Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
A. FISIOLOGI KLINIS
Adanya serebellum, otak bagian tengah, pons, medulla oblongata dan
nervus kranialis multipel di bagian posterior fossa otak, menyebabkan lesi di area ini
mempunyai berbagai kemungkinan tanda dan gejala. Peningkatan tekanan intrakranial
terjadi sebagai akibat sebuah masa lokal atau hidrocephalus sekunder karena obstruksi
aliran cairan serebrospinal melalui ductus aqueous atau ventrikel keempat. Gejala awal
mungkin tidak spesifik, seperti sakit kepala, kelelahan, muntah, anoreksia, dan
perubahan kepribadian. Keterlibatan serebelum atau batang otak menimbulkan gejala
yang bersifat lokal, yaitu dismetria, hemiparesis, dan defisit nervus cranialis. Sindrom
yang lebih spesifik lagi dapat terjadi pada tumor yang terkait dengan struktur neural,
yaitu neurilemoma, atau tumor di sudut serebellopontin lainnya, glioma pada batang
otak dan tumor pada badan carotis.
Meskipun setiap proses pendesakan ruang oleh lesi di bagian fossa posterior
dapat menimbulkan tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial secara langsung,
namun umumnya mekanismenya melalui obstruksi aliran cairan serebrospinal terlebih
dulu yang berakibat pada munculnya hidrocephalus. Kondisi tersebut sangat mungkin
terjadi pada kasus lesi yang menempati daerah garis tengah otak (midline) atau lesi lebih
luas yang dapat mendistorsi ventrikel keempat. Gejala peningkatan tekanan intrakranial
meliputi kelelahan, sakit kepala (saat malam atau pagi hari), mual, muntah, diplopia
(pandangan mata ganda), cara berjalan yang tidak seimbang, inkontinensia uri, dan
perubahan status mental. Sakit kepala muncul sebelum tanda defisit neurologis lainnya.
Pasien dengan hidrocephalus dapat mengalami penurunan penglihatan visual akibat
edem papil. Pada bayi, kepala terlihat membesar atau penggelembungan fontanella
merupakan indikasi terjadinya hidrocephalus. Lokasi lesi di bagian fossa posterior
1
ataksia
trunkus,
gaya
berjalan
wide-based,
nistagmus,
Meningismus, head tilt, spasme otot, dan opistotonus dapat merupakan akibat
dari herniasi tonsila serebelum melalui foramen magnum, terutama pada anak.
Muntah, skew deviasi dari mata dan nistgmus vertikal ke arah bawah dapat
muncul. Bentukan herniasi tonsilar dapat di salah tafsirkan sebagai bentukan
tonjolan serebelum normal. Adanya tanda berupa saluran yang memanjang
menunjukkan keterlibatan batang otak. Palsi bulbaris dengan paralisis plika
vokalis dan disfungsi menelan dapat terjadi. Sakit kepala area occipital dan
nyeri leher mungkin muncul. Batuk dapat membangkitkan peningkatan gejala
berulang, seiring dengan impaksi tonsil ke luar menjauhi foramen magnum.
Bersamaan dengan kompresi herniasi terhadap medula oblongata respirasi
menjadi iregular yang bisa mengakibatkan kematian.
2
TUMOR
Frekuensi tipe tumor intrakranial di daerah fossa posterior menunjukkan
prevalensi pada usia tertentu (Tabel 1)
Percentage (%)
Astrocytoma
20
Medulloblastoma
20
Brainstem glioma
10
Ependymoma
20-60 tahun
Metastase
Acoustic
Meningioma
> 60 tahun
Acoustic
20
Metastase
Meningioma
5
Dari tabel terlihat bahwa frekuensi dan tipe tumor intrakranial di daerah
fossa posterior bervariasi tergantung umur. Pada anak-anak, tumor sistem saraf pusat
merupakan tumor solid pertama yang paling umum, dan merupakan proses malignansi
kedua setelah leukemia.
daerah fossa posterior dan terdiri atas meduloblastoma atau tumor neuroectodermal
primitif, astrocytoma serebelar, glioma pada batang otak, dan ependymoma.
Pada dewasa, tumor jinak dan maligna dapat terjadi. Neurilemomas akustik,
meningioma dan metastase terjadi seiring dengan tumor glial dengan lokasi umum pada
supratentorial. Serebelum adalah lokasi primer dari hemangioblastoma. Epidermoid
juga sering didapat di darah sudut serebelopontin dan dermoid biasa didapat pada daeah
vermis. Meskipun ada tumor supratentorial yang juga didapatkan di daerah fossa
posterior namun tumor yang dibicarakan kali ini merupakan tumor di daerah fossa
posterior saja. Metastase bertanggungjawab terhadap 2/3 masa serebelum pada orang
dewasa.
Lesi primer intraaksial (astrocytoma, medulloblastoma, atau PNET,
ependymoma) cenderung menjadi maligna (kecuali hemangioblastoma), namun lesi
ekstraaksial cenderung menjadi jinak (neurilemoma akustik, epidermoid). Tabel 2
menunjukkan tumor yang umumnya dijumpai pada berbaagai tempat di fossa posterior
Tabel 2. Lokasi Tumor di Fossa Posterior
Lokasi Tumor Pada Fossa Posterior
1.Hemisfer serebelum:
Hemangioma
Astrocytoma glioblastoma
Metastasis
2.Sudut serebelopontin:
Neurilemoma
Akustik
Trigeminal
Facial
Meningioma
Epidermoid
Kista arachnoid
3. Ventrikel keempat:
5
bertanggungjawab terhadap 4%-10% tumor otak dan terhadap 1/5 tumor otak pada
pediatri. Pasien datang untuk pengobatan dengan riwayat pertumbuhan tumor pendek
(1-5 bulan) akibat agresifitas tumor dan lokasi di garis tengah otak dengan tanda batang
otak positif dan obstruktif hidrocephalus. Peningkatan tekanan intrakranial terjadi di
awal bersamaan ataksia trunkus.
B.
PERTIMBANGA ANESTESI
Kepentingan klinis dari pertimbangan teoretis tentang pemilihan obat
anestesi untuk pasien yang menjalani eksplorasi fosa posterior masih harus ditentukan.
Pertanyaan pertama tentang efek inhalsi dibandingkan obat anestesi intravena terhadap
kemampuan paru-paru untuk mempertahankan udara yang masuk sirkulasi vena,
mencegahnya masuk ke sirkulasi arterial. Lewatnya udara transpulmonal terjadi pada
manusia dan didukung oleh adanya emboli serebral tanpa adanya defek intrakardiak,
dan juga adanya udara yang cenderung masuk ke sisi jantung sebelah kiri pada
ekokardiogram. Anestesi intravena seperti pentobarbital, fentanil dan ketamin
mempertahankan batas lebih tinggi untuk menangkap gelembung udara pada sirkulasi
pulmonal dibanding dengan halotan sehingga dapat menurunkan resiko dan keparahan
emboli udara yang terjadi.
Pertimbangan kedua menyangkut cara mempertahankaan CPP yang cukup.
Sebelum insisi, pemberian agen anestesi intravena terbukti memiliki efek lebih ringan
pada sistem kardiovaskular dibanding agen inhalasi pada pasien dengan posisis duduk.
Namun apakah hubungan tersebut berlanjut setelah pembedahan dimulai belum dapat
dilakukan penelitian.
Premedikasi
Pemberian premedikasi preoperatif disesuaikan secara individual sesuai
dengan status fisik, bukti peningkatan tekanan intrakranial dan tingkat kegelisahan
pasien. Medikasi antihipertensif kronik tetap dilanjutkan, kortikosteroid perioperatif dan
antibiotik biasanya diberikan oleh dokter bedah saraf. Premedikasi dengan narkotik
dihindari pada pasien dengan lesi desak ruang atau pada hidrocephalus akibat oklusi
ventrikel keempat karena adanya hipoventilasi dan retensi CO 2 yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Benzodiazepin oral diberikan pada menit ke 60 dan
ke 90 sebelum pasien menuju ruang operasi efektif dalam mengurangi kegelisahan dan
memiliki efek tidak signifikan terhadap peningkatan tekanan intrakranial.
Induksi Anestesi
Monitor langsung tekanan darah arterial dipasang sebelum induksi anestesi
diakukan, sehingga memungkinkan kontrol lebih ketat tekanan darah dan CPP selama
induksi dan intubasi, terutama pada pasien dengan resiko peningkatan tekanan
intrakranial. Penggunaan dosis rendah (4-6 mg/kg fentanyl), agen berbasis narkotik,
N2O,/O2, teknik relaksan dengan suplementasi anestesi inhalasi volatil setelah induksi
intravena memakai thiopenthal atau propofol memberikan efek analgesia dan amnesia
yang cukup, kemampuan kembalinya aktivitas sistem saraf autonom, dan kecepatan
pulihnya kesadaran setelah anstesi inhalasi dihentikan sehingga pemeriksaan neurologis
post pembedahan dapat dilakukan lebih awal. Sebagai pengganti N 2O digunakan
narkotik dengan dosis lebih tinggi (10 mg/kg fentanyl) atau infus propofol.
Obat blok beta adrenergik dan vasodilator dapat digunakan sebagai dosis
single atau dikombinasikan untuk mengobati peningkatan tekanan darah. Penggunaan
obat antihipertensif jangka panjang dihindari sampai pasien diletakkan pada posisi
operasi. Kebutuhan penggunaan vasopresor dapat meningkat setelah induksi anestesi
atau penempatan posisi, terutama pada pasien dengan hipertensi kronik. Obat aksi
jangka pendek, seperti bolus kecil efedrin atau fenilefrin biasanya efektif. Infus inotrop
mungkin juga dibutuhkan selama prosedur pembedahan.
Verifikasi penempatan endotrakheal tube yang sesuai dilakukan setalah
pasien diposisikan dan sebelum insisi pembedahan merupakan fase paling penting.
Akses intraoperatif terhadap jalan nafas terbatas pada lapang pandang operasi dan
fleksi atau ekstensi bisa menimbulkan salah penempatan ET ke arah lebih cephal atau
caudal, kurang lebi 2 cm. Sehingga palpasi cuff ET di atas angulus sternum ludovici
berguna untuk memastikan bahwa ujung ET berada di atas karina.
Mempertahankan Anestesi
Ventilasi
kontrol
tekanan
positif
dengan
paralisis
memudahkan
pemeliharaan level anestesi yang lebih ringan; hiperventilasi yang menurunkan PaCO2
menghasilkan stimulasi simpatis dan penurunan tekanan darah pada kedalaman anestesi
berapapun, vasokonstriksi serebral; berkurangnya perdarahan; penurunan tekanan
intrkranial; depresi sistem kardiovaskular lebih rendah akibat penurunan kedalaman
anestesi dan penurunan kemungkinan pergerakan pasien.
Hipothermia berat intraoperatif (320C) diusahakan dihindari. Namun
penurunan suhu 2-3 0C dapat memproteksi serebral.
Pemberian cairan intravena yang lebih bebas dibutuhkan selama prosedur
elevasi kepala dalam posisi pronasi akibat relaksasi kapasitansi pembuluh darah dan
resultan pooling vena pada ekstremitas bawah. Hal tersebut dapat dihilangkan melalui
aplikasi stoking kompresi perioperatif, namun hilangnya cairan intravaskular ke ruang
ekstravaskular akan tetap terjadi seiring dengan waktu. Jika volume cairan yang
10
diberikan selama pembedahan banyak, diberikan Furosemid dosis rendah (5-10 mg)
yang akan menimbulkan diuretik osmotik dari kelebihan cairan yang direabsorbsi dari
ruang ekstravaskular. Larutan mengandung glukosa tidak digunakan karena efek
hiperglikemia pada area otak yang beresiko menjadi iskemia.
Pemberian diuretik osmotik dan loop untuk reseksi tumor dan prosedur
vaskular dapat menyebabkan pasien yang duduk terkena gangguan elektrolit atau
instabilitas kardiovaskular akibat hipovolema. Dan dapat meningkatkan ukuran
pneumocephalus. Pemberian kontinyu koloid intravena sesuai untuk mempertahankan
CPP dan memiliki efek minimal pada kondisi dehidrasi serebral akibat diuretik.
diakibatkan reseksi tumor). Jika manipulasi ekstensif struktur medulla atau edem
signifikan merupakan suatu faktor, maka jalan nafas yang terjaga harus dipertahankan
hingga pasien sadar, mampu mengikuti perintah dan mampu menunjukkan kembali
refleks jalan nafas protektif. Tambahan sedasi mungkin dibutuhkan sampai titik
kepulihan dicapai. Munculnya hipertensi postoperatif pada pasien yang sebelum operasi
normotensi, maka dokter anestesi harus memikirkan kemungkinan kompresi batang
otak, iskemia atau hematoma.
11
12
tumor otak pediatri merupakan kunci utama dari hasil penatalaksanaan. Kemoterapi
merupakan bagian regimen postoperatif yang lebih umum dipakai dibanding radiasi
yang sering dipakai pada orang dewasa untuk menghindari iradiasi sel syaraf pada anakanak yang memang masih mengalami perkembangan. Prognosis tumor otak pada anakanak lebih bagus dibanding pada dewasa.
Sifat dan riwayat alamiah tumor otak pada pediatri telah menuntun
perkembangan prinsip umum penatalaksanaan. Terapi pembedahan digunakan untuk
membuat diagnosis histologis didasarkan pada reseksi bedah mikro karena prognosisnya
berhubungan langsung dengan penyakit residual. Kombinasi kemoterapi dan radiasi
menunjukkan peningkatan survival untuk tumor medulloblastoma dan astrocytoma
batang otak. Iradiasi postoperatif pada anak-anak umur < 2-3 tahun dipakai untuk
mengobati tumor otak maligna dan glioma derajat rendah yang tidak dapat direseksi.
Anak-anak dengan umur lebih tua yang memiliki malignansi mendapat kemoterapi
sebelum iradiasi untuk menurunkan toksisitas neurologis dan hematologis dari kedua
modalitas terapi tersebut sehingga dapat dilakukan radioterapi intensif. Saat dosis tinggi
radiasi dibutuhkan, beda h radio stereotaktik dan
iradiasi
intrakavitas dapat
memfasilitasi dapat menjaga area otak eloquent selama reseksi tumor infiltratif, dan area
13
epileptogenik. Fungsi preoperatif MRI adalah untuk melokalisasi area korteks yang
penting, sehingga dapat memfasilitasi pembedahan yang lebih aman.
Banyak masalah perioperatif timbul pada kasus tumor otak pada populasi
pediatri. Edem disekitar tumor sering muncul dan merespon terhadap pengobatan
preoperatif dengan dexamethason. Hidrocephalus obstruktif terjadi pada tumor
intraventrikular dan tumor pada fossa posterior dan membutuhkan drainase ventrikular
eksternal preoperatif atau intraoperatif drainase. Terkadang, selang drainase permanen
dibutuhkan setelah reseksi tumor. Pasien yang memiliki tumor pada separuh bagian
otaknya biasanya timbul kejang dan membutuhkan perawatan dengan fenitoin atau obat
antikonvulsi lain. Tumor pada dan di sekeliling hipotalamus mempengaruhi fungsi
hipotalamus dan elaborasi hormon pituitari. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
termasuk
diabetes
insipidus,
harus
dipastikan
sehingga
pasien
dilakukan
penatalaksanaaan dari segi endokrin terlebih dulu dan mendapat hormon eksogen.
Status fisik pasien pediatri yang memiliki tumor otak merupakan pedoman
pengambilan keputusan bagi dokter bedah saraf terkait dengan waktu pembedahan.
Untuk pasien dengan kondisi penurunan kesadaran dan beresiko mengalami herniasi
insipien akibat masa lesi, pembedahan dilakukan segera setelah pasien diterima masuk
rumah sakit. Dokter bedah akan menginsersikan sebuah drainase eksternal jika pasien
tidak dapat segera dioperasi. Pasien dengan lesi luas dengan bukti efek pendesakan
massa namun masih sadar dirawat inap di rumah sakit dan diberi pengobatan dengan
kortikosteroid terlebih dulu. Pembedahan dilakukan pada hari berikutnya sesuai waktu
yang tersedia. Operasi bersifat elektif untuk pasien yang memiliki lesi lebih kecil tanpa
bukti efek pendesakan massa.
14
Pilihan obat yang digunakan untuk induksi anestesi didasarkan pada tingkat
kesadaran pasien, ukuran tumor dan perluasan efek massa. Pasien yang memiliki lesi
luas dan bukti pergeseran intrakranial dianestesi dengan teknikn intravena total
(memakai thiopenthal 4-5 mg/kg, fentanyl 2-4 g/kg, vecuronium o,1 mg/kg, atau
rokuronium 0,6 mg/kg) dan 100% oksigen. Setelah intubasi traheal dan hiperventilasi
diberikan anestesi inhalasi dan N2O dan naestesi dipertahankan dengan infus propofol.
Induksi inhalasi dengan sevofluran digunakan pada pasien dengan lesi kecil untuk
menyelamatkan akses intravena di awal. Setelah kateter intravena dipasang, anestesi
inhalasi dan N2O dihentikan dan dilanjutkan oleh agen anestesi intravena.
Karena posisi kepala pasien dapat berubah untuk menyesuaikan kebutuhan
akses saat dilakukan pembedahan, maka penting untuk diingat bahwa sedikit perubahan
pada posisi kepala pada anak-anak dapat menggeser kedudukan ET. Kejadian
komplikasi yang terkait dengan jalan nafas meliputi laringospasme, batuk, disritmia
dapat terjadi selama ekstubasi dalam maupu dalam keadaan terbangun. Kesiapan pasien
untuk dilakukan ekstubasi meliputi level kesadaran, laju respirasi, dan kedalamanya,
serta pemberian obat tambahan merupakan pedoman dasar yang lebih diperhatikan
dibanding tingkat anestesi absolut pasien.
Untuk mengantisipasi jika terdapat masalah potensial dengan batuk dan
obstruksi jalan nafas pada akhir operasi, maka ditetapkan kriteria untuk ekstubasi
sebagai berikut:
Stabilitas kardiovaskular
serebrum, dan kerusakan struktur vital termasuk batang otak dan nervus kranial,
mitigasi akibat ekstubasi yang terlalu cepat. Kemudian saat postoperatif pasien diamati
tingkat kesadarannya, patensi jalan nafas, dan integritas mekanisme batuk dan menelan.
Makroglosia dapat menjadi faktor resiko terjadi obstruksi post ekstubasi.
Pasien yang beresiko tinggi adalah yang mengalami operasi pada fossa posterior dalam
jangka waktu yag lama pada posisi duduk dengan fleksi leher ekstrem dengan
pemakaian alat pembuka jalan nafas lewat oral atau faring. Faktor resiko tambahan
yaitu abnormalitas anatomi dan kompresi jaringan lunak intraoperatif.
Dokter bedah saraf
perawatan anestesi pada pediatri dengan tumor otak. Operasi pada pusat bedah pediatri
terbukti dapat menurunkan tingkat morbiditas. Pasien di setiap bagian merupakan
ukuran kualitas karena outcome berhubungan dengan penghilangan gejala yang terlihat
secara total, padahal hilangnya gejala secara total memerlukan waktu lama. Kehilangan
darah dapat tidak terlihat sehingga monitoring menjadi sangat krusial. Informasi yang
didapatkan dari kateter arteri, kateter tekanan vena pusat dan kateter urin mebutuhkan
waktu untuk memasangnya. Ketika menggunakan elektromiografi intraoperatif untuk
memonitor fungsi nervus kranialis, perlu diberikan obat relaksan otot. Hipertensi
intrakranial akibat pembengkakan otak, hirocephalus atau kompresi batang otak dapat
menyebabkan hipertensi sistemik. Tidak ada pengukuran aktif dibutuhkan untuk
16
17