Anda di halaman 1dari 6

Kortikosteroid pada Penyakit Alergi Anak

1. Pendahuluan
Penyakit atopi seperti asma dan eksim merupakan kondisi alergi yang cenderung
diturunkan dalam keluarga dan dikaitkan dengan pembentukan antibodi IgE spesifik terhadap
alergen lingkungan. Tatalaksana medikamentosa yang diberikan berdasarkan pada reaksi
inflamasi alergi yang mendasari penyakit. Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan
dengan alergen menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan
istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera (tipe I). Pada reaksi alergi juga
terjadi proses inflamasi yang terjadi pada fase lambat. Histamin merupakan mediator utama
dalam reaksi alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian
antihistamin. Kortikosteroid juga mengurangi jumlah sel inflamasi dengan menghambat
penarikan sel inflamasi ke jaringan inflamasi melalui penekanan produksi mediator kemotaktik
dan molekul adesi, serta juga menghambat keberadaan (survival) sel inflamasi tersebut.
Penggunaan kortikosteroid oral pada keadaan alergi fase cepat/ akut membutuhkan potensi
glukokortikoid yang lebih tinggi dibandingkan potensi mineralkortikoid untuk menghindari efek
samping retensi natrium. Selain itu pemilihan bentuk formula dan rasa juga berperan dalam
kepatuhan anak dalam berobat dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid pada inflamasi
alergi tergantung pada beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak (1).
2. Kortikosteroid
Mediator inflamasi yang diproduksi pada penyakit alergi antara lain mediator lipid, peptida
inflamasi, kemokin, sitokin dan faktor pertumbuhan. Selain itu, juga terdapat bukti bahwa sel
struktural dari saluran nafas, seperti sel epitel, sel otot polos, sel endotel dan fibroblas merupakan

sumber utama mediator inflamasi pada asma. Pada tingkat selular, kortikosteroid mengurangi
jumlah sel inflamasi di saluran nafas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik.
Efek ini dicapai dengan menghambat rekrutmen atau penarikan sel inflamasi tersebut ke saluran
nafas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adhesi, serta juga
menghambat keberadaan (survival) sel inflamasi di saluran nafas, seperti eosinofil, limfosit T
dan sel mast. Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas,
melalui inhibisi mediator inflamasi dan sel inflamasi serta sel struktural (sel epitel, endotel, otot
polos saluran nafas dan kelenjar mukus), sehingga berdampak pada berkurangnya infiltrat atau
aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran vaskular, penurunan produksi mukus dan
peningkatan respons -adrenergik (19,20).
Pada tingkat molekular, kortikosteroid secara difus menembus membran sel target dan terikat
dengan reseptor glukokortikoid di sitoplasma. Reseptor tersebut secara normal terikat dengan
protein pengantar, seperti heat shock protein-90 (HSP90) dan F-binding protein, yang
melindungi reseptor dan mencegah lokalisasi nuklearnya dengan cara menutupi lokasi reseptor
yang diperlukan untuk transpor dari membran nuklear ke nukleus. Setelah kortikosteroid terikat
dengan glukokortikoid, terjadi perubahan struktur reseptor yang menghasilkan disosiasi
molekular protein pengantar, sehingga memaparkan signal lokalisasi nuklear ke glukokortikoid.
Pemaparan ini menghasilkan transpor cepat kompleks kortikosteroid glukokortikoid teraktivasi
ke nukleus, yang akan terikat dengan DNA dan menyebabkan perubahan pada transkripsi Gen
(19).
Sebagian besar protein inflamasi diregulasi oleh transkripsi gen, yang diatur oleh faktor
transkripsi proinflamasi, seperti nuclear factor-B (NF-B) dan activator protein-1 (AP-1), yang
biasanya teraktivasi di saluran nafas yang mengalami asma. Dalam mengatur inflamasi, efek

utama glukokortikoid terutama berasal dari interaksi glukokortikoid teraktivasi dengan


transkripsi faktor nuklear NF-B dan AP-1, yang menyebabkan inhibisi ekspresi molekul
proinflamasi (trans-reppresive), sehingga menekan gen yang mengkode protein inflamasi
tersebut, antara lain gen yang mengkode sitokin (IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-11,
IL-12, IL-13, IL-16, IL-17, IL-18, TNF-, GM-CSF), kemokin, molekul adesi (ICAM-1,
VCAM-1), enzim inflamasi, reseptor inflamasi dan peptida (19).
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa glukokortikoid juga dapat enghambat ekspresi
ICAM-1 yang diinduksi oleh IL-1 (11). Dengan adanya efek penekanan produksi sitokin dan
pelepasan mediator maka dapat mengurangi reaksi inflamasi alergi. Efek trans-activation di sisi
lain akan menginduksi transkripsi gen yang terlibat dalam efek yang tidak diinginkan dalam
terapi kortikosteroid (19).
Pemakaian kortikosteroid pada inflamasi alergi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik
dari segi obat maupun individu. Faktor yang berhubungan dengan obat, antara lain:
1. jenis pemakaian obat, oral atau topikal,
2. besarnya absorpsi sistemik yang dikaitkan dengan rute pemberian dan efek samping
klinis,
3. dosis, durasi dan jadwal pemberian,
4. perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Sedangkan faktor yang berhubungan dengan individu, antara lain:
1.
2.
3.
4.

respons penyakit terhadap kortikosteroid,


perubahan derajat keparahan penyakit,
risiko terapi yang tidak optimal,
kerentanan terhadap efek samping (21).

Pemakaian kortikosteroid topikal memberikan target yang selektif pada saluran nafas,
sehingga konsentrasi tinggi lokal tidak disertai dengan paparan sistemik yang tinggi. Namun efek

samping yang muncul dapat berupa mulut kering, kandidiasis oral, perdarahan pada penggunaan
intranasal dan disfonia pada penggunaan inhalasi. Penggunaan obat topikal juga membutuhkan
saluran nafas proksimal yang paten agar obat dapat mencapai jaringan target. Pemberian topikal
lebih dipilih pada keadaan yang kronik karena tidak memberikan efek samping sistemik (21).
Pemberian topikal juga dapat diserap ke sirkulasi sistemik melalui saluran cerna dan
memberikan efek samping sistemik, meskipun jarang. Hal ini tergantung pada bioavailabilitas
oral (penyerapan usus dan jalur pertama metabolisme hepatik). Kortikosteroid inhalasi meliputi
beklometason dipropionat, budesonid, siklesonid, flunisonid, flutikason propionat, mometason
furoat dan triamsinolon asetat (21).
Sebagian besar agen, seperti beklometason dipropionat, budesonid, flunisonid dan
triamsinolon asetat dapat diabsorbsi di saluran cerna ke sirkulasi sistemik dan mengalami jalur
pertama metabolisme hepatik. Hasil bioavaiabilitas dapat mencapai 50%. Agen flutikason
propionat dan mometason furoat juga diserap dengan baik di saluran cerna, namun hanya
sebagian kecil yang mencapai sirkulasi portal dan dimetabolisme. Availabiltas sistemik yang
rendah tersebut penting pada anak yang sedang tumbuh dan pasien yang sudah menggunakan
kortikosteroid inhalan untuk asma (22).
Efek samping kortikosteroid intranasal atau inhalasi dosis rekomendasi terhadap aksis
hipotalamushipofisis-adrenal atau gangguan metabolisme tulang relatif rendah. Selain itu, dari
hasil beberapa penelitian juga tidak didapatkan adanya retardasi pertumbuhan ataupun glaukoma
akibat penggunaan kortikosteroid tersebut. Efek samping lokal dapat berupa iritasi nasal,
kekeringan dan epistaksis. Di sisi lain, kortikosteroid sistemik mempunyai efek hipotensi,
hiperglikemia, kenaikan berat badan, purpura, atrofi otot dan gangguan pertumbuhan, sehingga

sedapat mungkin dihindari pada terapi inflamasi saluran nafas atas, namun risiko ini juga
tergantung pada durasi penggunaan (23).
Pada pemberian kortikosteroid oral, obat mencapai target saluran nafas setelah absorpsi
disaluran cerna dan distribusi melalui sirkulasi sistemik. Distribusi ini tidak mencapai jaringan
target dengan selektif, sehingga memerlukan dosis yang lebih besar dan risiko efek samping
yang besar. Namun pemberian oral dapat digunakan pada keadaan akut. Untuk memperoleh
manfaat yang baik pada sirkulasi sistemik, obat harus diserap di usus dan mempunyai jalur
pertama metabolisme hepatik (hepatic first-pass metabolism) yang rendah (21).
Perbedaan golongan kortikosteroid oral terletak pada aktivitas mineralokortikoid dan
glukokortikoid. Aktivitas mineralkortikoid tidak mempunyai efek dalam inflamasi alergi dan
dapat menyebabkan efek samping, antara lain retensi air dan natrium yang menyebabkan edema
dan hipertensi, serta peningkatan ekskresi kalium dengan risiko alkalosis hipokalemik.
Hidrokortison mempunyai efek mineralokortikoid terbesar dan lebih banyak efek samping
dibandingkan kortikosteroid sintetik, seperti prednisolon (21).
Golongan triamsinolon dan deksametason mempunyai aktivitas mineralokortikoid yang
paling rendah, sehingga berpotensi rendah dalam menyebabkan retensi natrium dan efek samping
yang lain. Golongan triamsinolon juga mempunyai durasi kerja sedang (intermediate) dan
potensi antiinflamasi yang sesuai untuk mengatasi gejala alergi akut (24).
Hal menarik yang perlu diperhatikan pada pemberian kortikosteroid oral pada anak,
khususnya pada penyakit alergi, adalah pemilihan bentuk formula dan rasa. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa rasa obat (palatibility) yang diikuti dengan persepsi rasa yang baik akan
meningkatkan kepatuhan (compliance) anak dalam pengobatan dengan kortikosteroid (25,26).

Golongan triamsinolon merupakan kortikosteroid oral yang mempunyai rasa tidak pahit,
sehingga dapat berguna dalam kepatuhan anak dalam berobat. Selain itu, kepatuhan yang baik
akan menghasilkan pengobatan yang efisien, terutama dari segi biaya pengobatan (cost-efficient)
(25).
Secara garis besar, pemberian kortikosteroid pada inflamasi alergi tergantung pada
beberapa faktor yang menentukan manfaat dan risiko pada tiap anak.

Anda mungkin juga menyukai