REFERAT
Oleh:
Harvir Singh Sidhu
1301-1214-2011
BAB I
Mata
1.1
1.1.1
Yang termasuk media refraksi antara lain kornea, pupil, lensa, dan
vitreous. Media refraksi targetnya di retina sentral (macula). Gangguan media
refraksi menyebabkan visus turun (baik mendadak aupun perlahan).
Bagian berpigmen pada mata: uvea bagian iris, warna yang tampak
tergantung pada pigmen di lapisan anterior iris (banyak pigmen = coklat, sedikit
pigmen = biru, tidak ada pigmen = merah / pada albino).
1.1.2
Anatomi orbita
1.1.3
Fisiologi
Stimulus cahaya diterima oleh N.opticus (N.II) ipsilateral dari pupil.
BAB II
Kelainan Sistemik pada Mata
2.1
Kelainan Endokrin
2.1.1
Penyakit Graves
Penyakit Graves adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang
2.1.1.1
Gejala
Kecemasan
Iritabilitas
Sulit tidur
Kelelahan
Detak jantung yang cepat atau tidak teratur
Tremor (yang cenderung halus) pada tangan atau jari
2.1.1.2
tubuh yang bertugas melawan penyakit. Salah satu respon sistem kekebalan tubuh
yang normal adalah produksi antibodi yang dirancang untuk melawan virus,
bakteri tertentu atau zat asing lainnya. Pada penyakit Graves - untuk alasan yang
tidak dipahami dengan baik - tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan protein
tertentu pada permukaan sel-sel dalam tiroid, yakni kelenjar hormon yang
diproduksi di bagian leher.
Biasanya, fungsi tiroid diatur oleh hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar
kecil di dasar otak (kelenjar pituitari). Antibodi yang terkait dengan penyakit
Graves yakni antibody thyrotropin reseptor (Trab) - pada dasarnya dapat meniru
tindakan hormon pituitari. Oleh karena itu, Trab mengesampingkan regulasi
normal dari tiroid dan menghasilkan kelebihan hormon tiroid (hipertiroidisme).
Hasil dari hipertiroidisme
Hormon tiroid mempengaruhi sejumlah fungsi tubuh, termasuk:
Faktor Risiko
Meskipun setiap orang dapat mengembangkan penyakit Graves, sejumlah faktor
dapat meningkatkan risiko penyakitini. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain:
dibandingkan pria.
Usia. Penyakit Graves biasanya berkembang pada orang yang berusia
peningkatan risiko.
Stres emosional atau fisik. Peristiwa kehidupan yang penuh stres atau
penyakit dapat menjadi pemicu timbulnya penyakit Graves pada orang-
secara genetik.
Merokok. Merokok, selain dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh,
juga meningkatkan risiko penyakit Graves. Tingkat risiko ini terkait
dengan jumlah rokok yang dihisap setiap hari - semakin besar jumlahnya,
semakin besar pula risikonya. Perokok yang memiliki penyakit Graves
juga memiliki peningkatan risiko penyakit Graves ophthalmopathy.
2.1.1.3
Komplikasi
2.1.1.4
produksi hormon tiroid dan untuk memblokir efek dari hormon ini pada tubuh.
Beberapa pengobatan yang dapat dilakukan adalah:
Terapi Radioaktif Yodium
melalui
mulut.
Karena
tiroid
memerlukan
yodium
untuk
Obat anti-tiroid
Obat anti-tiroid obat bekerja dengan memengaruhi penggunaan yodium
oleh tiroid untuk menghasilkan hormon. Obat resep anti-tiroid meliputi
propylthiouracil dan methimazole (Tapazole). Ketika kedua obat tersebut
digunakan
secara
tersendiri
(tidak
dikombinasikan),
maka
kekambuhan
hipertiroidisme dapat terjadi di lain waktu. Menggunakan obat ini selama lebih
dari satu tahun dapat menghasilkan penyembuhan jangka panjang yang lebih baik.
Obat anti-tiroid juga dapat digunakan sebelum atau setelah terapi radioiodine
sebagai pengobatan tambahan.
Efek samping dari kedua obat ini diantaranya ruam, nyeri sendi, kegagalan
hati atau penurunan sel darah putih yang berfungsi melawan penyakit.
Methimazole tidak digunakan untuk mengobati wanita hamil karena terdapat
risiko cacat lahir pada bayi. Oleh karena itu, propylthiouracil adalah obat antitiroid yang lebih cocok digunakan oleh wanita hamil.
Beta blockers
Obat-obat ini tidak menghambat produksi hormon tiroid, tetapi mereka
memblokir efek dari hormon pada tubuh. Mereka dapat memberikan bantuan yang
cukup cepat terhadap masalah denyut jantung yang tidak teratur, tremor,
kecemasan atau lekas marah, intoleransi panas, berkeringat, diare dan kelemahan
otot.
Beta blockers di antaranya:
Propranolol (Inderal)
Atenolol (Tenormin)
Metoprolol
Nadolol (Corgard)
Beta blockers tidak diresepkan untuk penderita asma, karena obat tersebut
dapat memicu serangan asma. Obat ini juga dapat mempersulit perawatan
diabetes. Penghentian obat secara tiba-tiba dapat menyebabkan masalah jantung
yang serius.
Operasi
9
Jika terapi lain tidak dapat dilaksanakan atau belum efektif, anda mungkin
memerlukan pembedahan untuk mengangkat tiroid anda (tiroidektomi). Setelah
operasi, anda mungkin akan membutuhkan pengobatan untuk memasok tubuh
anda dengan jumlah normal dari hormon tiroid.
Risiko operasi di antaranya potensi kerusakan pita suara dan kerusakan
kelenjar paratiroid, yakni kelenjar kecil yang letaknya berdekatan dengan kelenjar
tiroid. Kelenjar paratiroid menghasilkan hormon yang mengontrol tingkat kalsium
dalam darah. Komplikasi operasi jarang terjadi jika ditangani oleh seorang ahli
bedah berpengalaman dalam operasi tiroid.
10
Tinggikan bagian kepala tempat tidur anda. Menjaga kepala anda lebih
tinggi dari bagian tubuh lain dpat mengurangi akumulasi cairan di kepala
dan dapat meringankan tekanan pada mata anda.
11
2.1.2
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau
dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon
kerja insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang berfungsi untuk
meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah atau
hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada
sel saraf dan pembuluh darah.
2.1.2.1
Jenis-jenis DM
12
b. Diabetes Tipe II
DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon
kerja insulin secara efektif. Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu,
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Pada pasien DM, keadaan ini terjadi karena sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah akan dipertahankan pada
tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM
tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolik
tidak terjadi pada DM tipe II.
13
c. Diabetes Gestasional
DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia.
Faktor resiko DM gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria.
DM tipe ini dijumpai pada 2 5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan
kembali normal setelah melahirkan, namun resiko ibu untuk mendapatkan DM
tipe II di kemudian hari cukup besar.
2.1.2.2
Gejala-gejala DM
a. Gejala Akut DM
Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah
ini adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya
variasi gejala lain, antara lain :
-
14
poliuria
dengan
b. Gejala Kronik DM
Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru
akan menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM.
Gejala kronik yang sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah,
mudah mengantuk, mata mengabur, gigi mudah patah, kemampuan seksual
menurun, dan lain-lain.
2.1.2.3
seumur hidup, sehingga progesifitas penyakit ini akan terus berjalan dan pada
suatu saat akan menimbulkan komplikasi. Penyakit DM biasanya berjalan lambat
dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan
kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.
a. Komplikasi Akut DM
15
Ada tiga komplikasi akut DM yang penting dan berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar gula darah jangka pendek.
Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi jika kadar gula darah turun hingga 60 mg/dl. Keluhan dan
gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung sejauh mana glukosa darah turun.
Keluhan pada hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu
keluhan
akibat
otak
tidak
mendapat
kalori
yang
cukup
sehingga
mengganggu fungsi intelektual dan keluhan akibat efek samping hormon lain
yang berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah.
Ketoasidosis Diabetes
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi
dan kadar insulin yang rendah, maka tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
sebagai sumber energi alternatif. Pemecahan lemak tersebut kemudian
menghasilkan badan-badan keton dalam darah atau disebut dengan ketosis.
Ketosis inilah yang menyebakan derajat keasaman darah menurun atau disebut
dengan istilah asidosis. Kedua hal ini lantas disebut dengan istilah ketoasidosis.
Adapun gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien ketoasidosis
diabetes adalah kadar gula darah > 240 mg/dl, terdapat keton pada urin, dehidrasi
karena terlalu sering berkemih, mual, muntah, sakit perut, sesak napas, napas
berbau aseton, dan kesadaran menurun hingga koma.
Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)
Sindrom
HHNK
merupakan
keadaan
yang
didominasi
oleh
16
Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif.
Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik,
cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya
glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaaan hipernatremia dan peningkatan
osmolaritas. Salah satu perbedaan utama antar HHNK dan ketoasidosis diabetes
adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada HHNK. Perbedaan jumlah
insulin yang terdapat pada masing-masing keadaan ini dianggap penyebab parsial
perbedaan di atas.
Gambaran klinis sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi, dehidrasi berat,
takikardi, dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi.
b. Komplikasi Kronis DM
Komplikasi Makrovaskular
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada pasien
DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit
pembuluh darah perifer. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien DM tipe II
yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, dan atau kegemukan.
Komplikasi ini timbul akibat aterosklerosis dan tersumbatnya pembuluhpembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.
Komplikasi makrovaskular atau makroangiopati tidak spesifik pada diabetes,
namun pada DM timbul lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologi menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular
dan diabetes meningkat 4 -5 kali dibandingkan pada orang normal. Komplikasi
17
18
ginjal. Kelainan patologis pada mata, atau dikenal dengan istilah retinopati
diabetes, disebabkan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di
retina. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah kecil di retina ini dapat
menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan pasien DM, bahkan dapat menjadi
penyebab utama kebutaan.
2.1.2.4
Retinopati Diabetes
Mekanisme perkembangan mikroangiopati berkaitan dengan perubahan-
bahwa
hiperglikemia
kronik
memiliki
kontribusi
dalam
19
Retinopati Nonproliferatif
Retinopati nonprliferatif merupakan stadium awal dari proses penyakit ini.
Selama menderita DM, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil
pada
mata
melemah
sehingga
dapat
menimbulkan
tonjolan
kecil
20
(mikroaneurisme). Tonjolan ini sangat mudah pecah dan mengalirkan cairan dan
sejumlah protein ke dalam retina sehingga menimbulkan bercak berwarna abu-abu
atau putih. Endapan lemak protein yang berawarna putih kekuningan juga
terbentuk pada retina. Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan
kecuali cairan dan protein dari pembuluh darah yang rusak dapat menyebabkan
pembengkakan pada pusat retina (makula). Keadaan ini disebut edema makula,
yang dapat memperparah penglihatan seseorang (Medicastore).
b.
Retinopati Praproliferatif
Keadaan ini merupakan lanjutan dari retinopati nonproliferatif dan
Retinopati Proliferatif
Retinopati proliferatif diawali dengan terdapatnya pertumbuhan abnormal
pembuluh darah baru pada permukaan retina sebagai bentuk kompensasi iskemia
yang terjadi pada retina. Pembuluh darah yang abnormal ini mudah pecah
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada pertengahan bola mata, atau sering
disebut dengan istilah perdarahan vitreus, yang dapat menghalangi penglihatan.
Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus ini adalah terbentuknya jaringan parut
fibrosa yang disebabakan oleh reabsorpsi darah ke dalam korpus vitreus. Jaringan
parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi pelepasan retina, atau disebut
dengan istilah ablasio retina, dan akhirnya dapat mengakibatkan kebutaan.
21
2.1.2.5
a. Lama Menderita DM
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini menjadi indikator
dalam mendeteksi adanya retinopati diabetes. Pasien dengan DM tipe I umumnya
akan menunjukkan adanya retinopati diabetes setelah didiagnosis menderita DM
selama 20 tahun (50 %).
b. Kadar Gula Darah
Kadar gula darah juga merupakan faktor resiko yang memiliki
peranan penting dalam perkembangan retinopati diabetes.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
2.1.2.6
Pubertas
Tipe DM
Nefropati
Hipertensi
Kehamilan
Faktor Genetik
22
diperbaiki hanya dengan kontrol kadar gula darah karena akan memperburuk
keadaan jika dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.
Pengobatan lanjutan yang dapat diberikan yaitu penatalaksanaan diabetes
yang baik, mencegah faktor-faktor resiko seperti hipertensi, dan pengobatan
fotokoagulasi khususnya pada mereka dengan retinopati diabetik lanjut.
Diperkenalkannya fotokoagulasi untuk retinopati diabetik sangat mendorong
untuk mencegah kebutaan.
23
2.2
Kelainan kardiovaskuler
2.2.1
Retinopati Hipertensi
Retinopati hipertensi adalah kelainan atau perubahan vaskularisasi retina
2.2.1.1
Keith Wagener Barker. Klasifikasi dan modifikasi yang dibuat didasarkan pada
hubungan antara temuan klinis dan prognosis yaitu tediri atas empat kelompok
retinopati hipertensi.
Tabel 1 . Klasifikasi Keith-Wagener-Barker (1939)
Stadium
Stadium I
Karakteristik
Penyempitan ringan, sklerosis dan hipertensi ringan, asimptomatis.
Stadium II
Stadium III
Stadium IV
Karakteristik
Penciutan setempat pada pembuluh darah kecil
24
Stadium II
Stadium III
Stadium IV
Karakteristik
Tidak ada perubahan
Penyempitan arteriolar yang hampir tidak terdeteksi
Penyempitan yang jelas dengan kelainan fokal
Stadium II + perdarahan retina dan/atau eksudat
Stadium III + papiledema
Deskripsi
Asosiasi sistemik
Satu atau lebih dari tanda Asosiasi ringan dengan penyakit
berikut
arteioler
menyeluruh
fokal,
AV nicking,
dinding
wire)
Retinopati mild dengan satu Asosiasi
berat
dengan
penyakit
25
atau
mikroaneurisma,
Accelerated
flame-shape),
cotton-
2.2.1.2
26
dan
kadang-kadang
terbentuk
trombus.
Trombus
menyebabkan
27
hilang dan cahaya terlihat lebih luas dan buram. Hal ini dianggap sebagai tanda
awal terjadinya arteriosklerosis.
Pada funduskopi akan terlihat sebagian pembuluh darah seperti tembaga
(copper wire), karena meningkatnya ketebalan dinding dan lumen berkurang
kemudian terjadi perubahan pada refleks cahaya arteriol. Bila proses sklerosis
berlanjut, dinding arteri semakin menebal dan lumen mengecil yang akhirnya
hampir tidak terlihat sehingga waktu penyinaran hanya berbentuk garis putih saja,
yang dikenal sebagai refleks kawat perak (silver wire reflex).
Perdarahan akan terjadi bila hipertensi berlangsung lama dan tidak
terkontrol. Proses yang kronik ini akan menyebabkan kerusak inner blood barrier,
sehingga terjadi ekstravasasi plasam dan sel darah merah ke retina (hard
exudates). Perdarahan biasanya terjadi pada lapisan serabut saraf retina,
distribusinya mengikuti alur serabut saraf, sehingga terlihat seperti lidah api
(flame shape). Kerusakan ditingkat kapiler maka perdarahan terjadi pada lapisan
inti dalam atau pleksiform dalam, bentuknya lebih bulat (blot like appearance).
Iskemik fokal atau area non perfusi yang terjadi pada lapisan serabut saraf
retina,
histologi tampak seperti suatu kelompok cystoid bodies. Kelainan ini dikenal
dengan cotton wool spot (soft exudates), yang pada pemeriksaan funduskopi
terlihat sebagai area putih keabuan seperti kapas dengan batas yang tidak tegas.
Papil edema disebabkan oleh adanya iskemia didaerah papil yang akan
menyebabkan hambatan aliran axoplasma, sehingga terjadi pembengkakan axon
di papil nervus optikus.
28
2.2.1.3
Gejala Klinik
Retinopati hipertensi merupakan penyakit yang berjalan secara kronis
2.2.1.4
Diagnosis
29
dan tekanan sistol > 140 mmHg , sudah mulai terjadi perubahan pada pembuluh
darah retina.
Pemeriksaan tajam penglihatan dan funduskopi adalah pemeriksaan
oftalmologi paling mendasar untuk menegakkan diagnosis retinopti hipertensi.
Melalui pemeriksaan funduskopi, dapat ditemukan berbagai kelainan retina pada
pasien retinopati hipertensi. Hasil pemeriksaan dengan oftlamoskop, sebagai
berikut:
30
B. Terlihat AV nicking (panah hitam) dan gambaran copper wiring pada arteriol
(panah putih).
31
32
2.2.1.5
Komplikasi
Komplikasi dari retinopati hipertensi yaitu berupa oklusi arteri retina
sentralis (CRAO), oklusi arteri retina cabang (BRAO), oklusi vena retina cabang
(BRVO).
Penyebab dari oklusi arteri retina paling umum akibat adanya emboli.
Arteri oftalmika merupakan cabang pertama dari arteri karotis interna. Embolus
bisa berasal dari jantung atau arteri karotis yang secara jelas mengarah langsung
ke mata. Emboli dari jantung terdiri dari empat tipe, antara lain emboli
terkalsifikasi dari katup aorta atau mitral, vegetasi dari endokarditis bakterial,
trombus yang berasal dari jantung bagian kiri, dan materi miksomatosa akibat
miksoma atrial.
33
Penyakit arteri karotis juga dapat menjadi sumber emboli. Emboli retina dari arteri
karotis terdiri dari tiga tipe yaitu emboli kolesterol (plak Hollenhorst), emboli
fibrinoplatelet, dan emboli terkalsifikasi.
Gambaran klinis dari oklusi arteri retina dapat berupa oklusi arteri retina
sentral, dan oklusi arteri retina cabang.
CRAO (oklusi arteri retina sentral) biasanya diakibatkan oleh ateroma,
meskipun hal ini dapat disebabkan akibat emboli terkalsifikasi. Keluhan yang
dialami pasien biasanya bersifat akut dan hilangnya lapang pandang. Tanda-tanda
yang dapat ditemukan berupa pupil Marcus Gunn atau amaurotik, retina tampak
putih akibat pembengkakan dan terdapat cherry-red spot. Dengan pemeriksaan
angiografi menunjukkan penundaan pengisian arteri dan karena terdapat edema
retina maka fluoresensi ke bagian koroid tertutupi.
BRAO (oklusi arteri retina cabang) paling sering diakibatkan oleh karena
emboli. Pasien dapat mengeluh hilangnya lapang pandang secara melintang atau
sektoral dan terjadi mendadak. Tanda yang dapat ditemukan berupa retina menjadi
putih di area yang dialiri arteri, pembengkakan berkabut perlahan menjernih,
tetapi bagian dalam retina menjadi atrofi dan berhubungan dengan hilangnya
lapang pandang sektoral yang permanen, dan pada beberapa kasus juga dapat
ditemukan rekanalisasi arteriol yang tersumbat. Pada fluoresensi angiografi
menunjukkan area yang terlibat menunjukkan gambaran tidak adanya perfusi.
BRVO (oklusi vena retina cabang) akut tidak terlihat pada gambaran
funduskopi, dalam beberapa waktu dapat menimbulkan edema yang bersifat putih
pada retina akibat infark pada pembuluh darah retina. Seiring waktu, vena yang
tersumbat akan mengalami rekanalisasi sehingga kembali terjadi reperfusi dan
34
2.2.1.6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
retinopati
hipertensi
bertujuan
untuk
membatasi
Dosis
Efek
Lama
Perhatian khusus
Gangguan koroner
(Ca
5-10 mg
5-15 menit
kerja
4-6 jam
antagonis)
Kaptopril (ACE
12,5-2,5
15-30
6-8 jam
inhibitor)
Klonidin (alfa-2
mg
75-150
menit
30-60
8-16 jam
Mulut
agonis
mg
menit
adrenergik)
Propanolol (beta
10-40
15-30
blocker)
mg
menit
Nifedipin
kering,
mengantuk
3-6 jam
Bronkokonstriksi, blok
jantung
35
Perubahan pola dan gaya hidup juga harus dilakukan. Kontrol berat badan
dan diturunkan jika sudah melewati standar berat badan seharusnya. Konsumsi
makanan dengan kadar lemak jenuh harus dikurangi sementara intake lemak tak
jenuh dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi alkohol dan garam perlu
dibatasi dan olahraga yang teratur.
Pengawasan oleh dokter mata dilakukan untuk mengevaluasi progresivitas
retinopati hipertensi dan komplikasinya. Komplikasi yang dapat terjadi seperti
oklusi arteri retina sentralis dan oklusi cabang vena retina merupakan perburukan
dari retinopati hipertensi yang tidak terkontrol secara baik. Jika sudah terjadi
eksudat di makula, KWB stadium III, dan sudah terjadi komplikasi
maka
36
2.2.1.7
Prognosis
Prognosis
tergantung
kepada
kontrol
tekanan
darah.
Kerusakan
penglihatan yang serius biasanya tidak terjadi sebagai dampak langsung dari
proses hipertensi kecuali terdapat oklusi vena atau arteri lokal. Namun, pada
beberapa kasus, komplikasi tetap tidak dapat di hindari walaupun dengan kontrol
tekanan darah yang baik.
Keith Wagener Barker menentukan 5 year survival rate berdasarkan tidak
diberikan terapi medikamentosa yaitu antara lain grade I : 4%, grade II : 20%,
grade III : 80% , grade IV : 98%.
37
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
JP.
Vaughan
the Australian population. Tapp RJ1, Shaw JE, Harper CA, de Courten
MP, Balkau B, McCarty DJ, Taylor HR, Welborn TA, Zimmet PZ;
AusDiab Study Group, 2012.
6.
Basic and Clinical Science Course. Retina and Vitreus Section 12. The
Foundation of The American Academy of Ophtalmology ; 2002
7.
8.
Available
from:
URL:http://www.emedicine.com/oph/topic488.htm
9.
10.
[14
screens].
Available
from:
URL:http://bmb.oxforsjournals.org/cgi/reprint/73-74/1/57
38