CIDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Menurut Morton (2012), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada
kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Brunner dan Suddarth ,
(2007) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang
terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar,
leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral, batang otak.
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak (Pierce & Neil. 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
b. Sedang
1) GCS = 9 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) GCS = 3 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi
otak, terdiri dari tulang
kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari
3 lapisan:
Lapisan luar, etmoid dan
lapisan
dalam.
Lapisan
yang
kuat
etmoid
2. Meningen
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang
melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan
sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau
goncangan. Selaput
atas
dua
lapisan
yaitu
lapisan
endosteal
dan
meningeal.
lapisan
Dura
mater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak
antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan
ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3)
linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan. Arteriarteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium
ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media
fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu.
Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah
tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik
tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus
frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang
terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya
tidak
menyebabkan
meskipun
menyebabkan
kadang
kejang.
Kerusakan
luas
mengarah
ke
bagian
lobus
frontalis
belakang
yang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2008)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
H. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi
respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah
dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada
proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan
karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi
serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan
spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya
tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam
merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan
secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau
dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan
klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi
I. PENATALAKSANAAN
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pembedahan.
(Smelzer, 2001)
J. PENGKAJIAN FOKUS
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan
karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S:Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam
berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan
depresi
h. Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap
cahaya),
kehilangan
penginderaan,
pengecapan
dan
pembauan
serta
yang
berperan
dalam
peningkatan
TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif untuk
mengatasi kejang.
(Doenges, 1999)
b.
g.
INTERVENSI
1. Kaji tingkat kesadaran.
2. Pantau status neurologis secara teratur,
RASIONAL
1. Mengetahui kestabilan klien.
2. Mengkaji adanya kecendeungan
pa
tingkat
dan
resiko
meningkat.
kesadaran
hasilnya.
frekuensi,
RASIONAL
1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
terjadi).
2. Meningkatkan ventilasi semua bagian
paru, mobilisasi serkret mengurangi
resiko komplikasi, posisi tengkulup
mengurangi
kapasitas
vital
paru,
tiap 2 jam.
dicurigai
dapat
menimbulkan
nafas.
3. Membantu
mengencerkan
sekret,
mobilisasi
sekret/
meningkatkan
4. Kolaborasi terapi oksigen sesuai indikasi.
sebagai ekspektoran.
4. Memaksimalkan
bernafas
dan
jika
tertekan.
pusat
pernafasan
Biasanya
dengan
kebutuhan
penghisapan
didasarkan
pada
adanya
sekret.
6. Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigen,
mengidentifikasi
pernafasan,
contoh:
masalah
hiperventilasi
adanya
Menentukan
keseimbangan
komplikasi
kecukupan
asam-basa
paru.
oksigen,
dan
1. Deteksi
RASIONAL
dini
dan
dapatmencegah
intervensi
kekurangan/kelebihan
jenis urine.
pemeriksaan
dehidrasi.
4. Hipokalimia/fofatemia
dapat
terjadi
lab.
serum
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang
digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3
x 24 jam dengan Kiteria Hasil:
1) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal.
2) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
1. Kaji
INTERVENSI
kemampuan
pasien
untuk
pada
atau
suara
RASIONAL
1. Faktor ini menentukan terhadap jenis
makanan
sehingga
memberikan
pasien,
seperti
harus
dalam
saat
pasien
komplikasi
seperti
paralitik ileus.
3. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya
aspirasi.
4. Meningkatkan proses pencernaan dan
toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan
dan
dapat
meningkatkan
RASIONAL
1. Mengidentifikasi karakteristik nyeri
lamanya.
2. Catat kemungkinan
patofisiologi yang
khas,misalnya adanya infeksi,
trauma servikal.
3. Berikan tindakan
kenyamanan, misal pedoman
imajinasi, visualisasi, latihan
nafas dalam, berikan aktivitas
hiburan, kompres
4. Kolaborasi dengan pemberian
obat anti nyeri, sesuai indikasi
misal, dentren (dantrium)
analgesik; antiansietas missal
diazepam (valium).
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif,
penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan
Kriteri Hasil :
1) Tidak adanya kontraktur, footdrop.
2) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
3) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya
INTERVENSI
1. Periksa kembali kemampuan
keadaan
secara
fungsional
RASIONAL
1. Mengidentifikasi
kerusakan
dan
pada
secara
gerak
latihan
sangat
meningkatkan
4. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi
dalam
program
penting
untuk
kerja
sama
keberhasilan program.
RASIONAL
1. Semua sistem sensori
terpengaruh
dengan
dapat
adanya
atau
tajam/tumpul
dan
kesadaran
terhadap gerakan.
perubahan
peningkatan
sensitivitas
sensasi
perasaan,
yang
sensori
dan
melibatkan
atau
atau
untuk
kehilangan
menerima
dan
terpengaruh
lebih
proses pikir.
penurunan
Perubahan
mungkin
akan
pelan.
pendek
Gunakan
dan
kalimat
sederhana.
keterbatasan
perhatian
atau
keterbatasan
perhatian
atau
tinjau kembali.
dapat
menciptakan
rencana
RASIONAL
1. Membantu menentukan daerah atau
derajat kerusakan serebral yang terjadi
dan kesulitan pasien dalam proses
komunikasi.
2. Melakukan penelitian terhadap adanya
kerusakan sensori
3. Untuk merangsang komunikasi pasien,
mengurangi
isolasi
sosial
dan
perawatan
aseptic
dan
RASIONAL
1. Cara
pertama
nosokomial
untuk
menghindari
infeksi,
menurunkan
memungkinkan
adanya
kemerahan,
bengkak,
pus
terhadap
untuk
komplikasi
melakukan
selanjutnya,
TTV
3. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi
infeksi
4. Menurunkan
dapat
pemajanan
menularkan infeksi
5. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat
adanya leukositosis
6. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai
infeksi
6. Menekan
pertumbuhan
terhadap
keadaan
kuman
indikasi.
pathogen.