Anda di halaman 1dari 22

POLA LUKA PADA KECELAKAAN LALU LINTAS

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi transportasi yang meningkat pesat, telah
menyebabkan tingkat kecelakaan lalu lintas semakin tinggi. Akibat kemajuan
teknologi, disatu sisi menyebabkan daya jangkau dan daya jelajah transportasi
semakin luas, disisi lain menjadi penyebab kematian yang sangat serius dalam
beberapa dekade terakhir. Keadaan ini, semakin parah mengingat kurangnya
kesadaran masyarakat akan keselamatan lalu lintas dan lamban atau kurang
tepatnya penanganganan korban akibat kecelakaan lalu lintas. 1
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab terbanyak terjadinya cedera di
seluruh dunia. Cedera akibat kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama
kematian dan disabilitas (ketidakmampuan) secara umum terutama di negara
berkembang. 1
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di
bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Data WHO tahun 2011
menyebutkan, sebanyak 67 persen korban kecelakaan lalu lintas berada pada
usia produktif , yakni 22 50 tahun. Terdapat sekitar 400.000 korban di bawah
usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya, dengan rata-rata angka kematian
1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya. Bahkan, kecelakaan lalu lintas
menjadi penyebab utama kematian anak-anak di dunia, dengan rentang usia 1024 tahun. 2.
Sebagaimana diketahui, masyarakat modern menempatkan transportasi
sebagai kebutuhan turunan, akibat aktivitas ekonomi, sosial dan sebagainya..
Oleh karena itu, kecelakaan dalam dunia transportasi memiliki dampak
signifikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. 2

2. Prevalensi Kecelakaan Lalu Lintas


Di Indonesia, jumlah kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya
dan kelalaian manusia, menjadi faktor utama terjadinya peningkatan kecelakaan
lalu lintas. Data Kepolisian RI menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus
kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan
potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per
tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan Domestik Bruto/PDB Indonesia).
Sedangkan pada 2011, terjadi kecelakaan sebanyak 109.776 kasus, dengan
korban meninggal sebanyak 31.185 orang. 2
Secara umum kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti kelalaian manusia, kondisi jalan, kelaikan kendaraan dan belum
optimalnya penegakan hukum lalu lintas. Berdasarkan Outlook 2013
Transportasi Indonesia, terdapat empat faktor penyebab kecelakaan, yakni
kondisi sarana dan prasarana transportasi, faktor manusia dan alam. Namun
demikian, di antara keempat faktor tersebut, kelalaian manusia menjadi faktor
utama penyebab tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu,
diperlukan kesadaran berlalu lintas yang baik bagi masyarakat, terutama
kalangan usia produktif. 2
Jumlah Kecelakaan, Koban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan
Kerugian Materi yang Diderita Tahun 1992-2012

Tahun

Jumlah
Kecelakaan

Korban
Mati

Luka Berat

Luka
Ringan

Kerugian
Materi
(Juta Rp)

1992

19920

9819

13363

14846

15077

1993

17323

10038

11453

13037

14714

1994

17469

11004

11055

12215

16544

1995

16510

10990

9952

11873

17745

1996

15291

10869

8968

10374

18411

1997

17101

12308

9913

12699

20848

1998

14858

11694

8878

10609

26941

1999*)

12675

9917

7329

9385

32755

2000

12649

9536

7100

9518

36281

2001

12791

9522

6656

9181

37617

2002

12267

8762

6012

8929

41030

2003

13399

9856

6142

8694

45778

2004

17732

11204

8983

12084

53044

2005

91623

16115

35891

51317

51556

2006

87020

15762

33282

52310

81848

2007

49553

16955

20181

46827

103289

2008

59164

20188

23440

55731

131207

2009

62960

19979

23469

62936

136285

2010

66488

19873

26196

63809

158259

2011

108696

31195

35285

108945

217435

2012

117949

29544

39704

128312

298627

Sumber : Kantor Kepolisiian Republik Indonesia


*)

3.

sejak 1999 tidak termasuk Timor-Timur

Definisi Kecelakaan Lalu lintas


Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian-kejadian yang tidak
terduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda, luka
atau kematian. Kecelakaan lalu lintas dibagi atas A motor-vehicle traffic
accident dan Non motor-vehicle traffic accident. 3
A motor-vehicle traffic accident adalah setiap kecelakaan kendaraan
bermotor di jalan raya. Non motor-vehicle traffic accident, adalah setiap
kecelakaan yang terjadi di jalan raya, yang melibatkan pemakai jalan untuk
transportasi atau untuk mengadakan perjalanan, dengan kendaraan yang bukan
kendaraan bermotor. 3
Berdasarkan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan Tahun 1993 Bab XI : 3

Pasal 93 Ayat (1), kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di


jalan yang tidak di sangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan

kendaraan dengan atau pemakai jalan lainnya, mengakibatkan

korban manusia atau kerugian harta benda.


Pasal 93 ayat (2), korban kecelakaan lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa korban mati, koban luka

berat dan korban luka ringan.


Suatu peristiwa dikatakan sebagai kecelakaan lalu lintas, bila:3
1. terdapat kerusakan pada benda

derajat 1

2. terdapat luka : non- visible

derajat 2

3. terdapat luka : minor-visible

derajat 3

4. terdapat luka : serious visible

derajat 4

5. terdapat korban tewas

derajat 5

1.2 Faktor yang Mempengaruhi


Faktor yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan lalu lintas, antara lain: 4
Faktor manusia
Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan.
Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran ramburambu lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar,
ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat
ketentuan yang diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu, kelelahan fisik
bahkan penggunaan alkohol ataupun obat-obat terlarang.

Faktor kendaraan

Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak
berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan
bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai
penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan
technologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan.
Data resmi yang dikeluarkan Dishub Kota Depok mencatat, saat ini jumlah
angkot yang beroperasi melayani penumpang di 40 trayek atau rute yang ada
berjumlah 7.504 unit kendaraan. Dari jumlah itu sebanyak 3.752 unit atau 50
persennya tidak layak beroperasi. Keberadaan angkot tak layak jalan itu pun
kerep menimbulkan persoalan. Seperti, terjadinya kebakaran akibat konsleting
listrik. Dan mogok ditengah jalan sehingga menggangu arus lalu lintas.
Faktor jalan
Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar
pengaman didaerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang
dan

kondisi

permukaan

jalan.

Jalan

yang

rusak/berlobang

sangat

membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor.


Faktor lingkungan
Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak
pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga
terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau
lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan
kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama didaerah pegunungan.

2. MEKANISME TERJADINYA KECELAKAAN

Lokasi perlukaan adalah lokasi dimana terjadinya luka akibat kecelakaan


lalu lintas yang meliputi daerah kepala, ekstremitas atas, ekstremitas bawah, tubuh
bagian depan, dan tubuh bagian belakang. 4
Fakta fisika dasar dapat menjelaskan pola perlukaan yang kompleks karena
kecelakaan lalu lintas. Trauma jaringan disebabkan karena adanya perbedaan dari
pergerakan. Pada kecepatan yang konstan, dengan kecepatan yang berbeda, tidak
akan menimbulkaan efek apapun seperti pada perjalanan luar angkasa atau rotasi
bumi. Adanya perbedaan perpindahan gerak, dapat menyebabkan peristiwa
traumatis yaitu, akselerasi dan deselerasi. 4
Perbedaan ini diukur dengan gaya gravitasi atau umum disebut G force.
Jumlah dimana tubuh manusia dapat mentoleransi sangat bergantung pada arah
datangnya gaya tersebut. Deselerasi dengan kekuatan 300G bisa tidak
menimbulkan cedera dan dalam jangka waktu yang pendek gaya 2000G pun masih
bisa tidak menimbulkan cedera, bila datangnya gaya tepat pada sudut yang tepat
pada sumbu panjang tubuh. Tulang frontal dapat menahan gaya 800G tanpa fraktur
dan mandibula 400G, demikian juga dengan rongga thoraks.4
Selama akselerasi maupun deselerasi jumlah trauma jaringan yang
dihasilkan tergantung dari gaya yang bekerja per unit area, perumpamaan seperti
pisau yang tajam akan menembus lebih mudah daripada yang tumpul dengan gaya
yang sama. Jika sebuah pengendara mobil diberhentikan tiba-tiba dari kecepatan
80 km/jam dan 10 cm2 luas dari kepala membentur kaca depan kerusakan akan
lebih parah dibandingkan dengan gaya yang sama dan tersebar 500 cm2 sepanjang
sabuk pengaman.4
Pada benturan dari arah frontal, tidak mungkin kendaraan langsung berhenti
sempurna, walaupun menabrak struktur yang sangat besar dan tidak bergerak.
Kendaraan itu akan berubah bentuk dan mengurangi gaya deselerasi dan
mengurangi G force yang akan diterima dari penumpang kendaraan. Nilai dari G
forces dapat dihitung dengan rumus G = C ( V2 )/D, dimana V = kecepatan

(km/jam), D jarak stop dimulai dari waktu benturan (m), dan C adalah konstanta
0.034.4
Kecelakaan kendaraan bermotor dapat dibagi menjadi empat kategori
tergantung dari arah terjadinya benturan pada kendaraan, antara lain :
1. Arah depan
Ini adalah paling umum, yang kejadiannya kira-kira mencapai 80% dari
semua kecelakaan lalu lintas. Tabrakan dari arah depan terjadi bila dua
kendaraan/orang bertabrakan yang mana keduanya arah kepala, atau bagian
depan dari kendaraan menabrak benda yang tidak bergerak, seperti tembok,
ataupun tiang listrik. Sebagai akibat dari energi gerak, penumpang dari
kendaraan bermotor akan terus melaju (bila tidak memakai sabuk pengaman
pada pengguna mobil). Pola dan lokasi luka akan tergantung dari posisi saat
kecelakaan. 5,6
2. Arah samping (lateral)
Biasanya terjadi di persimpangan ketika kendaraan lain menabrak dari arah
samping, ataupun mobil yang terpelintir dan sisinya menghantam benda
tidak bergerak. Dapat terlihat perlukaan yang sama dengan tabrakan dari
arah depan, bila benturan terjadi pada sisi kiri dari kendaraan, pengemudi
akan cenderung mengalami perlukaan pada sisi kiri, dan penumpang depan
akan mengalami perlukaan yang lebih sedikit karena pengemudi bersifat
sebagai bantalan. Bila benturan terjadi pada sisi kanan, maka yang terjadi
adalah sebaliknya, demikian juga bila tidak ada penumpang. 5,6
3. Terguling
Keadaan ini lebih mematikan (lethal) dibandingkan tabrakan dari samping,
terutama bila tidak dipakainya pelindung kepala (helm), terguling di jalan,
sabuk pengaman dan penumpang terlempar keluar mobil. Beberapa
perlukaan dapat terbentuk pada saat korban mendarat pada permukaan yang
keras, pada beberapa kasus, korban yang terlempar bisa ditemukan hancur

atau terperangkap di bawah kendaraan. Pada kasus seperti ini penyebab


kematian mungkin adalah traumatic asphyxia. 5,6
4. Arah belakang
Pada benturan dari arah belakang, benturan dikurangi atau terserap oleh
bagian bagasi dan kompartemen penumpang belakang (pada pengguna
mobil), yang dengan demikian memproteksi penumpang bagian depan dari
perlukaan yang parah dan mengancam jiwa.
3. POLA KELAINAN KECELAKAAN
3.1. Pola kelainan pada pejalan kaki. 3,5
Pada pejalan kaki terdapat kelainan yang menurut mekanisme terjadinya
dibagi dalam:
1. Luka karena impak primer, yaitu benturan yang pertama terjadi antara
korban dengan kendaraan
2. Luka karena impak sekunder, yaitu benturan korban yang kedua kalinya
dengan kedua kalinya dengan kendaraan (misal : impak primer adalah
tungkai, korban terdorong sehingga jatuh ke belakang terkena pada bagian
kaca mobil, ini yang disebut impak sekunder),
3. Luka yang sekunder, yaitu luka yang terjadi setelah korban jatuh ke atas
jalan.
Luka pada tungkai merupakan kelainan yang terpenting didalam menentukan
bagaimana dari kendaraan yang membentur korban. Korban dewasa umumnya
ditabrak dari arah belakang atau samping, luka yang khas biasanya terdapat pada
tungkai bawah, pada satu tungkai atau keduanya. Jika korban berdiri pada
tungkainya sewaktu tabrakan terjadi, luka yang hebat dapat dilihat pada tungkai,
dimana sering terjadi fraktur tersebut dapat terdorong keluar menembus otot.
Pada waktu yang bersamaan

dengan terjadinya impak primer pada tungkai

bawah (bumper injuries; bumper fractures), bagian bokong atau punggung akan
terkena dengan radiator atau kap mobil, lampu atau kaca depan (impak sekunder)
sebagai kelanjutannya korban dapat jatuh dari kendaraan ke jalan, dan ini
menimbulkan luka (luka sekunder). 3,5

Foto 1:fraktur pada tibia fibula akibat terkena bumper mobil

Korban yang tergeletak di jalan dapat terlindas oleh roda kendaraan, yang
dapat menimbulkan luka yang sesuai dengan bentuk kembang dari ban tersebut
(jejas ban; tyre marks). Luka memar jejas ban yang ditimbulkan oleh penekanan
permukaaan ban pada kulit yang menyebabkan terjadinya perdarahan bawah kulit
yang kemudian berpindah ke tempat yang kurang tertekan, yakni pada daerah
cekungan pada muka ban, berupa perdarahan di tepi. Jejas ban atau tyre marks
berguna dalam penyidikan kasus tabrak lari; yang akan diperkuat lagi bila
terdapat kecocokan golongan darah yang terdapat pada kendaraan dengan
golongan darah korban.3,6

Foto 2: tire marks pada lengan dan dada akibat terrlindas truk
Bila kendaraan yang menabrak tadi termasuk kendaraan berat, seperti truk
atau bis, kelainan pada korban dapat sangat hebat, tubuh seluruhnya dapat hancur
atau sukar dikendali; keadaan ini dikenal sebagai crush injuriesatau
compression injuries.3,5

Foto 3:mobil yang hancur akibat tabrakan hebat

Jika bagian bawah dari kendaraan sangat rendah, tubuh korban dapat terseret
dan terputar , sehingga terjadi pengelupasan kulit dan otot yang hebat keadaan ini
dikenal sebagai rolling injuries. Luka lecet serut dapat ditemukan, dimana pada
awal luka lecet, tampak batas yang lebih tegas sedangkan pada akhir luka lecet,
batas tidak tegas dan terdapat penumpukan kulit ari yang tergeser.3,7,8

Foto 4: lapisan otot yang terlepas (rolling injury

Pada daerah dimana terdapat lipatan kulit seperti daerah lipat paha, jika daerah
tersebut terlindungi, kulit akan teregang sehingga menimbulkan kelainan yang
disebut striae like tears, dimana sebenarnya daerah yang terlindas bukan di
lipatan kulit tersebut, tetapi di daerah yang berdekatan.3,7

Foto 5:striae like tears


3.2. Pola kelainan pada pengendara sepeda
Luka-luka pada pengendara sepeda hamper sama dengan pejalan kaki, tetapi
luka-luka sekundernya biasanya lebih parah. Letak benturan pada tubuh biasanya
rendah.7

Foto 6: sepeda yang hancur akibat tabrakan dengan mobil

3.3. Pola kelainan pada pengemudi mobil


Bila pada kecelakaan yang terjadi kendaraan berhenti secara mendadak, akan
didapatkan kelainan yang agak khas; yaitu: 3,7
1. Pada daerah kepala, yang berbenturan dengan kaca akan didapatkan luka
terbuka kecil-kecil dengan tepi tajam sebagai akibat persentuhan dengan
kaca yang pecah; bila benturannya hebat sekali dapat terlihat luka lecet
tekan, memar atau kompresi fraktur. 3,7
Cedera leher (whiplash injury) dapat terjadi pada penumpang kendaraan
yang ditabrak dari belakang. Penumpang akan mengalami percepatan
mendadak sehingga terjadi hiperekstensi kepala yang disusul dengan
hiperfleksi. Cedera terjadi terutama pada ruas tulang leher ke empat dan lima
yang membahayakan sumsum tulang belakang. Kerusakan pada medulla
oblongata dapat berakibat fatal. Timbulnya cedera leher ini juga dipengaruhi
oleh bentuk sandaran tempat duduk dan kelengahan korban.6,7

Foto 7: abrasi di kepala akibat cedera kepala

2. Pada daerah dada, jika tidak menggunakan sabuk pengaman akan dijumpai
jejas stir, yang bila benturannya hebat dapat menyebabkan kerusakan pada
bagian dalam yaitu fraktur dada dan iga serta pecahnya jantung.3,5

Foto 8: setir mobil yang tercetak di dada


3. Pemakaian sabuk pengaman dapat pula menyebabkan luka bagi si pengemudi,
khususnya bila terjadi tabrakan dengan kecepatan tinggi. Kerusakan tersebut
terutama alat-alat dalam rongga perut, hati dapat hancur. Kelainan yang
disebabkan oleh sabuk pengaman (seatbelt injuries) dapat dikenali sebagai
suatu luka lecet tekan yang bentuknya sesuai dengan sabuk tersebut atau
dalam bentuk apa yang disebut perdarahan tepi (marginal hemorrhages), yaitu
perdarahan yang terdapat tepat di luar dan berbatasan dengan tubuh yang
terkena sabuk pengaman tersebut.

Foto 9: abrasi yang diakibatkan oleh pemakaian seat belt


4. Pengemudi biasanya mengalami luka pada pergelangan tanyan karena
menahan kemudi, sedangkan tulang femur dan pelvis mungkin patah akibat
menginjak pedal dengan kuat. 7

Foto 10: fraktur pada pergelangan kaki pengemudi mobil

3.3. Pola kelainan pada penumpang mobil


Penumpang mobil yang duduk di depan dapat mengalami kelainan terutama di
kepala dan bila memakai sabuk pengaman akan ditemukan kelainan seperti
pengendara mobil. Pada penumpang mobil yang duduk di belakang dapat
mengalami kelainan terutama di daerah perut, panggul atau tungkai. 7

Foto 11: Abrasi pada kepala penumpang mobil


3.4 Pola kelainan pada pengemudi sepeda motor
Luka karena impak primer pada tungkai, luka karena impak sekunder pada
bagian tubuh lain sebagai akibat benturan tubuh dengan bagian lain dari
kendaraan lawan;

luka yang yang terjadi sekunder sebagai akibat benturan

korban dengan jalan. Laying the bike down merupakan usaha yang dilakukan
untuk menghindari terjepit antara kendaraan dan objek yang akan ditabraknya,
pengendara mungkin akan menjatuhkan kendaraanya ke samping, membiarkan

kendaraan bergeser dan ia sendiri bergeser dibelakangnya. Bila jatuh dengan cara
ini akan dapat terjadi trauma jaringan lunak yang parah. 3,7
Luka yang terjadi sekunder, seringkali merupakan penyebab kematian pada
korban karena yang mengalami kerusakan adalah kepalanya. Fraktur pada
tengkorak sebagai akibat luka sekunder tersebut dapat mudah diketahui, yaitu
dari sifat garis patahnya, dimana terdapat garis patas linier (fraktur linier),
sedangkan pada keadaan lain, misalnya kepala dipukul dengan palu yang berat,
frakturnya adalah fraktur kompresi. Dengan demikian terdapat perbedaan
kelainan fraktur tengkorak yaitu bila korban (kepala), bergerak mendekati benda
tumpul (jalan), dengan bila kepala diam akan tetapi benda tumpulnya yang dating
mendekati kepala. Pemakaian helm dimaksudkan untuk meredam benturan pada
kepala. Perlu diketahui bahwa bagi pembonceng kendaraan sepeda motor tidak
ditemukan kelainan yang khusus.3,7
4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari penyebab terjadinya
kecelakaan lalu lintas. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu
penyidikan antara lain: 3,7
1.

Pemeriksaan toksikologik ditujukan untuk mencari data apakah pada korban


terdapat obat atau alcohol yang dapat menimbulan gangguan kapabilitas di
dalam mengemudikan kendaraannya.3,7
a. Alkohol
Pada orang hidup, bau alkohol yang keluiar dari udara pernapasan
merupakan petunjuk awal dan harus di buktikan dengan pemeriksaan kadar
alkohol darah, baik melalui permeriksaan udara pernapasan atauurin, maupun
langsung dari darah vena.

Bau alcohol bukan merupakan diagnosis pasti keracunan. Diagnosis pasti


hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kuantitatif kadar alcohol darah.
Kadar alcohol dari udara ekspirasi dan urin dapat dipakai sebagai pilihan
kedua. Untuk korban meninggal, sebagai pilihan kedua dapat diperiksa kadar
alcohol dalam otak, hati atau organ lain atau cairan tubuh lain seperti cairan
serebrospinalis.
Penentuan kadar alcohol dalam lambung saja tanpa menentukan kadar
alcohol dalam darah hanya menunjukkan bahwa orang tersebut telah minum
alcohol.
Salah satu cara penentuan semikuantitatif kadar alkohol dalam darah atau
urin yang cukupsederhanaadalah tekhnik modifikasi mikrodifusi (Conway),
sebagai berikut :
Letakkan 2 ml reagen Antie kedalam ruang tengah. Reagen Antie dibuat
dengan melarutkan 3,70 gm Kalium Dikromat kedalam 150 ml air. Kemudian
di tambahkan 280 ml asam sulfat dan terus diaduk. Encerkan dengan 500 ml
akuades. Sebarkan 1 ml darah atau urin yang akandiperiksa dalamruang
sebelah luar dan masukkan 1 ml Kalium Karbonat jenuh dalam ruang sebelah
luar padasisi berlawanan. Tutup sel mikrodiusi, goyangkan dengan hati-hati
supaya darah/ urin bercampur dengan larutan kalium karbonat. Biarkan
terjadi difusi selama 1 jam pada temperatur ruang. Kemudian angkat tutup
dan amati perubahan warna pada reagen Antie.
Warna kuning kenari menunjukkan hasil negatif. Perubahan warna kuning
kehijauan menunjukkan kadar etanol sekitar 80 mg% sedangkan warna hijau
kekuningan sekitar 300 mg%.
Kadar alcohol darah yang diperoleh pada pemerikasaan belum
menunjukkan kadar alcohol darah pada saat kejadian. Hal ini akibat dari

pengambilan darah dilakukan beberapa saat setelah kejadian, sehingga


perhitungan kadar alcohol darah saat kejadian harus dilakukana. Meskipum
kecepatan eliminasi kira-kira 14-15mg%, namun dalam perhitungan harus
juga dipertimbangkan kemungkinan kesalahan pengukuran dan kesalahan
perkiraan kecepatan eliminasi. Gruner (1975) menganjurkan angka 10mg%
per jam digunakan dalam perhitungan. Sebagai contoh, bila ditemukan kadar
alcohol darah 50 mg% yang diperiksa 3 jam setelah kejadian, akan
memberikan angka 80mg% pada saat kejadian
b. Narkotika
Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin (jika tidak ada dapat
diambil dari ginjal), cairan empedu dan jaringan sekitar suntikan. Isi
lambung diambil jika ia menggunakan narkotika per-oral, demikian pula
hapusan mukosa hidung pada cara sniffting. Semprit bekas pakai dari sisa
obat yang ditemukan harus pula dikirim ke laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya narkotika minimal
adalahh Kromatografi lapis tipis (TLC). Cara pemeriksaan lain adalah
menggunakan teknik GLC (Kromatografi gas) dan RIA (Radio immuneassay).
Pada pemakaian cara oral, morfin akan cepat dikonjugasi oleh asam
glukoronat dalam sel mukosa usus dan hati sehingga bahan sebaiknya
dihidrolisis terlebih dahulu.
Untuk mendeteksi seseorang apakah ia pecandu atau bukan, dapat
diketahui melalui:
Uji

Nalorfin:

pemberian

nalorfinpada

pecandu

morfin

akan

memperlihatkan midriasis dan gejala putus obat lainnya. Tetapi bila


midriasis tidak terjadi, maka belum tentu ia bukan pecandu. Caranya: ukur

diameter pupil dengan pupilometer dan lakukan pemeriksaan ini di dalam


ruang khusus yang tidak dipengaruhi cahaya. Pemeriksaan dilakukan lagi 30
menit setelah diberikan 3 mg nalorfin subkutan.
Analisa urin dapat dikerjakan tersendiri atau bersama-sama dengan uji
nalorfin bila masih meragukan hasil uji nalorfin. Analisa urin ini sekurang
kurangnya dikerjakan dengan Kromatografi Lapis tipis (TLC).
Terhadap barang-barang bukti seperti bubuk yang diduga mengandung
morfin, heroin atau narkotika lainnya, dapat dilakukan berbagai pengujian.
Pengujian tersebut hanay dapat dilakukan terhadap benda bukti yang masih
berupa preparat murni atau pada tempat suntikan bila ternyata di tempat
tersebut masih terkumpul narkotika yang belum diserap dan tidak dapat
dilakukan terhadap bahan biologis seperti urin, darah, cairan empedu dan
lain lain.
Uji Marquis: kepekaan uji ini adalah sebesar 1-0,025 mikrogram. Reagen
dapat dibuat dari 3 ml asam sulfat pekat ditambah 2 tetes formaldehida 40
%. Pada umumnya semua narkotika akan memberikan reaksi warna ungu.
(Morfin,heroin, codein + marquis menjadi ungu, Pethidine + marquis
menjadi jingga).
Untuk heroin, dapat dilakukan pengujian yang lebih khas: 10 tetes
campuran asam nitrat pekat dan 85% asam fosfor yang memiliki
perbandingan 12-38 diletakkan dalam tabung centrifuge ukuran 5 ml,
kemudian ditambahkan 3,25 ml kloroform dan diputar selama 30 detik.
Perhatikan lapisan warna di dasar tabung yang timbul setelah 10 menit: hijau
muda: negate. Kuning muda:10 ug, kuning coklat: 1 mg, merah coklat gelap;
10 mg.

2.

Pemeriksaan histopatologis (mikroskopik), bertujuan untuk mengetahui


apakah pada korban terdapat penyakit yang kambuh sehingga memungkinkan
terjadinya kecelakaan, selain kemungkinan bahwa penyakit itu yang
menyebabkan kematian bukan kecelakaannya.3,7

DAFTAR PUSTAKA
1. Riyadina Woro. 2009. Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. Volum:
59.2009
2. http://www.bps.go.id/
3. Idries, dr. Abdul Mun'im. 1997. Kecelakaan Transportasi. Pedoman Ilmu
Kedokteran Forensik. s.l. : Binarupa Aksara, 1997
4. Dikshit, P.C. RoadTraffic Accidents. Textbook of Forensik Medicine and
Toxicology. New Delhi : PEEPEE, pp. 189-198.
5. DiMaio, V. Death Caused by Motor Vehicle Accidents. Forensic Pathology.
London. : CRC. 2001
6. Ramsay, David A. 2007. Blunt Trauma. Forensic Pathology of Trauma.
Totowa : Human Press, 2007.
7. Budianto, Arif, Widiatmaka, Wibisana and Sudiono, Siswandi. 1997.
Traumatologi Forensik. Arif Budianto. Ilmu Kedokteran Forensik FKUI. s.l. :
Bagian Kedokteran Forensik FKUI, 1997.
8. Wolf, Dwayne A. 2005. Motor Vehicle Collisions. [book auth.] David
Dolinak. Forensic Pathology Principles and Practice. USA : Elsevier, 2005.

Anda mungkin juga menyukai