Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1.
Flora normal biasanya hidup secara komensalisme dengan host. Apabila keadaan
memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal ataupun asing, maka dapat terjadi
perubahan hubungan menjadi parasitisme. Lingkungan biokimia jaringan setempat akan
menentukan kerentanan dan ketahanan hospes terhadap mikrorganisme.
Serangan mikroorganisme diawali dengan terjadinya luka langsung, sehingga memungkinkan
mikroorganisme melakukan invasi, mengeluarkan eksotoxin, endotoxin dengan cara autolisis
(pada dinding sel bakteri gram negatif). Sedangkan host dapat menunjukkan reaksi alergi
terhadap produk-produk mikrobial atau kadang-kadang menimbulkan gangguan langsung
terhadap fungsi metabolisme sel oleh sel-sel hospes.
1.1.2
Pertahanan sel
Respon lokal dari host adalah terjadinya peradangan. Proses ini diawali dengan dilatasi kapiler,
terkumpulnya cairan edema, penyumbatan limfatik oleh fibrin. Didukung oleh kemotaksis maka
akan terjadi fagositosis. Daerah tersebut menjadi sangat asam dan protease selular cenderung
menginduksi terjadinya lisis terhadap leukosit. Akhirnya makrofag mononuklear timbul,
memangsa debris leukositik, membuka jalan untuk pemulihan terhadap proses infeksi dan
penyembuhan.
1.1.3
Pertahanan humoral
Respon sistemik host adalah pertahanan humoral, yaitu reaksi antigen-antibodi. Antibodi
menetralkan toksin bakteri, mencegah perlekatan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen
berperan dalam pengenalan host terhadap bakteri dan memicu proses fagositosis.
1.1.4
Akibat perubahan jaringan yang disebabkan karena aktivitas bakteri dan pertahanan lokal dari
host serta mekanisme serupa yang bekerja secara sistemik), menimbulkan gambaran klinis
infeksi. Rasa sakit tekan, eritema dan edema mudah dikenali sebagai manifestasi suatu
peradangan. Kadang-kadang bakteri yang memproduksi gas bisa memicu dan mendukung
terjadinya respon pembengkakan. Pernanahan adalah akibat langsung dari mekanisme lokal
pertahanan virulensi bakteri.
1.1.5
Manifestasi sistemik yang utama dari infeksi adalah demam ( temperatur mulut di atas 37,5 oC
dianggap febril). Keadaan tersebut mungkin disebabkan oleh endotoksin bakteri, ekstrak
leukosit, hipermetabolisme, defisiensi cairan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Bakteremia
bisa mengakibatkan demam, malaise, hipotensi, takikardia, takhipnea. Sistem hematopoetik
merespon dengan terjadinya leukositosis (sel darah putih di atas 10.000/mm3) dan
meningkatkan neutrofil polimorfonuklear. Perubahan yang lain adalah meningkatnya laju endap
darah (ESR) yang normalnya adalah 0-20 mm/jam menjadi 30-70 mm/jam pada keadaan
infeksi.
1.2 Jalur penyebaran infeksi dental
Infeksi odontogenik memiliki 2 sumber, yaitu :
1.
Periapical
Berawal dari nekrosis pulpa yang dilanjutkan dengan invasi bakteri ke jaringan periapikal
1.
Periodontal
Berawal dari poket periodontal yang dalam yang memudahkan bakteri masuk ke jaringan lunak.
Nekrosis pulpa karena karies yang dalam, akan memberikan jalan bagi bakteri untuk memasuki
jaringan periapical. Ketika jaringan ini telah diinokulasi oleh bakteri lalu terjadi infeksi aktif, maka
infeksi menyebar ke berbagai arah, terutama yang paling sedikit memiliki pertahanan. Infeksi
menyebar melalui tulang cancellous hingga lempeng cortical. Jika lempeng cortical tipis, infeksi
akan mengikis tulang dan memasuki jaringan lunak.
Lokasi infeksi yang spesifik tergantung pada 2 faktor utama, yaitu
1.
Gambar di bawah menunjukkan bagaimana infeksi yang mengalami perforasi melewati tulang
sampai jaringan lunak. Pada gambar A, tulang labial yang mendasari apex gigi lebih tipis
dibandingkan dengan tulang pada bagian palatal. Karena itu, proses infeksi menyebar ke dalam
jaringan lunak labial. Pada gambar B, tulang labial lebih tebal dan tulang palatal lebih tipis.
Dalam situasi ini, infeksi menyebar melalui tulang ke dalam jaringan lunak, sehingga disebut
abses palatal.
1.
Hubungan pada tempat perforasi dari tulang ke perlekatan otot pada maxila dan
mandibula.
Pada gambar A, infeksi mengikis melalui aspek labial dari gigi dan menginfeksi perlekatan dari
otot buccinators, sehingga menghasilkan infeksi yang tampak sebagai vestibular abscess. Pada
gambar B, infeksi mengikis melalui tulang superior ke perlekatan dari otot buccinator, dan akan
dinyatakan sebagai infeksi ruang buccal (buccal space).
Infeksi dari kebanyakan gigi pada maxilla melalui lempeng labiobuccocortical. Infeksi ini juga
melalui tulang dibawah perlekatan dari otot yang melekat ke maxilla, yang berarti kebanyakan
abses pada maxilla diawali oleh abses vestibular. Infeksi pada mandibula biasanya melalui
lempeng labiobuccocortical dan diatas tempat berkumpulnya otot-otot, sehingga menghasilkan
abses vestibular.
Infeksi odontogenic yang paling umum terjadi ialah abses vestibular. Kadang pasien mengobati
infeksi ini, dan proses tersebut akan menghasilkan pemecahan infeksi. Kadang-kadang
abscess ini membentuk sinus kronis ke kavitas oral. Selama sinus tersebut terus membesar,
pasien tidak akan merasa sakit. Antibiotik dapat menghentikan infeksi ini, tetapi ketika antibiotik
dihentikan, infeksi akan berulang.
1.3 Pengobatan infeksi odontogenik
1.3.1
Prinsip utama dari perawatan infeksi odontogenik adalah melakukan pembedahan drainase dan
menghilangkan penyebab dari infeksi. Tujuan utamanya adalah menghilangkan pulpa nekrotik
dan poket periodontal yang dalam. Tujuan yang kedua adalah menghilangkan pus dan nekrotik
debris.
Ketika pasien memiliki infeksi odontogenik yang biasanya terlihat abses vestibular yang kecil.
Dokter gigi memiliki 3 pilihan untuk perawatannya, diantaranya adalah perawatan endodontik,
extraksi, dan insisi drainase (I&D). Jika tidak dilakukan ekstraksi, bagian tersebut harus dibukan
dan pulpa harus dihilangkan, sehinga menghilangkan penyebab dari infeksi dan menghasilkan
drainase yang terbatas. Jika gigi tidak bisa diselamatkan, harus dilakukan ekstraksi secepatnya.
Ekstraksi memberikan baik menghilangkan penyebab dari infeksi dan drainase dari akumulasi
pus dna debris. Pada prosedur I&D, insisi dari cavitas abses memberikan drainase untuk
akumulasi pus dan bakteri dari jaringan dibawahnya. Drainase dari pus dapat mengurangi
tekanan terhadap jaringan, berarti menambah supply darah dan meningkatkan antibodi dari
host. Prosedur I&D termasuk insersi dari saluran untuk mencegah penutupan dari insisi
mucosa, yang akan mengakibatkan deformasi dari abses cavitas.Jika perawatan endodontik
dengan membuka gigi tidak bisa memberikan drainase yang adekuat, maka lebih baik memilih
perawatan I&D.
Sebelum melakukan prosedur I&D, perlu diperimbangkan untuk melakuakan tes culture dan
sensitivitas (C&S) pada spesimen pus. Ketika area lokasi telah di anestesi, jarum ukuran besar,
biasa ukuran 18, digunakan untuk pengumpulan specimen. Syringe kecil, biasanya 2 ml, sudah
cukup. Permukaan dari mukosa didisinfeksi dengan larutan seperti betadine lalu dikeringkan
dengan sterile gauze. Kemudian jarum di masukan ke dalam abses kavitas, dan 1 atau 2 ml
dari pus diaspirasikan. Syringe dipegang secara vertical, dan beberapa gelembung udara yang
terkandung dalam syringe disemprotkan.
Ujung dari jarum lalu ditutupi oleh rubber stopper dan diambil secara langsung untuk
laboratorium mikrobiologi. Metode ini digunakan untuk mendapatkan jenis bakterinya, seperti
yang dibicarakan sebelumnya bahwa bakteri anaerob hampir selalu hadir dalam infeksi
odontogenik.
Sesudah culture specimen didapatkan, insisi dibuat dengan blade no 11 melewati mucosa dan
submucosa ke dalam kavitas abses. Insisi sebaiknya pendek tidak lebih dari 1 cm. Sesudah
insersi selesai, curved hemostat yang pendek di masukan melewati insisi ke dalam abes
kavitas. Hemostat kemudian membuka ke berbagai arah untuk memisahkan beberapa lokulasi
kecil atau kavitas dari pus yang tidak terbuka oleh insisi awal. Pus dianjurkan agar mengalir
keluar selama proses dengan menggunakan suction, pus sebaiknya tidak dianjurkan mengalir
dalam mulut pasien.
Sesudah semua area dari abses cavitas dibuka, dan semua pus dibuang, saluran kecil
dimasukan untuk mempertahankan pembukaan. Umumnya saluran yang digunakan untuk
intraoral abses adalah saluran inch steril Penrose. Yang biasanya digunakan sebagai
pengganti adalah strip kecil sterilisasi dari rubber dam. Saluran tersebut dimasukan dengan
menggunakan hemostat. Saluran kemudian di jahitan ke dalam tempat dengan jahitan yang
nonresobrsi. Jahitan sebaiknya ditempatkan di daerah yang terlihat untuk mencegah hilangnya
saluran yang telah ada.
Saluran sebaiknya tetap dalam tempat sampai pembuangan dari abses cavitas berhenti,
biasanya 2-5 hari. Tahap awal infeksi yang terlihat awal-awal sebagai cellulitis dengan
pembengkakan yang soft, doughty, dan menyebar, sebenarnya bukan respon khas terhadap
prosedur I&D. Surgical management infeksi dari tipe ini terbatas untuk pembersihan nekrosis
dari pulpa atau pembersihan dari gigi yang terlibat.
Sangatlah kritikal untuk berpikir bahwa metode utama untuk penyembuhan infeksi odontogenik
adalah dengan melakukan surgery untuk membersihkan sumber dari infeksi dan membuang
pus dimana saja pus itu berada.
Jika surgeon bertanya apakah pus tersebut ada, test aspirasi sebaiknya dilakukan dengan
jarum ukuran 18.Tahapan yang perlu dipikirkan oleh surgeon adalah, pertama surgeon
sebaiknya memutuskan jika pasien memiliki abcess, apakah gigi sebaiknya di ekstrasi dan
abcess dibuang, atau pemisahan dengan I&D. Lalu pasien sebaiknya diberi antibiotic, jika
pasien tidak memiliki abcess tetapi memiliki cellulitis yang ringan, gigi sebaiknya diekstrasi dan
pasien diberikan antibiotic. Jika cellulitis berat, extraksi dan I&D sebaiknya dilakukan, antibiotic
juga diberikan.
1.3.2
Pemilihan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati. Sering terjadi salah pemahaman bahwa
semua infeksi harus diberikan antibiotik, padahal tidak semua infeksi perlu diberikan antibiotik.
Pada beberapa situasi, antibiotik mungkin tidak banyak berguna dan justru bisa menimbulkan
kontraindikasi. Untuk menentukannya, ada 3 faktor yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama
adalah keseriusan infeksi ketika pasien datan ke dokter gigi. Jika pasien datang dengan
pembengkakan yang ringan, progress infeksi yang cepat, atau difuse celulitis, antibiotik bisa
ditambahkan dalam perawatan. Faktor yang kedua adalah jika perawatan bedah bisa mencapai
kondisi adekuat. Pada banyak situasi ekstraksi bisa menyebabkan mempercepat penyembuhan
infeksi.Pada keadaan lain, pencabutan mungkin saja tidak bisa dilakuakan. Sehingga, terapi
antibiotik sangat perlu dilakukan untuk mengontrol infeksi sehingga gigi bisa dicabut.
Pertimbangan yang ketiga adalah keadaan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang muda dan
dengan kondisi sehat memiliki antibodi yang baik, sehingga penggunaan antibiotik bisa
digunakan lebih sedikit. Di sisi lain, pasien dengan penurunan pertahanan tubuh, seperti pasien
dengan penyakit metablik atau yang melakukan kemoterapi pada kanker, mungkin memerlukan
antibiotik yang cukup besar walaupun infeksinya kecil.
Indikasi penggunaan antibiotik :
1.
2.
Pembengkakan meluas
3.
4.
5.
Pericoronitis parah
6.
Osteomyelitis
Kontra indikasi penggunaan antibiotik :
1.
2.
3.
soket kering
4.
pericoronitis ringan
Pengobatan pilihan pada infeksi adalah penisilin. Penicillin ialah bakterisidal, berspektrum
sempit, meliputi streptococci dan oral anaerob, yang mana bertanggung jawab kira-kira untuk
90% infeksi odontogenic, memiliki toksisitas yang rendah, dan tidak mahal.
Untuk pasien yang alergi
penisilin,
bisa digunakan
Cephalosporin dan cefadroxil sangat berguna untuk infeksi yang lebih luas. Cefadroxil diberikan
dua kali sehari dan cephalexin diberikan empat kali sehari. Tetracycline, terutama doxycycline
adalah pilihan yang baik untuk infeksi yang ringan. Metronidazole dapat berguna ketika hanya
terdapat bakteri anaerob.
Pada umumnya antibiotik harus terus diminum hingga 2 atau 3 hari setelah infeksi hilang,
karena secara klinis biasanya seorang pasien yang telah dirawat dengan pengobatan antibiotik
maupun pembedahan akan mengalami perbaikan yang sangat dramatis dalam penampakan
gejala di hari ke-2, dan terlihat asimptomatik di hari ke-4. Maka dari itu, antibiotik harus tetap
diminum hingga 2 hari setelahnya (total sekitar 6 atau 7 hari).
Dalam situasi tertentu dimana tidak dilakukan pembedahan (contohnya endodontik atau
ekstraksi), maka resolusi dari infeksi akan lebih lama sehingga antibiotik harus tetap diminum
hingga 9 10 hari. Penambahan beberapa administrasi obat antibiotik juga dapat dilakukan
untuk infeksi yang tidak sembuh dengan cepat.
1.4 Infeksi spasia wajah
Fascia adalah suatu balutan jaringan pengikat yang mengelilingi struktur (seperti pelapis pada
otot), dapat menyebabkan peningkatan spasia (space) jaringan yang potensial dan jalur yang
menyebabkan penyebaran infeksi.
Spasia wajah adalah ruangan potensial yang dibatasi, ditutupi, atau dilapisi oleh lapisan
jaringan ikat. Lapisan-lapisan pada fascia menghasilkan spasia pada wajah yang kesemuanya
terisi dengan jaringan pengikat longgar areolar
Spasia wajah adalah area fascia-lined yang dapat dikikis atau membengkak berisi eksudat
purulent. Spasia ini tidak tampak pada orang yang sehat namun menjadi berisi ketika orang
sedang mengalami infeksi. Ada yang berisi struktur neurovascular dan disebut kompartemen,
dan ada pula yang berisi loose areolar connective tissue disebut cleft.
Infeksi odontogenic dapat berkembang menjadi spasia-spasia wajah. Proses pengikisan (erosi)
pada infeksi menembus sampai ke tulang paling tipis hingga mengakibatkan infeksi pada
jaringan sekitar (jaringan yang berbatasan dengan tulang). Berkembang atau tidaknya menjadi
abses spasia wajah, tetap saja hal ini dihubungkan dengan melekatnya tulang pada sumber
infeksi. Kebanyakan infeksi odontogenik menembus tulang hingga mengakibatkan abses
vestibular. Selain itu terkadang dapat pula langsung mengikis spasia wajah dan mengakibatkan
infeksi spasia wajah. Penyakit odontogenik yang paling sering berlanjut menjadi infeksi spasia
wajah adalah komplikasi dari abses periapikal. Pus yang mengandung bakteri pada abses
periapikal akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan
sekitarnya, salah satunya adalah spasia wajah. Gigi mana yang terkena abses periapikal ini
kemudian yang akan menentukan jenis dari spasia wajah yang terkena infeksi. Tulang hyoid
merupakan struktur anatomis yang paling penting pada leher yang dapat membatasi
penyebaran infeksi
Spasia diklasikfikasikan menjadi spasia primer dan spasia sekunder. Spasia primer
diklasifikasikan lagi menjadi spasia primer maxilla dan spasia primer mandibula. Spasia primer
maxilla terdapat pada canine, buccal, dan ruang infratemporal. Sedangkan spasia primer
mandibula terdapat pada submental, buccal, ruang submandibular dan sublingual. Infeksi juga
dapat terjadi di tempat-tempat lain yang disebut sebagai spasia sekunder, yaitu pada
Masseteric,
pterygomandibular,
superficial
dan
deep
temporal,
lateral
pharyngeal,
Spasia kanina
Spasia kanina merupakan ruang tipis di antara levator angulioris dan M. labii superioris. Spasia
kanina terbentuk akibat dari infeksi yang terjadi pada gigi caninus rahang atas. Gigi caninus
merupakan satu-sarunya gigi dengan akar yang cukup panjang untuk menyebabkan pengikisan
sepanjang tulang alveolar superior hingga otot atau facial expression. Infeksi ini mengikis
bagian superior hingga ke dasar M. levator anguli oris dan menembus dasar M. levator labii
superior.
Ketika spasia ini terinfeksi, gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan
swelling pada permukaan anterior menyebabkan lipatan nasolabial menghilang. Penyebaran
lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah infraorbital dan sinus kavernosus.
1.4.2
Spasia bukal
Spasia bukalis terikat pada permukaan kulit muka pada aspek lateral dan M. buccinators dan
berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Spasia dapat terinfeksi akibat perpanjangan infeksi dari
gigi maxilla dan mandibula. Penyebab utama infeksi spasia bukal adalah gigi-gigi posterior,
terutama Molar maxilla. Spasia bukal menjadi berhubungan dengan gigi ketika infeksi telah
mengikis hingga menembus tulang superior hingga perlekatan M. buccinators.
Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan. Keterlibatan spasia bukal dapat
menyebabkan pembengkakan di bawah lengkung zygomatic dan daerah di atas batas inferior
dari mandibula. Sehingga baik lengkung zygomatic dan batas inferior mandibula Nampak jelas
pada infeksi spasi bukal.
1.4.3
Jika infeksi spasia primer tidak ditangani secara tepat, infeksi dapat meluas ke arah posterior
hingga melibatkan spasia facial sekunder. Ketika spasia sekunder telah ikut terlibat, infeksi
menjadi lebih berat, dapat menyebabkan komplikasi hingga kematian, dan lebih sulit untuk
ditangani. Hal ini dikarenakan spasia sekunder dikelilingi oleh jaringan ikat fascia yang sedikit
sekali mendapat suplai darah. Sehingga infeksi pada spasia ini sulit ditangani tanpa prosedur
pembedahan untuk mengeluarkan eksudat purulen.
Spasia masseter Spasia masseter berada di antara aspek lateral mandibula dan batas median
m. masseter. Infeksi ini paling sering diakibatkan penyebaran infeksi dari spasia bukalis atau
dari infeksi jaringan lunak di sekitar Molar ketiga mandibula. Ketika spasia masseter terlibat,
area di atas sudut rahang dan ramus menjadi bengkak. Inflamasi m. masseter ini dapat
menyebabkan trismus
Spasia pterygomandibular Spasia pterygomandibular berada ke arah median dari mandibula
dan ke arah lateral menuju m. pterygoid median. Area ini merupakan area tempat penyuntikan
larutan anastesi local disuntikan ketika dilakukan block pada saraf alveolar inferior. Infeksi pada
area ini biasanya merupakan penyebaran dari infeksi spasia sublingual dan submandibula.
Infeksi pada area ini juga sering menyebabkan trismus pada pasien, tanpa disertai
pembengkakan. Ini lah yang menjadi dasar diagnosa pada infeksi ini
Spasia temporal Spasia temporal berada pada posterior dan superior dari spasia master dan
pterygomandibular. Dibagi menjadia dua bagian oleh m. temporalis. Bagian pertama yaitu
bagian superficial yang meluas menuju m. temporalis, sedangakn bagian kedua merupakan
deep portion yang berhubungan dengan spasia infratemporal. infeksi ini, baik superficial
maupun deep portion hanya terlihat pada keadaan infeksi yang sudah parah. Ketika infeksi
sudah melibatkan spasia temporalis, itu artinya pembengkakan sudah terjadi di sepanjang area
temporal ke arah superior menuju arcus zygoamticus dan ke posterior menuju sekeliling mata.
Spasia masseter, pterygomandibular, dan temporal juga dikenal sebagai spasia matikator.
Spasia ini saling berhubungan, sehingga ketika salah satunya mengalami infeksi maka spasia
lainnya berkemungkinan juga terkena infeksi
1.4.4
Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal dari gigi molar
mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala infeksi
berupa pembengkakan pada daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut mandibula,
perabaan terasa lunak dan adanya trismus ringan.
Kedua spasia ini terbentuk dari perforasi lingual dari infeksi molar mandibula, dan dapat juga
disebabkan infeksi pada premolar. Yang membedakan infeksi tersebut apakah submandibula
atau siblingual adalah perlekatan dari M. mylohyoid pada ridge mylohyoid pada aspek medial
mandibula. Jika infeksi mengikis medial aspek mandibula di atas garis mylohyoid, artinya infeksi
terjadi pada spasia lingual (sering terjadi pada gigi premolar dan molar). Sedangkan jika infeksi
mengikis aspek medial dari inferior mandibula hingga mylohyoid line , spasia submandibular
pun dapat terkena infeksi.
Molar ketiga mandibula paling sering menjadi penyebab spasia primer mandibula. Sedangkan
molar kedua mandibula dapat mengakibatkan baik spasia sublingual maupun submandibular.
Spasia sublingual berada di antara mucosa oral dasar mulut dan m. mylohyoid. Batas
posteriornya terbuka hingga berhubungan langsung dengan spasia submandibular dan spasia
sekunder mandibula hingga aspek posterior. Secara klinis, pada infeksi spasia sublingual sering
terlihat pembengkakan intraoral, terlihat pada bagian yang terinfeksi pada dasar mulut. Infeksi
biasanya menjadi bilateral dan lidah menjadi terangkat (meninggi)
Spasia submandibula berada di antara m. mylohyoid dan lapisan kulit di atasnya serta fascia
superficial. Batas posterior spasia submandibula berhubungan dengan spasia sekunder dari
bagian posterior rahang. Infeksi pada submandibular menyebabkan pembengakakan yang
dimulai dari batas inferior mandibula hingga meluas secara median menuju m. digastricus dan
meluas ke arah posterior menuju tulang hyoid.
Ketika bilateral submandibula, sublingual dan submentalis terkena infeksi, inilah yang disebut
dengan Ludwigs angina. Infeksi ini menyebar dengan cepat kea rah posterior menuju spasia
sekunder mandibula.
Sulit menelan hampir selalu terjadi pada infeksi ini, disertai dengan elevasi dan displacement
lidah serta pengerasan superior submandibula hingga tulang hyoid
Pasien yang mengalami infeksi ini biasanya mengalami trismus, mengeluarkan saliva, kesulitan
menelan bahkan bernafas yang dapat berkembang menjadi obstruksi nafas atas yang dapat
menyebabkan kematian.
1.4.5
Spasia submental
Spasia submental berada di antara anterior bellies dari m. digastricus dan di antara m.
mylohyoid dengan kulit di atasnya. Spasia ini biasanya terjadi karena infeksi dari incisor
mandibula. Incisor mandibula cukup panjang untuk dapat menyebabkan infeksi mengikis bagian
labial dari tulang apical hingga perlekatan m. mentalis. Gejala infeksi berupa bengkak pada
garis midline yang jelas di bawah dagu. Infeksi juga dapat terjadi pada batas inferior mandibula
hingga ke m. submentalis
1.4.6
Ludwigs Angina
Definisi Ludwigs Angina ialah keadaan dimana adanya sepsis cellulitis di regio submandibular.
Kebanyakan kasus, penyakit ini disebabkan oleh infeksi gigi molar rahang bawah hingga dasar
mulut (akar gigi melekat pada otot mylohyoid) karena ekstraksi. Infeksi ini berbeda dari jenis
cellulitis post-ekstraksi lainnya. Hal utama yang membedakannya adalah:
1.
2.
3.
Pasien biasanya dalam kondisi openmouth, dasar mulutnya elevasi dan lidahnya
protusi. Kondisi ini yang menyebabkan pasien sulit bernafas.
Etiologi Infeksi ini disebabkan oleh streptokokus hemolitik, walaupun bisa jadi disebabkan pula
oleh miksturasi antara bakteri aerob dan anaerob.
Gejala dan tanda klinis: sakit dan bengkak pada leher, leher menjadi merah, demam, saliva
bertambah, lidah bergerak kaku, dan ada edematous di larynx, lemah, lesu, mudah capek, rasa
dingin, bingung dan perubahan mental, dan kesulitan bernapas (gejala ini menunjukkan adanya
suatu keadaan darurat) yaitu obstruksi jalan nafas. Pasien Ludwig`s angina akan mengeluh
bengkak yang jelas dan lunak pada anterior leher, jika dipalpasi tidak terdapat fluktuasi.
Terapi Pada kasus ini pasien dapat diberi antibiotik dengan spektrum luas dan terapi suportif.
Pada kasus akut dilakukan tracheostomy. Jika tidak ada progress, dapat dilakukan
pembedahan dengan dua alasan:untuk melepaskan tekanan jaringan dan drainase.
Komplikasi Komplikasi paling serius dari Ludwig`s angina adalah adanya penekanan jalan
nafas akibat pembengkakan yang berlangsung hebat dan dapat menyebabkan kematian.
1.4.7
Spasia faringeal
Batas anatomi Spasia ini perluasan dari dasar tengkorak di tulang sphenoid menuju tulang
hyoid di inferior dan terletak antara otot pterygoid medial di aspek lateral dan superior faringeal
konstriktor aspek medial. Di bagian depan dibatasi oleh pterygomandibular raphe dan meluas
ke bagian posteriomedia fascia prevertebral. Prosessus styloid, associated muscles, dan facia
membagi spasia ini menjadi kompartemen anterior yang mengandung selubung carotid dan
beberapa nervus cranial.
Gejala dan tanda klinis infeksi Tanda klinis yang terlihat ialah trismus yang cukup berat yang
merupakan keterlibatan otot pterygoid media; pembengkakan leher lateral, terutama sudut
inferior mendibula; dan pembengkakan dinding faringeal lateral.ke arah midline. Pasien dengan
kasus ini biasanya sulit menelan dan demam.
1.4.8
Spasia retrofaringeal
Batas anatomi Spasia ini terletak di belakangan jaringan lunak aspek posterior faring. Di
bagian depan dibatasi oleh konstriktor faringeal superior; bagian muka dan posterior oleh alar
layer fascia prevetebral. Spasia ini berawal dari dasar tengkoran dan meluas ke arah inferior di
vertebra C7 atau T1, di mana fascia alar menyatu dengan fascia buccopharyngeal
Gejala dan tanda klinis infeksi (1)Obstruksi jalan nafas atas yang serius sebagai hasil dari
displacement anterior dari dinding faringeal posterior ke arah faring.(2)Rupturnya abses spasia
retrofaringeal dengan masuknya pus ke paru-paru
1.4.9
Mediastinitis
Lokasi anatomi mediastinum Mediastinum adalah ruang ekstrapleura yang dibatasi sternum
di sebelah depan, kolumna vertebralis di sebelah belakang, pleura mediastinal di sebelah lateral
kiri dan kanan, di superior oleh thoracic inlet dan di inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri
dari tiga area : anterosuperior mediastinum, middle mediastinum, posterior mediastinum.
Mediastinitis adalah peradangan di daerah mediastinum yang terdiri dari mediastinitis akut dan
kronik (fibrosing mediastinitis).
Penyebaran infeksi Dalam kasus ini faktor penyebab diperkirakan berasal dari otitis media
yang berkembang menjadi mastoiditis lalu menyebabkan osteitis dan periostitis yang akan
mendestruksi korteks dari mastoid lalu menyebar melalui fasia leher ke dalam mediatinum.
Gejala dan tanda klinis Pada kasus ini dijumpai gejala klinis berupa demam hilang timbul,
sesak nafas, nyeri menelan serta riwayat penyakit penyerta berupa diabetes, mastoiditis kronis
dan infeksi telinga, pada pemeriksaan fisik tak didapatkan kelainan. Gejala klinis ini sesuai
dengan kepustakaan dimana demam yang ditimbulkan bersifat lowgrade dan dapat menjadi
hectic bila kontaminasi terhadap mediastinum terus berlangsung, gejala lainnya dapat berupa
pembengkakan pada daerah leher, nyeri pada substernal, nyeri pada prekordial dalam,
punggung dan epigastrium yang dapat menyerupai gejala akut abdomen.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai panas tinggi, takikardi, edema dari leher dan kepala,
emfisema
subkutan.
Pada
orang
dewasa
distress
pernafasan
dapat
terjadi
yang
mengindikasikan terjadinya pneumotorak atau efusi pleura sedangkan pada anak anak dapat
terjadi pernafasan stakato akibat nyeri saat bernafas.
Terapi Terapi pembedahan dengan kombinasi penggunaan antibiotik dalam kasus ini sudah
tepat yaitu untuk drainase abses sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan drainase abses
dapat dengan torakotomi seperti kasus diatas khususnya pada pasien yang sakit berat atau
melalui
pendekatan
cervicomediastinal
dimana
insisi
pararel
dengan
M.
sternokleidomastoideus, lalu diretraksi ke lateral, maka terdapat akses ke sarung karotis dan
ruang pretrakeal serta retroviseral, cara ini dapat digunakan untuk drainase mediastinum
sampai ke level vertebra torakal empat di posterior dan percabangan trakea di anterior. Aspek
inferior mediastinum harus di drainase transpleura / ekstrapleura, melalui bidang posterior dari
iga yang bersangkutan. 1,2 Walaupun saat ini telah diperkenalkan berbagai cara pencucian
mediastinum yaitu : pendekatan subxiphoid, median sternotomy dan thorakoskopi, tetapi
posterolateral torakotomi tetap di rekomendasikan dan merupakan kombinasi terbaik dengan
CT scan toraks serial walaupun gejala klinis dari infeksi tak ditemukan. Trombolitik intrapleura
dengan dosis urokinase 5400 IU/Kg/hari dapat digunakan untuk penanganan komplikasi
mediastinitis berupa empiema sehingga cairan dapat di drainase melalui selang WSD.
1.4.10
Ada lima hal yang ditempuh dalam dalam mengatasi infeksi spasia ini, diantaranya adalah:
1.
2.
Pemberian antibiotik yang tepat, yakni dosis tinggi bakterisidal yang diberikan secara
intravena.
3.
4.
5.
Surgical removal
Surgical drainage
Evaluasi konstan dari perawatan infeksi
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan infeksi (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema
dan cedera pada jaringan, immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak
edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik,
kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi,
kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang
pengetahuan
berhubungan
tantang
dengan
kondisi,
keterbatasan
prognosis
kognitif,
dan
kurang
kebutuhan
pengobatan
terpajan/mengingat,
salah
interpretasi informasi.
INTERVENSI KEPERAWATAN
rasional
Mandiri:
Perathaanakn imobilisasi bagian yang sakit
Mengurangi nyeri
perilaku)
Kolaborasi
Lakukan kompres dingin 24-48 jam
pasien
Gangguan kemampuan
tindakan keperawatan
untuk memenuhi
berpartisipasi dalam
sehari-hari.
Intervensi
Monitoring:
1. Kebutuhan klien yang belum
terpenuhi
2. Kemampuan klien dalam
memenuhi kebutuhannya
3. Tanda-tanda vital klien
Ditandai dengan:
- Tekanan darah abnormal
sebagai respon setelah
beraktivitas
- Denyut nadi abnormal
sebagai respon setelah
beraktivitas
- Perubahan EKG
menunjukkan aritmia,
iskemia
- Ketidaknyamanan
- Dispnea
- Klien mengatakan
lelah/lemah
Mandiri:
1. Kaji kekuatan otot
2. Berikan bantuan dalam
aktivitas perawatan diri sesuai
kebutuhan
Pendidikan kesehatan:
1. Libatkan keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan
ADL/perawatan klien
2. KIE tentang tujuan
pembatasan aktivitas
3. Ajari klien untuk melakukan
aktivitas secara bertahap
sesuai kemampuan/toleransi
Kolaborasi:
Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan
Tujuan & Kriteria Hasil
Tujuan:
Monitoring:
tindakan
keperawatan selama 1 x 24
sistemik
2. Monitor tanda-tanda infeksi pada bagian tubuh
Setelah
dilakukan
Tidak
terdapat
infeksi
(pus,
tanda-tanda
luka
berbau,
kemerahan, panas)
TTV dalam batas normal:
Intervensi
Tensi:
100140
6090
mmHg
Nadi: 60-100x/menit
RR : 12-20x/menit
Suhu: 36 - 37,2oC
Jumlah leukosit dalam batas
membrane
dari
normal (3500-10.000/l)
Menunjukkan hygiene pribadi
yang adekuat
Melaporkan tanda dan gejala
infeksi
Pendidikan Kesehatan:
pada
petugas
kesehatan
Mengubah gaya hidup untuk
mengurangi risiko
Mendapatkan imunisasi yang
pada klien
2. Anjurkan klien istirahat dan exercise cukup
3. Ajarkan klien mengenai penggunaan nafas
tepat
Hasil kultur negatif
Kolaborasi:
1. Kurangi penggunaan cabe maupun lada dalam
diet klien
2. Laporkan bila terdapat tanda-tanda infeksi
3. Laporkan bila hasil kultur positif
4. Beri antibiotik bila ditemukan tanda-tanda infeksi
dengan tekanan,
perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka /
ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan
nekrotik.
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC :
Tissue Integrity : Skin and Mucous Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
Membranes
yang longgar
Wound Healing : primer dan sekunder Hindari kerutan pada tempat tidur
Setelah
dilakukan
yang tertekan
Menunjukkan pemahaman dalam
proses
perbaikan
mencegah
kulit
terjadinya
dan
berulang
Mampu
mempertahankan
kulit
dan
kelembaban
Menunjukkan
penyembuhan luka
tanda-tanda
infeksi
lokal,
formasi
traktus
Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan
luka
Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin
Cegah kontaminasi feses dan urin
Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril
Berikan posisi yang mengurangi tekanan luka
Intervensi
NOC :
NIC :
Mobility Level
peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan perasaan
(walker)
Kurang
pengetahuan
berhubungan
tantang
dengan
kondisi,
keterbatasan
prognosis
kognitif,
dan
kurang
kebutuhan
pengobatan
terpajan/mengingat,
salah
interpretasi informasi.
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
NOC:
NIC :
tepat.
hasil:
Pasien dan keluarga menyatakan
pemahaman
tentang
penyakit,
pengobatan
yang tepat
Pasien
dan
melaksanakan
keluarga
prosedur
mampu
yang
Pasien
dan
keluarga
mampu
lainnya
EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. Philadelpia: W.B Sainders Company
Infofisioterapi.com.
2009.
Fraktur
Cruris.
http://www.infofisioterapi.com/fraktur-cruris.html.