Anda di halaman 1dari 39

KELAINAN SISTEMIK PADA MATA

REFERAT

Oleh:
Harvir Singh Sidhu
1301-1214-2011

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN-UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2015

BAB I
Mata

1.1

Anatomi, Refleks Cahaya & Fisiologi Neurovisual

1.1.1

Anatomi bola mata

Yang termasuk media refraksi antara lain kornea, pupil, lensa, dan
vitreous. Media refraksi targetnya di retina sentral (macula). Gangguan media
refraksi menyebabkan visus turun (baik mendadak aupun perlahan).
Bagian berpigmen pada mata: uvea bagian iris, warna yang tampak
tergantung pada pigmen di lapisan anterior iris (banyak pigmen = coklat, sedikit
pigmen = biru, tidak ada pigmen = merah / pada albino).

1.1.2

Anatomi orbita

Orbita tersusun atas enam tulang tengkorak:


a)
b)
c)
d)
e)
f)

1.1.3

Os frontalis (fossa orbitalis) di superior.


Os sphenoidalis di posterior.
Os ethmoidalis di posterior.
Os lacrimalis di medial.
Os maxillaris (fossa orbitalis) di inferomedial.
Os zygomaticus di inferior.

Fisiologi
Stimulus cahaya diterima oleh N.opticus (N.II) ipsilateral dari pupil.

Selanjutnya sinyal tersebut diteruskan ke chiasma optic dan terjadi persilangan


sebagian serabut N.opticus dari kedua sisi. ke nucleus geniculatum medial,
colliculus superior, dan akhirnya ke nuclei Edinger-Westphal yang bersinaps
langsung dengan N.oculomotorius (N.III). Serabut ini bersifat parasimpatis dan
berhubungan langsung dengan ganglion siliaris; yang memberi efek parasimpatis
pada mata berupa konstriksi pupil.

BAB II
Kelainan Sistemik pada Mata

2.1

Kelainan Endokrin

2.1.1

Penyakit Graves
Penyakit Graves adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang

mengakibatkan kelebihan produksi hormon tiroid (hipertiroidisme). Jika sejumlah


gangguan dapat mengakibatkan hipertiroidisme, maka penyakit Graves adalah
penyebab hipertiroidisme yang paling umum.
Karena hormon tiroid memengaruhi sejumlah sistem tubuh yang berbeda,
tanda dan gejala yang berhubungan dengan penyakit Graves bisa sangat luas dan
berpengaruh signifikan terhadap keseluruhan kondisi tubuh anda.
Penyakit Graves jarang mengancam jiwa. Meskipun penyakit ini dapat
menyerang siapa saja, penyakit Graves lebih sering terjadi pada perempuan dan
orang-orang yang berusia di bawah 40 tahun. Tujuan pengobatan difokuskan
untuk menghambat produksi hormon tiroid dan mengurangi tingkat keparahan
gejala.

2.1.1.1

Gejala

Tanda-tanda umum dan gejala penyakit Graves meliputi:

Kecemasan
Iritabilitas
Sulit tidur
Kelelahan
Detak jantung yang cepat atau tidak teratur
Tremor (yang cenderung halus) pada tangan atau jari

Peningkatan keringat atau kulit lembab dan hangat


Sensitivitas terhadap panas
Kehilangan berat badan, meskipun kebiasaan makan tetap normal
Pembesaran kelenjar tiroid (gondok)
Perubahan dalam siklus menstruasi
Disfungsi ereksi atau libido menjadi berkurang
Sering buang air besar atau diare
Mata melotot (ophthalmopathy Graves )
Kulit yang tebal dan merah biasanya pada tulang kering atau bagian atas
kaki (dermopathy Graves)

2.1.1.2

Penyebab & Faktor Risiko


Penyakit Graves disebabkan oleh terjadi disfungsi pada sistem kekebalan

tubuh yang bertugas melawan penyakit. Salah satu respon sistem kekebalan tubuh
yang normal adalah produksi antibodi yang dirancang untuk melawan virus,
bakteri tertentu atau zat asing lainnya. Pada penyakit Graves - untuk alasan yang
tidak dipahami dengan baik - tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan protein
tertentu pada permukaan sel-sel dalam tiroid, yakni kelenjar hormon yang
diproduksi di bagian leher.
Biasanya, fungsi tiroid diatur oleh hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar
kecil di dasar otak (kelenjar pituitari). Antibodi yang terkait dengan penyakit
Graves yakni antibody thyrotropin reseptor (Trab) - pada dasarnya dapat meniru
tindakan hormon pituitari. Oleh karena itu, Trab mengesampingkan regulasi
normal dari tiroid dan menghasilkan kelebihan hormon tiroid (hipertiroidisme).
Hasil dari hipertiroidisme
Hormon tiroid mempengaruhi sejumlah fungsi tubuh, termasuk:

Metabolisme, proses pengolahan nutrisi untuk memproduksi energi bagi


sel-sel tubuh
4

Jantung dan fungsi sistem saraf


Suhu tubuh
Kekuatan otot
Siklus menstruasi Akibatnya, dampak dari penyakit Graves 'mungkin
meluas dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.

Penyebab Ophthalmopathy Graves


Penyebab pasti dari ophthalmopathy Graves juga tidak dipahami dengan
baik. Namun, nampaknya antibodi yang sama yang dapat menyebabkan disfungsi
tiroid mungkin juga memiliki "daya tarik" untuk merusak jaringan sekitar mata.
Aktifitas antibodi ini memicu peradangan serta aktivitas sistem kekebalan tubuh
lainnya yang menghasilkan tanda-tanda dan gejala ophthalmopathy Graves.
Ophthalmopathy Graves sering muncul pada saat yang bersamaan dengan
hipertiroid, atau bisa juga muncul beberapa bulan kemudian. Akan tetapi tandatanda dan gejala ophthalmopathy dapat muncul beberapa tahun sebelumnya atau
tepat sebelum terjadinya hipertiroidisme. Ophthalmopathy Graves juga dapat
muncul tanpa adanya (tanpa disertai) hipertiroidisme.

Faktor Risiko
Meskipun setiap orang dapat mengembangkan penyakit Graves, sejumlah faktor
dapat meningkatkan risiko penyakitini. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain:

Sejarah keluarga. Karena riwayat keluarga penyakit Graves merupakan


faktor risiko yang diketahui, terdapat kemungkinan adanya satu gen atau
sekelompok gen yang dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap
gangguan tersebut.

Gender. Perempuan lebih mungkin mengembangkan penyakit Graves

dibandingkan pria.
Usia. Penyakit Graves biasanya berkembang pada orang yang berusia

lebih muda dari 40 tahun.


Gangguan autoimun lain. Orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh
lainnya, seperti diabetes tipe 1 atau rheumatoid arthritis, memiliki

peningkatan risiko.
Stres emosional atau fisik. Peristiwa kehidupan yang penuh stres atau
penyakit dapat menjadi pemicu timbulnya penyakit Graves pada orang-

orang yang rentan secara genetik.


Kehamilan. Kehamilan atau persalinan yang baru terjadi dapat
meningkatkan risiko gangguan, khususnya di kalangan wanita yang rentan

secara genetik.
Merokok. Merokok, selain dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh,
juga meningkatkan risiko penyakit Graves. Tingkat risiko ini terkait
dengan jumlah rokok yang dihisap setiap hari - semakin besar jumlahnya,
semakin besar pula risikonya. Perokok yang memiliki penyakit Graves
juga memiliki peningkatan risiko penyakit Graves ophthalmopathy.

2.1.1.3

Komplikasi

Komplikasi dari penyakit Graves dapat berupa:

Komplikasi Kehamilan. Kemungkinan komplikasi dari penyakit Graves


selama kehamilan di antaranya kelahiran prematur, disfungsi tiroid janin,
pertumbuhan janin yang lemah dan preeklamsia. Preeklamsia adalah suatu
kondisi ibu yang mengakibatkan tekanan darah tinggi dan kenaikan jumlah
protein dalam urin.

Gangguan hati. Jika tidak diobati, penyakit Graves dapat menyebabkan


gangguan detak jantung, perubahan struktur serta fungsi otot-otot jantung,
dan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang mencukupi

bagi tubuh (gagal jantung kongestif).


Badai Thyroid. Sebuah komplikasi yang jarang terjadi, tetapi mengancam
jiwa adalah penyakit Graves badai tiroid, juga dikenal sebagai
hipertiroidisme akselerasi atau krisis tirotoksik. Penyakit ini lebih
mungkin terjadi ketika hipertiroidisme yang parah tidak diobati atau tidak
mendapatkan pengobatan yang memadai. Kenaikan hormone tiroid secara
tiba-tiba dan drastis dapat menghasilkan sejumlah efek, termasuk
demam,banyak berkeringat, kebingungan, delirium, kelemahan yang
parah, tremor, detak jantung tidak teratur, tekanan darah rendah yang

parah, hingga koma. Penyakit badai tiroid memerlukan perawatan darurat.


Tulang rapuh. Hipertiroidisme yang tidak diobati dapat menyebabkan
tulang yang lemah dan rapuh (osteoporosis). Kekuatan tulang anda
(sebagiannya) tergantung pada jumlah kalsium dan mineral lain yang
dikandungnya. Terlalu banyak hormon tiroid dapat mengganggu
kemampuan tubuh untuk memasukkan kalsium ke dalam tulang anda.

2.1.1.4

Pengobatan dan Manajemen


Tujuan pengobatan untuk penyakit Graves adalah untuk menghambat

produksi hormon tiroid dan untuk memblokir efek dari hormon ini pada tubuh.
Beberapa pengobatan yang dapat dilakukan adalah:
Terapi Radioaktif Yodium

Pada proses terapi ini, anda mengonsumsi yodium radioaktif, atau


radioiodine,

melalui

mulut.

Karena

tiroid

memerlukan

yodium

untuk

menghasilkan hormon, maka diperlukan radioiod, yang berfungsi untuk merusak


sel-sel tiroid yang terlalu aktif. Hal ini menyebabkan kelenjar tiroid anda
menyusut, dan masalah anda akan berkurang secara bertahap, biasanya selama
beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Terapi radioiodine dapat meningkatkan risiko gejala baru atau gejala yang
memburuk dari ophthalmopathy Graves. Efek samping ini biasanya cenderung
ringan dan bersifat sementara, tetapi terapi ini mungkin tidak dianjurkan jika anda
memiliki masalah mata yang parah.
Efek samping lain mungkin termasuk nyeri di leher dan peningkatan
hormon tiroid sementara waktu. Pria mungkin mengalami penurunan sementara
kadar testosteron. Terapi radioiodine tidak digunakan untuk mengobati wanita
hamil atau menyusui. Radioiod yang tidak masuk ke dalam kelenjar tiroid akan
diekskresikan dalam urin dan air liur anda. Karena pengobatan ini menyebabkan
aktivitas tiroid menjadi menurun, anda mungkin akan memerlukan pengobatan
kemudian untuk memasok tubuh anda dengan jumlah normal hormon tiroid.

Obat anti-tiroid
Obat anti-tiroid obat bekerja dengan memengaruhi penggunaan yodium
oleh tiroid untuk menghasilkan hormon. Obat resep anti-tiroid meliputi
propylthiouracil dan methimazole (Tapazole). Ketika kedua obat tersebut
digunakan

secara

tersendiri

(tidak

dikombinasikan),

maka

kekambuhan

hipertiroidisme dapat terjadi di lain waktu. Menggunakan obat ini selama lebih

dari satu tahun dapat menghasilkan penyembuhan jangka panjang yang lebih baik.
Obat anti-tiroid juga dapat digunakan sebelum atau setelah terapi radioiodine
sebagai pengobatan tambahan.
Efek samping dari kedua obat ini diantaranya ruam, nyeri sendi, kegagalan
hati atau penurunan sel darah putih yang berfungsi melawan penyakit.
Methimazole tidak digunakan untuk mengobati wanita hamil karena terdapat
risiko cacat lahir pada bayi. Oleh karena itu, propylthiouracil adalah obat antitiroid yang lebih cocok digunakan oleh wanita hamil.

Beta blockers
Obat-obat ini tidak menghambat produksi hormon tiroid, tetapi mereka
memblokir efek dari hormon pada tubuh. Mereka dapat memberikan bantuan yang
cukup cepat terhadap masalah denyut jantung yang tidak teratur, tremor,
kecemasan atau lekas marah, intoleransi panas, berkeringat, diare dan kelemahan
otot.
Beta blockers di antaranya:

Propranolol (Inderal)
Atenolol (Tenormin)
Metoprolol
Nadolol (Corgard)
Beta blockers tidak diresepkan untuk penderita asma, karena obat tersebut

dapat memicu serangan asma. Obat ini juga dapat mempersulit perawatan
diabetes. Penghentian obat secara tiba-tiba dapat menyebabkan masalah jantung
yang serius.

Operasi
9

Jika terapi lain tidak dapat dilaksanakan atau belum efektif, anda mungkin
memerlukan pembedahan untuk mengangkat tiroid anda (tiroidektomi). Setelah
operasi, anda mungkin akan membutuhkan pengobatan untuk memasok tubuh
anda dengan jumlah normal dari hormon tiroid.
Risiko operasi di antaranya potensi kerusakan pita suara dan kerusakan
kelenjar paratiroid, yakni kelenjar kecil yang letaknya berdekatan dengan kelenjar
tiroid. Kelenjar paratiroid menghasilkan hormon yang mengontrol tingkat kalsium
dalam darah. Komplikasi operasi jarang terjadi jika ditangani oleh seorang ahli
bedah berpengalaman dalam operasi tiroid.

Mengobati ophthalmopathy Graves


Gejala ringan ophthalmopathy Graves dapat diatasi dengan menggunakan obat air
mata buatan yang digunakan pada siang hari, dan gel pelumas pada malam hari.
Langkah ini dapat membuat mata anda merasa lebih baik jika anda
memiliki ophthalmopathy Graves.

Terapkan kompres dingin pada mata anda. Penambahan zat pelembab

dapat menenangkan mata anda.


Pakailah kacamata hitam. Ketika mata anda menonjol, mereka lebih rentan
terhadap sinar ultraviolet dan lebih sensitif terhadap cahaya terang.
Mengenakan kacamata hitam yang juga membungkus sekitar sisi kepala

anda akan mengurangi iritasi mata.


Gunakan obat tetes mata (pelumas). Obat tetes mata dapat meredakan
sensasi kering dan gatal pada permukaan mata anda. Sebuah gel berbasis
parafin seperti Lacri-Lube, dapat diterapkan pada malam hari.

10

Tinggikan bagian kepala tempat tidur anda. Menjaga kepala anda lebih
tinggi dari bagian tubuh lain dpat mengurangi akumulasi cairan di kepala
dan dapat meringankan tekanan pada mata anda.

11

2.1.2

Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika

pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau
dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon
kerja insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang berfungsi untuk
meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah atau
hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada
sel saraf dan pembuluh darah.

2.1.2.1

Jenis-jenis DM

a. Diabetes Melitus Tipe I


DM tipe I merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses autoimun
yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel beta pankreas. Keadaan ini akan
mengakibatkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang dibutuhkan tubuh
untuk meregulasi kadar gula darah. Defisiensi insulin yang terjadi akan
mengakibatkan peningkatan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia.
Hiperglikemia yang terjadi ditandai dengan terdapatnya sejumlah glukosa dalam
urin (glukosuria). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk
menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar.

12

Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini


akan disertai pengeluaran sejumlah cairan dan elektrolit (diuresis osmotik).
Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien DM tipe I akan
mengalami peningkatan frekuensi berkemih (poliuria) dan timbul rasa haus yang
cukup sering (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Penurunan berat
badan ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah simpanan kalori sehingga
akan menambah selera makan (polifagia).

b. Diabetes Tipe II
DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon
kerja insulin secara efektif. Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu,
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Pada pasien DM, keadaan ini terjadi karena sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah akan dipertahankan pada
tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM
tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolik
tidak terjadi pada DM tipe II.

13

c. Diabetes Gestasional
DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia.
Faktor resiko DM gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria.
DM tipe ini dijumpai pada 2 5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan
kembali normal setelah melahirkan, namun resiko ibu untuk mendapatkan DM
tipe II di kemudian hari cukup besar.

d. Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya


DM tipe ini sering juga disebut dengan istilah diabetes sekunder, di mana
keadaan ini timbul sebagai akibat adanya penyakit lain yang mengganggu
produksi insulin dan mempengaruhi kerja insulin. Penyebab diabetes semacam ini
antara lain : radang pada pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis,
penggunaan hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat antihipertensi atau
antikolesterol, malnutrisi, dan infeksi.

2.1.2.2

Gejala-gejala DM

a. Gejala Akut DM
Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah
ini adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya
variasi gejala lain, antara lain :
-

Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia,


polidipsia, poliuria dan peningkatan berat badan.

14

Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala


yang disebabkan oleh kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia
dan

poliuria

dengan

beberapa keluhan lainnya seperti nafsu

makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih, penurunan


berat badan yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan
jika tidak segera diatasi akan mengakibatkan koma yang disebut
dengan istilah koma diabetes. Koma diabetes adalah koma pada
pasien DM akibat kadar gula darah yang melebihi 600 mg/dl.

b. Gejala Kronik DM
Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru
akan menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM.
Gejala kronik yang sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah,
mudah mengantuk, mata mengabur, gigi mudah patah, kemampuan seksual
menurun, dan lain-lain.

2.1.2.3

Komplikasi Diabetes Melitus


Diabetaes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang akan diderita

seumur hidup, sehingga progesifitas penyakit ini akan terus berjalan dan pada
suatu saat akan menimbulkan komplikasi. Penyakit DM biasanya berjalan lambat
dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan
kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.
a. Komplikasi Akut DM

15

Ada tiga komplikasi akut DM yang penting dan berhubungan dengan gangguan
keseimbangan kadar gula darah jangka pendek.
Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi jika kadar gula darah turun hingga 60 mg/dl. Keluhan dan
gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung sejauh mana glukosa darah turun.
Keluhan pada hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu
keluhan

akibat

otak

tidak

mendapat

kalori

yang

cukup

sehingga

mengganggu fungsi intelektual dan keluhan akibat efek samping hormon lain
yang berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah.
Ketoasidosis Diabetes
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi
dan kadar insulin yang rendah, maka tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
sebagai sumber energi alternatif. Pemecahan lemak tersebut kemudian
menghasilkan badan-badan keton dalam darah atau disebut dengan ketosis.
Ketosis inilah yang menyebakan derajat keasaman darah menurun atau disebut
dengan istilah asidosis. Kedua hal ini lantas disebut dengan istilah ketoasidosis.
Adapun gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien ketoasidosis
diabetes adalah kadar gula darah > 240 mg/dl, terdapat keton pada urin, dehidrasi
karena terlalu sering berkemih, mual, muntah, sakit perut, sesak napas, napas
berbau aseton, dan kesadaran menurun hingga koma.
Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)
Sindrom

HHNK

merupakan

keadaan

yang

didominasi

oleh

hiperosmolaritas dan hiperglikemia serta diikuti oleh perubahan tingkat kesadaran.

16

Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif.
Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik,
cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya
glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaaan hipernatremia dan peningkatan
osmolaritas. Salah satu perbedaan utama antar HHNK dan ketoasidosis diabetes
adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada HHNK. Perbedaan jumlah
insulin yang terdapat pada masing-masing keadaan ini dianggap penyebab parsial
perbedaan di atas.
Gambaran klinis sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi, dehidrasi berat,
takikardi, dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi.

b. Komplikasi Kronis DM
Komplikasi Makrovaskular
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada pasien
DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit
pembuluh darah perifer. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien DM tipe II
yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, dan atau kegemukan.
Komplikasi ini timbul akibat aterosklerosis dan tersumbatnya pembuluhpembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.
Komplikasi makrovaskular atau makroangiopati tidak spesifik pada diabetes,
namun pada DM timbul lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologi menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular
dan diabetes meningkat 4 -5 kali dibandingkan pada orang normal. Komplikasi

17

makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula


darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa angka kematian
akibat hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular,
di mana peninggian kadar insulin menyebabkan resiko kardiovaskular semakin
tinggi pula. Kadar insulin puasa > 15 mU/ml akan meningkatkan resiko mortalitas
kardiovaskular sebanyak 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam menyebabkan timbulnya
komplikasi makrovaskular.
Komplikasi Neuropati
Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Dalam
jangka waktu yang cukup lama, kadar glukosa dalam darah akan merusak dinding
pembuluh darah kapiler yang berhubungan langsung ke saraf. Akibatnya, saraf
tidak dapat mengirimkan pesan secara efektif. Keluhan yang timbul bervariasi,
yaitu nyeri pada kaki dan tangan, gangguan pencernaan, gangguan dalam
mengkontrol BAB dan BAK, dan lain-lain (Tandra, 2007). Manifestasi klinisnya
dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses terjadinya
komplikasi neuropati biasanya progresif, di mana terjadi degenerasi serabutserabut saraf dengan gejala nyeri, yang sering terserang adalah saraf tungkai atau
lengan.
Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular merupakan komplikasi unik yang hanya terjadi
pada DM. Penyakit mikrovaskular diabetes atau sering juga disebut dengan istilah
mikroangiopati ditandai oleh penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada
dua tempat di mana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius yaitu mata dan

18

ginjal. Kelainan patologis pada mata, atau dikenal dengan istilah retinopati
diabetes, disebabkan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di
retina. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah kecil di retina ini dapat
menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan pasien DM, bahkan dapat menjadi
penyebab utama kebutaan.

2.1.2.4

Retinopati Diabetes
Mekanisme perkembangan mikroangiopati berkaitan dengan perubahan-

perubahan yang terjadi pada ultrastruktur, biokimia, dan proses hemostatis.


Termasuk ke dalamnya penipisan lapisan membran kapiler. Beberapa studi
menunjukkan

bahwa

hiperglikemia

kronik

memiliki

kontribusi

dalam

menyebabkan terjadinya retinopati diabetes.


Retinopati diabetes adalah penyakit mata yang sering terjadi pada
penderita DM. Retinopati diabetik biasanya berkembang menjadi beberapa
tingkatan pada kebanyakan penderita diabetes tipe I dan sejumlah penderita DM
tipe II.
Retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan yang utama pada
kelompok usia kerja di Inggris dan di banyak negara berkembang lainnya.
Peningkatan jumlah pasien DM di dunia akan mendorong retinopati diabetes
sebagai penyebab kebutaan terbesar.
Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada penderita DM yang tergolong

19

insulin-dependent dibandingkan mereka yang non-insulin dependent.


Walaupun demikian, mengingat jumlah penderita yang tergolong ke dalam noninsulin dependent jauh lebih banyak, yaitu mencapai sembilan kali lebih banyak,
maka jumlah non-insulin dependent yang mengalami retinopati akan lebih
banyak.

Skema 1. Patofisiologi Retinopati Diabetes

Ada tiga stadium utama pada retinopati diabetes yaitu :


a.

Retinopati Nonproliferatif
Retinopati nonprliferatif merupakan stadium awal dari proses penyakit ini.

Selama menderita DM, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil
pada

mata

melemah

sehingga

dapat

menimbulkan

tonjolan

kecil

20

(mikroaneurisme). Tonjolan ini sangat mudah pecah dan mengalirkan cairan dan
sejumlah protein ke dalam retina sehingga menimbulkan bercak berwarna abu-abu
atau putih. Endapan lemak protein yang berawarna putih kekuningan juga
terbentuk pada retina. Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan
kecuali cairan dan protein dari pembuluh darah yang rusak dapat menyebabkan
pembengkakan pada pusat retina (makula). Keadaan ini disebut edema makula,
yang dapat memperparah penglihatan seseorang (Medicastore).
b.

Retinopati Praproliferatif
Keadaan ini merupakan lanjutan dari retinopati nonproliferatif dan

merupakan pencetus terjadinya retinopati proliferatif yang cukup serius. Bukti


epidemiologi menunjukkan bahwa 10 % - 50 % pasien DM dengan retinopati
akan menderita retinopati proliferatif dalam jangka waktu 1 tahun. Perubahan
visual yang terjadi pada stadium ini juga disebabakan oleh edema makula.
c.

Retinopati Proliferatif
Retinopati proliferatif diawali dengan terdapatnya pertumbuhan abnormal

pembuluh darah baru pada permukaan retina sebagai bentuk kompensasi iskemia
yang terjadi pada retina. Pembuluh darah yang abnormal ini mudah pecah
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada pertengahan bola mata, atau sering
disebut dengan istilah perdarahan vitreus, yang dapat menghalangi penglihatan.
Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus ini adalah terbentuknya jaringan parut
fibrosa yang disebabakan oleh reabsorpsi darah ke dalam korpus vitreus. Jaringan
parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi pelepasan retina, atau disebut
dengan istilah ablasio retina, dan akhirnya dapat mengakibatkan kebutaan.

21

2.1.2.5

Faktor Resiko Terjadinya Retinopati Diabetik

a. Lama Menderita DM
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini menjadi indikator
dalam mendeteksi adanya retinopati diabetes. Pasien dengan DM tipe I umumnya
akan menunjukkan adanya retinopati diabetes setelah didiagnosis menderita DM
selama 20 tahun (50 %).
b. Kadar Gula Darah
Kadar gula darah juga merupakan faktor resiko yang memiliki
peranan penting dalam perkembangan retinopati diabetes.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

2.1.2.6

Pubertas
Tipe DM
Nefropati
Hipertensi
Kehamilan
Faktor Genetik

Penatalaksanaan Retinopati Diabetik


Deteksi awal retinopati diabetik dapat membantu mencegah terjadinya

kehilangan penglihatan. Mereka yang menderita DM harus memeriksakan mata


pada seorang dokter mata (oftalmologis) setiap tahun, bahkan bila mereka tidak
memiliki keluhan pada mata sekalipun. Asosiasi Diabetes Amerika (ADA)
menyarankan pemeriksaan setahun sekali mulai dalam 3-5 tahun setelah
didiagnosa menderita DM tipe I dan segera setelah didiagnosa menderita DM tipe
II.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol kadar gula
darah yang baik, sedangkan pada kelainan yang sudah lanjut hampir tidak dapat

22

diperbaiki hanya dengan kontrol kadar gula darah karena akan memperburuk
keadaan jika dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.
Pengobatan lanjutan yang dapat diberikan yaitu penatalaksanaan diabetes
yang baik, mencegah faktor-faktor resiko seperti hipertensi, dan pengobatan
fotokoagulasi khususnya pada mereka dengan retinopati diabetik lanjut.
Diperkenalkannya fotokoagulasi untuk retinopati diabetik sangat mendorong
untuk mencegah kebutaan.

23

2.2

Kelainan kardiovaskuler

2.2.1

Retinopati Hipertensi
Retinopati hipertensi adalah kelainan atau perubahan vaskularisasi retina

pada penderita hipertensi. Hipertensi arteri sistemik merupakan tekanan diastolik


> 90 mmHg dan tekanan sistolik > 140 mmHg. Jika kelainan dari hipertensi
tersebut menimbulkan komplikasi pada retina maka terjadi retinopati hipertensi.

2.2.1.1

Klasifikasi Retinopati Hipertensi


Klasifikasi retinopati hipertensi pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh

Keith Wagener Barker. Klasifikasi dan modifikasi yang dibuat didasarkan pada
hubungan antara temuan klinis dan prognosis yaitu tediri atas empat kelompok
retinopati hipertensi.
Tabel 1 . Klasifikasi Keith-Wagener-Barker (1939)
Stadium
Stadium I

Karakteristik
Penyempitan ringan, sklerosis dan hipertensi ringan, asimptomatis.

Stadium II

Dalam periode 8 tahun : 4 % meninggal


Penyempitan definitif, konstriksi fokal, sklerosis, dan nicking
arteriovenous

Stadium III

Dalam periode 8 tahun : 20 % meninggal


Retinopati (cotton-wool spot, arteriosclerosis, hemoragik)

Stadium IV

Dalam periode 8 tahun : 80 % meninggal


Edema neuroretinal termasuk papiledema
Dalam periode 8 tahun : 98 % meninggal

Tabel 2. Klasifikasi Scheie (1953)


Stadium
Stadium I

Karakteristik
Penciutan setempat pada pembuluh darah kecil

24

Stadium II

Penciutan pembuluh darah arteri menyeluruh, dengan kadang-kadang


penciutan setempat sampai seperti benang, pembuluh darah arteri

Stadium III

tegang, embentuk cabang keras


Lanjutan stadium II, dengan eksudasi cotton, dengan perdarahan yang
terjadi akibat diastol di atas 120 mmHg, kadang-kadang terdapat

Stadium IV

keluhan berkurangnya penglihatan


Seperti stadium III dengan edema papil dengan eksudat star figure,
disertai keluhan penglihatan menurun dengan tekanan diastol kira-kira
150 mmHg

Tabel 3. Modifikasi klasifikasi Scheie


Stadium
Stadium 0
Stadium I
Stadium II
Stadium III
Stadium IV

Karakteristik
Tidak ada perubahan
Penyempitan arteriolar yang hampir tidak terdeteksi
Penyempitan yang jelas dengan kelainan fokal
Stadium II + perdarahan retina dan/atau eksudat
Stadium III + papiledema

Tabel 4. Klasifikasi Retinopati Hipertensi tergantung dari berat ringannya tanda


tanda yang terlihat pada retina
Retinopati
Mild

Deskripsi
Asosiasi sistemik
Satu atau lebih dari tanda Asosiasi ringan dengan penyakit
berikut

arteioler

menyeluruh

fokal,

Penyempitan stroke, penyakit jantung koroner dan

AV nicking,

atau mortalitas kardiovaskuler

dinding

arterioler lebih padat (silverModerate

wire)
Retinopati mild dengan satu Asosiasi

berat

dengan

penyakit

25

atau lebih tanda berikut :

stroke, gagal jantung, disfungsi renal

Perdarahan retina (blot, dot

dan mortalitas kardiovaskuler

atau
mikroaneurisma,
Accelerated

flame-shape),
cotton-

wool, hard exudates


Tanda-tanda
retinopati Asosiasi berat dengan mortalitas dan
moderate dengan edema papil gagal ginjal
dan dapat disertai dengan
kebutaan

2.2.1.2

Patofisiologi Retinopati Hipertensi


Peningkatan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasokonstriksi

arteriol. Vasokonstriksi terjadi karena adanya proses autoregulasi pada pembuluh


darah. Hasil penelitian wallow diketahui sel-sel perisit yang ada didinding
pembuluh darah yang berperan pada proses vasokonstriksi. Vasokontriksi
biasanya terjadi secara merata (difus) di seluruh pembuluh darah retina, tetapi bisa
juga ditemukan pada sebagian pembuluh darah (segmental). Hipertensi yang
berlangsung lama atau kronik akan menyebabkan terjadinya perubahan dinding
pembuluh darah (arteriosklerosis dan aterosklerosis).
Arteriosklerosis adalah perubahan yang terjadi pada arteriol. Dinding
arteriol secara histologik terlihat menebal, karena pada tunika media terjadi
hipertrofi jaringan otot. Tunika intima mengalami proses hialinisasi, dan endotel
kapiler mengalami proses hipertofi, sehingga membentuk jaringan konsentrik
yang berlapis-lapis seperti kulit bawang (union skin). Proses yang terjadi diatas
menyebabkan lumen pembuluh darah menjadi kecil.

26

Arteriosklerosis akan menyebabkan gangguan pada persilangan arteri


dengan vena (arteriovenous crossing). Dinding arteri yang kaku akan menekan
dinding vena yang lebih lembut. Dalam keadaan normal tidak terjadi penekanan
dan elevasi pada persilangan arteri dan vena. Penekanan pada vena oleh arteri
yang sklerosis dapat terjadi dalam beberapa tahap, vena yang berada di bawah
arteri tidak terlihat karena arteri yang sklerosis maka vena seolah terputus dan
akan muncul lagi secara perlahan setelah melewati persilangan arteri
(arteriovenous nicking). Hal ini dikenal dengan nama Gunns phenomenon.
Bentuknya bervariasi tergantung dari beratnya sklerosis, bila sklerosis lebih berat
menyebabkan vena menjadi defleksi pada daerah persilangan, yang terlihat seperti
huruf S atau Z (salus sign). Pada keadaan tertentu vena berada di atas arteri,
sehingga akan terlihat elevasi vena di atas arteri. Tahap selanjutnya akan terjadi
stenosis vena di bagian distal persilangan karena proses sklerosis arteri yang berat.
Lumen vena yang menyempit karena penekanan oleh arteri yang sklerosis,
menyebabkan aliran darah menjadi lebih cepat, dapat menimbulkan proliferasi
endotel

dan

kadang-kadang

terbentuk

trombus.

Trombus

menyebabkan

tersumbatnya aliran darah, sehingga akan menyebabkan timbulnya tanda-tanda


oklusi vena retina sentral. Dalam keadaan normal dinding arteriol tidak terlihat,
yang terlihat adalah sel-sel darah merah di dalam lumen. Bertambahnya ketebalan
dinding arteriol karena proses arterioseklerosis maka terjadi perubahan refleks
cahaya arteriol. Pantulan cahaya dari permukaan dinding arteriol yang konveks
terlihat seperti garis tipis yang mengkilat di tengah kolom darah (refleks cahaya
normal). Pada pembuluh darah yang menebal, pantulan refleks cahaya normal

27

hilang dan cahaya terlihat lebih luas dan buram. Hal ini dianggap sebagai tanda
awal terjadinya arteriosklerosis.
Pada funduskopi akan terlihat sebagian pembuluh darah seperti tembaga
(copper wire), karena meningkatnya ketebalan dinding dan lumen berkurang
kemudian terjadi perubahan pada refleks cahaya arteriol. Bila proses sklerosis
berlanjut, dinding arteri semakin menebal dan lumen mengecil yang akhirnya
hampir tidak terlihat sehingga waktu penyinaran hanya berbentuk garis putih saja,
yang dikenal sebagai refleks kawat perak (silver wire reflex).
Perdarahan akan terjadi bila hipertensi berlangsung lama dan tidak
terkontrol. Proses yang kronik ini akan menyebabkan kerusak inner blood barrier,
sehingga terjadi ekstravasasi plasam dan sel darah merah ke retina (hard
exudates). Perdarahan biasanya terjadi pada lapisan serabut saraf retina,
distribusinya mengikuti alur serabut saraf, sehingga terlihat seperti lidah api
(flame shape). Kerusakan ditingkat kapiler maka perdarahan terjadi pada lapisan
inti dalam atau pleksiform dalam, bentuknya lebih bulat (blot like appearance).
Iskemik fokal atau area non perfusi yang terjadi pada lapisan serabut saraf
retina,

maka serabut saraf akan berdegenerasi menjadi bengkak dan secara

histologi tampak seperti suatu kelompok cystoid bodies. Kelainan ini dikenal
dengan cotton wool spot (soft exudates), yang pada pemeriksaan funduskopi
terlihat sebagai area putih keabuan seperti kapas dengan batas yang tidak tegas.
Papil edema disebabkan oleh adanya iskemia didaerah papil yang akan
menyebabkan hambatan aliran axoplasma, sehingga terjadi pembengkakan axon
di papil nervus optikus.

28

Ateroskelrosis adalah proses sklerosis yang terjadi pada pembuluh darah


retina yang lebih besar. Pada ateroskelrosis sering ditemukan fibrosis dan
kalsifikasi pada tunika intima. Pada keadaan hipertensi accelerated terjadi
pembentukan plak yang besar di intra lumen yang akan menyumbat pembuluh
darah besar sehingga akan timbul komplikasi dalam bentuk oklusi cabang retina
sentralis (BRAO) atau arteri retina sentralis (CRAO).

2.2.1.3

Gejala Klinik
Retinopati hipertensi merupakan penyakit yang berjalan secara kronis

sehingga gejala penyakit awal sering tidak dirasakan. Penderita retinopati


hipertensi biasanya akan mengeluhkan sakit kepala dan nyeri pada mata.
Penurunan penglihatan atau penglihatan kabur hanya terjadi pada stadium III atau
stadium IV oleh karena perubahan vaskularisasi akibat hipertensi seperti
perdarahan, cotton wool spot, telah mengenai makula.

2.2.1.4

Diagnosis

Diagnosis retinopati hipertensi ditegakkan berdasarkan pada anamnesis (riwayat


hipertensi), pemeriksaan fisik (tekanan darah), pemeriksaan oftalmologi
(funduskopi), dan pemeriksaan penunjang dengan angiografi fluorosens. Pada
anamnesis penglihatan yang menurun merupakan keluhan utama yang sering
diungkapkan oleh pasien. Pasien mengeluhkan buram dan seperti berbayang
apabila melihat sesuatu. Penglihatan biasanya turun secara perlahan sehingga
tidak disadari. Pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan diastol > 90 mmHg

29

dan tekanan sistol > 140 mmHg , sudah mulai terjadi perubahan pada pembuluh
darah retina.
Pemeriksaan tajam penglihatan dan funduskopi adalah pemeriksaan
oftalmologi paling mendasar untuk menegakkan diagnosis retinopti hipertensi.
Melalui pemeriksaan funduskopi, dapat ditemukan berbagai kelainan retina pada
pasien retinopati hipertensi. Hasil pemeriksaan dengan oftlamoskop, sebagai
berikut:

Funduskopi pada penderita hipertensi

Mild Hypertensive Retinopathy


Ket : A. Nicking AV (panah putih) dan penyempitan arteriol lokal (panah hitam) .

30

B. Terlihat AV nicking (panah hitam) dan gambaran copper wiring pada arteriol
(panah putih).

Moderate Hypertensive Retinopathy


Ket : A. AV nicking (panah putih) dan cotton wool spot (panah hitam).
B. Perdarahan retina (panah hitam) dan gambaran cotton wool spot (panah putih)

31

Funduskopi sesuai stadium retinopati hipertensi

Pemeriksaaan penunjang yang dilakukan setelah pemeriksaan funduskopi


adalah angiografi fluoresein. Kontras berupa bahan fluoresein dimasukkan melalui
vena di lengan. Ketika kontras sudah mencapai pembuluh darah retina, gambaran
pembuluh darah tersebut difoto dengan kamera khusus yang menggunakan sinar
biru. Pemeriksaan ini dapat menentukan dengan tepat lokasi terjadinya
neovaskularisasi dan kebocoran kapiler retina.

32

Perbandingan foto retina dengan angiografi fluorosein


Pemeriksaan laboratorium juga penting untuk menyingkirkan penyebab
lain retinopati selain dari hipertensi. Untuk pemeriksaan laboratorium terutama
diperiksa kadar gula darah, lemak darah dan fungsi ginjal.

2.2.1.5

Komplikasi
Komplikasi dari retinopati hipertensi yaitu berupa oklusi arteri retina

sentralis (CRAO), oklusi arteri retina cabang (BRAO), oklusi vena retina cabang
(BRVO).
Penyebab dari oklusi arteri retina paling umum akibat adanya emboli.
Arteri oftalmika merupakan cabang pertama dari arteri karotis interna. Embolus
bisa berasal dari jantung atau arteri karotis yang secara jelas mengarah langsung
ke mata. Emboli dari jantung terdiri dari empat tipe, antara lain emboli
terkalsifikasi dari katup aorta atau mitral, vegetasi dari endokarditis bakterial,
trombus yang berasal dari jantung bagian kiri, dan materi miksomatosa akibat
miksoma atrial.

33

Penyakit arteri karotis juga dapat menjadi sumber emboli. Emboli retina dari arteri
karotis terdiri dari tiga tipe yaitu emboli kolesterol (plak Hollenhorst), emboli
fibrinoplatelet, dan emboli terkalsifikasi.
Gambaran klinis dari oklusi arteri retina dapat berupa oklusi arteri retina
sentral, dan oklusi arteri retina cabang.
CRAO (oklusi arteri retina sentral) biasanya diakibatkan oleh ateroma,
meskipun hal ini dapat disebabkan akibat emboli terkalsifikasi. Keluhan yang
dialami pasien biasanya bersifat akut dan hilangnya lapang pandang. Tanda-tanda
yang dapat ditemukan berupa pupil Marcus Gunn atau amaurotik, retina tampak
putih akibat pembengkakan dan terdapat cherry-red spot. Dengan pemeriksaan
angiografi menunjukkan penundaan pengisian arteri dan karena terdapat edema
retina maka fluoresensi ke bagian koroid tertutupi.
BRAO (oklusi arteri retina cabang) paling sering diakibatkan oleh karena
emboli. Pasien dapat mengeluh hilangnya lapang pandang secara melintang atau
sektoral dan terjadi mendadak. Tanda yang dapat ditemukan berupa retina menjadi
putih di area yang dialiri arteri, pembengkakan berkabut perlahan menjernih,
tetapi bagian dalam retina menjadi atrofi dan berhubungan dengan hilangnya
lapang pandang sektoral yang permanen, dan pada beberapa kasus juga dapat
ditemukan rekanalisasi arteriol yang tersumbat. Pada fluoresensi angiografi
menunjukkan area yang terlibat menunjukkan gambaran tidak adanya perfusi.
BRVO (oklusi vena retina cabang) akut tidak terlihat pada gambaran
funduskopi, dalam beberapa waktu dapat menimbulkan edema yang bersifat putih
pada retina akibat infark pada pembuluh darah retina. Seiring waktu, vena yang
tersumbat akan mengalami rekanalisasi sehingga kembali terjadi reperfusi dan

34

berkurangnya edema. Namun, tetap terjadi kerusakan yang permanen terhadap


pembuluh darah. Oklusi yang terjadi merupakan akibat dari emboli.

2.2.1.6

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

retinopati

hipertensi

bertujuan

untuk

membatasi

kerusakan yang sudah terjadi serta menghindari terjadinya komplikasi, Mengobati


faktor primer adalah sangat penting jika ditemukan perubahan pada fundus akibat
retinopati arterial. Tekanan darah harus diturunkan dibawah 140/90 mmHg. Jika
telah terjadi perubahan pada fundus akibat arteriosklerosis, maka kelainan klinis
yang terjadi tidak dapat diobati lagi tetapi dapat dicegah progresivitasnya.
Beberapa studi eksperimental dan percobaan klinik menunjukan bahwa
tanda-tanda retinopati hipertensi dapat berkurang dengan mengontrol kadar
tekanan darah. Penggunaan obat ACEI (Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor) terbukti dapat mengurangi penebalan dinding arteri akibat hipertrofi.
Tabel 5. Obat hipertensi oral yang dipakai di Indonesia
Obat

Dosis

Efek

Lama

Perhatian khusus
Gangguan koroner

(Ca

5-10 mg

5-15 menit

kerja
4-6 jam

antagonis)
Kaptopril (ACE

12,5-2,5

15-30

6-8 jam

Stenosis arteri renalis

inhibitor)
Klonidin (alfa-2

mg
75-150

menit
30-60

8-16 jam

Mulut

agonis

mg

menit

adrenergik)
Propanolol (beta

10-40

15-30

blocker)

mg

menit

Nifedipin

kering,

mengantuk
3-6 jam

Bronkokonstriksi, blok
jantung

35

Perubahan pola dan gaya hidup juga harus dilakukan. Kontrol berat badan
dan diturunkan jika sudah melewati standar berat badan seharusnya. Konsumsi
makanan dengan kadar lemak jenuh harus dikurangi sementara intake lemak tak
jenuh dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi alkohol dan garam perlu
dibatasi dan olahraga yang teratur.
Pengawasan oleh dokter mata dilakukan untuk mengevaluasi progresivitas
retinopati hipertensi dan komplikasinya. Komplikasi yang dapat terjadi seperti
oklusi arteri retina sentralis dan oklusi cabang vena retina merupakan perburukan
dari retinopati hipertensi yang tidak terkontrol secara baik. Jika sudah terjadi
eksudat di makula, KWB stadium III, dan sudah terjadi komplikasi

maka

fotokoagulasi laser dapat dipertimbangkan.


Fotokoagulasi laser merupakan salah satu terapi dalam penanganan
komplikasi tersebut. Terapi laser retina terbukti memperbaiki oksigenasi retina
bagian dalam. Fotokoagulasi pada fotoreseptor mengurangi konsumsi oksigen di
bagian luar retina dan menyebabkan oksigen lebih mudah berdifusi dari koroid ke
bagian dalam retina, sehingga meningkatkan tekanan oksigen dan mengurangi
hipoksia. Peningkatan tekanan oksigen di bagian dalam retina mengakibatkan
mekanisme autoregulasi berupa vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteriol,
sehingga menurunkan tekanan hidrostatik di kapiler dan venula. Menurut hukum
Starling, hal ini akan menurunkan aliran cairan dari kompartemen intravaskular ke
dalam jaringan dan menurunkan edema jaringan, bila berasumsi tekanan onkotik
konstan. Penurunan tekanan hidrostatik pada saat yang bersamaan menyebabkan
venula konstriksi dan memendek menurut hukum Laplace dan studi Kylstra dkk.

36

2.2.1.7

Prognosis
Prognosis

tergantung

kepada

kontrol

tekanan

darah.

Kerusakan

penglihatan yang serius biasanya tidak terjadi sebagai dampak langsung dari
proses hipertensi kecuali terdapat oklusi vena atau arteri lokal. Namun, pada
beberapa kasus, komplikasi tetap tidak dapat di hindari walaupun dengan kontrol
tekanan darah yang baik.
Keith Wagener Barker menentukan 5 year survival rate berdasarkan tidak
diberikan terapi medikamentosa yaitu antara lain grade I : 4%, grade II : 20%,
grade III : 80% , grade IV : 98%.

37

Daftar Pustaka

1.

Marieb EN & Hoehn K. Human Anatomy & Physiology 7th edition.

2.

Pearson Education Inc, 2007.


Riordan-Eva P & Whitcher

3.

ophthalmology, 17th edition. New York: McGraw-Hill, 2007.


Yanoff M & Duker JS (eds). Yanoff & Duker Ophthalmology 3rd

4.

edition. Philadelphia: Mosby, An Imprint of Elsevier, 2008


Vaughan & Ashburry et al. Oftalmologi Umum edisi 17. Alih bahasa : dr.

5.

Brahm U. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2009


The prevalence of and factors associated with diabetic retinopathy in

JP.

Vaughan

& Asburys General

the Australian population. Tapp RJ1, Shaw JE, Harper CA, de Courten
MP, Balkau B, McCarty DJ, Taylor HR, Welborn TA, Zimmet PZ;
AusDiab Study Group, 2012.
6.

Basic and Clinical Science Course. Retina and Vitreus Section 12. The
Foundation of The American Academy of Ophtalmology ; 2002

7.

Wong TY, et al. The prevalence and Risk Factors of Retinal


Microvascular Abnormalities in Older Persons. The Cardiovascular
Health Study. 2003; 658-666.

8.

Hughes BM, Moinfar N, Pakainis VA, Law SK, Charles S, Brown LL et


al, editors. Hypertension. [Online]. 2007 Jan 4 [cited 2008 May 21]: [7
screens].

Available

from:

URL:http://www.emedicine.com/oph/topic488.htm
9.

Vaughan DG, Asbury T, Riodan-Eva P. Oftalmologi Umum 14th


ed.Penerbit Widya Merdeka. Jakarta ; 2000

10.

Wong YT, McIntosh R, editors. Hypertensive retinopathy signs as risk


indicators of cardiovascular morbidity and mortality. British Medical
Bulletin 2005;73 and 74;57-70. [Online]. 2005 July 13 [cited 2008 May
21]:

[14

screens].

Available

from:

URL:http://bmb.oxforsjournals.org/cgi/reprint/73-74/1/57

38

Anda mungkin juga menyukai