KERATITIS
Oleh
Wahyu Aditia Husada Putera
I1A010046
Pembimbing
dr. M Ali Faisal, M.Sc, Sp.M
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui
cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Karena itu kornea
harus tetap jernih dan permukaannya rata agar tidak menghalangi proses
pembiasan sinar. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan kejernihan kornea
dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila letaknya
di sentral (daerah pupil), bila kelainan ini tidak diobati maka dapat terjadi
kebutaan (1,2)
Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis.
Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut
maupun kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri,
jamur, virus atau karena alergi. keratitis dapat dibagi menjadi beberapa
golongan berdasarkan kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan
bentuk klinisnya (3).
Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi
menjadi keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis
interstitial. Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis
bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian
berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis
flikten, keratitis nurmularis dan keratitis neuroparalitik (3).
Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa
silau, dan merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung
dari jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masingmasing keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat
kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar
maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak
kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan
bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis
haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan
di masa yang akan datang terutama pada pasien yang masih muda (1,2,3).
1.2 Tujuan
Tujuan referat ini adalah untuk mengetahui bagaimana diagnosis
keratitis
yang
disertai
definisi,
epidemiologi,
etiologi,
patofisiologi,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea
Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat
transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1
mm. Indeks bias kornea 1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea
yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform,
avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah
dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada
cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan
hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema
lokal sesaat karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel (2,3,4).
Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari
pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea
dipersarafi oleh banyak serat saraf sensorik yang didapat dari percabangan
pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan supra koroid, masuk
kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan selubung
schwannya. (2,3,4).
Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah
depan dan terdiri atas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel
(yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran
bowman, stroma, membran descemet dan lapisan endotel (2,3,4).
2.2 Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan
menurun. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superficial yaitu pada lapisan
epitel atau membran bowman dan lapisan profunda jika sudah mengenai lapisan
stroma (2).
2.3 Epidemiologi
Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena
keratitis bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih
sedikit pada negara-negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki
jumlah pengguna lensa kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan
lokasi geografis dan berkisar dari 2% dari kasus keratitis di New York untuk 35%
di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum infeksi jamur
kornea di Amerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur),
sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara-negara utara.
secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak (5,6).
2.4 Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya (1,2,3):
1.
2.
3.
4.
Virus
Bakteri
Jamur
Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan
Mata yang kaya akan pembuluh darah dapat dipandang sebagai pertahanan
imunologik yang alamiah. Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah
mengalami dilatasi, kemudian terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang
meningkat dan masuk ke dalam ruang ekstraseluler. Elemen-elemen darah
makrofag, leukosit polimorf nuklear, limfosit, protein C-reaktif imunoglobulin
pada permukaan jaringan yang utuh membentuk garis pertahanan yang pertama.
Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea dimodifikasi oleh
pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini dapat berubah, kalau di kornea
terjadi vaskularisasi. Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan
nekrosis yang dapat dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme.
Secara normal kornea yang avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila
terjadi vaskularisasi terjadi juga pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel (4).
Reaksi imunologik di kornea dan konjungtiva kadang-kadang disertai
dengan kegiatan imunologik dalam nodus limfe yang masuk limbus (kornea
perifer) dan sklera yang letaknya berdekatan dapat ikut terkait dalam sindrom
iskhemik kornea perifer, suatu kelainan yang jarang terjadi, tetapi merupakan
kelainan yang serius. Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, Antigen cenderung
ditahan oleh komponen polisakarida di membrana basalis. Dengan demikian
antigen dilepas dari kornea yang avaskuler, dan dalam waktu lama akan
menghasilkan akumulasi sel-sel yang memiliki kompetensi imunologik di limbus.
Sel-sel ini bergerak ke arah sumber antigen di kornea dan dapat menimbulkan
reaksi imun di tepi kornea. Sindrom iskhemik dapat dimulai oleh berbagai stimuli.
Bahwa pada proses imunologik secara histologik terdapat sel plasma, terutama di
konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus. Penemuan sel plasma merupakan
petunjuk adanya proses imunologik. Pada keratitis herpetika yang khronik dan
disertai dengan neo-vaskularisasi akan timbul limfosit yang sensitif terhadap
jaringan kornea (4).
2.6 Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan
lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi (2,3):
Keratitis Bakteri
Keratitis Jamur
Keratitis Virus
Keratitis Herpetik
a. Keratitis Infeksi Herpes Zoster
b. Keratitis Infeksi Herpes Simplek :
Keratitis Dendritik dan Keratitis Disiformis
5. Keratitis Alergi
a. Keratokonjungtivitis
b. Keratokonjungtivitis epidemi
c. Tukak atau ulkus fliktenular
d. Keratitis fasikularis
e. Keratokonjungtivitis vernal
Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi:
1.
2.
3.
4.
Keratitis Flikten
Keratitis Sika
Keratitis Neuroparalitik
Keratitis Numuralis
10
2. Etiologi
11
3. Manifestasi Klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata
yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi
kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis
perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea
dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian
ditanam di media cokelat, darah dan agar Sabouraud, kemudian
dilakukan pengecatan dengan Gram.
Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif dan tidak ada
perbaikan secara klinis dengan menggunakan blade kornea bila
ditemukan infiltrat dalam di stroma.
12
5. Terapi
Dapat diberikan inisial antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil
kultur bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat
diberikan:
Tabel 2. Terapi inisial untuk keratitis bakteri (1)
2. Patologi
Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella
kornea.Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas
dengan edema serat kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi yang
menyertai kurang terlihat daripada keratitis bakterialis. Abses cincin steril
mungkin ada yang terpisah pusat ulkus. Mikroabses yang multipel dapat
mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke membran descemet
yang intak dan menyebar ke kamera okuli anterior (1,2,3).
3. Manifestasi Klinis
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena
infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan
antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada
lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik dengan formasi cincin
imun, hipopion, dan uveitis yang berat (1,2,3).
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat
menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan
bagian kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit
yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan
mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus.
Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara
antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan
sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan
kamera okuli anterior dapat cukup parah. Untuk menegakkan diagnosis
klinik dapat dipakai pedoman berikut (1,2,3):
Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama
Lesi satelit
Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
14
5. Terapi
Obat-obat anti jamur yang dapat diberikan meliputi:
Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole,
Miconazole,
flukonazol,
itraconazole,
econazole,
dan
clotrimazole.`
C. Keratitis Virus
1. Etiologi
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering
pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host,
merupakan parasit intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa,
rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi
melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut,
alat kelamin yang mengandung virus (2,4).
2. Patofisiologi
Patofisiologi keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk (2,4):
15
superfisial.
Pada stromal : terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang
menyerang yaitu reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke
dalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk
D. Keratitis Alergi
1. Etiologi
Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, biasanya
penderita sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumputrumputan (2,3,4).
2. Manifestasi Klinis (2,3,4).
Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi
sekret mukoid.
Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
Gatal
Fotofobia
17
19
2.8. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai
hilangnya penglihatan (kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya
(2,3):
Gangguan refraksi
Jaringan parut permanent
Ulkus kornea
Perforasi kornea
Glaukoma sekunder
2.9. Prognosis
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika
tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks
dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya (2).
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari (2):
Virulensi organisme
Luas dan lokasi keratitis
Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21
22