekitar 30% arteri bronkialis ini memiliki asal yang abnormal yang dapat

memicu kegagalan terapi endovaskuler. Arteri bronkialis umumnya berasal dari


bagian atas aorta torakal desenden. Sumber arteri bronkialis dikatakan ortotopik
(normal) apabila terletak setinggi aorta desenden pada level corpus vertebrae T5T6 (atau pada carina). Ketika arteri bronkialis terletak pada tempat lain, maka
disebut ektopik. Cauldwell et al. melaporkan tipe paling sering arteri bronkialis
ortotopik berasal. Biasanya dua atau tiga cabang dari arteri bronkialis berjalan
paralel dengan bronkus dan membentuk pleksus peribronkial dengan cara
beranastomosis satu dengan lainnya. Arteriol dari pleksus ini melubangi lapisan
muskular dan membentuk pleksus paralel di submukosa bronkial. Pada kondisi
normal, diameter arteri bronkial < 1,5 mm pada tempat asalnya dan < 0,5 mm
pada bagian distalnya. Arteri ini biasanya mengalami hipertrofi dan merupakan
sumber potensial terjadinya hemoptisis jika diameternya > 2 mm pada tempat
asalnya.3
Hemoptisis juga dapat berasal dari arteri sistemik nonbronkial, yang masuk
ke dalam parenkim paru melalui perlekatan antar pleura karena proses inflamasi
kronis (tuberkulosis, mikosis) atau melalui ligamen pulmoner dan beranastomosis
dengan sirkulasi arteri pulmoner.3
Hemoptisis juga dapat berasal dari arteri pulmonalis. Hemoptisis yang
persisten walaupun telah dilakukan embolisasi arteri sistemik yang sesuai
mengindikasikan bahwa sumber perdarahan adalah arteri pulmonalis. Khalil et al.
menginvestigasi penyebab potensial hemoptisis arteri pulmonalis meliputi
penyakit yang menyebabkan terjadinya nekrosis (tuberkuloss aktifin, abses
pulmoner, aspergilosis, dan karsinoma paru nekrotik), vaskulitis, trauma oleh
kateter Swan-Ganz dan malformasi arteriovena pulmoner.3

Gambar 4. Empat tempat asal tersering dan tipe percabangan

arteri bronkialis ortotopik setinggi bufurkasio trakea


seperti yang digambarkan oleh Cauldwell et al.3

B. Hemoptisis
1. Definisi
Hemoptisis atau batuk darah merupakan ekspektorasi darah yang berasal
dari saluran nafas di bawah laring.1,2 Dalam praktek klinis hemoptisis
merupakan gejala yang umum ditemukan, yang mana hal ini membutuhkan
investigasi lebih lanjut. Hemoptisis didefinisikan sebagai ekspektorasi darah
yang berasal dari saluran nafas bawah. Dengan demikian, perdarahan yang
berasal dari saluran nafas bagian atas dieksklusikan dari definisi ini.3
2. Etiologi
Hemoptisis memiliki kausa yang multipel, yang biasanya dapat
dikategorikan menjadi penyakit parenkim, penyakit jalan nafas, dan penyakit
vaskuler. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah kecil ataupun
pembuluh darah besar. Perdarahan dari pembuluh darah kecil biasanya
menyebabkan perdarahan alveolar fokal atau difus dan terutama akibat
penyebab imunologik, vaskulitis, kardiovaskuler, dan koagulasi. Penyebab
perdarahan dari pembuluh darah besar meliputi akibat penyakit infeksius,
kardiovaskuler, kongenital, neoplastik, dan vaskulitis. Namun, penyakit
tersering yang menyebabkan hemoptisis adalah bronkiektasis, tuberkulosis,
infeksi jamur, dan kanker. Tabel 1 menyebutkan penyebab hemoptisis dari
pembuluh darah kecil, tabel 2 menyebutkan penyebab hemoptisis dari
pembuluhh darah besar.3

Tabel 1. Penyebab hemoptisis dari pembuluh darah kecil

Tabel 2. Penyebab hemoptisis dari pembuluh darah besar

3. Patofisiologi
Paru memiliki dua suplai darah yang terdiri atas pembuluh darah bronkial
dan pulmoner. Pembuluh darah bronkial di bawah tekanan sirkulasi sistemik
dan menyuplai struktur penunjang paru, sedangkan pembuluh darah pulmoner
berada di bawah tekanan rendah dan menyuplai alveoli. Arteri pulmonalis
menyediakan 99% darah arteri ke paru dan terlibat dalam pertukaran udara.
Arteri bronkialis menyuplai nutrisi ke jalan nafas ekstra- dan intrapulmoner
dan ke vasa vasorum tanpa terlibat dalam pertukaran udara. Arteri bronkialis
juga menyediakan darah bagi nodus limfe dan nervus mediastinum, pleura
viseralis, esofagus, vasa vasorum aorta, dan vena pulmonalis.1,3
Perdarahan yang bersumber dari pembuluh darah manapun yang telah
disebutkan di atas, dapat muncul melalui tiga mekanisme: hipertensi pulmonal,
erosi terhadap pembuluh darah pulmonal atau bronkial, dan sebagai komplikasi
koagulopati. Hemoptisis yang timbul dari peningkatan tekanan vaskuler
pulmoner paling sering akibat abnormalitas primer dari jantung, misalnya gagal
jantung kongestif kiri atau stenosis mitral, di mana hemoptisis dapat dengan
cepat memenuhi sekitar 150 ml anatomic dead space pada jalan nafas utama
dan dapat membunuh seseorang karena terjadi asfiksia lebih dominan

dibandingkan karea kehilangan banyak darah. Hemoptisis karena vaskulitis


biasanya sumbernya alveolar dan biasanya bagian dari vaskulopati sistemik
yang luas seperti SLE, Wegener granulomatosis, poliarteritis, dan Goodpasture
sydrome. Hemoptisis yang diinduksi oleh trombolitik muncul pada <1% pasien
yang menerima terapi trombolisis, hal ini bersifat irreversibel, dan dapat
berakibat fatal. Erosi pembuluh darah bronkial di bawah tekanan sirkulasi
sistemik dari tuberkulosis atau bronkiektasis dapat menghasilkan hemoptisis
berat. Perdarahan hebat dari sirkulasi pulmoner dapat terjadi pada misetoma
(terutama aspergiloma), abses paru, dan kanker paru. Rupturnya arteri
pulmoner dari kateter arteri pulmoner dapat menyebabkan hemoptisis yang
mengancam jiwa.1
Terdapat anastomosis kapiler yang kompleks antara arteri pulmoner dan
arteri bronkial sistemik. Ketika sirkulasi pulmoner kompromis atau mengalami
penurunan (contohnya pada penyakit tromboemboli, vaskulitis, atau
vasokontriksi hipoksik). Suplai darah bronkial meningkat secara bertahap
menyebabkan terjadinya hiperflow (aliran yang berlebihan) pada pembuluh
anastomosis, yang mana menjadi hipertrofik dengan dinding pembuluh yang
tipis dan cenderung untuk pecah ke alveolus dan bronkus, sehingga
menimbulkan hemoptisis. Demikian pula pada penyakit inflamasi kronik
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, tuberkulosis, penyakit paru akibat
jamur, dan abses paru, sama seperti penyakit neoplastik, pelepasan angiogenic
growth factor memicu terjadinya neovaskularisasi dan remodelling pembuluh
darah pulmoner dan menarik pembuluh darah sistemik kolateral. Pembuluh
darah baru dan kolateral rapuh dan mudah ruptur ke jalan nafas.3
Asal anatomis perdarahan berbeda tiap proses patologik tertentu.
Hemoptisis pada bronkitis terjadi akibat pecahnya pembuluh darah superfisial
di mukosa, pada tuberkulosis paru akibat robekan atau ruptur aneurisma arteri
pulmoner (dinding kaviti aneurisma Rassmussen). atau akibat pecahnya
anastomosis bronkopulmoner atau proses erosif pada arteri bronkialis, pada
infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi pembesaran & proliferasi arteri
bronkial misal: bronkiektasis, aspergilosis atau fibrosis kistik, sedangkan
kanker paru akibat pembuluh darah yg terbentuk rapuh sehingga mudah
berdarah.2
4. Penilaian Klinis
a. Riwayat Penyakit, Tanda dan Gejala
Riwayat penyakit yang detail penting untuk mendapatkan petunjuk
mengenai kemungkinan penyebab hemoptisis. Berikut ringkasan riwayat
penyakit, gejala dan tanda yang dapat dijumpai pada pasien dan
kemungkinan penyebabnya.

Tabel 3. Kemungkinan penyebab hemoptisis berdasarkan riwayat penyakit, tanda dan


gejala6

Kriteria batuk darah: 7


a. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
b. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
c. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan
darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang
diajukan Busroh (1978) :7
a. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
b. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam tetapi
lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
sedangkanbatuk darahnya masih terus berlangsung.
c. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam,
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.

b. True Hemoptysis vs Pseudohemoptysis


Selama melakukan penilaian klinis terhadap pasien perdarahan dari
nasofaring atau saluran gastrointestinal (pseudohemoptisis) harus
disingkirkan. Adanya batuk merupakan mekanisme refleks yang
mengeluarkan paksa darah dari paru, dan tampilan ini khas pada hemoptisis.
Sedangkan perdarahan nasofaring biasanya tida terkait dengan batuk.
Namun, perdarahan pada area laring dapat memicu batuk dan dapat
menyerupai hemoptisis. Ketika perdarahan dicurigai berasal dari ruang
nasofaring, maka dapat dilakukan eksplorasi dengan menggunakan
laringoskop. Pada pemeriksaan fisik paru dapat terdengar fine inspiratory
crackles yang terkait dengan darah pada alveoli atau inspiratory and
expiratory crackles terkait dengan sekret dan darah pada jalan nafas, atau
terdengar wheezing. Adanya digital clubbing merupakan tanda penyakit
paru kronik (Jurnal sign symptom &Tintinalli).
Inspeksi sputum untuk menilai derajat hemoptisis. True hemoptysis
menunjukkan sputum warna merah terang, tampak berbusa, pH basa, dan
adanya makrofag. Darah yang berasal dari saluran gastrointestinal bersifat
asam dan berwarna merah gelap, walaupun demikian pada darah yang
tertelan dari epistaksis dapat menyerupai ciri hemoptisis. Pada area dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, dilakukan pemeriksaan sputum BTA
untuk melihat adanya infeksi bakteri M.Tuberculosis (Tintinalli).
Tabel 1. Perbedaan Batuk Darah (hemoptisis) Dengan Muntah Darah (psedohemoptisis)7

No
1

Batuk Darah
Darah dibatukkan dengan

Muntah Darah
Darah dimuntahkan

rasa panas di tenggorokan

dengan rasa mual

Onset

Darah dibatukkan, dapat

(Stomach Distress)
Darah dimuntahkan, dapat

3
4
5

Tampilan
Warna
Isi

disertai dengan muntah


Darah berbuih
Merah segar
Lekosit, mikroorganisme,

disertai dengan batuk


Darah tidak berbuih
Merah tua
Sisa makanan

6
7

Ph
Riwayat

hemosiderin, makrofag
Alkalis
Penyakit paru

Asam
Peminum alkohol, ulcus

Keadaan
Prodromal

penyakit dahulu
8
9

(RPD)
Anemis
Tinja

pepticum, kelainan hepar


Kadang tidak dijumpai
Blood test (-) /

Sering disertai anemis


Blood Test (+) /

Benzidine Test (-)

Benzidine Test (+)

5. Evaluasi Diagnostik
Foto rontgen thorax sangat membantu dalam menemukan penyebab
hemoptisis, dengan pemeriksaan ini dapat ditemukan patologi paru yang khas
(misalnya: tumor, kavitas, atau infiltrat). Hal yang harus diingat adalah
perdarahan intra-alveolar dapat menyerupai infiltrat karena polanya yang
berupa retikulonodular. Sekitar 20% - 46% pasien dengan hemoptisis memiliki
hasil rontgen foto thorax normal.8
CT scan thorax dengan kontras dilakukan untuk mendeteksi lesi yang
tidak terlihat dengan foto rontgen thorax. Pemeriksaan ini sensitif dalam
mendiagnosis bronkiektasis, karsinoma bronkogenik kecil, patologi vaskuler,
emboli pulmoner, dan fistula bronko-arterial. Fungal ball yang dicurigai pada
foto rontgen thorax dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan.
Walaupun memiliki sensitivitas yang tinggi, sekitar 5 10% pasien hemoptisis
yang dievaluasi dengan CT scan tetap tidak diketahui penyebabnya. Oleh sebab
itu, dapat dilakukan pemeriksaan angiografi bronkial selektif yang dapat
mendeteksi lokasi perdarahan serta tipe patologi vaskuler seperti aneurisma
dan malformasi arteriovena atau fistula. 8
Pemeriksaan sputum harus dilakukan segera pada pasien dengan
hemoptisis. Spesimen sputum dievaluasi adanya bakteri dan jamur dan harus
meliputi pula pemeriksaan pewarnaan Gram, BTA, KOH untuk jamur, dan
kultur. Urinalisis juga harus dilakukan, adanya darah pada urin meningkatkan
kecurigaan Goodpatures syndrome. 8
6. Manajemen Hemoptisis
Tujuan pokok terapi hemoptisis adalah:
1) Mencegah asfiksia.
2) Menghentikan perdarahan.
3) Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah:
1) Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana

hipotensi,

anemia

dan

kolaps

kardiovaskuler.
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan
sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2) Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi
bronkoskopi.

atau

bahkan

3) Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade perdarahan.
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support
kardiopulmoner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia
yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi asfiksi, tingkat
kegawatan hemoptisis paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptosis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk
dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1) Terapi konservatif
Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut :
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat
diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh
membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu
dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan
sekali-kali disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik,
diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal
perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke
paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa
ada darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan
pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube
endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan
sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein10 - 20
mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan,
sehingga kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan

penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih


kooperatif.

b. Memperbaiki keadaan umum penderita


Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam
kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari.
Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresin
(Pitrissin)., ascorbic acid dikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada
kelainan

didalam

faktor-faktor

pembekuan

darah,

lebih

baik

memberikan faktor tersebut dengan infus.


Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
Di beberapa rumah sakit masih memberikan Hemostatika (Adona
Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun
khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi
pasien dan dokter yang merawat.
d. Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlyingdisease)
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas
selalu diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan
juga antibiotika yang sesuai.
2) Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah
masif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi
paru adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah. Reseksi bedah segera pada
tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan
atas pertimbangan:
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.

b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian


pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
Tindakan bedah meliputi:
1) Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan akibat
penyakit dasarnya. Macam reseksi:
- Pneumonektomi:
reseksi satu paru seluruhnya
- Bilobektomi :
reseksi dua lobus
- Lobektomi
:
reseksi satu lobus
- Wedgeresection:
reseksi sebagian kecil jaringan paru
- Enukleasi
:
bila kelainan patologis kecil dan jinak
- Segmentektomi:
reseksi segmen bronkopulmonal
Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru, luasnya operasi
dapat ditentukan sebelum operasi. Prinsipnya adalah mempertahankan
sebanyak mungkin jaringan paru yang dianggap sehat. Luas dan jenis
lesi (proses inflamasi, abses atau kavitas) menentukan jenis reseksi
yang akan dilaksanakan.
2) Terapi kolaps: pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisia, torakoplasti,
frenikolisis (membuat paralise N. phrenicus).
Terapi kolaps bertujuan untuk mengistirahatkan bagian paru yang
sakit dengan cara membuat kolaps jaringan paru yang sakit tersebut.
Pendapat ini benar untuk kelainan berbentuk kavitas, tetapi cara ini
banyak ditinggalkan karena komplikasinya banyak.
Prosedur yang termasuk dalam kelompok terapi kolaps:
- Pneumotoraks artificial yaitu dengan memasukkan udara ke rongga
pleura kemudian secara bertahap ditambahkan udara sehingga
teracapai kolaps pada jaringan paru yang sakit. Bila paru kolaps
maka bagian tersebut dapat istirahat sehingga mempercepat proses
penyembuhan. Bila terdapat adhesi dan paru tidak dapat kolaps
dilakukan intrapleuralpneumonolysis (operasi Jacoboes), tetapi
sering terjadi komplikasi perdarahan. Karena sering terjadi
empyema setelah pneumotorak artifisial, tindakan ini sudah tidak
dilakukan lagi.

Pneumoperitoneum yaitu tindakan memasukkan udara ke rongga


peritoneum dengan tujuan menaikkan diafragma agar terjadi kolaps

pada jaringan paru dengan harapan lesi di apikal akan menyembuh.


Paralise nervus phrenicus yaitu dengan cara anestesi local nervus
phrenicus dibebaskan dari perlekatannya di M. scalenus anterior,
kemudian saraf dirusak (crushed) sehingga timbul paralise
diafragma. Akibatnya

akan

terjadi

elevasi

diafragma

dan

diharapkan apeks paru dapat diistirahatkan sehingga, terjadi proses


-

penyembuhan.
Torakoplasti yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps paru terjadi
dengan cara menghilangkan supporting framework-nya, misalkan
dengan membuang tulang iga dari dinding dada. Indikasi
torakoplasti:
Dulu: torakoplasti hamper selalu dilakukan setelah lobektomi atau
pneumonektomi dengan tujuan meminimalisasi kemungkinan
terjadinya over distensi parenkim paru yang tersisa selain itu dead
space

akan

segera

menutup

(obliterasi)

sehimgga

resiko

terbentuknya fistula bronkopleural dan empyema dapat dikurangi.


Sekarang: kebutuhan torakoplasti diragukan dan dilakukan bila
direncanakan reseksi lebih dari 1 lobus atau mengatasi komplikasi
tindakan reseksi seperti fistula bronkopleura dan empiema.
3) Lain-lain: embolisasi artifisial.
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery Embolization (BAE)
adalah penyuntikan gel foam atau polivinil alcohol melalui katerisasi
pada

arteri

bronkialis.

Menurut

Ingbar

embolisasi

berhasil

menghentikan perdarahan 95%. Dengan meningkatnya penggunaan


embolisasi arteriografi, sekarang penggunaan tindakan pembedahan
untuk pengelolaan batuk darah massif mulai ditinggalkan.

Anda mungkin juga menyukai