Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
STROKE
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
evidence C)
f.Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat intravena 520 mg dan diikuti Fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus
dengan kecepatan 50 mg/menit jka masih kejang (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C)
g.Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika Asetaminofen 650
mg jika suhu>38,5 derajat Celcius dan diatasi penyebabnya
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
h.Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada stroke akut
dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
Hipoglikemia berat (<50mg/dl) diobati dengan Dekstrosa 40%
intravena atau infus glukosa 10-20%.Target yang harus dicapai
adalah normoglikemia.
i.Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat pompa
proton (Omeprazole) secara intravena dengan dosis 80 mg bolus
jika terjadi stress ulcer (Class I, Level of evidence A)
j.Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
h.Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis 2x1000 mg
intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama
3 minggu (ICTUS)
A.Stroke iskemik / infark :
- Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 - 48 jam pada
stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Pasien stroke iskemik atau TIA yang tidak mendapatkan
antikoagulan harus diberikan antiplatelet Aspirin (80-325 mg) atau
Clopidogrel 75 mg, atau terapi kombinasi Aspirin dosis rendah 25
mg dengan extended release dipyridamole 200 mg (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence A)
- Clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan dengan aspirin
saja (AHA/ASA, Class II b, Level of evidence B)
- Kombinasi Aspirin dan Clopidogrel tidak direkomendasikan
pada pasien pasien stroke iskemik akut, kecuali pada pasien dengan
indikasi spesifik (misalnya angina tidak stabil, atau non Q wqve
atau recent stenting), pengobatan diberikan sampai 9 bulan sesudah
kejadian (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Penambahan Aspirin pada terapi Clopidogrel yang diberikan
pada populasi resiko tinggi akan meningkatkan resiko perdarahan
bila dibandingkan dengan pemakaian Clopidogrel saja, sehingga
pemakaian rutin seperti ini tidak direkomendasikan untuk stroke
iskemik atau TIA (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A)
- Pada penderita tidak toleran dengan Aspirin, Clopidogrel 75
mg atau extended release dipyridamole 2x200 mg dapat digunakan
(AHA/ASA, Class Iia, Level of evidence B)
- Pada stroke iskemik aterotrombotik dan arterial stenosis
simptomatik dianjurkan memakai Cilostazol 100 mg 2 kali sehari
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Trombolitik (harus memenuhi kriteria inklusi) : pemberian iv
rTPA dosis 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis total
diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya sebagai infus selama 60
menit. Direkomendasikan secepat mungkin dalam rentang waktu 3
jam. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Antikoagulan ( heparin, LMWH, heparinoid) atau antagonis
vitamin K (warfarin) direkomendasikan untuk stroke iskemik atau
TIA yang disertai denngan fibrilasi atrial intermitten atau permanen
yang paroksismal. (target INR 2,5 dengan rentang 2,0-3,0)
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
Pemberian statin dengan efek penurunan lipid
direkomendasikan pada stroke iskemik dan TIA yang disertai
aterosklerosis tanpa PJK dengan LDL 100mg/dl (AHA/ASA, Class
I, Level evidence B)
B. Perdarahan subarachnoid :
- Untuk mencegah vasospasme dengan
pemberian
Nimodipine dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam iv pada hari ke-3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
- Terapi antifibrinolitik dengan Asam Traneksamat loading
dose 1 g intravena kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam selam 72
jam untuk mencegah perdarahan ulang (rebleeding)
C. Perdarahan Intraserebral :
Konservatif
:
- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal
hemostasis)
Operatif :
Dilakukan pada kasus yang indikatif /memungkinkan :
- Volume perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter > 3cm pada
fossa posterior
- Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda peninggian TIK
akut dan ancaman herniasi otak
- Perdarahan serebellum
- Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau serebellum
- GCS >7
15 Kepustakaan
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Stroke
dr. .......................................
NIP......................................
EPILEPSI
ICD G40
1. Pengertian
(Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Kriteria
Diagnosis
Suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang,
yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi sendiri adalah
suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron yang (terutama) terletak pada
korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul
intermiten dan self-limited.
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan
gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi,
faktor presipitan usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan
prognosa).
Klasifikasi Epilepsi: (menurut ILAE tahun 1989)
Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata.
a. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan :
Keadaan
penyandang
saat
bangkitan
:
duduk/berdiri/berbaring/tidur/berkemih.
Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest).
Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk bangkitan) : gerakan
tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, deviasi mata.
Keadaan setelah kejadian : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, Todds paresis.
Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal.
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat
perubahan pola bangkitan.
b. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat
penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik tlain, penyakit psikiatrik
atau sistemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP, dll.
Pemeriksaan Fisik Umum
Mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit
(neurofakomatosis), kanker.
Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
setelah bangkitan, maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pasca iktal
- Afasia pascaiktal
Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis
6. Diagnosis
Banding
1. Bangkitan Psychogenik
2. Gerak
Involunter
(tics,
headnodding,
paroxysmal
choreoathethosis/dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis,
startle response, jitterness, dll)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,
narkolepsi, attention deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion,
sindroma psikotik akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic
spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis,
migren, dll)
7. Pemeriksaan
Penunjang
EEG
CT scan kepala
MRI kepala
Laboratorium : darah rutin, elektrolit, BSS, ureum, creatinin, fungsi hati.
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Evidens &
tingkat
Rekomendasi
12. Penelaah Kritis
13. Indikator Medis
14. Kepustakaan
Mioklonik
+(A)
0
0
+(A)
?
?+
?+
-
+(D)
?+
?+?+(D)
?+
?+
-
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Epilepsi
VERTIGO
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atas rasa gerak dari tubuh
atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul,
terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan
alat keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Bentuk vertigo: melayang, goyang berputar, dsb.
Keadaan yang memprovokasi: perubahan posis kepala dan
tubuh, keletihan, ketegangan.
Profil waktu: Akut, paroksismal, kronik.
Adanya gangguan pendengaran yang menyertai.
Penggunaan obat-obatan misalnya streptomisin, kanamisin,
salisilat.
Adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung,
hipertensi, hipotensi, penyakit paru.
Adanya nyeri kepala.
Adanya kelemahan anggota gerak.
Umum: Keadaan umum, anemia, tekanan darah berbaring dan
tegak, nadi, jantung, paru, abdomen.
Pemeriksaan neurologis umum:
Kesadaran
Saraf-saraf otak: visus, kampus, okulomotor, sensori di muka, otot
wajah, pendengaran, dan menelan.
Vertigo merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala subjektif
(symptoms) dan objektif (signs) dari gangguan alat keseimbangan
tubuh.
Gejala subjektif
Pusing, rasa kepala ringan
Rasa terapung, terayun
Mual
Gejala objektif
Keringat dingin
Pucat
Muntah
Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
Nistagmus
Gejala tersebut di atas dapat diperhebat/diprovokasi
perubahan posisi kepala.
Dapat disertai gejala berikut:
Kelainan THT
Kelainan Mata
Kelainan Saraf
Kelainan Kardiovaskular
Kelainan Penyakit Dalam lainnya
Kelainan Psikis
Konsumsi obat-obat ototoksik
Vertigo
Penyakit meniere
Labirintitis bakterial
Neuronitis vestibuler
Neuroma akustik
BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
Vertigo sentral
Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, kimia darah, urin, dan
pemeriksaaan lain sesuai indikasi.
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15 Kepustakaan
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Medik
Palembang,
Ka. Divisi Vertigo
dr. .......................................
NIP.......................................
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
MENINGITIS TUBERKULOSA
ICD A 17.0
Meningitis tuberkulosa adalah reaksi peradangan yang mengenai
selaput otak yang disebabkan oleh kuman tuberkulosa
Didahului oleh gejala prodormal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah
laku dan penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB
atau adanya fokus infeksi sangat mendukung.
Berdasarkan stadium didapatkan
Stadium I (Stadium awal)
Gejala prodromal non spesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri
kepala ringan, malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri
abdomen
Stadium II (Stadium intermediate)
Gejala menjadi jelas ditemukan drowsy perubahan mental,
tanda iritasi meningen, kelumpuhan saraf III,IV, VI
Stadium III (Stadium lanjut)
Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau
koma, kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese
Gambaran klinis memeperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak
spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise anoreksia,
demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental,
penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese.
Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel
pada khoroid dan edema papil menandakan adanya peninggian
tekanan intrakranial
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis
dan pemeriksaan penunjang
Meningoensefalitis karena virus
Meningitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
Meningitis oleh karena infeksi jamur / parasit (Cryptococcus
neofarmans atau Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis
Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma,
limfoma, leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma
Pemeriksaan LCS, dilakukan jika tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (terdapat peningkatan tekanan
pada lumbal pungsi 40-75% pada anak dan 50% pada dewasa.
Warna jernih atau xanthokrom terdapat pada peningkatan protein
dan 150-200 mg/dl dan penurunan glukosa pada cairan
serebrospinal
pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit
Pemeriksaan Sputum BTA (+)
Pemeriksaan Radiologik
- Foto polos paru
- CT Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan pungsi
lumbal bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial
Pemeriksaan penunjang lain :
- IgG anti TB (untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa
counter-immunoelectrophoresis, radioimmunoassay, atau
teknik ELISA).
- PCR
TATALAKSANA
Umum
Kortikosteroid
Penyelesain terapi (makan obat anti tuberkulosis) sampai selesai
batas waktu pengobatan, fisioterapi
Meningitis tuberkulosis sembuh lambat dan umumnya
meninggalkan sekuele neurologis
Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat atau
meninggal
I
A
Kolegium Neurologi Indonesia Sub divisi Neuro Infeksi
9. Edukasi
10. Prognosis
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Meningitis Tuberkulosa
dr. .......................................
NIP.......................................
1. Pengertian (Definisi)
MENINGITIS BAKTERIAL
ICD G 00
Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau
meningitis purulenta) adalah suatu infeksi cairan likuor
serebrospinalis dengan proses peradangan yang melibatkan piamater,
arakhnoid, ruang subarakhnoid dan dapat meluas ke permukaan otak
dan medula spinalis
2. Anamnesa
Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga subakut antara
1-7 hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit kepala,
fotofobia, myalgia, mual, muntah, kejang, perubahan status mental
sampai penurunan kesadaran.
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
50 tahun
S. Pneumoniae
H. Influenzae
Species Listeria
Pseudomonas aeroginosa
N. Meningitidis
Bila
prevalensi
S.
Pneu
Cephalosporin 2% diberikan:
Cefotaxime / ceftriaxone + Vanc
IV (max. 3 g/ hari)
Ceftazidime 2g/8 jam/ IV
10. Prognosis
- Menjaga kebersihan
- Menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin
- Imunisasi untuk pencegahan
Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, meninggal
IV
C
Kolegium Neurologi Indonesia
15. Kepustakaan
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Meningitis Bakterial
dr. .......................................
NIP.......................................
jikapemberian
benzodiazepine
6. Diagnosis Banding
Syncope
with
secondary
jerking
movement,
gangguan
cardiac
danrespirasi
yang
munculbersamaandengansecondary anoxic seizure, Non-Epileptic Attack Disorder (NEAD), microsleeps,
panic attacks, ensefalopatiakut, intermittent phychosis, hysterical fugue, narkolepsi.
7.PemeriksaanPenunjang
EEG monitoring
Pemeriksaanlaboratorium:
Stadium
Penatalaksanaan
Pemeriksaandarahlengkap,
kadarglukosadarahsewaktu,
fungsiginjal,
fungsihati,
kadarelektrolitdarah, analisa gas
darah,
faal
hemostasis,
kadarobatepilepsi,
toksikologi
(terutamajikapenyebab
status
epileptikustidakjelas).
Pencitraanotak:
CT-Scan kepala, MRI kepala,
Positron Emission Tomography
(PET), Single Photon Emission
Computed Tomography (SPECT),
Magnetic ResonanseSpectrography
(MRS).
Rontgen thorax
Pungsilumbal
EKG
8. Terapi
Tindakan:
1. Operasi
Indikasioperasi:
- Fokalepilepsi
yang
intraktabelterhadapobatobatan.
- Sindromaepilepsifokald
ansimptomatik.
Kontraindikasiabsolut:
- Penyakitneurologik
yang
progresif
(baikmetabolikmaupundegeneratif).
Sindromaepilepsi yang benigna, dimanadiharapkanterjadiremisidikemudianhari.
Jenis-jenisoperasi:
- Operasireseksi: pada mesial temporal lobe, neokortikal.
- Diskoneksi: korpuskalosotomi, multiple supialtransection.
- Hemispherektomi.
StimulasiNervusVagus
9. Edukasi
Memberikanpenjelasanmengenaipenyakit yang dideritadanpenyebabterjadinyabangkitankepadakeluarga,
mmberikanpenjelasanmengenaifaktor-faktor
yang
memicuterjadinyabangkitansupayadapatdihindariseoptimalmungkin,
menjelaskanmengenaipengaruhbangkitandanefek OAE padapenderita.
10. Prognosis
Mortalitas:
Selamaperawatan di RS: 9-21%
Standardized 10-year mortality ratio: 2.8 padapopulasiumum
Morbiditas:
Sequelegangguankognitifdanneurologisberat: 11-16%
90 harisetelah status epileptikus: 39% mengalamigangguankesadarandan 43% mengalamiperbaikan.
11. Tingkat Evidens/Rekomendasi
Emergent treatment
Lorazepam Class I, level A
Midazolam Class I, level A
Diazepam Class IIa, level A
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level A
Phenobarbital Class IIb, level A
Urgent treatment
Phenytoin/fosphenytoin Class IIa, level B
Midazolam (continuous infusion) Class IIb, level B
Phenobarbital Class IIb, level C
Refractory treatment
Midazolam Class IIa, level B
Propofol Class IIb, level B
Pentobarbital/thiopental Class IIb, level B
Valproate sodium Class IIa, level B
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level C
Lacosamide Class IIb, level C
Topiramate Class IIb, level C
Phenobarbital Class IIb, level C
12. PenelaahKritis
1.Neuro Critical Care (NCS)
2.Perdossi subdivisiepilepsi
13. IndikatorMedis
Bilakejangtetaptidakteratasiselama 30-60 menit (setelahpemberian OAE Phenytoin) atauterdapattandatandaancamangagalnafas, transfer pasienke ICU.
Adanyakeadaanbebaskejanghingga
12-24
jam
setelahbangkitanklinisatauelektografisterakhir,
kemudiandosisobatditurunkanperlahan.
14. Kepustakaan
-PedomanTatalaksanaEpilepsiEdisiKelimaTahun 2014
-StandarPelayananMedik (SPM) NeurologiPerdossi
-Neuro Critical Care
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Status Epileptikus
dr. .......................................
NIP.......................................
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
Possible : Bila terdapat salah satu gejala yaitu tremor, rigiditas atau
bradikinesia
Probable: Bila terdapat 2 dari gejala mayor (resting tremor, rigiditas,
bradikinesia, atau instabilitas postural) atau resting tremor, rigiditas
atau bradikinesia yang asimetris
Definite : bila terdapat 3 gejala mayor atau 2 dari gejala tersebut
muncul dengan salah satunya simetris
1. Progresif Supranuclear Palsy
2. Multiple System Atrophy
3. Corticobasal Degeneration
4. Huntington Disease
5. Primary Pallidal Atrophy
6. Diffuse Lewy Body Disease
7. Parkinson Sekunder: Toxic, Infeksi SSP
CT Scan Kepala untuk menyingkirkan kausa lainnya
Merupakan terapi simptomatik. Dimulai bila gejala Parkinson telah
mengakibatkan gangguan fungsional yang cukup berarti.
1) Levodopa kombinasi dengan carbidopa atau benserazide
a) Dosis carbidopa + levodopa 10/100 mg, 25/100 mg, 25/250 mg
dimulai dengan dosis rendah
b) Dosis levodopa dan benserazide 50/100 mg
2) Dopamin agonis
a) Bromocriptine mesylate 4-40 mg/hari, dosis terbagi 4-5 x/hari
b) Pergolide Mesylate 0,75-2,4 mg/hari
c) Pramipexole 1,5-4 mg/hari
d) Cabergoline 0,5-5 mg/ hari
e) Apomorphine 10-18 mg/hari
3) Antagonis NMDA
a) Amantadine 10-30 mg/hari
4) MAO-B inhibitor
a) Silegiline 10 mg/hari
5) Antikolinergik
a) Trihexylphenididyl 3-15 mg/hari
b) Benztropine mesylate 1 mg/hari
6) Beta blocker
Propranolol 20 mg/hari , dua dosis terbagi
Tindakan operasi dipertimbangkan bila pemberian terapi farmakologis
tidak memberikan respon dan efek yang tidak dapat dikontrol. Operasi
yang dilakukan adalah talamotomi ventrolateral pada gejala tremor yang
menonjol, palidortomi pada akinesia dan tremor, transplantasi substansia
nigra dan stimulasi otak dalam dengan indikasi karena sudah terdapat
gangguan.
9. Edukasi
10. Prognosis
1) Olahraga
Membantu mobilitas, fleksibilitas, dah keseimbangan
2) Nutrisi
Tidakada vitamin, mineral, atauzatmakantertentu yang
terbuktidapatmembantuterapi
3) Cegahkejadianjatuh
Kronis Progresif
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Levodopa - A
Dopamine agonists - A
Monoamine oxidase B inhibitors - A
Beta-adrenergic antagonists (beta-blockers) - D
Amantadine - D
Anticholinergics -B
15 Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Levodopa - A
Dopamine agonists - A
Monoamine oxidase B inhibitors - A
Beta-adrenergic antagonists (beta-blockers) - D
Amantadine - D
Anticholinergics -B
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Parkinson
dr. .......................................
NIP.......................................
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
TETANUS
ICD X : A35
Penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan
karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
7.Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
Rabies
Meningitis
Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
Sindrom hiperventilasi/reaksi histeria
Epilepsi/kejang tonik klonik umum
Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan
C. Tetani.
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, AGD.
EKG serial bila ada tanda-tanda gangguan jantung.
Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru.
Rontgen tulang jika ada trauma berat atau curiga patah tulang.
TATALAKSANA
IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
Kausal :
o Antitoksin tetanus:
a Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis
100.000 IU//i.m. dengan dosis maksimal
40.000/hari. TES KULIT SEBELUMNYA, atau
b Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis
500-3.000 IU/i.m. Diberikan SINGLE DOSE.
o Tetanus Toxoid diberikan pada pasien dengan riwayat
imunisasi booster terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu
atau riwayat imunisasi tidak diketahui dengan dosis
a. Usia 7 tahun: 0,5 ml (5IU) i.m
b. Usia < 7 tahun: gunakan DTP atau Dtap
sebagai pengganti Tt. Jika kontraindikasi
terhadap pertusis, berikan DT, dosis 0,5 ml
i.m, atau
o TIG (Tetanus Immune Globuline)diberikan jika
imunisasi lebih dari 10 tahun dengan dosis
a. Profilaksis dewasa: 250-500 U i.m pada
extremitas kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
b. Profilaksis anak: 250 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
o Antibiotik :
a Metronidazole 500 mg/6 jam drips i.v.
b Penisilin 2 mega unit i.v/6 jam
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan:
Eritromisin 500 mg/6 jam/oral. ATAU
Tetrasiklin 500 mg/6 jam/oral.
o Penanganan luka :
Dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan
H2O2.
o Simtomatis dan supportif
o Kekakuan otot dan rigiditas/ spasme otot
Diazepam
Digunakan dengan dosis 0,5-10 mg/kgBB atau dengan
dosis
a. Spasme ringan: 5-20 mg p.o/8 jam
b. Spasme sedang: 5-10 mg i.v. Bila perlu, tidak
melebihi dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam
bentuk drip
c. Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml larutan
dextrose 5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15
mg/jam dalam 24 jam
MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan
dengan dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1
gr/jam(untuk usia 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500
ml/6 jam.
o Kontrol disfungsi otonom
Propanolol 5- 10 mg, dapat dinaikkan hingga 40 mg tiga
o
o
o
o
o
o
o
9. Edukasi
10. Prognosis
kali sehari.
MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan
dengan dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1
gr/jam(untuk usia 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500
ml/6 jam.
Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia,
distres pernapasan, sianosis.
Gangguan Gastrointestinal
Ranitidin 50 mg/8 jam
Pemberian transfusi darah jika didapatkan perdarahan
masif saluran cerna
Gangguan Renal dan elektrolit
Hipokalemi diatasi dengan pemberian KCL 20-80 mEq
diberikan dalm infus lambat dalam 24 jam.
Hipernatremia diatasi dengan pemberian dextrose 5%.
Hiponatremia dikoreksi dengan pemberian normal saline.
Nutrisi
Diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring, atau cair.
Bila perlu, diberikan melalui pipa nasogastrik.
Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,
termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya
bersifat intermitten.
Mempertahankan/membebaskan jalan nafas: pengisapan
lendir oro/nasofaring secara berkala.
Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik.
Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.
Level A
1.WHO
2.CDC
3.Perdossi: kelompok Studi Neuro Infeksi
15. Kepustakaan
Anamnesis
Kejang rangsang tonik berulang
Fokal infeksi
o Pemeriksaan Fisik
Trismus
Perut papan
Opistotonus
Disfungsi otonom
o Pemeriksaan penunjang
Biakan C. Tetani (+)
Indikator infeksi meningkat.
1. Rhee P, Nunley M.K, Demetriades D, Velmahos G, Doucet JJ.
Tetanus and Trauma: A Review and Recomendations. J Trauma.
2005: 58: 1082-88.
2. Sofiati D. Tetanus. Guideline Infeksi Pada Sistem Saraf,
Kelompok Studi Neuro Infeksi, Perdossi. 2011: 131-150.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Tetanus
dr. .......................................
NIP.......................................
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
TUMOR INTRAKRANIAL
ICD C 71
Massa intrakranial--baik primer maupun sekunder-yang
memberikan gambaran klinis proses desak ruang dan atau gejala
fokal neurologis
Sakit kepala, kejang, perubahan status mental dan defisit neurologis
fokal (tergantung dari lokasi otak yang terkena. Bisa disertai gejala
peningkatan tekanan intracranial seperti sakit kepala, mual-muntah,
vertigo dan pusing ( dizziness ).
Gejala fokal menggambarkan lokasi pada tumor ( hemiparese,
afasia, gangguan penglihatan, gangguan sensoris, dan sebagainya )
bisa dijumpai kejang. Tergantung pada lokasi ukuran dan kecepatan
pertumbuhan tumor.
Gejala tekanan intrakranial yang meningkat:
Sakit kepala kronik, tidak berkurang dengan obat analgesic
Muntah tanpa penyebab gastrointestinal
Papil edema (sembab papil = choked disc)
Kesadaran menurun/berubah
Gejala fokal:
True location sign
False location sign
Neighbouring sign
Tidak ada tanda-tanda radang sebelumnya.
Pemeriksaan
neuroimaging
terdapat
kelainan
yang
menunjukkan adanya massa (SOL)
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos tengkorak
Neurofisiologi : EEG, BAEP
CT scanning/ MRI kepala + kontras
Berdasarkan
Anamnesis
Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan penunjang : foto polos kepala, CT scan,
angiografi, dan MRI kepala ( dengan atau tanpa kontras ),
biopsi.
Abses serebri
Subdural hematom
Tuberkuloma
Pseudotumor serebri
Laboratorium lengkap (termasuk penanda tumor)
Radiologis seperti foto polos kepala, CT scan kepala, angiografi
dan MRI kepala ( dengan atau tanpa kontras ).
Diagnosis pasti berdasarkan hasil pemeriksaan biopsy ( patologi
anatomi ).
( Pilihan pengobatan berdasarkan jenis tumor )
Operatif
Radioterapi
Kemoterapi
Pengobatan simptomatik untuk mengatasi edema serebri dan
gejala peningkatan tekanan intrakranial lainnya, seperti
kortikosteroid, anti emesis, analgetik, anti konvulsi, dll.
Memberikan penjelasan mengenai jenis tumor ( primer atau
sekunder, jinak atau ganas ).
Memberikan penjelasan mengenai jenis dan lamanya waktu
pengobatan yang akan dilakukan terhadap pasien.
Memberikan penjelasan mengenai efek samping obat-obatan
yang akan diberikan.
Memberikan penjelasan mengenai komplikasi tindakan
pengobatan ( operatif, radioterapi maupun kemoterapi ).
Tergantung jenis tumor, lokalisasi, perjalanan klinis.
Operatif B
Radioterapi B
Kemoterapi B
Operatif 1++
Radioterapi 2+
Kemoterapi 1++
Kolegium Neurologi Indonesia, PERDOSSI
CT scan, MRI kepala + kontras, Biopsi, Patologi anatomi
Neuro-Oncology Saunders-Elsevier, Cancer Neurology in Clinical
Practice, David Schiff and Brian Patrick Oneil Principles of
Neuro-Oncology, Modul Neuro-Onkologi 2008, Standar Pelayanan
Medis dan Standar Prosedur Operasional NEUROLOGI 2006.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Tumor Intrakranial
dr. .......................................
NIP.......................................
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
5
6
7
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
15 Kepustakaan
B. Terapi Kausatif/Spesifik
1 Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk dengan panas
yang mulai beberapa hari sebelumnya sangat mungkin
primer infeksi (meningitis, ensefalitis) di otak bila
gangguan kesadaran tanpa kaku kuduk sangat mungkin
primer infeksi bukan di otak.
2 Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk tanpa panas
sangat mungkin perdarahan subaraknoid
3 Gangguan kesadaran dengan didapatkan gangguan
neurologis fokal (hemiparesis, heminervikranial palsy)
penyebabnya lesi intrakranial.
4 Gangguan kesadaran disertai tanda-tanda tekanan
intrakranial meninggi: (muntah-muntah proyektil, parese
N.III, kaku kuduk, penglihatan kabur secepatnya diberi
manitol, dexamethason, dibuat hiperventilasi.
5 Gangguan kesadaran tanpa disertai kaku kuduk dan/atau
gejala neurologis fokal, bradikardi sangat mungkin
penyebabnya metabolik
6 Gangguan kesadaran dengan tanda herniasi intrakranial
(anisokor, isokor miosis/midriasis dengan tetraparesis)
termasuk gawat darurat secepatnya perlu tindakan.
7 Gangguan kesadaran dengan penyebab yang sudah jelas,
dapat diterapi spesifik untuk penyebab:
Hipoglikemi: glukosa
Overdosis opiat: nalokson
Overdosis benzodiazepin: flumazenil
Wernicke ensephalopaty: thiamin
Edukasi yang diberikan meliputi kondisi pasien, penyebab
terjadinya penurunan kesadaran, penatalaksanaan yang dilakukan,
serta prognosis.
Penegakan prognosis didasarkan pada derajat penurunan kesadaran,
etiologi, kelainan organ-organ tubuh yang menyertai, serta penyulit
atau penyakit penyerta.
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : level C
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: level C
- CT scan kepala diperlukan untuk membedakan penyebab gejala
neurologis penurunan kesadaran: level B
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen <95%: kelas IV
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : kelas I
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: kelas I
1 Kolegium Neurologi Indonesia
- Perawatan ICU: jika terjadi gagal nafas yang memerlukan
perawatan dengan menggunakan ventilator
- Perbaikan klinis: jika terjadi perbaikan nilai GCS dan tanda vital
lain.
- Perburukan klinis: jika terjadi penurunan nilai GCS dan tanda vital
lain disertai dengan adanya gangguan organ-organ.
1 Brust, J. C. M., 2007, Current Diagnosis & Treatment of
Neurology, International ed, Mc GrawHill, New York.
2 DeMyer, W.E., 2004, Technique of the Neurologic Examination,
5th ed. McGrawHill, New York.
3 Ganong W.F., 2005, Review of Medical Physiology, 22nd ed.
Mc GrawHill, Boston.
4 Harsono, 2007, Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-
5
6
7
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Kesadaran Menurun dan
Koma
dr. .......................................
NIP.......................................
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
Klinis:
5. Diagnosis
Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak atas.
Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal
kelemahan otot trunkal, bulbar, dan otot pernafasan juga terjadi.
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai
tetraplegia dan gangguan nafas.
Puncak deficit dicapai 4 minggu.
Recovery biasanya dimulai 2-4 minggu
Gangguan sensorik biasanya ringan
Gangguan sensorik bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
Gangguan N. cranialis bisa terjadi: facial drop, diplopia,
disartria, disfagia
Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
Gangguan otonom dari takikardia, bradikardia, flushing
paroxysmal, hipertensi ortostastik, dan anhidrosis.
Retensio urin dan ileus paralitik
Gangguan pernafasan:
- Dyspnoe
- Nafas pendek
- Sulit menelan
- Bicara serak
- Gagal nafas
Yang diperlukan untuk diagnosis :
Kelemahan progresif di kedua lengan dan kaki dan Arefleksia
Sangat mendukung diagnosis :
-
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
LCS:
- Disosiasi sitoalbumin
- Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l,
tanpa peningkatan dari sel < 10 lymposit/mm3
- Hitung jenis dan panel metabolik tidak begitu bernilai
- Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV/micoplasma
membantu penegakan etiologi. Untuk manfaat epidemiologi
- Antibodi glycolipid
- Antibodi GMI
- Ro: CT/MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti
mielopati
- EMG
Tidak ada drug of choice
Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan
pernafasan
9. Edukasi
10. Prognosis
14. Kepustakaan
1.Lindenbaum Y, Kissel JT, Mendell JR. Treatment approaches for
Guillain-Barr syndrome and chronic inflammatory
demyelinating poly radiculoneuropathy. Neuro Clin.2001;19:187
204.
2.Hahn AF. Guillain-Barr syndrome. Lancet. 1998;352:63541.
3.Seneviratne U. Guillain-Barr syndrome. Postgrad Med J.
2000;76:77482.
4.Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigard K, Olsson T, Link H.
Pregnancy and Guillain-Barr syndrome: a nationwide register
cohort study. Neuroepidemiology. 1996;15:192200.
5.The prognosis and main prognostic indicators of Guillain-Barr
syndrome: a multicentre prospective study of 297 patients. The
Italian Guillain-Barr Study Group. Brain. 1996;119(pt 6):2053
61.
6.Fletcher DD, Lawn ND, Wolter TD, Wijdicks EF. Long-term
outcome in patients with Guillain-Barr syndrome requiring
mechanical ventilation. Neurology. 2000;54:23115.
7.Ropper AH. The Guillain-Barr syndrome. N Engl J Med.
1992;326:11306.
8.Ropper AH, Shahani BT. Pain in Guillain-Barr syndrome. Arch
Neurol. 1984;41:5114.
9.Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic
criteria for Guillain-Barr syndrome. Ann Neurol.
1990;27(suppl):S214.
10. Gordon PH, Wilbourn A J. Early electrodiagnostic findings in
Guillain-Barr syndrome. Arch Neurol. 2001;58:9137.
11. Jozefowicz RF. Neurologic diagnostic procedures. In: Goldman
L, Bennett C, eds. Cecil textbook of medicine. 21st ed.
Philadelphia: W.B. Saunders, 2000:20106.
12. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, Ho TW, Li CY, Jiang
Z, et al. Acute motor axonal neuropathy: a frequent cause of
acute flaccid paralysis in China. Ann Neurol. 1993;33:33342.
13. Ho TW, Li CY, Cornblath DR, Gao CY, Asbury AK, Griffin JW,
et al. Patterns of recovery in the Guillain-Barr syndromes.
Neurology. 1997;48:695700.
14. Griffin JW, Li CY, Ho TW, Tian M, Gao CY, Xue P, et al.
Pathology of the motor-sensory axonal Guillain-Barr
syndrome. Ann Neurol. 1996;39:1728.
15. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, Yuki N, Hattori T. Clinical
features and prognosis of Miller Fisher syndrome. Neurology.
2001;56:11046.
16. Zochodne DW. Autonomic involvement in Guillain-Barr
syndrome: a review. Muscle Nerve. 1994;17:114555.
17. Rees JH, Soudain SE, Gregson NA, Hughes RA. Campylobacter
jejuni infection and Guillain-Barr syndrome. N Engl J Med.
1995;333:13749.
18. Hadden RD, Karch H, Hartung HP, Zielasek J, Weissbrich B,
Schubert J, et al. Preceding infection, immune factors, and
outcome in Guillain-Barr syndrome. Neurology. 2001;56:758
65.
19. Lasky T, Terracciano GJ, Magder L, Koski CL, Ballesteros M,
Nash D, et al. The Guillain-Barr syndrome and the 19921993
and 19931994 influenza vaccines. N Engl J Med.
1998;339:1797802.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Sindroma Guillain Barre
dr. .......................................
NIP.......................................